Summary :
Saat ini Hinata sedang hamil. Usia kandungannya sudah memasuki bulan kedelapan. Tapi, tiba-tiba saja Hinata menjadi aneh. Dia mengidamkan semua hal yang berwarna pink. Dimulai dari wallpaper kamar, perlengkapan bayi, baju, sampai ke makanan, Hinata maunya serba pink. Padahal sebenarnya ia tau bahwa suaminya membenci warna tersebut.
.
.
Di ruang tamu milik rumah keluarga Sabaku Gaara, berkumpulah lima orang yang sudah duduk di sofa yang melingkari sebuah meja. Mereka adalah Temari, Kankurou, Gaara, Hinata dan Neji. Temari dan Kankurou adalah kakak kandung dari Gaara, sedangkan Neji adalah sepupu Hinata.
Gaara dan Hinata, yang pada saat ini sedang duduk bersebelahan, telah menyandang status sebagai suami istri secara sah. Karena mereka memang sudah menikah sejak setahun yang lalu.
Dari pembicaraan yang terus berlangsung di sana, dapat disimpulkan bahwa mereka sedang membicarakan kehamilan Hinata Sabaku—yang dulunya bermarga Hyuuga—yang mulai menginjak umur delapan bulan.
"Sebentar lagi lahir, ya?"
Hinata sedikit mengangkat wajahnya, menatap lurus kedua mata Neji. Ia pun membelai perutnya yang besar itu. "Iya, Niisan..."
"Jadi, bayi kalian perempuan atau laki-laki?"
Masih dengan senyuman di bibirnya, Hinata menggeleng.
"Kami belum tau. Aku dan Gaara-kun sudah sepakat untuk tidak menanyakan kelamin bayi ke dokter. Karena kami menginginkan kejutan di hari kelahirannya."
Temari mengangguk mengerti. Walaupun tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, ia cukup puas mendengar rencana Hinata.
"Kalian lucu sekali. Padahal sewaktu aku hamil, aku maunya langsung cepat-cepat mengetahui kelamin anakku—padahal usia kandunganku baru masuk tiga minggu." Temari tertawa.
Sesaat Hinata antusias mendengarkan cerita-cerita Temari, Kankurou melirik Gaara—adiknya. Pria berambut merah itu tampaknya sedang merenung sendiri.
"Kenapa? Dari tadi kau diam saja, Gaara..."
Hinata yang sempat tertawa oleh candaan Temari langsung melihat ke arah Gaara—suaminya yang sekarang sedang duduk di sebelahnya. Karena mendengar pertanyaan Kankurou, ia jadi sadar bahwa Gaara belum mengeluarkan suaranya sama sekali di ruang tamu ini.
"Hn?" Pria berperawakan dingin itu merespon dengan suara datar. Tampaknya ia terlihat mengantuk saat berhadapan dengan topik yang lagi dibahas—perlihal kehamilan istrinya.
"Oh, ya, Gaara. Kau inginnya bayimu perempuan atau laki-laki?"
Gaara menguap sembari menyenderkan punggungnya ke sofa. "Terserah."
Temari menggeleng kesal.
"Gaara, kau ini..." Bersama pandangan bersalah, ia melirik ke Hinata, takut ia tersinggung atas jawaban tidak peduli ala Sabaku Gaara. Tapi sepertinya Hinata telah terbiasa dan memaklumi.
"Ah, Hinata. Kalau kau tidak tau kelamin bayi kalian, bagaimana dengan warna perlengkapan bayi? Kau pilih warna pink atau biru?" Temari membuka topik baru. Saat Hinata memasang wajah bingung, wanita berambut pirang itu lanjut menjelaskan. "Kan kalau perempuan identik dengan warna pink, sedangkan laki-laki warna biru..."
"Sebenarnya kami baru saja mau membeli perlengkapan bayi yang berwarna netral. Putih, misalnya." Ia berkata. "Tapi sepertinya pink lucu—"
"Tidak."
Mendadak, suara Gaara yang tiba-tiba keluar itu membuat pandangan empat pasang mata langsung mengarah kepadanya.
Merasa dirinya sudah menjadi pusat perhatian, Gaara memutuskan untuk meneruskan kalimatnya. "Warna apapun aku tidak mempermasalahkan, asal jangan warna pink."
Hinata hampir lupa.
Suaminya kan memang benci warna pink...
.
.
.
PINKISH HATER
"Pinkish Hater" punya zo
Naruto by Masashi Kishimoto
[Sabaku Gaara x Hinata Hyuuga]
Romance, Drama, Light Humor
AU, OOC, Typos, etc.
.
.
Dedicated to Rei Jo and GHALOPA [Gaara Hinata Love Parade]
.
.
Setelah beberapa jam dihabiskan untuk berbicara bersama, akhirnya tamu-tamu pulang, menyisakan Gaara dan Hinata hanya berdua di rumah mereka.
Kini Hinata sedang mengangkati cangkir-cangkir teh dan juga piring kecil yang telah dipakai ke dapur. Di saat ia mencucinya, diliriknya Gaara yang langsung berjalan ke kamar. Berhubung sekarang ia sedang ingin berbicara empat mata dengan suaminya, Hinata segera membilas tangannya yang dipenuhi oleh sabun dan menyusul Gaara.
Sambil mengeringkan tangannya ke lap bersih, Hinata mencoba untuk membuka pintu kamar. Dia temukan Gaara yang sedang serius di mejanya yang berada di sudut ruangan. Ternyata ia sedang melanjutkan kerjaannya di laptop.
Hinata duduk di tepi kasur, lalu mencoba menatap Gaara yang sedang membelakanginya.
"Gaara-kun..."
Gaara tidak menjawab.
"Gaara?"
"Hn?"
"Sedang berkerja?"
"Ya."
Menyadari Gaara yang terlalu irit berbicara dengannya, Hinata menghela nafas. Karena ia bukanlah tipe seorang wanita yang banyak omong, Hinata memutuskan untuk diam. Dalam hitungan detik, kamar kembali hening—hanya ada suara ketikan dari jemari suaminya.
Perlahan, kedua iris lavender milik Hinata menatap punggung Gaara dengan pandangan sedih.
Kalau dipikir-pikir... semakin lama, sepertinya Gaara semakin sibuk dengan kerjaannya yang terus menumpuk. Pria itu memang diberikan waktu libur di hari Sabtu dan Minggu, tapi tetap saja sulit mempertemukan waktu untuk bersama apabila pria yang jarang berbicara itu terus saja menghabiskan harinya di depan laptop.
Ah, apa karena ia hamil—menjadi gendut, tidak berguna dan sebagainya—sampai-sampai Gaara malas hanya untuk mengobrol dengannya?
Hinata sangat berharap bukan itu alasannya.
"Gaara-kun..." Bisiknya.
"Apa?"
"Gaara-kun masih menyayangiku, kan?"
Mendadak, suara ketikan—yang semula terdengar sangat cepat itu—berhenti. Gaara langsung memutar posisi bangku sehingga kedua mata jade-nya bisa memandang mata Hinata.
"Aku menyayangimu..."
Kalimat itu setidaknya membuat Hinata menaikan kedua sudut bibirnya, membentuk senyuman manis. Ternyata nada suara Gaara masih sama. Walaupun terkesan singkat, kalimat tadi tetap penuh rasa dan kasih sayang.
"Kenapa bertanya seperti itu?"
"Karena..." Hinata memberi jeda. Ia pun menurunkan pandangan ke perutnya yang sudah membesar. "Aku merasa Gaara-kun seperti tidak senang dengan kehadiran bayi ini."
Gaara mendengus heran. "Siapa bilang?"
"Habisnya..."
Gaara pun berdiri lalu menghampiri Hinata. Dia elus perut Hinata yang kini tertutup pakaian panjang. Ia tatap kedua iris matanya, lalu dengan gerak pelan, ia menempelkan bibirnya ke kening Hinata.
"Aku mencintaimu." Bisiknya. "Aku mencintai kalian..."
.
.
~zo : pinkish hater~
.
.
'Aku mencintaimu. Aku mencintai kalian...'
Saat malam menjelang, kalimat yang tadi sore dikeluarkan oleh Gaara masih saja terbayang-bayang di benak Hinata. Wanita yang kini sudah berbaring di atas kasur itu hanya menahan senyum, lalu melihat suaminya yang tidur menyamping dengan wajah menghadapnya.
Rambut merah Gaara berantakan. Poninya yang sedikit panjang menutupi sebagian dari keningnya—yang terdapat sebuah tatoo kanji bertuliskan 'Ai'. Kedua mata pria itu terpejam.
Segeralah Hinata memiringkan tubuh, lalu memajukan wajah sembari memeluk kepala Gaara.
Mengingat bahwa suaminya yang terlihat cuek ini sebenarnya menyayanginya, Hinata tersenyum. Ia sapukan tangannya ke permukaan pipi pria itu, lalu mencium perlahan kedua belah bibir Gaara.
"Aku mencintaimu, Gaara-kun..."
Dengan kedua mata yang terpejam, Gaara yang ternyata belum tidur hanya memberikan sebuah senyuman tipis—sudut bibirnya naik beberapa mili. Tentu saja pria bermarga Sabaku itu menyadari bahwa orang yang berbisik dan menciumnya itu adalah istrinya.
Kali ini, giliran tangan Gaara yang bergerak mengelus surai panjang Hinata sampai akhirnya tangan itu berhenti di pinggang Hinata—agar dapat semakin mengeratkan tubuh mereka.
"Tidurlah..."
Hinata mengangguk ragu.
Masalahnya ia masih belum mau tidur.
Dia lirik sebuah jam yang terpajang di dinding. Ini sudah tengah malam. Tapi, entah kenapa rasa kantuk sama sekali belum menghampirinya.
Setelah lama terdiam di dalam keheningan, mendadak ia melihat sebuah buffet kecil di sebelah ranjang—tepat di belakang suaminya.
Di atas buffet itu terdapat sebuah boneka kelinci berwarna merah muda sebesar bantai. Kalau tidak salah, itu hadiah dari Temari atas kehamilan pertamanya.
Entah kenapa, ia mau mengambil kelinci itu.
Hinata sedikit menegakan tubuhnya, tapi gerakannya tertahan. Tentu saja karena ada pelukan dari tangan Gaara dan juga perutnya yang berat. Segeralah ia mengguncang pelan pundak Gaara.
"Gaara-kun..."
"Hm?"
"Ambilkan itu... yang di samping mejamu..."
Bersama helaan nafas yang lumayan panjang, Gaara memutar tubuhnya dan mengulurkan tangan. Masih dengan mata yang sedikit tertutup, ia mengambil boneka tersebut. Tapi ketika Gaara akan menyerahkan boneka itu ke Hinata, salah satu matanya yang terbuka sempat melihat ke benda yang sempat dipegangnya.
Dan saat Gaara tau bahwa itu adalah boneka berwarna pink, sontak saja langsung ia lemparkan ke Hinata.
Gaara mengernyit, lalu mengelap tangannya—yang sebenarnya dijamin masih bersih—ke celananya.
"Cih... warna pink."
Hinata sedikit mengerjap. Ia tau suaminya benci warna pink, tapi kan ini hanya boneka. Lagi pula, boneka kelinci ini sangat lucu...
Setelah Gaara yang terlihat kesal itu mulai tidur lagi di kasur—yang kali ini memunggunginya—Hinata hanya memeluk bonekanya dan menatapi punggung Gaara.
Lama.
Sampai akhirnya, bisikan Hinata kembali terdengar.
"Gaara-kun..."
"Apa lagi?"
"Tadi sore kau bilang mencintai aku dan bayi kita ini, kan?"
"Ya."
"Mm... baguslah."
Gaara memutar posisi tidurnya dan menatap heran ke Hinata. "Memangnya kau mau apa?"
"Ada yang mau kusampaikan..."
"Apa?"
"Ta-Tapi... aku takut Gaara-kun marah..." Lirihnya sembari memainkan telinga si kelinci.
"Tidak akan."
Hinata memberanikan diri menatap langsung kedua mata Gaara.
"Ti-Tidak tau kenapa... aku... aku mau kamar kita diberi wallpaper warna pink—"
Srek!
Dalam hitungan kurang dari sedetik, Gaara langsung membuka selimutnya dan mengubah posisinya menjadi terduduk. Kedua matanya yang terlihat mengantuk itu kini terbelalak.
"Apa kau bilang?"
"Wa-Wallpaper... pink..." Dengan ragu, Hinata mencoba mengulangi kalimatnya.
"Pink? Kamar kita?"
Hinata mengangguk polos, sedangkan Gaara berdesis malas.
.
.
~zo : pinkish hater~
.
.
Setelah perdebatan yang tidak terlalu panjang, akhirnya Gaara dan Hinata sepakat akan menyulap kamarnya menjadi warna pink dengan sentuhan wallpaper-wallpaper cantik yang barusan dipesan. Dan usai orang yang memasang wallpaper itu pulang, Hinata mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya dan menutup pintu rumah.
Sebuah senyuman terpatri di bibir Hinata ketika ia berbalik dan mulai berjalan menuju kamarnya. Ia buka lebar-lebar pintu kamar tersebut, lalu melihat suasana baru yang terdapat di sana.
Kamarnya benar-benar berubah. Dari yang semula hanya sebuah dinding yang dicat putih gading, sekarang sudah ada warna pink tua dan pink muda yang dikombinasikan sehingga membuat kamarnya terlihat lucu.
Setelah puas mengagumi wallpaper kamar, Hinata segera mengedarkan pandangannya ke sekitar. Ditemukannya Gaara yang kini sedang duduk di sofa ruang tengah. Tampaknya suaminya yang itu sedang marah—atau bahasa yang lebih spesifiknya: ngambek.
Hinata memutuskan untuk menghampirinya.
Sebenarnya Gaara sadar bahwa ada Hinata yang barusan duduk di sebelahnya, tapi karena ia sedang malas menanggapi, Gaara lebih memilih untuk terus menonton televisi yang sedang menayangkan acara bola.
Hinata hanya tersenyum. Dia dekatkan posisi duduknya ke Gaara dan menaruh kepalanya ke pundak pria itu.
Sebenarnya situasi yang ada di ruangan ini sedang tegang—karena Gaara marah kepadanya—tapi, Hinata malah hanya menganggap itu sebuah hal lucu. Tentu saja karena ini adalah sifat Gaara jarang sekali ditunjukkan kepadanya.
"Gaara-kun marah ya karena kamar kita kujadikan warna pink?"
Gaara sama sekali tidak menjawab. Hinata memiringkan kepala dan sedikit mengadah agar dapat melihat wajah Gaara.
"Gaara-kun..."
"Hm?"
"Marah, ya?"
"Tidak."
Mendadak, raut wajah senang Hinata mengendur. Dengan kedua mata yang kini memancarkan kesedihan, ia bebisik. "Tuh, kan... Gaara-kun marah..."
Mendengar suara Hinata yang semakin memelas, Gaara memutuskan untuk menundukan wajahnya dan menatap iris lavender Hinata. Istrinya yang begitu manis ini memang sering membuatnya lemah.
"Aku tidak marah."
"Tapi..."
Kalimat Hinata dihentikan oleh Gaara dengan sebuah bibir Gaara yang sudah menempel di dahi Hinata yang tertutup oleh poni tebalnya.
"Aku tidak marah..." Bisiknya. "Asal kau dan bayi kita bahagia. Lagi pula, warna pink itu adalah keinginan bayi, kan?"
Singkatnya, Gaara berpikir bahwa Hinata sedang ngidam—hal yang wajar bagi ibu hamil sepertinya. Karena itulah ia mencoba bersabar. Paling saat Hinata sudah melahirkan, ia akan membuang segala pernak-pernik pink di kamarnya ke tempat sampah.
Hinata mengangguk senang. Menggunakan kedua tangannya, ia memeluk Gaara erat-erat.
"Terima kasih..."
Ting tong.
Tiba-tiba saja, suara bel rumahnya menggema. Hinata segera berdiri.
"Pasti paketnya sudah datang..."
"Paket? kau memesan apa?"
"Ranjang bayi, dot, boneka, mainan, baju, kaus kaki, penutup tangan, dan lain-lain."
Seketika, Gaara merasakan firasat buruk.
"Dan semua dari barang-barang tersebut berwarna apa?"
"Tentu saja pink."
Terdengarlah helaan nafas pasrah dari Gaara, dan juga langkah kaki Hinata yang begitu bersemangat untuk menyambut paket-paketnya.
.
.
~zo : pinkish hater~
.
.
Hari ini, ketika malam mulai menjelang, Gaara baru saja pulang dari kantornya. Ia parkirkan sedan hitam miliknya di halaman depan rumah.
Sembari menghela nafas, ia menyenderkan punggungnya ke sandaran jok. Kalau saja ia bisa jujur, mungkin ia akan mengatakan bahwa dia sedang malas pulang cepat ke rumah.
Bukan, ini semua bukan karena Hinata, melainkan karena ia malas bertemu dengan barang-barang berwarna pink yang akhir-akhir ini memenuhi rumahnya.
Gaara tidak suka dengan warna mencolok itu. Dirinya pasti akan langsung pusing atau malah mual apabila kelamaan melihat warna pink. Singkatnya, alergi—entah benar, entah bohongan. Pokoknya dia jijik.
Tapi berhubung Hinata mengatakan bahwa itu adalah keinginan si bayi, Gaara terpaksa menurutinya.
Dengan menghela nafas panjang, Gaara mematikan mesin mobil dan mencabut kunci. Setelah ia turun dari mobil, ia memasuki rumah. Ketika ia sedang melepaskan sepatunya, Gaara menyadari bahwa tidak ada Hinata yang menyapanya.
Tapi ia tidak heran. Toh, Gaara sendiri yang sering menyuruh Hinata untuk tidak tidur terlalu larut. Apa lagi kalau ia sampai memaksakan diri untuk menunggunya pulang kerja—yang biasanya di sekitar jam 22.00.
Dan pada saat Gaara masuk ke daerah ruang tengah, pria itu merasakan bahwa rumah ini sangatlah sepi—terkesan tidak ada orang dan suram.
Aneh.
Walaupun ia memang hanya tinggal berdua dengan Hinata, baru pertama kalinya Gaara merasakan perasaan semacam itu.
Karena merasakan sebuah firasat yang tidak enak, Gaara memutuskan untuk menaruh tasnya di sofa dan segera ke kamar—untuk menemui Hinata yang biasanya sudah tertidur di balik selimut.
Setelah membuka pintu kamar, sedikit dari kekhawatirannya menguap. Dapat dilihatnya sebuah gundukan di balik selimut.
Itu pasti Hinata.
Gaara berjalan mendekat, lalu ia buka selimut itu.
Tapi, yang dia dapatkan sekarang bukanlah Hinata. Melainkan seorang bayi yang terlihat sudah berumur satu tahunan.
Tapi, ada sesuatu yang membuat kedua iris jade milik Gaara terbelalak. Yaitu karena melihat bayi tersebut memiliki iris pink dan rambut pink. Dan yang lebih parah... kulitnya juga berwarna pink.
Satu kata yang terlintas di benak Gaara: mengerikan.
"Kau... siapa?"
Bayi mungil itu tidak menjawab. Ia hanya melihat Gaara, lalu tersenyum, menyunggingkan gusinya yang baru ditumbuhi gigi-gigi kecil berwarna pink.
"Pa~!"
Mendadak, jantung Gaara berdetak kencang saat bayi itu memanggilnya dengan sebutan terkutuk tadi. Seingatnya Hinata memang lagi mengandung anak mereka, tapi ia belum melahirkan. Dan daripada itu, tidak ada bayi serba pink seperti ini di dunia.
Saat sang bayi mulai mengulurkan tangannya untuk menggapainya, Gaara langsung mundur selangkah dan berjalan agar dapat keluar. Tapi saat ia mau keluar, mendadak ada orang yang membuka pintu—baru akan masuk.
Itu Hinata, istrinya.
"Ah, Gaara-kun..." Katanya, lembut. "Sudah melihat anak kita?"
Gaara menggeleng, lalu melihat perut Hinata yang kini sudah rata. "Sejak kapan kau melahirkan?"
"Sejak setahun yang lalu. Masa Gaara-kun tidak ingat?"
Bersama gerak menenggak ludah, Gaara menatap mata Hinata. Tapi, mendadak Gaara langsung tersentak kaget saat melihat iris lavender keperakan milik Hinata berubah menjadi iris pink yang teramat sangat mencolok. Dan ia pun juga memundurkan langkahnya ketika mendapati rambut panjang indigo Hinata sudah menjadi warna pink.
"Kenapa iris matamu berubah? Lalu kenapa kau mengecat rambutmu?"
Dengan pandangan polos, Hinata melihat rambut panjangnya sendiri. "Gaara-kun lupa, ya? aku kan sudah dari dulu menyenangi warna pink..."
Gaara kehabisan kata-kata. Sampai akhirnya Hinata kembali melanjutkan.
"Bukannya Gaara-kun sendiri juga berambut pink?"
Hal itu membuat Gaara tersentak. Segeralah ia berlari ke kaca di meja rias Hinata, lalu melihat dirinya di sana.
Dan ternyata... rambutnya... berubah warna. Dari merah marun... ke pink.
Masih dengan ke-speechless-an Gaara, Hinata menggendong bayinya—yang berwarna pink itu—dan membawanya ke dekat Gaara, persis di belakangnya. Sehingga dari kaca, Gaara dapat melihat refleksi dari keluarganya.
"Kita keluarga yang berbahagia, kan?" Bisik Hinata dengan tertawa kecil. "Keluarga pink yang berbahagia—"
"—!"
SREK!
Kali ini Gaara membuka selimut dengan sentakan yang teramat sangat kencang. Dirinya terengah. Sedetik kemudian, ia baru menyadari bahwa tubuhnya sudah dilumuri oleh keringat.
Berhubung saat ini masih berada di atas kasur—dengan Hinata yang tidur menghadapnya—Gaara langsung menyingkap selimut yang menutupi Hinata. Tanpa bicara apapun, ia langsung memperhatikan penampilan istrinya.
Rambutnya tidak pink dan Hinata masih hamil.
Perlahan, Gaara menghela nafas lega.
Mungkin saja ia sampai kedapatan mimpi buruk karena ia terganggu dengan warna pink yang akhir-akhir ini menghantui kehidupannya. Dan karena tidak mau memikirkan warna menjijikan itu lebih lama lagi, ia segera kembali menyelimuti Hinata.
Niat awalnya, setelah tenang ia ingin tidur. Tapi karena ia sempat menyalakan lampu meja dan mengedarkan pandangannya ke sekitar, ia mendesah malas.
Ternyata wallpaper dan juga perabotan-perabotan bayi yang berwarna pink ini tetap ada—tidak termasuk mimpi.
Gaara jadi sedikit menyimpulkan.
Apa jangan-jangan itu adalah mimpi petanda?
Gaara langsung berdecak. Ternyata hanya karena sebuah warna, ia bisa sampai nyaris dibuat gila.
Ia pun turun dari ranjang, lalu keluar kamar dengan membawa sebuah bantal dan guling.
Tampaknya malam ini ia akan tidur di sofa ruang tengah...
.
.
TO BE CONTINUED
.
.
Author's Note :
Hai, ini fict GaaHina pertamaku. Fict untuk event dan juga request-an dari Rei Jo. Anw, ini request fict pertama yang kuselesaiin loh. Sebenernya fict ini mau kubuat oneshoot, tapi berhubung ide lagi ada, aku jadiin twoshoot. Semoga aja chap dua kelar sebelum event berakhir, hehe.
Soal event, aku milih warna pink sebagai tema. Semoga ceritanya ngga terlalu OOT (Out of Theme (?)).
Ngomong-ngomong, wallpaper yang dimaksud di sini bukan wallpaper gambar, melainkan wallpaper untuk dinding rumah, ya? #udahpadataukali #plakduesh. :')
.
.
Next Chap :
"Jadi... bagaimana? Apa Gaara-kun bisa menjelaskan alasan tadi malam Gaara-kun pindah tempat tidur ke ruang tamu?"
"Kan siapa tau anak kita itu seorang perempuan manis yang memiliki rambut warna pink."
"Makanan... warna pink?"
"Kita sudah menjadi papa dan mama..."
.
.
Review kalian adalah semangatku :'D
Mind to Review?
.
.
THANKYOU
