A BTS FANFICTION
NAMJIN
Family, Fluff, and it's gonna be Super Cheesy.
Disclamer: Semua karakter milik Tuhan, aku minjem nama mereka doang.
.
Satu tahun berselang dan aku baru balik lagi. Maafkan aku ya.
Sepertinya fanfic ini akan menjadi cerita berchapter, jadi ditunggu saja kelanjutannya nanti.
Enjoy!
.
.
.
Seokjin pagi itu dibangunkan oleh suara seseorang yang sedang muntah. Mata Seokjin masih sedikit terpejam ketika tangannya meraba sisi kanan tempat tidur, namun nihil. Tiada siapapun di sana. Seharusnya Namjoon masih tertidur dengan mulut terbuka dan suara mendengkur halus. Perlahan, Seokjin menggeser tubuhnya untuk turun dari tempat tidur, lalu segera melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.
"Namjoon-ah? Kau di dalam?"
Tidak ada balasan. Hanya terdengar suara muntah lagi. Seokjin kemudian memutar kenop pintu kamar mandi dan langsung disuguhi pemandangan Namjoon yang sedang bersimpuh di depan toilet sambil menyeka bibirnya.
"Joon-ah kau tak apa?" Seokjin langsung menghampiri Namjoon dan memijat tengkuknya lembut. Pria itu menggeleng lemah.
"Entahlah, aku tidak tahu apakah aku baik-baik saja. Aku terbangun dan merasa sangat mual. Tetapi tidak ada yang keluar…" jawab Namjoon sambil menekan tombol flush. Ia kemudian berjalan menuju wastafel untuk berkumur dan mencuci wajahnya.
"Apakah kau tidak makan tadi malam Joon-ah?" tanya Seokjin, mengingat semalam Namjoon pulang terlambat dan tidak makan malam di rumah.
Namjoon menggeleng, "Aku sempat makan malam dengan Jackson sebelum melanjutkan laporan."
Seokjin mengambil handuk yang terletak di belakang pintu. Setelah memberi isyarat pada Namjoon untuk menghadap ke arahnya, Seokjin mulai mengusap wajah Namjoon dengan lembut.
"Sepertinya kau masuk angin Joon-ah. Beberapa hari ini kau sering sekali pulang larut kan?" ujar Seokjin. Namjoon hanya mengangguk sambil memejamkan mata. Seokjin berhenti sebentar, lalu meletakkan punggung tangannya di kening Namjoon.
"Tidak panas…" gumam Seokjin.
"Aku memang merasa baik-baik saja sayang, tapi entah kenapa aku merasa mual tadi. Mungkin benar, aku terlalu sering pulang larut dan terlambat makan." sahut Namjoon.
"Kau lebih baik tidak ke kantor dulu hari ini. Istirahat saja di rumah." ujar Seokjin dengan raut khawatir. Namjoon mengusap pucuk kepala Seokjin sambil tersenyum.
"Ya ampun, istriku kalau sedang khawatir manis sekali sih," ucap Namjoon.
"Ish Namjoon, aku sedang tidak bercanda!"
"Aku juga tidak bercanda cantik. Oh, dan tidak. Aku tidak bisa berdiam di rumah sayang. Aku baik-baik saja, lihat?" Namjoon memutar tubuhnya di depan Seokjin. Memastikan dirinya dalam kondisi prima untuk pergi bekerja.
Seokjin nampak terdiam sebentar, menatap Namjoon lekat sebelum akhirnya ia mengangguk.
"Baiklah, aku akan membangunkan anak-anak lalu membuat sarapan. Aku akan membuatkanmu teh hangat dan kau mandi dengan air hangat ya?" Namjoon mengangguk mantap, lalu memberikan kecupan singkat di dahi Seokjin.
"Terima kasih. Nah, sekarang Nyonya Kim dipersilakan untuk keluar sebelum kuseret mandi bersamaku." ujar Namjoon yang hanya dibalas guliran bola mata oleh Seokjin.
.
.
.
.
.
.
Ini sudah memasuki hari kesembilan dimana Namjoon memulai paginya dengan rasa mual yang hebat. Seakan mual masih kurang 'menyenangkan' untuk memulai harinya, belakangan ini ia juga sering merasa perutnya mengalami kram. Mual yang ia rasakan biasanya hanya muncul dipagi hari dan menghilang begitu saja saat ia akan berangkat kerja. Namun untuk urusan kram perut, itu bisa terjadi kapan saja.
Hal ini sebenarnya yang paling mengganggu bagi Namjoon. Bayangkan kram perut itu muncul tiba-tiba saat ia sedang berada dalam rapat penting yang mengharuskan Namjoon melakukan presentasi di hadapan para pemegang saham atau investor di perusahaannya. Namun pada akhirnya Namjoon mampu menyelesaikan presentasi dengan baik, meskipun sesekali ia mencuri waktu untuk sekedar memijat perutnya.
Namjoon sudah mengunjungi dokter dan menjalani sejumlah pemerikasaan. Tetapi dokter tidak menemukan tanda-tanda penyakit apapun. Kondisi tubuhnya baik, dokter hanya memberikan beberapa multivitamin untuk menjaga kesehatannya. Hal ini tentu saja membuat Seokjin bingung dan sedih melihat kondisi suaminya yang nampak lelah karena harus menahan mual dan kram setiap hari.
Tetapi, di luar kondisi tubuh Namjoon yang aneh, ada satu hal lagi yang membuat Seokjin keheranan. Sekarang Namjoon sering minta dibuatkan makanan yang tidak akan terpikirkan oleh Namjoon untuk memakannya seperti kue atau bolu manis, pudding, bahkan masakan olahan seafood.
Sebenarnya Namjoon masih mau memakan makanan manis. Tapi hanya dalam porsi yang sedikit dan ditemani oleh kopi pahit. Sementara seafood… Seokjin tahu benar bahwa Namjoon tidak akan memakan makanan laut dengan alasan bahwa mereka terlalu imut untuk dimakan.
Saking tidak percayanya Seokjin, ia sampai bertanya tiga kali pada Namjoon tentang permintaannya tersebut.
"Mau memasak cumi-cumi, Mom?" sebuah suara mengagetkan Seokjin dari lamunannya. Ia mematikan keran yang mengalir, lalu menoleh pada asal suara tersebut.
"Yoongi, selamat datang. Maaf Mom tidak mendengarmu masuk, dan ya, Mommy akan memasak cumi-cumi untuk makan malam nanti." ucap Seokjin tersenyum. Yoongi hanya mengangguk samar sambil berjalan menuju lemari es dan mengambil sebotol air dingin.
"Apakah akan ada tamu? Tidak biasanya kita menu makanannya seafood?" tanya Yoongi sebelum menenggak air minumnya.
"Tidak ada. Ini permintaan Daddy-mu."
"Lagi?" seru Yoongi seraya meletakkan botol di meja dekat lemari es. Kini ia berdiri di samping Seokjin dan menatap tangan ibunya yang sedang mengeluarkan kantung tinta dari dalam cumi-cumi.
"Ini sudah kali kedua Dad minta dibuatkan seafood. Apakah Dad baik-baik saja? Maksudku, Dad tidak suka seafood kan?" tanya Yoongi lagi.
Seokjin hanya mendesah pelan. Anak sulungnya ini memang terlalu peka terhadap suatu hal. Tentu saja hal sekecil ini pasti tidak luput dari pandangannya juga.
Seokjin tersenyum, "Dad baik-baik saja kok. Seharusnya kita bersyukur karena akhirnya kita bisa makan seafood tanpa harus membuat menu lainnya untuk Dad. Humm, mungkin ini dikarenakan super blue blood moon yang akan terjadi besok malam?"
Seokjin mengerling jenaka, menyebabkan putra sulungnya terkekeh geli.
"Baiklah, sekarang apa yang bisa kubantu?"
"Tidak usah sayang, kau baru pulang sekolah. Yoongi pasti lelah, ya kan?" Yoongi baru saja akan membuka mulutnya ketika Seokjin langsung melanjutkan kalimatnya.
"Yoongi istirahat saja, Mom tidak apa. Yoongi bantu Hobi menjaga Chim dan Taetae saja ya?"
Tanpa mengeluarkan bantahan, Yoongi mengangguk dan langsung melesat menuju ruang tv, di mana adik-adiknya sedang menonton kartun sore. Seokjin tersenyum pada putranya, sebelum kembali berkutat pada cumi-cumi yang sempat terlupakan.
.
.
.
.
.
.
Helaan napas kasar terdengar seiring suara pintu mobil yang tertutup. Namjoon memegangi sisi pinggangnya dengan dahi yang mengernyit. Kram perutnya datang lagi. Tidak cukup parah, namun tetap saja rasa sakitnya sangat mengganggu. Beruntung bahwa pekerjaannya sudah selesai dan sudah memasuki mobilnya untuk pulang.
"Perut Tuan kram lagi?" suara sang supir mengalihkan atensi Namjoon yang sedang memijat pelan pinggang kirinya. Sang supir yang sudah menyalakan mobil menatap Namjoon dengan tatapan sedikit khawatir.
Namjoon tersenyum, "Ya, sedikit kram. Tapi tidak separah kemarin, jangan khawatir."
Pria empat puluh tahunan yang sedang memegangi roda kemudi itu hanya mengangguk sebelum akhirnya menjalankan mobil. Namjoon juga kembali diam, sedikit bersyukur bahwa kramnya sudah mulai mereda.
"Sudah berapa lama perut Tuan sering kram?"
"Aku tidak yakin, sepertinya sekitar lima hari."
"Maaf jika pertanyaan saya terdengar lancang Tuan, tapi apakah istri Tuan sedang hamil?"
Namjoon tersentak, "Maksudmu?"
"Saya pernah mendengar kasus yang sama seperti Tuan, sering mengalami mual dan kram perut. Tetapi itu semata-mata terjadi karena istrinya sedang mengalami hamil."
Namjoon tidak menjawab pertanyaan sang supir, tetapi justru menghitung kapan terakhir kali Seokjin datang bulan. Detik itu juga mata Namjoon membulat.
"Terima kasih atas informasimu! Itu sangat membantu!" ujar Namjoon bersemangat.
Pria bersurai coklat madu itu langsung meraih ponsel yang berada di kantung celana dan mulai menekan-nekan layar ponselnya.
"Halo, Yejin Noona? Apa kau sedang sibuk?"
.
.
.
.
.
.
"Jadi bisa kau katakan, kita mau kemana sekarang?"
Seokjin menatap Namjoon lekat, meminta jawaban. Namjoon hanya menunjukkan senyum yang dikulum, membuat lesung pipinya semakin terlihat.
"Aku akan memberikan jawaban saat kita hampir sampai ke tujuan. Jadi silakan pakai sabuk pengamanmu, sayang." ujar Namjoon lembut.
Seokjin menghela napas, "Jika kau tak memberikan jawaban kemana kita akan pergi, kau akan membuatku mati khawatir karena meninggalkan anak-anak di rumah, Joon-ah."
"Kau tidak percaya pada Kyungmin?"
"Hei, bukan begitu!"
"Kalau begitu, percayakan semuanya pada Kyungmin, okay? Aku yakin tidak akan ada hal buruk terjadi di rumah. Kyungmin juga suka dengan anak-anak, kan?" ucap Namjoon. Tangannya meraih tangan Seokjin dan memberikan usapan ringan sebagai penenang.
"Baiklah, mari kita berangkat sekarang."
.
Selama perjalanan, Seokjin hanya menatap jalanan dalam diam. Namjoon sendiri memilih untuk berkonsentrasi pada jalanan sambil sesekali bersenandung mengikuti lagu yang diputar di radio. Tidak membutuhkan waktu yang lama hingga akhirnya mobil Namjoon menepi tepat sebelum pintu masuk sebuah rumah sakit.
"Joon-ah, mengapa kita ke sini? Siapa yang sakit?" tanya Seokjin begitu menyadari di mana posisi mereka saat itu.
Namjoon tak lantas menjawab. Ia menarik rem tangan terlebih dahulu, melepaskan sabuk pengaman miliknya, lalu menghadap ke arah Seokjin. Menatap Seokjin tepat di mata cokelatnya.
"Sayang," ucap Namjoon perlahan, "Apa kau ingat kapan terakhir kali kau datang bulan?"
Sejenak Seokjin terdiam. Berusaha mengingat kapan terakhir kali dirinya kedatangan 'tamu' bulanan. Lalu mata bulatnya membelalak.
"Kau terlambat dua minggu dari siklus bulananmu, aku benar?" tanya Namjoon memastikan. Seokjin tak menjawab. Malah menatap Namjoon dengan pandangan tak percaya.
"N-Namjoon…" gumam Seokjin dengan suara sedikit bergetar. Namjoon menangkup pipi Seokjin dengan tangan kanannya.
"Kita akan tahu kebenarannya nanti. Aku sudah membuat janji dengan Yejin Noona dua hari yang lalu." jelas Namjoon sambil menggerakkan roda kemudi. Seokjin masih terdiam dengan perasaan tak menentu. Ia jelas shock karena baru menyadari dirinya terlambat datang bulan hari ini. Tetapi ada perasaan gembira yang tidak bisa digambarkan di lubuk hatinya.
Namjoon menggandeng tangan Seokjin erat ketika mereka berjalan memasuki rumah sakit. Berjalan menuju poli kebidanan dan kandungan, lalu berhenti di meja pendaftaran.
"Aku sudah membuat janji dengan Dokter Lee." ujar Namjoon.
Suster di meja pendafataran itu tersenyum, "Atas nama siapa?"
"Kim Seokjin."
"Baik, silakan tunggu sebentar, saya akan memberitahu Dokter Lee." ujar suster tersebut sambil mengangguk.
Hanya menunggu sekitar tiga menit, Suster itu telah kembali dan mengarahkan Namjoon serta Seokjin ke ruang praktik Yejin.
"Hai Seokjin apa kabar!" pekik Yejin saat mereka telah memasuki ruangan. Wanita itu berjalan menghampiri Seokjin dan memberikan pelukan ringan.
"Aku baik, Eonnie. Senang bisa melihat Eonnie lagi." balas Seokjin tersenyum.
"Kau tak mau menyapaku, huh?" Namjoon yang berada di belakang Seokjin bersuara.
"Aku sudah menyapamu dua hari yang lalu, Namjoonie." ujar Yejin sambil menjulurkan lidah. Namjoon memutar bola matanya.
"Ah mari duduk dulu. Aku sudah mendengar cerita Namjoon lewat telepon kemarin. Apa benar kau sudah terlambat datang bulan hingga dua minggu?"
"A-aku sebenarnya tidak yakin… karena Namjoon baru menanyakannya tadi pagi dan aku tidak begitu memperhatikan siklusku akhir-akhir ini." jawab Seokjin ragu. Yejin mengangguk.
"Baiklah, silakan naik ke kasur. Aku akan memeriksa perutmu."
Seokjin menurut. Ia mengikuti Yejin yang sedang menyingkap tirai kamar periksa. Sementara Namjoon hanya menatap mereka yang menghilang setelah Yejin menutup lagi tirainya.
Namjoon menghela napas. Sedikit gugup meskipun ini bukan pertama kalinya ia mengantar Seokjin ke dokter kandungan. Tetap saja ada perasaan menggelitik di perutnya dan perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Namjoon tidak berbohong bahwa ia juga merasa takut jika Seokjin sedih karena kesibukannya akan semakin bertambah, meski Seokjin berulang kali berkata ia tidak merasa terbebani dan malah senang dengan kehadiran anak-anak mereka.
Sekian menit berselang, Namjoon masih menatap tirai itu. Ia hanya bisa mendengarkan suara Yejin yang sesekali tertawa dan suara pelan milik Seokjin. Namjoon sedang memperhatikan kalender di meja Yejin ketika wanita bersurai sepunggung itu menyingkap tirai. Mempersilakan Seokjin keluar terlebih dahulu, kemudian mengikutinya dari belakang.
"Selamat Namjoon, kau akan menjadi Ayah lagi. Seokjin sedang mengandung sekitar enam minggu saat ini." ucap Yejin tersenyum. Namjoon membalas senyumannya dengan senyuman yang tak kalah lebar. Di sebelahnya, Seokjin baru mendudukan diri sambil menyeka air matanya, terharu.
"Dan tahan sebentar pelukan bahagia kalian, aku akan memberi resep untuk vitamin agar kandungan Seokjin kuat dan beberapa vitamin lainnya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku harap Seokjin tidak melakukan pekerjaan berat dan jauhkan dia dari stress. Sisanya kalian sudah tahu apa yang harus dilakukan."
Yejin menyerahkan selembar kertas dengan tulisan yang lumayan sulit dibaca. Namjoon sudah mengangguk, masih dengan senyum lebar di wajahnya.
"Sebenarnya aku sedikit heran. Kenapa yang menyadari kehamilanku malah Namjoon duluan?" akhirnya Seokjin menyuarakan pertanyaan yang sedari tadi ia tahan.
"Oh, soal itu," Yejin melirik Namjoon yang sekarang terbatuk-batuk, "Dua hari yang lalu ia menghubungiku dan bertanya tentang gejala yang ia alami… dan siklus datang bulanmu yang terlambat. Aku tidak mau memberikan harapan palsu pada kalian, jadi kusuruh saja sekalian ke sini."
"Yeah ini karena cerita supir kita, Jinnie. Ia berkata bahwa gejala yang kualami mirip seperti ngidam pada orang hamil. Biasanya itu terjadi karena istri mereka sedang hamil." kali ini Namjoon yang menjawab.
"Yang dialami Namjoon bisa disebut sebagai sindrom couvade. Ada penjelasan medis mengenai hal ini, tapi sangat membingungkan dan aku sendiri lebih senang memberikan jawaban bahwa sindrom tersebut bisa terjadi karena besarnya rasa cinta kalian berdua."
Namjoon menatap Seokjin dengan penuh rasa sayang, begitu juga sebaliknya. Sementara Yejin menatap mereka dengan senyum cerah meski dalah hati ia ingin sekali memutar bola matanya jengah. Ingin rasanya ia menghilang dari sana saat ini.
Hey, dokter juga manusia, bisa iri juga.
"Oh ya, kira-kira berapa lama aku akan mengalami morning sickness dan kram perut?"
Yejin menggedikkan bahunya, "Itu sih tergantung. Coba tanya pada Seokjinnie berapa lama ia mengalami ngidam."
Seokjin meringis, "…hingga akhir trisemester pertama…"
Saat itu juga wajah Namjoon memucat.
.
.
.
.
.
.
Continued?
