"Ayolah, mate. Ini tidak seburuk kedengarannya…"

"Tidak akan!"

"Weasley benar. Ini demi kebaikan kita bersama, Potty".

"Kubilang tidak! Dan berhenti mengataiku, Parkinson!"

"Apa, Potty?" Smirk.

"Kau—"

"Lakukan atau kusebarkan rahasiamu. Tiga hari yang lalu kau—"

Blush. "Diam kau!"

"Sudahlah, Harry. Tidak ada—"

"Ikut atau rahasiamu tersebar. It's up to you, Potter."

"Fine!"


Not so Bad

A fanfiction by Lilgami

Harry Potter © J.K. Rowling

Warning: OOC, Typos, Un-beta-ed, Newbie


Wajah Ron memerah semerah rambutnya, tangannya pun terkepal keras. Harry hanya bisa tutup mulut dan mengerenyitkan dahinya melihat ekspresi Ron.

"Kalian benar-benar tidak akan percaya, Mal—maksudku Draco, dia membantuku mengerjakan perkamen ramuanku! Bahkan aku tidak pernah memintanya dan hasilnya seratus persen tepat!" ujar Hermione berapi-api.

Hermione memanggil Malfoy dengan 'Draco'? Demi kolor Merlin. Semua orang di Hogwarts pasti mengira ia terkena kutukan Imperius dari Malfoy. Dan juga, sejak kapan seorang Hermione, butuh bantuan untuk perkamennya, dan terlebih lagi bantuan itu berasal dari Malfoy?

Hermione kelihatannya tidak sadar dengan perubahan suasana di sekitarnya. Ia terus mengoceh tanpa henti. "Ah! Dan waktu itu juga, dia memberikan sebuah cokelat padaku saat kami patroli! Dia benar-benar berubah!" Senyum tak pernah lepas dari wajahnya.

"Dan juga—"

"Sudah selesai, 'Mione?" Ron menatap ke arah Hermione dengan tatapan menusuk dan dingin. Ron yang biasanya, pasti akan berteriak kalau Hermione sudah gila, terkena kutukan Imperius, dan lain-lain.

Dia pasti sudah lebih dari murka saat ini, pikir Harry.

Hermione langsung terdiam, lalu menatap ke arah Harry. Harry menggeleng pelan. Suasana tegang menyelimuti mereka. Ron terus menatap ke arah Hermione.

Harry menggunakan matanya—katakan sesuatu, 'Mione!—untuk berbicara pada gadis di hadapannya.

"Ku-kurasa, aku akan patroli sekarang. Lalu kembali ke asrama Head."

"Ya, dan sebaiknya kau cepat. Good night." Ron pergi tanpa berbalik. Harry dan Hermione tidak berkata apapun. Mereka langsung memandang satu sama lain begitu Ron menghilang dari pandangan mereka.

"Kau tahu, 'Mione? Kau baru saja mengusik naga yang sedang tidur dengan menggelitikki hidungnya dengan pena bulumu," ucap Harry sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Harry sedang berjalan santai saat bertemu dengan Parkinson. Pagi cerahnya yang bebas tanpa kelas mendadak berubah suram. Dengan cepat, Harry berbalik arah. Ia tidak ingin berurusan dengan gadis Slytherinitu, setidaknya untuk sekarang.

"Tidak secepat itu, Potter." Panggilan Parkinson membuat langkahnya terhenti begitu saja. Seolah ia tak punya tenaga untuk meninggalkan tempat itu. Harry hanya bisa menghela nafas. Percuma ia kabur, Parkinson akan terus mengejarnya.

Harry berbalik dan mendapati Parkinson berdiri tepat di hadapannya.

"Apa maumu?"

"Sudah jelas kan?" ujarnya dengan tatapan bosan.

"Aku sedang tidak ada ide, oke?" Harry mengacak-acak rambutnya, "dan juga, kenapa hanya aku yang memikirkannya?"

Parkinson masih menatap Harry dengan datar, "Kau sendiri yang bilang tidak ingin terlibat langsung, bukan? Otomatis kau menjadi 'otak' rencana ini kan?" Sebuah seringai terkembang di bibir gadis berambut hitam itu.

Harry lagi-lagi menghela nafas panjang. Jika saja Parkinson tidak tahu rahasianya, ia tidak akan perlu terjebak dalam 'perangkap' ini.

Maafkan aku, 'Mione, batin Harry dalam hati.

"Ron? Kenapa kau ada di sini? Dan yang paling penting, mengapa kau dengan DIA?" Harry menunjuk ke arah gadis yang duduk tak jauh dari tempat Ron berdiri.

"Menunjuk-nunjuk seperti itu tidak sopan tahu, Potty," timpal gadis itu dan seringai menghiasi wajahnya.

Ujung dahi Harry berkedut, "Diam kau, Parkinson!"

Gadis yang ternyata adalah Pansy Parkinson, tidak mengindahkan ucapan Harry dengan mengalihkan pandangannya. Namun seringai masih terpasang di wajahnya.

Ron yang sedang bersandar pada salah satu dinding, kemudian berujar, "Kami ingin kau bekerjasama denganmu."

Harry tidak bisa menyembunyikan ketekejutannya."Kami? Maksudmu, kau dan dia? Kau—pasti sudah gila, mate?"

"Mungkin. Tapi ini yang terbaik."

Harry terbengong-bengong. Terbaik? Terbaik untuk apa sampai harus bekerjasama dengan Parkinson? Harry benar-benar dibuat bingung dengan perkataan Ron. Mereka mengatakannya seolah-olah memelihara Hippogriff adalah hal yang wajar.

"Bekerjasama dengan—NYA," Harry kembali menunjuk ke arah Parkinson, "adalah yang terbaik?" jerit Harry histeris. Sedangkan Ron? Dia hanya mengangguk santai. Ah—kenapa sifat mereka ikut menjadi tertukar?

Parkinson menyilangkan tangannya di dadanya, masih memandang Harry dengan tatapan bosan.

"Oh ayolah, mengapa para Griffindorks harus selalu histeris?" cemoohParkinson.

Harry menatap tajam Parkinson. "Harry, kami ingin kau membantu kami menjauhkan Hermione dari Malfoy," ujar Ronsebelum Harry sempat membalas ucapan Parkinson.

Suasana menjadi hening seketika. Tidak seorang pun dari mereka yang membuka mulut.

"Menjauhkan mereka?" ujar Harry memecah keheningan.

Parkinson hanya memutar bola matanya. "Kau diam selama itu hanya untuk mengatakan itu? Demi Salazar…" Harry tidak menanggapi ucapan gadis itu. Ia masih sibuk berfikir. Harry tahu, hubungan Hermione dan Malfoy membaik sejak mereka berdua menjadi Head. Awalnya tentu aneh, melihat mereka yang tiap kali bertemu selalu melempar cemooh satu sama lain, kini malah menjadi akrab seolah tak terjadi apapun di masa lalu.

Harry memang membenci Malfoy—lebih tepatnya kesal, karena ia tak pernah sebenarnya benci kepadanya. Tapi melihat apa yang terjadi pada hubungannya dengan Hermione, Harry tak bisa memungkiri bahwa inilah yang ia inginkan. Perdamaian.

Namun sayangnya, dua orang di hadapannya tak berpikiran sama dengannya. Ia menggacak-acak rambutnya yang tak pernah bisa rapi. "Kau hanya perlu menjawab 'ya', Potty. Kami akan terus mendatangimu sampai kau bersedia." Parkinson mulai kesal dengan Harry yang tak kunjung setuju.

Ron terus memandang sahabatnya itu. Ia seperti bukan Ron yang biasanya, sekarang ia terlihat begitu tenang dan sabar. Ia bahkan sama sekali tidak menggunakan nada yang memaksa sekalipun. Inilah yang membuart Harry ragu.

"Maaf, aku tak bisa membantu kalian." Harry pergi begitu saja. Ia melangkah dengan cepat. Ia tahu walau sekarang ia menolak, mereka pasti akan kembali dan membuatnya bergabung dengan mereka.

Dan sayangnya, Harry tidak tahu bahwa mereka hanya butuh lima menit setelahnya, untuk membuat ia bergabung.

Dilema. Harry benar-benar dalam dilema. Ia tak ingin memutuskan hubungan baik antara Hermione dengan Malfoy, namun di satu sisi ia terlanjur setuju dengan ajakan Ron. Seandainya Parkinson tidak tahu 'rahasia'nya, ia pasti sudah menolak mereka tanpa pikir panjang. Sayangnya, mereka berdua-lah yang memegang kartu as.

"Berpikir keras tidak akan membuatmu menjadi pintar, Potter." Oh—Harry kenal betul suara itu. Arogan, penuh percaya diri, namun berkharisma. Siapa lagi kalau bukan salah satu sumber dilemanya, Draco Malfoy—the slytherin's prince.

Harry menahan emosinya. Mendapat detensi karena membuat keributan di Perpustakaan bukanlah hal yang menyenangkan. Ia lebih memilih menggosok pantat kuali, dibanding harus membersihkan buku-buku berdebu itu ditambah omelam Madam Pince. Tidak, terimakasih.

"Apa maumu, Malfoy? Apa kau tidak sibuk, Head Boy?"

Malfoy menyeringai—betapa Harry benci melihat seringai itu. "Aku memang sibuk. Sangat sibuk, bisa dibilang. Tapi melihatmu sendirian di tempat ini tanpa pengikut setiamu, bukan hal yang patut untuk dilewatkan. Mereka mencampakkanmu—eh, Potter?"

"Begitu terobsesinya kah dirimu akan diriku, Malfoy?" Malfoy mengerenyitkan dahinya mendengar perkataan Harry.

"Well—kau selalu memperhatikan apa yang kulakukan. Jangan-jangan—," Harry menyeringai kecil ke arah Malfoy , "—kau penggemar rahasiaku?"

Entah apa yang merasuki Harry hingga ia berbicara seperti itu kepada Malfoy. Sumpah dan serapah yang tak pernah absen Harry ucapkan tiap ia bertemu musuh abadinya itu, mendadak menghilang tak berbekas. Digantikan oleh seringai. Dan reaksi Malfoy? Ia sedikit terperanjat melihat seringai Harry, namun dengan cepat ia mengendalikan dirinya dan memutar bola matanya lalu mendengus. "You wish, Potty."

Ia melangkah pergi meninggalkan Harry. Harry hanya mengedikkan bahunya dan berusaha kembali fokus pada buku yang ada di hadapannya. Ia belum menyelesaikan perkamen Transfigurasi-nya yang masih kurang 2 inchi lagi. Namun setelah beberapa saat, matanya tetap terpaku pada baris dan halaman yang sama. Tidak ada satu katapun yang diingatnya.

Harry meletakkan kacamatanya dan memijat perlahan pelipisnya yang terus berdenyut. Pertemuannya dengan Malfoy barusan membuatnya tak tenang. Pertemuan mereka seolah ingin mengingatkan Harry bahwa ia harus melaksanakan misinya. Senyum ceria Hermione ketika bercerita tentang Malfoy, seketika terbayang dibenaknya. Tegakah ia menghapuskan senyum itu?

Sesuatu telah terjadi, ujar Hermione dalam hati begitu ia tiba di ruang rekreasi asrama Gryffindor. Ron terlihat santai di depan perapian sembari menikmati segelas cokelat panas. Berbeda dengan Harry yang sedang sibuk dengan perkamen-perkamennya bersama dengan Neville, Dean, dan Seamus. Sungguh pemandangan yang aneh. Terlewat aneh malah. Harusnya Ron saat ini sudah berteriak-teriak, menyumpahi perkamennya, dan sibuk membuka-menutup bukunya berulangkali. Tapi sekarang? Ia malah terlihat tak memiliki perkamen-perkamen yang harus ia kerjakan disaat-saat terakhir. Seperti yang biasa ia lakukan.

"Hai, semuanya." Serentak, semua kepala menoleh ke arahnya. Harry dan Seamus tersenyum lebar, Neville tersenyum kecil dan Dean segera kembali ke perkamennya. Sedangkan Ron? Hanya mengangkat cangkirnya dan kembali tenggelam menikmati ketenangan dalam dunianya.

Pang—Hermione merasakan dadanya berdenyut sakit. Sesuatu telah merubah kelakuan sahabatnya. Walaupun selama ini ia selalu berharap Ron berubah menjadi sedikit terkendali. Tapi sayangnya, bukan perubahan seperti ini yang diharapkannya. Ini terlalu drastis.

Neville yang sejak tadi mengamati raut Hermione, menyikut-nyikut rusuk Harry pelan. Harry yang merasa terganggu, mengangkat wajahnya dari perkamennya dan melihat ke arah pandangan Neville. Ia tidak bisa membaca raut Hermione yang memandang Ron. Aura tidak mengenakkan pun menggantung di sekitar mereka.

"'Mione," ujar Harry memecah keheningan, "bisa bantu kami mengerjakan perkamen?".

Hermione mengerjapkan kedua matanya sesaat sebelum berkata, "Tentu." Ia kemudian bergerak menuju tempat Harry.

Tanpa mereka sadari, semenjak tadi Ron mengamati gerak-gerik mereka semua, terutama Hermione. Sebuah senyuman kecil tersungging di wajahnya. Menandakan kepuasannya menyaksikan raut keterkejutan Hermione. Ia menyesap kembali cokelat panasnya. Menikmati tiap teguk cokelat yang mengalir pelan menuju kerongkongannya.

Hermione yang ternyata juga memperhatikan tindak-tanduk Ron semenjak ia duduk bersama Harry, berbisik pelan, "Ada apa dengan dia? Dia terlihatseolah baru meminum Felix Felicis. Apa yang kalian lakukan?"

Dean mengangkat bahunya. "Kalau yang kau maksud dengan dia—adalah Ron, kami tidak tahu. Dia sudah seperti itu sejak sore tadi."

"Dan hal yang paling mengerikan adalah, dia tersenyum," lanjut Seamus.

"Dan sejak kapan Ron tersenyum, menjadi mengerikan?" Hermione mengangkat satu alisnya.

Neville menghela nafas. "Itu akan jadi mengerikan kalau dia tersenyum ke arah Parkinson! Oh Tuhan, kukira aku akan mati di tempat saat melihatnya…"

"Parkinson?"bisik Hermione tertahan. "Maksudmu, Pansy Parkinson?"

Dean mengangkat kedua bahunya, "The one and only."

"Dan bukan hanya kami saja yang melihatnya, semua orang di koridor melihatnya dengan sangat jelas," timpal Seamus dengan penuh penekanan.

"Dan aku yakin seisi kastil pasti sudah mengetahuinya…" tambah Dean.

Hermione tercekat. Sesuatu pasti telah terjadi. Bagaimana mungkin Ron tersenyum kepada Parkinson? Yang lebih tidak masuk akal lagi, dihadapan banyak orang? She is a bloody Slytherin, for God's sake! Sungguh tidak masuk akal kalau Ron bisa berakrab-ria dengan para Slytherin.

Dan Hermione tidak akan melewatkan hal ini begitu saja. Ia akan menyelidikinya. Pasti.

"'Mione? Ada apa?" ujar Dean sambil melambaikan pena bulunya di depan Hermione.

Hermione tersadar dari lamunannya dan berkata, "Tidak apa-apa. Oke, sampai mana kita tadi?". Lalu melanjutkan kegiatannya yang tertunda.

Sebuah seringai kembali terukir di wajah Ron. Oh, betapa bahagianya ia saat ini.

"Kuakui, rencanamu ini benar-benar bagus, Potter," ujar Parkinson sambil tersenyum kecil. Bahkan ia memanggil Harry dengan Potter, bukan Potty seperti yang biasa ia lakukan. Harry mendesah pelan. Ia tidak tahu harus membalas apa ucapan Parkinson. Parkinson memang memujinya, memuji rencananya yangbrilian—itu kata Ron, namun bukan pujian yang inginkan. Tidak seharusnya ia mencetuskan ide tersebut kepada mereka. Salahkan mulut besarnya yang tidak bisa tidak menyampaikan apa yang dipikirkannya.

"Kenapa kau muram, Mate? Berkat idemu itu, Hermione sekarang semakin sering bersama dengan kita. Itu bagus bukan?" Ron tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk bahu Harry.

Parkinson berjalan mendekati Harry. "Bahkan Draco yang cuek itu sampai bertanya padaku tentang kejadian koridor itu. Benar-benar mengesankan!"

Harry kembali mendesah. Padahal sebenarnya ia tidak ingin terlalu terlibat, namun karena ide manisnya itu, Harry yakin Ron dan Parkinson tidak akan melepaskannya dengan mudah. Siapa bilang menjadi licik itu mudah? Kali ini Harry harus mengakui bahwa menjadi licik layaknya para Slytherin bukanlah hal yang mudah dan kini ia salut pada mereka.

"Lalu sekarang apa? Just wait and see?" gumam Harry.

"Tentu saja tidak. Aku yakin Hermione tidak akan tinggal diam. Dia lebih sering bersma kita akhir-akhir ini pasti karena dia ingin menyelidiki hal itu. Kita hanya perlu menggiringnya ke arah yang benar…" Ron menyuggingkan senyuman yang menurut Harry, sangat menakutkan.

Parkinson memandang Ron dengan pandangan tidak mengerti. "Maksudmu?"

Ron berjalan mendekati Parkinson. Parkinson masih memandang Ron kebingungan. Begitu juga dengan Harry. Ron berhenti begitu ia tepat berada di depan Parkinson.

"Berkencanlah denganku, Pansy," ujarnya dengan senyuman menghiasi wajahnya.

What the—?

Hermione berjalan cepat—nyaris berlari, di tengah koridor yang penuh dengan murid, menuju asrama Gryffindor. Sempat beberapa kali ia menabrak beberapa murid, ia tetap melanjutkan acara jalan cepat—setelah meminta maaf tentunya. Furious. Kata itu sangat jelas menggambarkan keadaan Hermione saat ini. Bagaimana tidak? Barusaja ia mendengar bahwa Ron berkencan dengan Pansy Parkinson! Apa Ron sudah gila? Minggu lalu, mereka baru saja saling menyapa satu sama lain—dengan senyuman, dan sekarang mereka sudah berkencan? Yang benar saja!

Ia mengucapkan password dengan cepat dan melesak masuk begitu lukisan itu mengayun ke dalam, nyaris membuat anak kelas 3 yang berada di balik lukisan itu terjengkal jatuh. Ia bahkan tidak meminta maaf atau sekedar menoleh. Tujuannya hanya satu, memastikan kebenaran berita itu.

Dilihatnya Dean dan Neville yang sedang bermain exlploding snap di pojok ruang rekreasi. Didekatinya mereka berdua.

"Di mana Ron?" ujarnya cepat. Dean dan Neville menoleh kaget. Hermione kelihatan sangat tegang. Dan Hermione yang sedang tegang bukanlah hal yang menyenangkan. "Kubilang, di mana Ron?" ulangnya.

Neville bergidik ngeri. "Kami tidak tahu, 'Mione…" jawab Dean dengan menghela nafas.

"Lalu Harry? Di mana dia?" tanyanya lagi.

"Kurasa dia ada di kamar. Dan, 'Mione, tenanglah. Kau menakuti Neville," ujar Dean. Ia menggelengkan kepalanya melihat ekspresi Neville yang seolah melihat neneknya berdiri di hadapannya.

Hermione melesat ke atas, tidak peduli dengan Neville yang memucat dan nyaris pingsan. Dibukanya dengan kasar kamar Harry. Harry yang baru saja tertidur, langsung terlonjak kaget dan nyaris terjatuh dari kasurnya.

"Hermione! Bisakah kau mengetuk pintu?" teriak Harry.

"Itu tidak penting! Apa yang terjadi dengan Ron?" ujar Hermione berapi-api.

"Apanya?" balas Harry tak kalah sengit. Otak Harry belum bekerja sepenuhnya, apalagi setelah dibangunkan sekasar itu.

Hermione mendecih. Lalu berjalan mendekati Harry dan duduk di pinggiran kasurnya. "Mengapa ia berkencan dengan Parkinson?"

Harry megambil kacamatanya di meja sebelah kasurnya. "Memang kenapa kalau Ron berkencan dengan gadis itu? Tidak ada yang salah kan?" jawabnya malas-malasan.

Hermione memandang Harry dengan pandangan tidak percaya. "Bagaimana kau bisa bicara seperti itu, Harry? Sahabatmu berkencan dengan Pansy Parkinson! Dia itu—"

"Seorang Slytherin?" potong Harry, "—lalu apa bedanya denganmu, 'Mione? Kau sekarang juga dekat dengan Slytherin. Sang pangeran malah." Harry memandang tajam Hermione. Hermione terperanjat mendengan ucapan Harry. Tidak pernah sebelumnya Harry bicara seperti ini kepadanya.

Hermione berusaha tenang. "Memang. Tapi kenapa Ron harus berkencan dengan gadis itu? Kau tahu kan siapa dia kan?" desisnya.

Harry mengangguk pelan lalu berujar, "Aku tahu, Hermione. Aku tahu. Oleh sebab itu aku yakin Pansy tidak menggunakan Amortentia untuk membuat Ron berkencan dengannya…"

"Kau bahkan memanggilnya Pansy? Harry!" Hermione mengguncang-guncangkan bahu Harry pelan.

Harry menyingkirkan tangan Hermione dari bahunya dengan perlahan. "Dengar, 'Mione. Aku tahu kau khawatir. Apalagi dengan reputasi Pansy yang seperti itu. Tapi kuyakinkan, Pansy tidak seburuk yang kau bayangkan, oke? Aku sudah beberapa kali bertemu dengannya dan dia—lumayan menyenangkan."

"Tapi…"

Harry menggenggam kedua tangan Hermione seraya berkata, "Hei, Ron sudah dewasa. Aku yakin dia tahu apa yang terbaik baginya. Sudahlah—dia akan baik-baik saja."

Hermione tersenyum lemah. "Kuharap kau benar, Harry."

Hermione beranjak dari kasur Harry, lalu keluar dan menutup pintu kamar pelan. Harry mendesah pelan. Tak lama, pintu kamar mandi terbuka, menampakkan sosok Ron di baliknya yang tersenyum penuh kemenangan.

"Kau berhutang cokelat Honeydukes padaku, Mate," ujar Harry tajam.

-TBC-

A/N: Halo semuanya~ ini fanfic pertama saya. Semoga kalian berkenan untuk RnR. please? #puppy eyes attack xDD