=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=

Hate Haze Writerblock

Story © Necro Antharez / Nekuro Yamikawa

Vocaloid © YAMAHA, Crypton Future Media & joined companies

Genre : Fantasy / (Undetermined yet)

Rate : T

.

.

.

=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=

"Sampai kapan kau akan diam memandangi tampilan Microsoft word yang sudah lebih dari lima menit kau buka," lelaki pirang yang duduk di kursi panjang tak jauh dariku mengambil jeda ketika sekaleng minuman bersoda rasa lemon menyumpal mulutnya. Aku meliriknya sekilas dan dia menghela napas lega setelah bibirnya yang bersinggungan dengan metal pembungkus itu terpisah, "tanpa mengetikkan satu pun kata?"

"Entahlah." Aku hanya menarik kembali punggung yang serasa membatu akibat terlalu condong di depan layar monitor LCD notebook yang sudah dua tahun ini ku gunakan. Suara desis halus kipas kecil pendingin perangkat keras di dalamnya terdengar sedikit lebih kencang meski sayup-sayup. Seperti hari kemarin dan kemarin lusa, tak ada satu pun hal di dalam kepalaku yang layak untuk ku tulis.

Beberapa rekan berkata bahwa musik bisa membantu menstimulus dalam membuat karya tulis. Tapi dalam kenyataannya, hal tersebut tidaklah berlaku bagiku. Aku telah mencoba dengan menyumbat telingaku menggunakan earphone, di mana suara merdu sang diva dunia maya mengalun dari sekian daftar lagu yang ku susun di dalam playlist. Namun bukannya inspirasi atau apa yang ku dapatkan. Sebaliknya, justru aku semakin larut dalam permainan tarik suaranya.

Dan di sinilah aku. Seorang dungu di depan kertas putih digital. Termenung dan ditertawakan oleh orang asing yang entah sejak kapan dia tinggal bersamaku.

"Kau tahu," Sekarang dia kembali berkata. Memutar malas kepalanya seraya menempatkan sorotan manik berwarna emas itu pada figurku yang bertopang dagu. Dia mengubah posisi duduknya, yang beberapa saat lalu menumpu kaki kiri di atas lutut dengan salah satu tangan terulur rata di sandaran sofa, menjadi sama sepertiku ─Kedua kaki terentang, dan kaleng terakhir tergenggam di kedua tangannya. "mungkin sedikit berjalan-jalan di luar sana akan memberimu sebuah ide yang menakjubkan."

"Mungkin," ku ulang kembali sepotong dari kata-kata yang dia lontarkan padaku, bernada penakanan yang bermakna aku tak sependapat.

"Mungkin," dan untuk yang kedua. Kali ini berisi pertimbangan.

Dari titik buram penglihatanku, bisa ku tahu dia kembali mengambil seteguk isi minuman yang sudah dia habiskan sebanyak tiga kaleng ─yang di tangannya saat ini adalah kaleng ke empat. Entah berapa kaleng lagi yang bisa dihabiskannya. Suguhkan saja seisi mesin penyedia minuman tersebut, kau pasti bisa mendapati wajah lelaki blond ini berbinar-binar ─yang mana tentu saja sangat out of character dari orang berpenampilan sok keren saat ini.

Satu desahan napas panjang. Pada akhirnya ku setujui juga ide yang dia berikan. Ku lipat kembali notebook berwarna merah gelap di hadapanku, dan aku beranjak dari kursi panjang yang ku duduki. Tujuan pertamaku adalah sebuah taman kecil yang berjarak beberapa blok dari sini. Arena bermain sederhana untuk anak-anak di mana terdapat ayunan, perosotan, kolam pasir dan segala macam hal lain yang bisa mereka mainkan bersama teman sebaya.

Memasukkan benda eletronik berukuran sebuah buku bigboss di dalam tas selempang kecilku, ku langkahkan kaki menuju pintu keluar. Terik matahari segera menyambut kulitku begitu knob ku putar dan daun pintu terbuka lebar. Ah, ya, musim panas.

"Berubah pikiran, huh?" sahutan sebuah suara dari balik punggungku. Tak ku toleh atau ku berikan isyarat lainnya, karena aku tahu dia pasti meyungging senyum yang membuat jemariku gatal untuk mendandani wajahnya ─dan itu tentu menyia-nyiakan tenaga jika kau berniat menggunakannya untuk menerobos siraman ultraviolet dari sang penjelajah langit khatulistiwa.

Pintu pun ku tutup dengan kasar demi mengenyahkan dia dari jangkauan pandanganku untuk sementara. Sembari menghela napas, dan keringat yang mulai terkumpul di pelipisku, kulangkahkan kedua kaki menuju tempat pemberhentian yang telah ku putuskan untuk ku kunjungi.

Sungguh, panas tahun ini memang tak bisa dianggap lawan yang enteng. Entah berapa derajat suhu yang membuat udara tampak menari-nari di atas aspal jalanan. Langit cerah tanpa awan ─dan sialnya juga, tanpa angin berhembus, sukses membuatku seperti seorang pelari marathon di atas track puluhan kilometer. Jaket merah yang ku gunakan turut menjadi bumerang bagiku. Pakaian ini memang mampu menghalau sengatan cahaya langsung, tetapi tetap dia tak bisa berlaku demikian pada panas yang perlahan-lahan merembes hingga memanggang tubuhku.

Rasanya seperti seorang musafir di tengah padang gurun. Jika tidak segera menemukan sebuah oase ─atau dalam kasusku kali ini adalah sebuah mesin penyedia minuman, mungkin aku bisa hilang kesadaran. Berdasar ingatanku, benda tersebut tersedia tak jauh dari taman. Setidaknya aku harus bisa bertahan. Ayolah, tidak lucu untuk anak laki-laki ambruk di tengah terik matahari. Apalagi hanya karena menuju taman bermain untuk anak-anak demi mencari objek karya tulisnya.

Setelah melalui jalanan yang seolah berubah menjadi persimpangan antara surga dan neraka, akhirnya aku bisa bersorak gembira begitu mendapati percabangan jalan yang terakhir. Cukup mengambil rute kiri dan mesin penyelamat para kafilah yang tersesat tersebut akan menampakkan diri di depan mata, begitu juga oase dengan naungan rimbun pepohonan yang bernama taman bermain.

Namun, begitu tumit ini berbelok di tempat yang ku maksud. Sebuah pemandangan membuatku tersentak.

Tepat di atas jalanan beraspal yang tentu suhunya bisa membuat kulit menjerit, sosok berdominasi warna turquoise tertelungkup. Tepatnya, hanya beberapa jengkal dari kakiku. Ku perhatikan dia lebih seksama seraya menghampiri dan berdiri bertekuk lutut di dekatnya untuk memastikan dia tidak apa-apa ─di samping rasa keheranan yang aneh dan muncul secara tiba-tiba di dalam kepalaku.

"He-Hei! Kau tidak apa-apa, kan?!" seruku sembari mencoba membangunkannya dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Saat itulah otakku yang sempat berhenti bekerja akibat overheat kembali menjalankan fungsinya. Mataku yang memperhatikan secara detail dan seksama mengirim pesan visual untuk kedua kali pada perangkat berpikirku tersebut. Dan hasil yang muncul adalah seperti ini, atau kurang lebih.

Pertama, dia anak perempuan. Kau bisa melihat rok pendek berlipat-lipat berwarna hitam, ada corak garis hijau aqua di ujungnya. Kakinya yang terekspos dibalut oleh stocking hitam dengan pola samar-samar ─seperti tuts-tuts keyboard piano─ hingga menyisakan sedikit dari bagian paha, dan benda itu sendiri seperti menyatu pada sepatu hitam ber-sol ─hijau aqua juga─ yang dia kenakan.

Kedua, dia mengenakan kostum Hatsune Miku. Itu sangat mudah dikenali. Baju berwarna abu-abu tanpa lengan. Di bagian ujung kerah baju dan lingkar lengan terdapat pola gelambir kecil-kecil berwarna turquoise, senada warna rambut panjang di kuncir dua yang menjuntai dan kini berserakan di sekitar tubuh kecilnya. Sebuah headset menyumpal telinga dan penutup lengan berwarna hitam berpola seperti desain pad keyboard DX100 ─sesuai info yang ku tahu dari wikia. Serta tato di lengan kiri bertuliskan nomor seri Miku saat di rilis, "01", lengkap dengan nama di bawahnya.

Ketiga, dia benar-benar mencengangkan! Alasannya? Tidak lain dan bukan adalah kedetailan gadis ini dalam mendandani dirinya semirip mungkin calon tokoh utama dalam karya fanfiksi yang ingin ku buat. Dari slide di headset yang dia kenakan. Layar Display kecil seperti pada kalkulator, bertuliskan "VOCALOID" di bawahnya ; terletak di bagian dada kiri [aku bisa melihat sebagian akibat posisi badannya yang sedikit miring.] dan di bawah pad DX100 yang ada di lengan. Lalu pengatur pitch berbentuk scroll di bagian atas sarung lengan yang sepertinya berfungsi sebagai pengait ─atau kurang lebih begitulah perkiraanku.

"Ga-gadis ini benar-benar mengagumkan." Bisikku sembari menelan ludah. Aku tak pernah melihat secara langsung seorang cosplayer, namun pengalaman pertamaku saat berjumpa salah satu di antara mereka benar-benar memberi kesan yang sulit diungkapkan.

Mengerikan! Maksudku… dalam artian sangat kagum. Aku seperti melihat seorang Hatsune Miku keluar dari layar saat PV live konsernya ku putar. Eh, tunggu! Bukan waktunya untuk mengagumi penampilan gadis malang ini!

"Hei! Kau tidak apa-apa, kan?! Katakan sesuatu!" ku goyang sekali lagi tubuhnya. Kali ini dia sepertinya bereaksi, aku bisa melihat jemari berkuku diwarnai serba turquoise bergerak-gerak pelan dan suara "uuu…" dari mulutnya. Bodoh sekali, dia pasti sedang lemas karena panas dan dehidrasi entah untuk berapa lama! Seperti tahu harus bertindak apa, kedua mataku bergulir pada satu objek yang sempat ku lupakan. Mesin penyelamat!

"Tunggu sebentar!" seruku seraya meninggalkannya sejenak. Kedua kakiku kemudian secara otomatis menjejak tanah sekuat tenaga meski jarak antara aku dan mesin minuman tersebut hanya lima meter.

Tergopoh-gopoh saat merogoh saku celana untuk mencari beberapa keping recehan, setelah ku dapat apa yang ku cari dalam kantong celanaku, ku masukkan tiga pecahan kecil tersebut ke dalam slot. "Eh?! Isinya hanya minuman soda rasa lemon?!" perhatianku sempat teralihkan oleh keganjilan daftar isi mesin ini di balik sekat kaca. Bayangan si gondrong itu pun kembali melayang di dalam kepalaku, tertawa berguling-guling. Sialan.

Terpaksa, ini bukan saatnya terpengaruh hal sepele semacam ini. Begitu tombol ku tekan, tiga kaleng minuman kegemaran makhluk rakus itu akhirnya menggelinding turun. Ku raih ketiganya sekaligus dalam jepitan lengan dan kembali ku hampiri gadis yang sekarat tadi.

Suara desis yang nyaring terdengar ketika tutup kaleng ku buka. Ku angkat sedikit tubuhnya dan ku sandarkan padaku agar ku bisa lebih mudah memberinya minuman ini.

Tetapi,

"A-APA!" siapa pun pasti akan dibuat kehilangan denyut jantung jika dia orang yang mengenal Hatsune Miku, lebih-lebih fans beratnya. Mimpi apa aku semalam? Dia sungguh seperti seorang Hatsune Miku yang asli! Kulitnya yang putih bersemu merah muda [mungkin akibat suhu panas], Wajah bulatnya, hidungnya, bibir mungilnya, bulu mata lentik yang menyapu pipi saat kelopak mata itu terpejam.

Lagi-lagi ku telan ludahku dengan susah payah. Ku dekatkan minuman kaleng yang tadi ku buka ke mulutnya dan mencoba untuk menuangkan sedikitnya seteguk.

Bibir itu begerak-bergerak sedikit saat dinginnya ujung besi bersinggunggan dengan kulitnya, begitu juga dengan alisnya yang ikut berkerut.

"Gluk… gluk… gluk…" suara cairan dingin di dalam kaleng bergerak menuruni kerongkongannya.

"Hei, kau sudah bisa bangun, kan?" aku menatapnya penuh khawatir. Seperti sebelumnya, suara "uuu…" lemah itu ku dengar. Perbedaannya, sekarang ia mulai membuka mata yang sejak tadi terpejam. Perlahan, selaput tipis yang melindungi organ pengelihatan di baliknya itu pun terbuka.

Seperti dugaanku, ia juga bermata turquoise ─atau mungkin akibat dari efek soft-lense khusus yang dia kenakan? Entahlah, yang pasti Itu benar-benar membuat degub jantungku naik beberapa ketukan.

"Hei siapa namamu? Dari mana asalmu?"

Pandangan gadis itu terlihat tidak fokus, meski begitu dia berusaha mendongakkan sedikit kepalanya saat mendengar pertanyaanku. Beberapa detik kemudian, dia berkedip-kedip. Mengamati wajahku seperti menatap makhluk asing, lalu memasang ekspresi… ketakutan? Atau…

"Kyaaa! Mesum!" satu kata yang tak ku duga akan dia teriakkan saat tersadar dari kondisi dehidrasi parah. Tanpa peringatan atau apapun, sebuah bogem, ─ya, benar, bogem! bogem mentah!─ dia layangkan tepat ke wajahku. Dalam jangkaun mati seperti ini, serangan kilat semacam itu tak mungkin lagi bisa aku hindari. Aku hanya bisa mengumpat dalam hati menunggu sepersekian detik yang berlangsung lama seperti dalam adegan film matrix, di susul pangkal empat jemari yang terlipat berkolisi dengan tulang pipiku.

"BUAGH!"

Aku tak menyangka bunyinya sebegitu renyah. Rasa perih juga tak menunggu lama untuk mengantri menambahkan rasa. Entah mengapa sekarang bayangan si gondrong pirang itu lagi-lagi muncul di kepalaku dan tertawa. Jika ku ingat-ingat, minuman lemon ini memang kegemaran si mesum itu. Apa mungkin juga minuman tersebut membuatnya berpikir bahwa aku adalah dia? Yang benar saja, mana mungkin, kan? Otakku pasti sedikit miring sehabis benturan barusan ─hmm, apa mungkin efeknya bisa sampai menjangkau sampai sana?

"Si-siapa kau! Meng-mengapa kau tiba-tiba meme-", gadis itu sekarang melepas diri dari sandarannya, bisa kurasakan beban ringan di perutku tak lagi ada di sana.

Pengelihatanku sedikit kabur saat ini. Ku gelengkan sedikit kepalaku sembari mengusap tempat di mana dia memukulku. Setelah titik fokusku kembali, ku dapati dia tengah memeluk dirinya sendiri dengan mata sembab dan pundak yang bergidik. Ya ampun, kau pikir aku ini apa? huh! Tidakkah kau lihat kaleng minuman yang barusan kau habiskan setengah isinya masih tergenggam di tanganku?

"me-memelukku…"

"Puff!"

Apa itu tadi? Special effect? Apa aku sekarang sedang berada di dalam sebuah manga? Ku lihat asap tipis melayang-layang di atas kepalanya dan corak semerah padam kepiting rebus mendominasi wajahnya. Kau pasti bercanda.

Ah, jangan hiraukan, pertama-tama aku harus mengakhiri kesalah-pahaman ini. Aku lelaki baik-baik dan bersih dari julukan mesum sepanjang hidupku. Dan rekor itu tak akan pernah aku tanggalkan sampai kapan pun.

Menegakkan tubuh pada posisi berdiri menjulang di depannya, aku mulai menjelaskan pada Miku wannabe ini.

"Dengar nona, siapa pun kau yang keterlaluan mirip dengan Hatsune Miku di sana, aku adalah orang yang menolongmu saat tergeletak kehausan hingga tak bisa bersuara." Sungutku sedikit menaikkan nada. "jika memang seperti ini balasanmu, tahu tadi aku biarkan saja kau di tengah jalan, biar di gilas kendaraan lewat sekalian."

"Eh? Mirip? Hatsune Miku? Aku?" sambil memasang wajah bengong, gadis ini menunjuk wajahnya sendiri, mengucap beberapa kata. Sebelah alisnya terangkat. Singkat saja, keheranan. Apa kepalanya juga mengalami hubungan arus pendek? Dia seperti orang ling-lung yang lupa sedang ber-cosplay menjadi seorang virtual diva bermilyaran penggemar ─dan sukses besar dalam melakukan hal tersebut.

"Apa maksudmu?! Aku Hatsune Miku! Kau pikir ada berapa Miku di dunia ini?!" tiba-tiba saja dia meledak. Wow!

"Nona, apa kau sedang tidak tidur sambil berjalan?" sindirku tanpa terpengaruh sedikit pun oleh gertakan kecilnya. Gadis itu lalu menggembungkan pipi dan mengkombinasikan kedua alisnya sehingga melengkung mirip lintasan skateboard yang cekung.

"Apa aku perlu bernyanyi untuk membuatmu percaya?" tudingnya tepat mengarah ke hidungku setelah dia kembali berdiri. Astaga, dia benar-benar pendek. Tinggiku saat ini 169cm, jika aku bandingkan dengannya, kurang lebih terdapat selisih 10-15cm.

"Challenge Accepted." Tukasku seraya memasang pose angkuh ─kedua tangan terlipat di dada.

Dia menatapku sebal. Tetapi sejenak kemudian mulai memperbaiki ekspresi wajahnya dan tampak lebih tenang. Meletakkan tangan di depan dada layaknya seorang penyanyi berkelas hendak melepas suaranya yang merdu, dia mulai menghela napas. Lalu…

"Sekai de ichiban ohime-sama

Sou iu atsukai kokoroete yo ne"

Buset! Ke-ter-la-lu-an…

Sedikit bingung dengan apa yang terjadi? Oke. Lagu world is mine memang memiliki awal lamban, aku sempat tercengang karena baru sadar bahwa suaranya yang sedikit cempreng saat berbicara ternyata menyimpan senjata rahasia seperti ini ─maksudku, sama persis dengan Hatsune Miku yang notabene hanya figur tak nyata!

Namun begitu sampai di kalimat di mana dia harus menaikkan nada, aku mulai mengkhawatirkan keselamatan gendang telingaku.

Sambil bergaya mengikuti lagu tanpa iringan musik, dia terus melantunkan lirik yang dihafalnya di luar kepala.

Tsundere, begitulah sebutan karakter yang dia tampilkan lewat lagu ini.

Selebihnya tidak ada komentar keluar dari mulutku. Gerak-geriknya, permainan olah vokalnya dan terlebih suaranya… apa di kepalanya telah tertanam sebuah program implan yang membuatnya bisa demikian selain ─mungkin─ wajah yang kebetulan presisi dengan sang diva? tapi dua hal yang membuatku segan mengakui seumpama dia benar-benar Miku.

Pertama, MIKU adalah karakter FIKSI.

Kedua, dia telah memukul wajahku bahkan menghinaku mesum. Bayangkan, sudah rusak, mau dikemanakan pula muka ini?

"Sekarang bagaimana, kau percaya, huh!" tantangnya setelah lagu yang ia nyanyikan usai.

Huh, Sombong sekali dia. Aku hanya memandangnya setengah lalu berkata, "Kau bilang dirimu Miku?" dia mengangkat dagu dengan bangga, "aku tak percaya meski pun kau Miku Hatsune terakhir di dunia!"

"Heee?!" gadis itu menarik diri secara dramatis. Bola matanya membulat dan memutih. Salah satu kakinya terangkat, tangan kanannya tertekuk di depan dada seperti hendak menangkis lemparan sebuah benda yang diarahkan padanya. Mulutnya mengotak dan secara keseluruhan, sekujur tubuhnya berjengit. Tunggu? Di mana aku pernah melihat tingkah seperti ini?

"Mengapa kau tidak percaya sih?!" jeritnya kemudian. Sembari berjinjit mencondongkan diri dan merapatkan kedua tangan di samping badan.

"Miku Hatsune itu tidak nyata, kau pasti gila jika bersikeras mengaku sebagai sang diva dunia maya." Sergahku.

Lelah meladeni isi kepala seorang otaku hari ini yang tak ku tahu sudah rusak terlalu parah, ku lewati dia dan menuju sebuah bangku di bawah naungan sebuah pohon. Ku keluarkan notebook ku dan kembali menekan tombol power untuk menyalakannya.

"Apa maksudmu! Aku nyata!" tiba-tiba gadis ini kembali menghampiriku. Dia membentakku dan tampak seperti bisa menangis kapan saja. Kekanak-kanakan sekali.

"Jika kau nyata, kau bukan Miku," tanggapku entang seraya mengklik icon Microsoft word di layar desktop. "karena selamanya Miku tidak akan pernah menjadi nyata." Ku lirik dia untuk kesekian kali. Kerutan heran terbentuk di antara kedua alisnya. Sebelum ia mengucap kalimat protes lain yang membuatku semakin yakin dia gila, ku lanjutkan kata-kataku. "setidaknya untuk saat ini. Teknologi manusia belum bisa, atau mungkin mustahil bisa menciptakan sosok Android dengan kecerdasan tinggi dan reflek sehalus makhluk hidup." Ya, itu adalah kuasa Tuhan. Manusia perlu memanjat langit jika mereka ingin mewujudkan mimpinya. Tanpa bantuan apa pun.

"Jika dia datang dari suatu masa di mana logika mu tak mampu meraihnya." Huh, dia lagi? mau apa dia menyusulku kemari? Diam saja kau di rumah dan nikmati persediaan soda lemonmu. "atau jawaban dari permintaan konyolmu waktu itu,"

"Hei, bocah mata satu, siapa dia?" sejak kapan kau ku ijinkan memanggilku dengan sebutan 'bocah mata satu' huh? Makin lama makin menjengkelkan saja tingkah gadis aneh ini. Ku tatap arah di mana si pirang itu menampakkan diri dan secara bergantian memperhatikan Miku wannabe yang masih memasang wajah sebal.

"jika dia adalah 'Hatsune Miku' yang sebenarnya, lalu apa yang ingin kau lakukan?"

"Hei Beelz, jangan bertele-tele, jika kau datang hanya untuk meledekku lagi sebaiknya kau kuras saja isi mesin minuman di seberang jalan sana." Sumpal mulutmu atau ku permak wajahmu.

"Ha… ha ha ha…" Bukannya pergi, pria jangkung itu malah tersenyum geli. Bahkan bukan hanya aku saja yang di buat jenuh oleh tingkah absurdnya.

"Hei, siapa sih dia, mencurigakan sekali." Gadis itu menoleh padaku dan berbisik tanpa mengalihkan pandangannya dari karakter baru yang muncul di depan matanya.

"Dia Beelzebub. Sebenarnya hanya seekor Steel Chonchon yang sok menjadi salah satu monster kelas tinggi dalam game online yang dulu ku mainkan. Lelaki berambut pirang itu adalah wujud manusianya." Eh? Tunggu dulu. Selama ini bukankah Beelzebub hanya kepribadian lain yang ku ciptakan berdasar sisa-sisa imajinasiku, tetapi bagaimana bisa gadis ini…

"Kau bisa melihatnya?" lanjutku sambil memasang wajah penuh tanya. Gadis itu memutar kepala memperhatikanku dan temperamennya kembali menanjak seperti tadi.

"Apa sekarang kau menganggapku buta?! Jika aku buta, aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi saat wajah mesummu berada begitu dekat denganku!" Mustahil! Sejak kapan?! Hei, seseorang berikanlah aku sebuah penjelasan yang masuk akal. Dan… stop! Jangan bahas hal itu lagi. Lain kali jika kau tergeletak hampir mati, aku akan berjanji untuk berpura-pura tidak melihat apa pun, oke!

"Jadi, akhirnya kau menyadarinya juga ya," Dan ucapan lelaki itu kembali menarik perhatianku padanya. "Kurone?"

.

.

.

=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=

THANKS FOR READ

=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=

A/N : Sekian dari random fic yang muncul saat author mencoba menulis tingkah author sendiri ketika mendapati writerblock seperti ini. Melamun tak kenal juntrungnya dan [mungkin] bercanda dengan Beelzebub di dalam kotak review, private message atau chat.

Seperti biasa, author tidak menjamin kepastian update dari cerita ini.

Sedikit curcol, fict ini sedikit terpengaruh dari gaya penceritaan POV orang pertama yang sering author temukan di dalam light novel yang author baca. Serta idenya terpengaruh dari visual novel yang di buat oleh supplement time yang berjudul Mirai no Kimi to : Subete no Uta ni.

=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=;=

Len : "Lalu nasib kami bagaimana?"

Rin : "Tenang Len, kakakmu ini akan dengan sabar merawat dan mendandani adik perempuan barunya."

Len : "Ti-tidak! jangan!"