Disclaimer : Naruto milik Masashi Kisimoto

..


Kornea lavender wanita bersurai indigo itu hanya terfokus menyorot jalan setapak yang ada di pinggiran sawah. Jalanan itu secara perlahan menguak kenangan manis yang pernah terjadi di tempat itu.

Tersirat kesedihan yang mendalam dalam hatinya ketika dirinya kembali membayangkan bagaimana dia dulu bercanda bersama seorang pemuda di jalan setapak itu.

Hembusan udara sejuk dan cahaya sang surya yang menyinari persawahan di sekitarnya tak jua menyejukkan hatinya yang sekarang terasa mendidih. Air matanya pun secara pelan mulai menggenangi kelopak lavendernya.

Tak terasa sudah satu jam Hinata terus duduk di berugak milik ayahnya itu. Tak luput sedetik pun selama duduknya ia berpaling menatap yang lain.

Sembari duduk dan menyandarkan punggungnya pada salah satu tiang berugak itu, pikirannya terus sibuk mengingat kenangan ketika dirinya tertawa bersama pemuda pemilik surai ke emasan yang sekarang sudah tak bersamanya lagi.

Ke dua sudut bibirnya terangkat pelan ke atas dan air mata yang tadinya tertahan di ke dua manik lavendernya perlahan mengaliri ke dua pipi putihnya, memperlihatkan senyum dalam tangis yang menghias wajah pucatnya. Tak ada suara isakan, hanya deru napas beratnya saja yang terdengar dari rongga pernapasannya.

Sesal seribu sesal sudah sedari tadi menggerayangi hatinya. Menyesal ketika dia dulu mengkhianati pemuda itu dan memilih menikahi orang lain. Hinata masih ingat betul dulu ketika dirinya hanya diam saja, tak merasa bersalah sedikit pun tatkala Naruto keluar dari pintu rumahnya dengan kesal, karena sikap masam yang ia tunjukan pada pemuda itu. Semua itu ia lakukan karna memang dia sudah tidak ada rasa lagi terhadap Naruto.

Salahkah dia? Tidak. Semua itu bukanlah 100% salahnya. Salahkan orang tua Naruto yang dulu tak merestui hubungannya. Salahkan juga pemuda itu yang dulu tak tinggal lagi di sini dan mulai jarang mengunjungi dirinya. Jadi wajar saja jika dia mulai kehilangan rasa dan berpindah mencintai orang lain. Setidaknya begitu pikirnya dulu.

Sampai saat dia merasakan bagaimana rasanya dikhianati. Tatkala dirinya mengetahui suaminya sendiri selingkuh di belakangnya.

Tiba-tiba Hinata meremas jaket hitam yang dikenakannya, memikirkan bagaimana perasaan Naruto yang telah dikhianatinya. Pada akhirnya penyesalan itu hanya kata yang sudah tak ada gunanya lagi. Nasi sudah menjadi bubur, bubur kacang ijo kayaknya mantap gan.

"Hinata!" suara panggilan dari seseorang itu langsung menyadarkannya dari lamunan menyedihkannya. Wanita itu pun menolehkan kepalanya ke kanan dan melihat―Hiashi―ayahnya sedang berjalan ke arahnya sambil menggendong seorang bocah gendut berambut merah 4 tahunan.

Cepat-cepat Hinata segera menghapus jejak air mata di pipi putihnya agar sang ayah tak mengkhawatirkan keadaannya.

Wanita berusia 20-an itu menurunkan kakinya yang ia selonjorkan tadi dari berugak tempat duduknya. Kemudian melangkah mendekati ayahnya.

Setibanya ia di depan sang ayah, ia pun menarik bocah itu dari gendongan ayahnya. Si bocah hanya menganga sambil memperhatikan lekat-lekat wajah sang bunda.

"Tadi anakmu menangis. Ayah sudah tahu di mana tempat nongkrongmu, makanya ayah bawa ke mari. Sedang apa kau di sini Hinata?" tanya Hiashi menatap heran Hinata.

Hinata pun tersenyum palsu ke pada Hiashi, kemudian menjawab, "Tidak ada. Aku hanya ingin bersantai, ayah."

"Hah... Ya, sudah. Ayo pulang. Sarapan dulu," ajak Hiashi seraya berbalik membelakangi Hinata. Kemudian ia berjalan tanpa menunggu jawaban wanita indigo itu.

Hinata pun melangkahkan kakinya mengikuti Hiashi di belakangnya. Tiba-tiba saja wajahnya teralihkan ke arah wajah bocah digendongannya.

"Hmm, anak Ibu sudah makan apa belum?" tanya Hinata sambil tersenyum manis. Bocah itu hanya menggelengkan kepalanya pelan menjawab pertanyaan sang bunda.

"Makan bareng Ibu ya, Gaara?" tanya Hinata lagi sembari mengangkat tangannya, lalu menghapus air liur di sekitar mulut bocah itu. Bocah itu pun mengangguk.

Hinata kemudian mengangkat kepalanya lagi menatap punggung sang ayah, tapi tiba-tiba kornea violetnya segera teralihkan ke arah sungai sepuluh meter di di depannya. Tepatnya agak ke kanan terlihat sebuah balai kecil yang sudah tak jelas bentuknya.

Ya, terkuak dalam ingatannya sosok pemuda itu yang dulu membuatkan balai kecil itu untuk tempat mandinya.

Sebab dari atas jembatan itu―50 meter dari tempatnya berada sekarang―, orang-orang yang sekadar numpang lewat di atas jembatan itu sering kali berhenti atau memelankan kendaraan mereka untuk cuci mata menyaksikan gadis-gadis yang sedang mandi di sungai itu.

Hinata sudah menutupi tubuhnya dengan kain tapi tetap saja pemuda itu bersikeras membuatkan balai kecil itu untuknya. Bagaimana lucunya tingkah pemuda itu yang rela menunggui dirinya sampai selesai mandi setiap harinya.

Wanita itu menundukkan kepalanya, menahan sedih yang sekarang kembali menyayat hatinya. Dan secara tak sadar dirinya mengucapkan suatu kata-kata yang membuat ayahnya sedikit tersentak mendengarnya.

"Kalau saja Ayahmu dia, Gaara. Mungkin namamu sekarang adalah Boruto. Mengingat dulu Ibu dan dia pernah berjanji kalau kami jadi menikah, dia akan memberi nama anak laki-lakinya Boruto," kata Hinata sambil tersenyum menahan getir pada si bocah yang tidak mengerti sama sekali apa yang dimaksud sang bunda.

"Apa maksudmu, Hinata?" Hiashi bertanya seraya berhenti di depan sebuah tangga yang tingginya mencapai 15 meteran, terbuat dari karung yang diisi dengan pasir. Kemudian ditumpuk rapi sehingga membentuk sebuah tangga yang tinggi, tinggi sekali.

"Tidak ada, Ayah. Hanya teringat dengan seseorang," jawab Hinata datar. Hiashi tak mengacuhkan kalimat anak semata wayangnya dan kembali melangkahkan kaki menaiki tangga tersebut diikuti Hinata di belakangnya.

Hinata memandang lekat ujung tangga itu, mengingat lagi kala dirinya terpeleset dari atas tangga itu. Dan pemuda itu yang datang menyelamatkan dirinya. Ah, lagi-lagi Naruto, dan Naruto. Hinata menggelengkan kepalanya ringan, berusaha menepis bayangan pemuda itu dari pikirannya. Tapi, semakin ia menolak, bayangan Naruto semakin kuat mendekam dalam benaknya.

"Ku dengar hari ini Naruto berkunjung ke rumah kakaknya dan akan menginap selama sehari. Apa kau tidak tertarik untuk melihatnya, Hinata?" tanya Hiashi mencoba menebak apa isi pikirannya. Dan benar saja, Hinata langsung menghentikan derap langkah kakinya di tangga itu seraya mengangkata wajahnya memandang sang ayah dengan mata berkaca-kaca.

Bersambung


AN: Hanya sekadar selingan