Hari ini akan menjadi hari yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya—gadis itu sungguh yakin sekali.

Ditatapnya langit-langit gedung itu. Tinggi, putih, dan bersih. Lampu-lampu kristal pun tampak tergantung sambil memancarkan cahayanya. Entah kenapa sang gadis merasa seakan-akan seperti ada ribuan bintang menghiasi langit-langit itu, bahkan sampai tidak menyisakan jeda sedikit pun bagi gelapnya semesta untuk sekadar menyapa manusia-manusia di bawahnya. Seperti terkunci pandangannya, ia tak bisa lepas dari pemandangan itu.

Walaupun bukan itu alasan kenapa ia tak ingin memandang lurus ke depan.

Ia terlalu takut—takut akan sebuah fakta yang harus dihadapinya dengan tegar dan bijaksana. Dunia nyata terlalu kejam, pikirnya. Seandainya ia diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengutarakan satu keinginannya, hanya satu hal yang sangat diinginkannya saat ini, yaitu mengembalikan waktu.

Lalu ia akan dapat kembali ke detik itu—detik-detik terkutuk itu—dan mengubah takdir.

Mengingat itu ingin rasanya ia menangis. Tetapi air matanya kini sudah kering tak bersisa.

Ia hanya mampu menggigit bibir bawahnya saja.

"Nona Mikan, sudah waktunya bagi anda untuk segera naik ke podium." Kata-kata itu akhirnya membuyarkan lamunanya, mengalihkan fokusnya pada sesosok lelaki berpakaian serba hitam. Ia tersenyum pada lelaki itu, yang dikenalnya sebagai bodyguard pribadinya, Tsubasa Andou.

"Oh, sudah waktunya ya? Terima kasih telah mengingatkanku, Tsubasa-kun."

"Sama-sama, Nona."

Saking depresinya, ia bahkan sampai lupa untuk mengingatkan lelaki itu agar tidak memanggilnya dengan embel-embel 'nona', seperti yang biasa dilakukannya.

Ia lalu segera bangkit dari posisinya semula, kemudian berjalan pelan menuju podium di depannya, sambil berusaha keras untuk tak melirik ke arah benda itu. Atau hatinya yang sudah berbentuk kerikil itu akan kembali teriris menjadi debu. Dan ketika ia telah mencapai podium itu serta mengambil posisinya di depan sebuah mic kecil, ia menarik nafas panjang.

Saat ini, detik ini, ia akan mengutarakan semua hal yang mengganjal di dalam dadanya, semuanya, hingga tak tersisa barang secuil pun.

"Dari dulu sampai detik ini—" mulai sang gadis, "—kakakku, Natsume Hyuuga, adalah pacar dan kekasih yang paling kucintai di dunia ini."

Ia dapat melihat dan mendengar seruan kaget yang keluar dari bibir para hadirin dan hadirat di gedung itu.


A Piece of Memories

by Yuuto Tamano


"The hottest love has the coldest end."–Socrates


Inspirated by a Gakuen Alice English fic titled "Moonlight" made by cristofori's dream.

Dedicated to Aline light, who motivated me to make this two-shot fic.


Bagian I

Pertama kali aku mulai menyadari keberadaan kakakku, Natsume Hyuuga, sebagai seseorang yang paling istimewa bagiku adalah di saat aku berusia 10 tahun. Saat itu, aku masih ingat, aku dan kakakku sedang berjalan bersama-sama pulang ke rumah. Sekolah baru saja selesai sepuluh menit yang lalu dan kami berdua berjalan dengan bergandengan tangan, seperti yang biasa dilakukan kakak beradik lainnya. Jalanan saat itu benar-benar sepi. Sambil bersenandung sebuah kutipan lagu, aku menikmati hembusan angin dan daun-daun kuning kecokelatan yang gugur satu persatu.

Aku melepaskan genggaman tanganku dari tangan kakak, kemudian berputar-putar dan menari-nari mengikuti irama angin. Kakak hanya menatapku tajam dan menyuruhku untuk berhenti menari-nari, karena katanya itu memalukan. Tapi aku tak peduli. Aku hanya menjulurkan lidahku pada kakak. Sejujurnya aku senang sekali melihat wajah cemberut kakak saat itu.

"Baka imouto." ejeknya. Intonasi yang kakak gunakan untuk mengucapkan itu sungguh melekat erat di dalam benakku. Sulit untuk kulupakan.

Ketika aku sudah merasa bosan dengan menari-nari dan berputar-putar, aku pun mulai melompat-lompat, berusaha untuk menangkap daun-daun yang jatuh melayang dengan kedua tangan mungilku. Kau mungkin mulai berpikir bahwa aku ini adalah anak yang hiperaktif. Sejujurnya, aku sendiri pun mengakui hal itu.

Bertolak belakang sekali dengan kakakku yang dingin dan pendiam.

Tapi justru kehiperaktifanku itulah yang membuatku sering berlaku ceroboh. Di kala aku hendak menangkap sehelai daun momiji yang melayang cukup tinggi di atasku karena terbawa angin, aku malah menubruk seseorang dan terjatuh karenanya.

"Hey! Sakit tahu!" bentak orang itu.

Aku mendongakkan daguku ke atas dan mendapati sosok tiga anak lelaki yang tubuhnya terasa sangat tinggi bagiku. Aku juga melihat gakuran hitam yang dikenakan mereka—oh, mereka adalah anak SMP. Aku telah mencari masalah dengan anak SMP! Dengan cepat aku segera bangkit dari posisiku, mengibas-ngibaskan rok merah mudaku. Aku benar-benar takut.

"Go-Gomen—"

"Ouch! Ouch! Lihat, tulang lenganku patah tau!" potong anak laki-laki yang kutabrak itu, sambil berpura-pura menggenggam lengannya dengan mimik wajah kesakitan. "Kamu harus bertanggung jawab, gadis kecil!"

"Be-Benarkah? Sekali lagi ma—"

"Kamu harus membayar biaya rumah sakitnya! Sini berikan semua uangmu!" Anak lelaki bermata sipit disebelahnya tak kusangka malah meraba-raba saku rokku. Sedangkan anak lelaki lainnya yang rambutnya dicat pirang membantu temannya dengan menggenggam kedua tanganku.

Refleks, aku menutup kedua mataku. Tawa cekikikan ketiga anak laki-laki itu tertangkap jelas oleh daun telingaku. Ingin rasanya aku berteriak tapi suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Aku sangat takut. Apa yang akan terjadi padaku selanjutnya?

Lalu tiba-tiba saja, aku tak dapat merasakan lagi jari-jemari yang menggenggam erat kedua lenganku, pun yang meraba-raba tubuhku. Merasa heran, aku pun memberanikan diri untuk mengangkat kembali kedua kelopak mataku.

Kedua mata hazel-ku terbelalak, bibirku menganga. Saat itu aku tak begitu percaya dengan apa yang kulihat di hadapanku.

Kakak tengah menghajar mereka dengan tendangan kakinya.

Kakakku yang masih berusia sebelas tahun itu melawan tiga orang anak SMP!

Aku menggeleng-gelengkan wajahku, kemudian memukul kedua pipiku keras untuk memastikan bahwa apa yang kulihat bukanlah sebuah halusinasi.

Akan tetapi, pada detik dimana aku kembali menaruh fokusku tepat ke hadapanku, aku melihat kakakku tengah tergeletak di tanah, dengan kaki-kaki yang menginjak-injaknya. Aku mendengar ketiga anak SMP itu menghujat pada kakak. Mencibir. Melontarkan kata-kata kasar. Dan pada puncaknya, salah satu dari mereka meludahi tubuh kakakku yang sudah babak belur.

"Onii-chan!" teriakku. Air mataku jatuh di saat aku tengah berlari menuju kakakku, hendak menjauhkan ketiga orang itu dari tubuh kakakku. Tapi anak berambut pirang itu malah mendorongku hingga aku terjatuh. Punggung duluan mengenai tanah. Rasanya sakit sekali. Aku semakin menangis menjadi-jadi.

Kemudian, sepertinya Tuhan masih berpihak pada kami, seorang bapak datang melerai perkelahian dan mengusir tiga anak SMP itu. Beliau lalu bertanya padaku dimana rumah kami dan setelahnya langsung membawa kami menuju rumah.

Aku ingat sekali betapa ibuku berseru histeris mendapati aku yang lecek dan terutama kakakku yang babak belur serta tak sadarkan diri. Ibu lalu segera membawa kakak ke kamarnya. Aku hanya mengikuti ibu sambil terus menangis. Aku menangis bukan karena rasa sakit akibat luka yang kudapat di siku lenganku saat terjatuh tadi, melainkan karena aku begitu cemas pada kondisi kakak dan aku yang tak bisa berbuat apa-apa.

Aku terus saja menangis saat ibu sedang mengobati seluruh luka yang ada di tubuh kakak. Setelah selesai, ibu sempatkan untuk menenangkanku, kemudian pergi keluar kamar. Mungkin hendak berterima kasih dan berbicara pada bapak yang telah menolong kami itu. Tapi sampai saat itu pun kakak belum juga sadar dari pingsannya.

Aku terus saja menggenggam tangan kakak. Sambil berdoa agar kakak segera membuka matanya.

Ajaib sekali, beberapa menit kemudian, Tuhan mengabulkan doaku. Kakak sudah siuman! Dan kalimat pertama yang diucapkannya setelah sadar adalah…

"Kau nggak apa-apa, Mikan? Nggak terluka 'kan? Maaf… aku gagal melindungimu."

Aku tak kuasa menahan air mataku yang kini kembali jatuh membasahi kedua pipiku. Dadaku terasa sesak. Kata-kata yang diucapkan kakak dengan suara sengaunya itu sungguh sulit dipercaya.

"Iya, Onii-chan…A-Aku baik-baik saja…" jawabku sambil sesegukan.

Tangan kakak yang dibaluti perban itu kemudian meraih pipiku, menepis bulir-bulir air mataku.

"Syukurlah…"

Sejak saat itu, ya, sejak hari dimana kakak menyelamatkanku dari tiga berandalan SMP itu, pandanganku terhadap kakak seluruhnya mulai berubah. Tanpa kusadari kakak telah menjadi seseorang yang memenuhi ruang di hatiku. Yang akan selalu melindungiku dan berada di sisiku, baik siang ataupun malam.

Sejak hari itu juga, setiap malam, aku selalu menemani kakak tidur di kamarnya.

Kami berdua pun menjadi sangat akrab. Dimana ada aku, disitu ada kakak dan dimana ada kakak, ada aku disampingnya. Kami bagaikan sepasang kembar yang tak ingin dipisahkan. Okay, aku mungkin berlebihan. Tapi aku benar-benar merasa seperti itu. Ayah dan ibu pun tampaknya senang-senang saja dengan akrabnya hubungan kami. Ucap mereka, kami tidak seperti kakak beradik yang lain, pertengkaran kami menandakan betapa akrabnya hubungan kami.

Aku benar-benar sangat bahagia. Dan berharap agar keakraban kami dapat berlangsung selamanya.

Hingga hari itu tiba.

Suatu hari, pada pertengahan bulan Januari dimana salju sedang lebat-lebatnya, untuk pertama kalinya aku melihat pemandangan yang tidak biasa; kakak sedang bertengkar hebat dengan ibu.

Dari balik pintu kamar ibu, aku dapat mendengar suara bentakan ibu pada setiap kata-kata yang hendak dilontarkan kakak. Tanpa melihat pun aku sudah tahu, alis ibu yang pendek itu pasti sedang bertaut dan kedua mata ibu yang irisnya berwarna merah seperti darah itu pasti tengah melotot; seperti itulah ibu saat sedang marah. Lalu kakak—kakak yang wajahnya mirip sekali dengan ibu juga pasti saat ini memiliki ekspresi yang tak jauh berbeda.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Dengan pikiran yang masih dipenuhi dengan pertanyaan semacam itu, tiba-tiba aku mendengar suara keras seperti suara tamparan—ya, suara itu memang suara tamparan. Ibu menampar kakak? Dan tak lama kemudian, pintu geser di belakangku terbuka, memperlihatkan kakak dan tampang menyeramkannya.

Tanpa sadar aku menahan nafasku saat pandangan kami bertemu. Crimson meets Hazel. Kemudian kakak segera mengalihkan kedua matanya menjauh dariku dan berlari kencang menuju pintu keluar. Syal rajutan berwarna merah yang meliliti lehernya tampak terayun-ayun.

"Onii-chan! Chotto matte!"

Namun, kakak seperti yang tuli akan seruanku. Lalu tanpa basa-basi, aku segera mengambil syal berwarna senada dengan milik kakak dan jaket tebal, kemudian berlari secepat mungkin menyusul kakak. Sambil menerobos hujan salju yang turun cukup lebat itu, aku memicingkan kedua mataku, berusaha untuk mencari sosok kakak dengan sweater merahnya di tengah butir-butir putih salju yang berterbangan itu.

Dan aku berhasil menemukannya tengah menyandarkan diri pada sebuah tiang listrik tak terlalu jauh dari kompleks rumah kami.

Aku segera mempercepat lariku. Cukup berat mengingat gundukan salju di bawahku ini sudah setebal mata kaki. Aku terus berlari hingga akhirnya punggung kakak berhasil kuraih.

"Natsume nii-chan!" Aku menepuk punggung itu.

Saat menoleh, kakak tampak seperti yang tidak percaya aku dapat menyusulnya hingga ke tempat dimana ia berada sekarang, terbukti dari tatapan matanya yang melebar itu. Aku pikir, kakak akan marah padaku karena telah mengikutinya di tengah hujan salju ini.

Namun yang selanjutnya terjadi malah lebih buruk dari itu.

Kakak malah mendorong kedua bahuku hingga aku terjatuh. Keras sekali. Hingga aku dapat merasakan sakit di bokongku.

"Apa yang kamu lakukan disini! Kenapa kamu mengikutiku!" serunya dengan intonasi tinggi, hingga pertanyaan-pertanyaan itu terdengar seperti pernyataan di kedua telingaku.

"Onii-chan…"

"Jangan panggil aku seperti itu! Mulai sekarang, mulai detik ini, jangan pernah kamu berani memanggilku onii-chan lagi! Mengerti?" perintahnya, sambil menendangkan gundukkan salju di bawahnya hingga salju-salju itu tepat mengenai wajahku. "Sekarang, enyah kamu dari hadapanku!"

"Tapi—"

"CEPAT PERGI!" teriaknya, membuatku cepat-cepat bangkit dari posisiku dan berlari menjauhi kakak serta tempat itu.

Lagi-lagi, bulir-bulir air mata kembali jatuh dan perlahan-lahan membasahi kulit pipiku. Aku sedikit menoleh ke belakang. Sosok kakak sudah tak terlihat lagi di kedua mataku. Mengetahui itu serentak diriku terjatuh. Lutut-lututku terasa lemas dan anehnya tak bisa berhenti bergetar—seluruh tubuhku tak bisa berhenti bergetar.

Serta merta aku mengusap-usap dadaku. Rasa sesak dan sakit yang memenuhi dadaku ini pun tak kunjung menghilang. Sudah kucoba untuk menepuk dadaku pelan-pelan, tapi rasa sakit itu masih saja ada. Bahkan, semakin menjadi-jadi, membuat kepalaku mendadak terasa pusing. Sakit. Lalu paru-paruku juga sama sekali tak membantuku. Nafasku terasa sesak dan tenggorokanku terasa sakit.

Apa asmaku kambuh?

Dengan kekuatanku yang masih tersisa, aku berjalan pulang menuju ke rumah. Langkahku lambat dan gontai. Tepat ketika aku berhasil meraih gagang pintu depan rumahku, aku kehilangan kesadaranku.

Rasanya begitu gelap dan damai.

Sampai tiba-tiba kejadian antara aku dan kakak di tengah salju itu kembali terulang dan terasa begitu lama. Rasa sesak itu pun kembali muncul di dalam dadaku. Sakit sekali.

Ketika aku terbangun, adalah wajah cemas ibuku yang pertama kali kulihat di kedua mata hazel-ku. Ia segera memelukku dan aku balas memeluk. Berkali-kali kata syukur terucap keluar dari bibir meronanya itu. Ayahku pun tak kalah cemasnya dari ibu.

Ibu bilang, aku pingsan selama dua hari.

Selama itukah?

Ketika kulirikkan mataku, tak sengaja kutangkap sosok kakak yang tampak bersembunyi di balik punggung ayah. Sayang, aku sudah terlalu lelah untuk bereaksi. Aku hanya menatapnya dalam diam.

Lalu kulihat dirinya mengapit bibir bawahnya dan tersenyum simpul.

"Hai, Mikan."

"Hai—" Aku pun membalasnya dengan senyuman. "—Natsume."

Tak ada yang berubah dari hubungan kami sejak itu. Ia tetap menjadi seorang kakak yang dingin dan pendiam. Aku tetap menjadi seorang adik yang periang dan ceroboh. Kami tetap pergi ke sekolah bersama-sama dan pulang ke rumah bersama-sama. Oh, tapi jika kupikir-pikir lagi, ada tiga hal yang berubah dari kami.

Pertama, kami tak lagi seakrab dulu. Entah kenapa ada kecanggungan saat aku hanya sedang berdua bersamanya.

Kedua, aku kembali tidur di kamarku sendiri—aku tak lagi tidur bersamanya.

Ketiga, dan terakhir, kata 'Natsume' telah menjadi cara terbaruku untuk memanggil dirinya. Terus, terus, dan terus untuk selamanya.

Natsume.

Aku pikir dengan memanggilnya seperti itu aku tak akan pernah merasakan sakit di dada ini.

Betapa naifnya diriku saat itu.

Kedua mata cokelatku melebar saat suatu hari aku memergoki Natsume tengah berduaan dengan seorang gadis di taman dekat rumah kami. Melirik dari seragam sailor yang dikenakannya, gadis itu pasti teman sekelas kakak di SMP—ya, saat itu Natsume telah menjadi siswa kelas 3 SMP sedangkan aku baru kelas 2 SMP. Tanpa kusadari aku terus terpaku di tempat itu, di balik sebuah batang pohon tinggi yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat Natsume dan gadis itu berdiri. Kedua mataku seperti tengah menelanjangi mereka—aku terus saja memandangi mereka, tanpa bisa kualihkan fokusku pada hal lain di sekitarku.

Aku menelan ludahku dalam-dalam. Sungguh penasaran akan apa yang sedang dibicarakan mereka.

Langkahku untuk mendekati mereka secara diam-diam langsung saja terhenti ketika aku melihat seulas senyuman kecil tertoreh di wajah Natsume. Lalu kugigit bibir bawahku saat aku tiba-tiba merasakan lagi rasa sesak di dadaku, mungkin karena tanpa sadar aku telah menahan nafasku selama beberapa detik. Tapi sungguh, aku benar-benar terhenyak melihat senyuman itu—senyuman yang aku tahu hanya pernah dipersembahkannya kepadaku.

Hanya kepadaku.

Tapi kenapa ia juga tersenyum kepada gadis itu—gadis berambut pirang sebahu dengan tahi lalat di samping kiri bawah bibirnya itu?

Aku tidak rela. Sungguh tidak rela.

Saat itu juga aku segera berlari menjauh dari tempat itu. Tak ingin lagi melihat mereka berdua tepat di hadapan kedua mataku. Tapi entah kenapa pemandangan itu terus saja terulang-ulang di benakku. Tak bisa berhenti. Hingga aku merasakan air yang mengalir membasahi pipiku. Aku tak bisa berlari lagi.

Aku menangis.

Kenapa aku menangis?

Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku?

Aku ingat teman-teman cewek di kelasku pernah berbicara sesuatu—yang kalau tidak salah namanya cinta, yang akan kita alami saat kita telah dewasa. Cinta, kata mereka, adalah suatu perasaan asmara antara lelaki dan perempuan yang membuat kita bahagia, namun dalam waktu bersamaan juga membuat kita merasakan rasa sakit dan sesak. Cinta membuat kita ingin dimanjakan oleh kasih sayangnya.

Aku seperti tersadarkan akan sesuatu.

Tidak mungkin.

Itu tidak mungkin.

Aku tidak mungkin jatuh cinta pada kakakku sendiri, bukan?

Kulangkahkan kembali kedua kakiku cepat menuju rumah, mengabaikan sapa ibuku yang tampaknya kaget melihatku berlinangan air mata, kemudian menjatuhkan diriku tepat di atas kasur dan menyelimuti diriku sepenuhnya dengan selimut. Aku menangis sekeras-kerasnya hingga kasurku basah oleh air mataku.

Oh Tuhan, apa dosaku sampai-sampai aku jatuh cinta pada kakak kandungku sendiri?

Cinta yang seperti itu sangat dilarang!

Padahal Engkau tahu itu, Tuhan. Tapi kenapa?

Tangisku semakin deras saat aku menyadari bahwa cinta yang seperti itu takkan mungkin terbalas.

Oh, cintaku.

Cinta pertamaku yang sungguh menyakitkan.

Saat itu aku berpikir betapa ingin rasanya aku melupakan perasaan terlarang itu—tidak, tapi aku harus melupakan itu mentah-mentah. Aku sudah bertekad. Sampai-sampai aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus bersikap seperti layaknya seorang adik terhadap kakaknya saat bersama dengan Natsume. Aku tidak boleh lagi merasakan rasa sesak menyebalkan itu saat melihat Natsume.

Dan aku berhasil.

Sejak saat itu, aku tak lagi merasakan rasa sakit saat melihat Natsume tengah berdua dengan gadis itu.

—atau seperti itulah yang kupikirkan.

Karena saat aku tak sengaja melihat mereka tengah berciuman di belakang sekolah, lagi-lagi aku menangis tak karuan hingga wajahku memerah dan rambutku acak-acakan.

Betapa cinta itu sulit sekali untuk kulupakan.

Tapi berkat itu pulalah aku mulai menyadari.

Bahwa untuk melupakan cintaku yang begitu menyakitkan ini, tidak ada cara lain selain mencari cinta yang baru.

Kemudian, entah kebetulan atau tidak, laki-laki berambut pirang itu datang dalam kehidupanku.

Bersambung ke Bagian II


Disclaimer: Gakuen Alice and its characters belong to Tachibana Higuchi-sensei. Tama only owns the plot.

Author's Note: Definisi cinta membuatku gila. Jujur, membuat fic ini saja sudah membuatku gila. Walaupun aku pernah mengalami cinta, tapi mendefinisikan cinta sungguh adalah hal yang berat bagiku. FYI, cerita ini hanya terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian I dan bagian II. Bagian II diusahakan agar bisa update minggu depan.

REVIEW please!