By Your Side © Hinamori Hikari
Kurobas © Fujimaki Tadatoshi
.
.
Time travel / OOC / Akashi x Kisedai (+Kagami) / Akashi-centric
.
Merasa tidak dibutuhkan dan hanya akan mengganggu keadaan, seperti itulah yang dirasakan oleh sosok Akashi Seijuurou. Benarkah?
.
.
.
Tokyo, 2014.
Akashi menghela napas panjang. Manik ruby-nya menatap sayu para anak buahnya yang tampak asyik dengan dunia mereka sendiri tanpa mengikutsertakan eksistensi dirinya. Aomine dan Kise yang saling menjambak dan dorong mendorong di tengah lapangan, Kagami yang tertawa puas tanpa berniat melerai, Kuroko yang tidak berhenti menyerukan kata berhenti, Murasakibara yang malah semakin memanasi keadaan, dan Midorima yang berusaha menarik salah satu agar menjauh. Gym semakin riuh ketika tanpa sengaja sikut Aomine menubruk dada Kagami dengan keras, membuat sang alis cabang menghentikan tawanya dan turut mengeroyok Aomine seraya mengumpat. Tidak berhenti sampai situ, Midorima yang sedari tadi berusaha menghentikan perkelahian malah ikut terlibat setelah tangan Kise mendarat di wajahnya dengan keras.
Akashi hanya memperhatikan dari pinggir lapangan, duduk tenang di bench dengan lembaran berisi menu latihan yang diberikan Momoi tadi. Tidak ada niatan baginya untuk melerai pertengkaran yang terjadi di hampir setiap latihan mereka, walaupun dengan kuasanya sebagai kapten, satu teriakan saja sudah cukup menghentikan aksi konyol nan kekanakan tim basket SMA Teikou itu. Akashi hanya tidak ingin mengganggu mereka, itu saja. Sudah menjadi makanan kesehariannya melihat para anggota tim bertengkar main-main di hadapannya.
Beberapa menit kemudian, perkelahian itu terhenti dengan sendirinya. Bukan karena salah satu dari mereka menang, akan tetapi karena lelah harus beradu mulut dengan tangan dan kaki menyepak sana sini. Perkelahian diakhiri dengan tubuh Aomine, Kise, dan Kagami yang terkapar di lantai gym sedangkan Midorima duduk dengan napas sedikit tersengal serta kening yang berkerut kesal. Kuroko yang berada tak jauh dari Kagami, ditarik tangannya oleh sang cahaya hingga tubuh mungilnya jatuh dan turut menikmati dinginnya lantai gym. Tawa tak terelakkan dari para anggota tim basket naungan Akashi Seijuurou ini. Bahkan Midorima yang notabene tsundere itu terkekeh pelan dan Murasakibara yang terkenal cuek nampak mengulas senyum tipis.
Akashi melihat semua. Canda, tawa, kebahagiaan. Mengalir begitu saja tanpa eksistensi dirinya. Akashi bukannya tidak ingin bergabung, jujur ia ingin ikut merasakan yang namanya kebahagiaan bersama teman. Hanya saja ia merasa bahwa dirinya akan menjadi penganggu yang merusak momen-momen para anggotanya.
Akashi hanya takut mengacau, itu saja.
"Akashi-kun?" suara lembut Momoi Satsuki —manajer tim basket— menyapa indera rungunya. Gadis dengan rambut sewarna sakura itu duduk disamping sang kapten dan ikut memperhatikan pemandangan di depannya. "Tidak ikut bergabung?"
"Tidak."
Momoi tersenyum maklum. "Kau tidak akan menganggu atau merusak, Akashi-kun." bukan Momoi namanya kalau tidak bisa menganalisis keadaan dengan tepat dan akurat.
Akashi menggeleng singkat, manik ruby nya beralih menatap Momoi. "Kau tidak tahu rasanya, Momoi."
"Dengar, Akashi-kun." Momoi balas menatap sepasang iris merah sang kapten dengan lembut. "Mereka membutuhkanmu."
Hanya dua kata, namun penuh makna. Otak jenius Akashi tentu dapat menangkap maksud perkataan sang manajer. Senyum lembut Momoi seakan menenangkan kegusaran Akashi yang sejujurnya sedikit berlebihan.
"Aku akan memberitahu menu latihan mereka yang baru."
Momoi mengangguk.
Akashi lantas berdiri dan melangkah menuju teman-temannya yang masih bersenda gurau. Genggamannya pada papan jalan berisi kertas sedikit mengerat. Kise adalah orang pertama yang menyadari kedatangan sang kapten dan lantas mengubah posisi tidurnya.
"Akashicchi!"
Derai tawa berhenti seketika. Semua mata langsung fokus pada sosok Akashi Seijuurou yang melangkah mendekati mereka.
"Menu latihan baru?" tebak Midorima saat menyadari pemuda scarlet itu membawa papan jalan dengan lembaran kertas terjepit disana.
Akashi mengangguk.
"Yah Akashicchi," Kise memanyunkan bibirnya. "Baru datang masa' langsung dikasih menu latihan-ssu? Tidak asyik nih!"
Deg
"Oi Kise!" Aomine —yang sudah mengubah posisinya menjadi duduk— menjitak kepala kuning itu dengan cukup keras. "Kau mau menang saat Winter Cup nanti, tidak sih?"
Kise meringis merasakan nyeri pada kepalanya. "Aominecchi hidoi-ssu yo! Aku kan hanya bercanda!"
"Bercandamu keterlaluan, baka Kise! Harusnya kau menghargai Akashi dan Momoi yang susah-susah menyusun menu latihan agar kita bisa menang di Winter Cup nanti!" Kagami menimpali.
"Tapi benar kata Kise, sih." Aomine menggaruk pipi dengan telunjuk. "Kita sedang asyik bercanda dan tiba-tiba Akashi datang membawa menu latihan yang baru, itu cukup menganggu." tambahnya.
Mengganggu?
Akashi merasakan dadanya sedikit nyeri saat mendengarnya.
Sebegitu mengganggu kah dirinya?
"Ahomine no baka!" satu kepalan tangan mendarat di surai biru tua Aomine.
"Oi Kagami!"
"Aomine-kun, kau menyakiti Akashi-kun." Kuroko bersuara.
"Dasar Aomine bodoh. Bisakah kau memilih kata-kata yang lebih baik? Bukannya aku peduli, tapi kata-katamu tadi cukup menyebalkan nanodayo." Midorima membetulkan letak kacamata —yang sebenarnya tidak bergeser sama sekali— dengan jari telunjuk dan tengah.
"Mine-chin bodoh." gumam Murasakibara sambil mengunyah stick pocky.
"Hei, bukan cuma aku yang berkata seperti itu. Kise juga!" Aomine berusaha membela dirinya dan menunjuk Kise sebagai tumbal.
"Eehhhh? Kok aku?"
"Kau juga tadi bilang kalau kedatangan Akashi itu mengganggu kan?"
"Mou! Aku tidak pernah bilang kalau Akashicchi itu mengganggu, ssu!"
"Sudahlah," sebelum terjadi keributan yang lebih besar, Akashi melerai. Disodorkannya papan jalan Momoi pada Midorima yang diterima dengan ekspresi bingung.
"Midorima yang akan memberitahu menu latihan kita semua. Aku lupa jika setelah ini aku ada urusan. Kuserahkan padamu, Midorima." Akashi melempar senyum tipis. "Aku permisi." dan sepasang tungkai itu melangkah cepat membawa sang pemilik menjauh dari area lapangan.
"Eehhh? Akashicchi mau kemanaa?" Kise berteriak, berusaha menghentikan langkah Akashi. Namun hanya debuman pintu ditutup yang menjawab pertanyaan Kise.
Hening.
"Akashi-kun?" Momoi menatap sang kapten yang keluar gym dengan khawatir.
.
.
.
Tokyo, 2017
Kuroko meletakkan bunga di atas batu lalu mulai menangkupkan tangan dan berdoa. Selepas berdoa, tangan pucatnya terulur dan mengusap perlahan batu di depannya dengan sendu.
"Aku rindu.. Sangat rindu."
Hening. Hanya desau angin musim gugur yang menjawab monolog Kuroko Tetsuya.
"Kurokocchi?"
Suara yang familiar membuat Kuroko menoleh dan mendapati teman satu SMA-nya dulu juga datang dengan sebuket lily di tangan. Kise Ryouta.
"Ah, Kise-kun." Kuroko sedikit menyingkir dan membiarkan pemuda pirang itu melakukan hal sama yang Kuroko lakukan beberapa menit lalu.
Selepas Kise berdoa dan mengusap lembut sisi nisan seseorang yang amat mereka kenal, pemuda yang identik dengan matahari itu membuka suara lirih, "tidak terasa ya, Kurokocchi."
Kuroko langsung paham apa maksud ucapan setengah-setengah Kise. Pemuda itu mengangguk.
"Aku rindu sekali dengannya-ssu. Rindu semua hal tentang dia. Bahkan ketika aku melihat warna yang identik dengannya, aku langsung kepikiran terus."
Kuroko tak menjawab, namun ia mendengarkan dengan penuh.
"Semua yang berhubungan dengan dia masih kuingat jelas. Tawa, marah, senyum, perintah, semuanya. Bahkan.. Bahkan aku masih ingat dengan kejadian itu.. " dan tak ada yang dapat mencegah setetes air mata meluncur di pipi mulus Kise. Bukan air mata buaya yang sering ia keluarkan dulu, namun benar-benar air mata tulus yang sarat akan kesedihan.
"Kau tahu, Kurokocchi. Akan kulakukan apapun agar dia bisa kembali bersama kita, walau mustahil sekalipun." Kise beralih menatap Kuroko yang hanya bergeming memandang nisan di depannya. "Kau sudah menyelesaikan berapa-ssu?"
"seratus tiga,
Kise-kun." jawab Kuroko. "T—tapi, memangnya akan berhasil?" pemuda mungil itu bertanya pelan.
"Tidak ada salahnya mencoba-ssu." tangan Kise menepuk pundak Kuroko. "Walau tidak berhasil sekalipun, setidaknya kita semua sudah mencoba."
Seribu burung bangau, apa cukup untuk membangkitkan orang yang sudah mati?
"Setiap hari aku berdoa, agar keajaiban datang pada kita. Tak masalah walau hanya sehari, atau bahkan satu jam saja, yang penting dia kembali bersama kita."
Kasih sayang, rindu, harapan, cinta, membuat mereka rela menyingkirkan akal sehat dan melakukan hal konyol hanya untuk membuat seseorang yang sangat berarti bagi mereka kembali lagi ke dunia.
Walau hanya sebentar.
.
.
.
Tokyo, 2014
Akashi merutuk kebodohannya sendiri yang terlalu terbawa perasaan. Harusnya ia bersikap biasa saja dan menelan semua keluhan anggotanya seperti yang biasa dilakukan dan tidak usah sok-sok an keluar gym karena ngambek. Sekarang, ia harus apa? Tidak mungkin pulang, toh tas nya masih di gym. Seragam basket masih menempel di tubuhnya, belum sempat diganti. Ponsel dan uang sialnya berada di saku tas, tidak memungkinkan dirinya untuk pulang tanpa salah satu dari kedua barang tersebut. Jalan kaki? Hell, rumahnya terlampau jauh untuk ditempuh hanya dengan mengandalkan kedua kaki. Balik lagi ke gym? No, harga dirinya dipertaruhkan disini. Walau sebenarnya Akashi sudah merasa bahwa harga dirinya akan anjlok setelah acara ngambek-ngambekan ini.
Kepalanya masih terngiang akan ucapan Kise dan Aomine tadi di gym. Terus berputar dan tidak mau berhenti.
"Baru datang masa' langsung dikasih menu latihan-ssu? Tidak asyik nih!"
"Kita sedang asyik bercanda dan tiba-tiba Akashi datang membawa menu latihan yang baru, itu cukup menganggu."
Mengganggu ya?
Makanya Akashi tidak ingin bergabung dengan teman-temannya diluar latihan, karena ia pengganggu.
Menyedihkan.
Pemuda crimson itu pun berjalan tidak tentu arah. Hanya asal mengikuti kemana langkah kakinya membawa pergi. Sekolah sudah cukup sepi, hanya menyisakan beberapa anak dan staf yang bertugas membersihkan sekolah. Langkah Akashi membawanya pada lorong sepi yang hampir tidak pernah terjamah. Bukan karena ada cerita mistis yang bersemayam disana, namun karena ujung lorong itu hanya tersimpan gudang dan jalan buntu. Sehingga tidak ada murid yang berminat untuk menjejakkan kaki disana.
Kecuali Akashi Seijuurou.
Entah karena kalut atau tidak punya kerjaan, Akashi memutuskan untuk menghampiri pintu gudang yang terlihat berlapuk dan reyot. Dengan hati-hati, pemuda itu membuka pintu gudang setelah sebelumnya lirik kanan-kiri, takut ada yang melihat atau apa. Padahal jelas-jelas tidak ada siapa-siapa disana. Dengan sedikit sentakan, pintu itu terbuka perlahan walau harus sedikit mengeluarkan tenaga akibat macet saat didorong.
Gelap. Kesan pertama yang didapat Akashi setelah pemuda itu menjejakkan kaki di dalam gudang. Debu dimana-mana, tentu saja. Pengap dan bau. Dengan bantuan senter berdebu di atas meja yang ternyata masih berfungsi baik, ditelusurinya satu-satu sudut ruangan dengan perlahan.
Jaring laba-laba di sudut atap. Kursi reyot. Meja dengan kaki patah. Papan tulis tidak terpakai. Potongan kayu yang berserakan. Sapu dengan gagang setengah. Debu-debu tersebar di seluruh penjuru ruangan, menyelimuti barang-barang yang tersimpan disana. Tak ada yang menarik, membuat Akashi merasa waktunya terbuang sia-sia walau sebenarnya sudah sia-sia sejak awal. Sepertinya perkataan Kise dan Aomine tadi cukup membuat otaknya konslet.
Saat akan melangkah keluar, cahaya senternya tidak sengaja menyorot sesuatu yang sedikit berkilau dibalik tumpukan buku-buku tidak terpakai dan membuat atensinya segera teralihkan. Langkahnya pun mendekati benda tersebut, dan lantas alisnya mengernyit saat melihat sesuatu yang tidak biasa saat tangannya sudah terulur untuk mengambilnya.
Bola kaca salju.
Tidak habis pikir, mengapa bola kaca bisa berada di gudang sekolah. Diletakkannya senter di atas tumpukan buku tadi dan tangannya mengusap sisi-sisi kaca agar debu yang menempel tidak menghalangi pemandangan dari isi bola tersebut. Selepas kaca tersebut bersih dari debu, Akashi kembali mengernyitkan dahi saat mengetahui bahwa isi dari bola kaca tersebut adalah miniatur seorang pemuda chibi berambut merah yang nampak sedih. Posisinya terduduk dengan kepala menunduk.
Kenapa boneka ini seperti refleksi dirinya saat ini?
Sendirian. Menyedihkan. Jangan lupakan warna rambut yang sama.
Siapa pemilik bola kaca salju ini?
Iseng, Akashi menggoyang-goyangkan bola tersebut hingga salju-salju mini mulai bertebaran dan menyelimuti isi bola tersebut. Sebenarnya indah, namun keadaan miniatur pemuda itu tidak merefleksikan keindahan di sekelilingnya. Akashi bahkan bisa merasakan suram dari boneka tersebut. Mungkin karena sekilas mereka nampak serupa.
Pemuda scarlet itu duduk di lantai, tidak peduli bahwa lantai teramat kotor dan akan menodai celana yang ia pakai. Diperhatikannya lamat-lamat bola kaca itu hingga salju hampir berhenti bergerak. Seakan tidak ingin berhenti, Akashi menggoyangkannya lagi benda di tangannya agar salju-salju mini tersebut kembali tampak.
Indah.
Namun suram.
Mungkin karena terlalu larut melihat bola kaca di tangannya, Akashi mulai merasa matanya memberat. Ia memejamkan mata. Sebentar saja, tidak masalah kan?
Rasanya Akashi hanya memejamkan mata beberapa detik saja, sebelum iris ruby nya kembali tampak. Merasa bahwa udara semakin pengap, Akashi pun bangkit dan menepuk-nepuk celananya yang kotor. Bola kaca ia simpan, dimasukkan dalam kantong celana. Lekas Akashi melangkah keluar gudang.
Bias mentari sore sudah menginvasi langit ketika ia berjalan meninggalkan lorong. Sekolah benar-benar sudah sepi, barangkali teman-temannya sudah pulang semua. Tak ada salahnya menghampiri gym dan mengambil tas yang tertinggal.
.
.
.
Tokyo, 2017
"Sudah terkumpul berapa-ssu?"
"Genap seribu, Ki-chan!"
"Benarkah?!"
"Apakah dia akan kembali?"
"Jangan bercanda. Orang mati tidak akan hidup lagi, nanodayo."
"Midorimacchi memangnya tidak kangen-ssu?"
"Semua pasti merindukan dia, Kise bodoh. Tidak ada yang tidak merindukan dia."
"Nah."
"Lalu mau diapakan kertas-kertas ini?"
"Eh? Entahlah-ssu."
"Dasar Ki-chan / Kise-chin / Kise / Kise-kun bodoh."
"Hidoi-ssu!"
.
.
.
Tokyo, 20xx
Hari ini memang hari sial. Akashi tidak menemukan tas-nya sama sekali, bahkan setelah ia hampir satu jam berkeliling gym hanya untuk mencari keberadaan benda tersebut. Belum lagi saat berada di ruang ganti, lokernya sama sekali tidak bisa dibuka seakan loker itu sudah beralih fungsi bukan menjadi miliknya lagi. Ini teman-temannya pada berkomplot atau bagaimana, sih? Terpaksa Akashi pulang berjalan kaki, lengkap dengan seragam basket yang masih menempel menyisakan satu-satunya barang yang ia punya. Jangan lupakan juga bola kaca salju yang ia temukan di gudang tadi. Mana sekarang sudah hampir malam, waktu sudah memasuki pertengahan musim gugur pula. Lengkap sudah penderitaannya.
Sial sekali.
Kendaraan lalu lalang, manusia di sisi-sisi jalan, lampu-lampu yang mulai menyala satu persatu. Tokyo memang tidak pernah mati. Disinilah Akashi sekarang, luntang-lantung seperti siswa habis melarikan diri dari rumah hanya bermodalkan bola kaca dan seragam basket. Dingin yang menyapa tengkuk membuat pemuda scarlet itu mengeratkan lengan, mulai gemetar dengan angin musim gugur yang mulai mengganas. Uap mulai menguar dari embusan napas dan mulut yang terbuka-tertutup. Sepertinya ia benar-benar harus pulang dengan berjalan kaki. Masa bodo bila sesampainya dia di rumah dalam keadaan pucat karena kedinginan.
Catatan mental : Tidak usah sok-sok ngambek lagi. Jadinya menyusahkan diri sendiri.
Di tengah padatnya manusia lalu lalang, iris ruby Akashi menangkap sesosok pemuda hijau dengan kacamata bertengger di hidung. Dilengkapi sweater dan syal, pemuda tinggi itu nampak menenteng tas karton yang entah apa isinya. Gurat wajah serius yang Akashi kenal walau anehnya sekilas nampak asing. Tidak salah lagi, itu adalah Midorima Shintarou.
Masa bodo dengan kelakuannya tadi sore, Akashi merasa terselamatkan. Midorima pasti bersedia meminjamkan beberapa yen untuk dirinya pulang, atau minimal handphone. Dengan langkah tergesa, Akashi mulai menghampiri sang wakil kapten dan mulai berseru,
"Midorima!"
Sosok Midorima mematung. Namun Akashi tidak menyadarinya dan tetap melangkah cepat menuju pemuda maniak Oha-Asa tersebut. Setelah sampai di depan Midorima, Akashi langsung menyerocos tanpa menyadari bahwa raut wajah Midorima terlihat sangat aneh dan tidak terbaca.
"Lupakan soal yang tadi di gym. Sekarang aku benar-benar butuh bantuanmu. Pinjamkan aku—"
Brak!
Tas karton yang ditenteng Midorima terjatuh hingga isinya berserakan. Akashi mengernyit.
"Midori—"
"A.. Aka... Akashi?"
"Eh?"
Akashi mendongak —entah mengapa ia merasa aneh, Midorima yang diingatnya terakhir kali tidak setinggi ini— dan mendapati raut tidak terbaca sang pemuda hijau. Antara terkejut, syok, tidak percaya, dan.. rindu? Gurat wajah Midorima terlihat lebih tegas dan dewasa, seakan ia bukanlah lagi sosok bocah SMA.
"I—Ini benar-benar kau, A—Akashi?" tangan Midorima terulur, menyentuh pipi dingin sang kapten Teikou dengan sirat ekspresi tak percaya dan kilasan sendu di mata yang entah mengapa membuat Akashi merasa sesak.
"Tentu saja aku Akashi, Akashi Seijuurou. Kau kenapa sih, aneh sekali? Memangnya kau pikir aku sia—" dan lanjutan ucapan itu harus tertelan kembali tatkala Midorima menarik dirinya dan memeluk Akashi dengan erat, sangat erat. Seakan menyampaikan segala rindu yang tertahan dengan sesak yang terselip di dalamnya.
"Akashi.. Akashi Seijuurou.. Sei.." Midorima meracau dan Akashi semakin tidak mengerti. Pelukan Midorima tak kunjung mengendur namun malah semakin mengerat, seakan takut jika semua hanya fantasi belaka dan sosok Akashi akan menghilang dalam hitungan detik ketika pelukan itu terlepas. Pemuda scarlet itu bisa mendengar gumaman tak jelas Midorima yang semakin membuatnya tak paham. Pandangan aneh orang-orang nyatanya tak membuat sang wakil bergeming dari posisinya.
"Terkabul.. Kami-sama.. Terima kasih.. Mimpi.. Rindu.. Akashi.."
Midorima kenapa, sih?
"Midorima.. Lepaskan, aku tidak bisa bernapas."
Sang pemuda melepas pelukannya namun tangannya mencengkram bahu Akashi. Hanya tatapan aneh yang Akashi berikan dan tatapan dalam penuh misteri dari Midorima.
"Aku tak peduli apa yang terjadi —tidak untuk saat ini. Aku juga tidak tahu kepalamu habis terbentur apa hingga kau sangat aneh hari ini, Midorima. Yang penting, lebih baik kita menyingkir dulu sekarang. Aku tidak suka menjadi pusat perhatian, dan lagi aku sangat kedinginan."
Midorima baru sadar jika Akashi hanya memakai seragam basket dan terlihat menggigil serta gemetaran, belum lagi wajahnya yang memucat. Lantas Midorima merapikan barangnya yang tercecer di jalan, lalu melepas sweater dan menangkupnya di tubuh mungil Akashi—membuat pemuda merah itu terlihat tenggelam dibalik sweater kebesaran Midorima— lalu menarik sang kapten pergi.
Menuju apartemennya.
.
.
.
Secangkir teh dengan uap mengepul serta sweater kebesaran Midorima cukup membuat Akashi merasa hidup kembali. Walau fokus pemuda scarlet itu tertuju pada teh yang disesapnya, namun ia sepenuhnya sadar bahwa sedari tadi Midorima tidak berhenti menatap lekat dirinya. Pemuda hijau itu hanya mengenakan kaus lengan panjang dan tidak ada tanda-tanda ia kedinginan, namun tetap ikut menyesap teh buatannya dengan emerald yang tak lepas dari sosok Akashi.
Setelah hampir menghabiskan setengah isi teh, Akashi meletakkan cangkir di meja dan mulai memandang intens Midorima. "Jelaskan, mengapa kau sangat aneh hari ini."
Midorima bergeming. Manik hijaunya hanya menatap Akashi tanpa ada niatan membuka mulut. Kilat di matanya jelas menunjukkan ada sesuatu yang tak beres.
"Midorima?"
"Akashi.." Midorima membuka mulut, namun terlihat ragu. Akashi memberi kode agar wakilnya ini melanjutkan. "A.. Apa aku gila?"
"Hah?"
Harusnya Akashi yang gila sekarang.
"M—maksudku, apa k—kau nyata?"
Tuh kan. "Kalau maksudmu nyata untuk menendang kepalamu, iya." pemuda crimson itu menghela napas.
"Lalu kau apa? Hantu?"
"Astaga Midorima, jangan gila." Akashi frustrasi. "Kepalamu terbentur bola basket? Padahal tadi siang kau masih baik-baik saja."
Kini giliran Midorima yang mengernyit. "Tadi siang?"
"Kau amnesia atau bagaimana?" jangan salahkan Akashi kalau sebentar lagi ia meledak. "Tadi. Siang. Di gym. Kau masih normal. Bahkan kau bertengkar dengan Kise, Aomine, dan Kagami. Lalu aku memberimu menu latihan yang baru. Ingat?"
Midorima diam.
"Aku rasa aku yang gila." Akashi menghempaskan diri ke bantalan sofa di belakangnya.
"Akashi.. Pakaianmu?"
"Aku belum sempat menggantinya." nada jengkel terselip di dalamnya. "Kau dan yang lain seenaknya meninggalkanku sendirian di sekolah —walau kuakui aku juga salah. Saat aku kembali ke gym, tas-ku hilang dan loker-ku juga tidak bisa dibuka. Konspirasi apa yang kalian mainkan, hah?"
Midorima diam lagi.
"Kau bisu atau tuli, Mi-do-ri-ma?" Akashi semakin jengkel.
"Mau ganti dengan pakaianku?" Midorima malah bertanya random.
"Tidak usah. Kembalikan saja tas-ku dan biarkan aku pulang. Kau membuatku semakin tidak waras."
"Pulang? Pulang kemana?"
"Tentu saja ke rumahku, bodoh." seumur-umur, Akashi tidak pernah mengumpat. Keluarganya selalu mengajarkan tentang tata krama dan kesopanan karena marga ningrat yang disandangnya. Tapi sebagaimana manusia pada umumnya, Akashi juga memiliki batas kesabaran. Siapa juga yang masih terus sabar jika dihadapkan dengan manusia (gila) satu ini. Pemuda scarlet itu mengurut pelipis pelan.
"Maaf, Midorima."
"Tak apa, aku mengerti kau bingung. Aku akan mengambil bajuku sebentar."
"Siapa yang mau dipinjamkan baju? Aku hanya minta tas-ku saja." Akashi semakin pening.
"Tapi bukan aku yang memegang tas-mu."
"Oh." bilang daritadi, dong.
"Sebentar." Midorima beranjak dari sofa lalu melangkah menuju kamar. Akashi hanya diam. Diedarkannya manik ruby miliknya ke penjuru apartemen. Terlalu rapi untuk ukuran anak laki-laki, tapi memang begitulah Midorima. Tak begitu mewah, namun nyaman untuk ditempati. Untuk pertama kalinya ia berkunjung ke kediaman temannya sendiri.
Akashi teringat sesuatu.
Bukannya Midorima tinggal bersama keluarganya? Lalu kemana mereka?
Penasaran, Akashi mulai berjalan-jalan. Agak tidak sopan sih, tapi Midorima pasti mengerti. Tak jauh dari tempat ia duduk, terdapat meja berisi pigura-pigura yang terpajang dengan rapi. Pemuda scarlet itu melihat-lihat dengan seksama.
Foto keluarga besar Midorima.
Foto tim basket Teikou. Ah, ada dirinya juga. Walau Akashi sebenarnya tidak ingat kapan ia berfoto seperti ini.
Foto tim basket Teikou lagi, tapi tanpa dirinya. Huh? Disini Akashi mulai bingung.
Yang paling membuatnya bingung, adalah potret Midorima Shintarou dengan kedua orangtua-nya dan sang adik dengan latar pohon sakura. Foto kelulusan.
Tunggu, kelulusan apanya? Mereka kan baru kelas sebelas! Jelas sekali bahwa foto tersebut adalah foto kelulusan SMA.
Saat sedang kebingungan sendiri, tanpa sengaja tangan pemuda tersebut menyenggol kalender meja hingga terjatuh. Dipungutnya kalender tersebut dan ditatapnya sebentar. Sejujurnya tidak ada masalah dengan kalendernya—
—kecuali tahun yang tercetak besar-besar di atasnya.
2017
Otaknya memproses semua dengan lambat. Loker yang tidak bisa dibuka. Midorima yang sangat aneh dengan fisik yang sedikit berbeda. Foto kelulusan. Tim basket Teikou tanpa dirinya.
Bruk!
Akashi merasa bahwa dirinya benar-benar gila sekarang.
.
.
.
Tokyo, 2014
"Akashi kemana, sih? Membuat semua orang khawatir saja."
"Kagami-kun, fokus saja mencari. Jujur aku takut terjadi apa-apa dengan Akashi-kun."
"Ck! Hoi, Bakashi! Kau dimana?!"
"Tetsu! Kagami!"
"Ah, bagaimana, Aomine-kun?"
"Disana juga tidak ada. Kemana pula Akashi?"
"Gara-gara kau sih, Aho. Sekarang Akashi hilang kan."
"Ck! Aku kan cuman bercanda, mana kutahu kalau ternyata dia beneran baper."
"Bukan Akashi yang baper, tapi mulutmu yang tidak bisa dijaga."
"Hoi!"
"Sudah-sudah, kita fokus mencari Akashi-kun sekarang."
.
.
.
Tbc
.
.
.
Hika's note :
Ck, aneh ya? Hika ga yakin juga mau ngepost ginian wkwk. Gatau juga bikin apaan, ga jelas haha. Kalo bingung tanya aja, nanti dijawab. kalo aneh bilang aja, nanti dihapus. Fict MC kurobas pertama, cuman fict percobaan juga si. Bisa sewaktu-waktu dihapus wkwk.
