TOKYO

Pairing: Sasu/Hina always.

Rating: T

Tags: Romance

Disclaimer: All characters in this story belongs to Masashi Kishimoto and the story based from song Tokyo by Yui

Happy Reading..

##########################################################################

"Sasuke kun akan pergi?"

"Hn.."

"Ke Tokyo, ya?"

Aku mendesah, menatap gadis yang duduk gelisah disampingku, kepalanya menunduk dan tangannya meremat ujung roknya hingga kusut.

"Apa menurutmu, aku tidak usah pergi saja?"

Hinata terbelalak menatapku. Kepalanya segera menggeleng keras, "Tidak! Jangan! Kumohon.." Cicitnya, "ini impianmu sejak lama, Sasuke kun.. maaf.. tidak sepantasnya aku.."

"Lalu maumu bagaimana?" Potongku mulai kesal.

Mataku menatapnya tajam, menelisik setiap perubahan raut wajah dan gestur tubuhnya. Ne, Hinata.. Apa kau tahu? Kalau kau meminta aku tetap disini, aku akan tetap disini.

"Pe.. pergilah.." Ucapannya begitu lirih seolah berbisik.

Kepalanya semakin menunduk dalam, walau tanpa air mata yang jatuh, aku bisa merasakan gadis itu tengah menangis dalam hati.

Tanganku terjulur. Hinata hanya memejamkan matanya saat jemariku mengusap pipi gembilnya yang seputih susu. Kelopak – kelopak mawar bermunculan disana saat aku mulai menjamah bibir ranumnya perlahan. Menghisap sari madu miliknya.

"Apa yang kau takutkan?"

Mutiara hinata perlahan kembali terbuka, menatapku, mengunci onyxku dalam kebimbangan yang tiada pasti.

"Tokyo sangat menakutkan.." Cicitnya lagi, "bagaimana bila aku tidak lagi mengenalimu?" Tangannya ganti merangkum wajahku, "bagaimana.. bila kau melupakan aku?"

Bahu Hinata terguncang saat sebutir kristal bening akhirnya turun tak terbendung, "Apakah saat itu.. aku bisa terus hidup, Sasuke kun?" Hinata menggigit bibir bawahnya hingga bengkak, "bila aku menyadari kau sudah tidak mengingatku lagi.. atau aku tidak bisa mengenalimu kembali.."

Aku meraih lengan Hinata, menarik tubuh gadis itu dan menenggelamkannya dalam pelukanku.

"Aku mencintaimu, Hinata.. dan maaf telah membuatmu resah.." Bisikku lirih, "tapi aku ingin membuktikan pada papa.. pada ayahmu juga.. aku bisa membahagiakanmu dengan tanganku sendiri.. Bukan dengan menjadi penerus siapapun.."

Hinata hanya mengangguk pasrah. Dia memang memahami keegoisanku dan selalu meng – iya kan setiap ke-aku-anku.

Aku terus mendekap Hinata, terus membisikkan kata cinta dan maaf berulang. Mendekap Hinata yang tergelung tanpa daya dan menangis hingga terlelap tidur.

.

.

Aku mengerjabkan mataku. Perih terasa saat cahaya mahatari pagi menyeruak masuk dalam retina hingga sesaat membuatku buta.

Menangkupkan kedua belah tanganku, aku meraupkannya perlahan demi mengumpulkan keping kesadaran. Deru laju kereta membuatku kembali teringat. Memutar sebuah memori lama hingga tanpa sadar terwujud dalam sebuah mimpi.

Aku memimpikannya lagi. Memimpikan saat perpisahan itu, gadisku, Hinataku tercinta.

Hei, Hinata.. Apa kau menungguku hingga saat ini? Apa kau masih mencintaiku?

Mendekap erat gitar akustik tua pemberian Hinata, kepalaku melongok keluar jendela. Tanganku segera membenahi masker yang hampir melorot dan topi rajut yang mulai berulah diatas kepalaku karena terpaan angin dari jendela kereta tua ini.

Aku mendecih saat terdengar kasak kusuk beberapa gadis yang menatapku dengan pandangan takjub dan curiga secara bersamaan. Kepalaku mendongak mengikuti arah telunjuk mereka, dan mendengus kesal melihat poster berisi wajahku terpampang disalah satu jendela. Sedikit mengumbar senyum dalam balutan masker, aku tertegun mendapati fakta ternyata Konoha sudah semakin modern dalam waktu 5 tahun.

Mencoba mengalihkan perhatian, aku kembali menatap keluar jendela kereta, hijaunya sawah yang selama ini terus ku rindu. Kampung halamanku Konoha, tempat cintaku berada.

"Hinata.. aku kembali untuk menjemputmu.."