knb © fujimaki tadatoshi

cover was taken from knb novel: replace


chasm

(n.) 1. a deep cleft in the ground; abyss ; 2. a break in continuity; gap ; 3. a wide difference in interests, feelings, etc


Hari itu, ada yang berbeda dari latihan string pertama klub basket Teiko. Decit sepatu menggesek lantai masih terdengar, juga bunyi dentuman bola yang memantul. Hanya saja, ada sedikit diferensiasi dari atmosfer dan pace di gymnasium pertama Teiko Chugakko itu. Terasa sedikit berbeda dan sunyi.

Setidaknya, berbeda bagi seorang Kise Ryouta.

"Mereka benar-benar tidak datang latihan, eh?" sosok tinggi dengan rambut hijau berujar, lalu melemparkan bola jingga di tangannya ke arah ring. Dan, masuk—sesuai dengan ekspektasi Kise dan sebagian besar orang-orang di sana, yang tahu benar kemampuannya. Meski jarak antara remaja hijau berkacamata dengan ring basket sedikit tidak wajar. "Bahkan Murasakibara juga absen."

"Ya, Midorimacchi," Kise membenarkan. Inilah yang dia maksud dengan berbeda dan sepi. Beberapa orang absen dari latihan rutin mereka. Beberapa tersebut adalah orang-orang yang mendapat posisi cukup krusial di dalam tim.

(—kalau mereka masih layak disebut tim.)

Murasakibara sama sekali tak tampak di area gymnsium. Begitu juga Akashi dan Aomine. Kise tidak terlalu peduli dengan absennya Aominecchi—power forward itu memang sudah cukup sering absen latihan. Dia dengar, kemarin Kurokocchi membujuknya untuk kembali latihan, tapi tampaknya tak ada hasilnya. Sedangkan point guard sekaligus kapten mereka memang jarang latihan langsung bersama mereka, tapi paling tidak Akashi biasanya mengawasi dari tepi court—bersama Momoi.

Eksistensi Momoicchi juga tidak tampak di gym, tidak juga di koridor. Tadi, dia minta izin keluar—mau membujuk (atau memaksa?) Dai-chan agar berangkat latihan, katanya. Meski Kise ragu-ragu persuasi Momoi tidak akan berakhir seperti Kuroko. Tidak ada yang menjamin Momoi akan berhasil—jika Kurokocchi saja gagal membujuk ace mereka.

"Suasananya jadi terasa berbeda, ya, Midorimacchi," Kise melontarkan pendapatnya.

"Apa maksudmu?"

"Yah ... ada yang berubah. Meski sejak awal anggota tim tidak pernah saling bicara dengan harmonis, rasanya belakangan ini semakin memburuk saja. Terutama setelah Pelatih dan Akashicchi merubah fokus dan tujuan tim," Kise berkata lagi. Sepasang mata madunya melirik Midorima. "Bahkan tempermu juga tampaknya semakin memburuk."

Shoting guard berkacamata itu membetulkan posisi kacamata di pangkal hidungnya. "Siapa yang tahu? Asal kau tahu saja, aku tidak peduli dengan hal remeh seperti itu."

Midorimacchi berbohong.

Kise menyadari sepenuhnya dari gestur pengikut Oha Asa itu. Hanya saja dia tak mau repot-repot menyuarakannya. Midorima hanya akan mengelak—seperti biasa.

"Sebenarnya, tidak ada masalah dengan perubahan fundamental tim asalkan anggota menyetujuinya," Midorima menambahkan, lalu meneguk minumannya. "Hanya saja aku tidak setuju dengan Aomine dan Murasakibara."

Kise diam, tampaknya sadar rekannya belum selesai bicara. Jeda satu napas, Midorima melanjutkan, "Aku masih tidak mengerti jalan pikiran mereka yang tidak logis—berhenti latihan hanya karena Akashi dan Pelatih menyuruh begitu."

Bagi Kise, Midorima Shintarou adalah anggota Kiseki no Sedai yang paling sulit dipahami. Selain itu, dia juga nyaris tak pernah setuju dengan argumen Midorima. Sampai saat ini pun dia masih tidak bisa memahami Midorimacchi. Hanya saja tampaknya, kali ini, dia satu pemikiran dengan pemain dengan nomor punggung tujuh itu. Meski dia bisa menduga alasan atas nihilnya beberapa anggota mereka—mereka mungkin bosan, mereka mungkin jenuh. Kise mengerti perasaan bosan yang menjengkelkan seperti itu, dia sudah sering mengalaminya.

(Dan, tampaknya kali ini dia mulai mengalami kebosanan lagi.)

Ketika Momoi Satsuki kembali ke gymnasium dengan wajah yang lebih kusut dari uniformnya yang tersimpan berantakan di dasar loker, Kise tahu manager merah jambu mereka gagal membujuk Aomine. Si pirang itu urung bertanya, disamping dia juga tak lagi mengerti frasa seperti apa yang tepat diucapkan pada saat-saat begini. Lalu, saat Momoi bertanya dimana Tetsu-kun barulah dia sadar, pemain bayangan mereka juga sama sekali tidak tampak sepanjang latihan sore tadi. Tanpa mengabaikan presensinya yang memang nyaris transparan, Kise benar-benar tidak melihatnya sesorean ini.

Lamat-lamat Kise mendengar Momoi bergumam sesuatu, "dimana dia? Menghilang di saat penting begini. Padahal aku harus berbicara dengan Tetsu-kun."

"Kalau ada yang ingin kau bicarakan, kau bisa mengatakannya padaku," suara Kise melunak, demi melihat raut wajah Momoi yang semakin kusam. Tampaknya Momoi sedang berada dalam urgensi untuk berbicara dengan Kuroko—pasti ada sesuatu yang penting, sesuatu yang harus dibicarakan.

Momoi menggeleng lemah, "Tidak perlu, Ki-chan."

Manager Teiko itu menempatkan dirinya pada bench terdekat. Memutus konversasinya dengan Kise, oleh jeda beberapa saat.

Hingga pada akhirnya...

"Dai-chan no baka!" pertahanan Momoicchi runtuh juga, setelah terdiam canggung selama beberapa puluh detik. Kise nyaris terlompat terkejut, mendengar volume suara Momoi yang naik tiba-tiba. "Dasar, Ahomine!"

"Me-memangnya apa yang Aominecchi katakan padamu, Momoicchi?" si copy cat pirang bertanya.

"Untuk apa latihan? Di pertandingan kita yang terakhir, aku kan mencetak tigapuluh poin." Momoi menirukan cara bicara Aomine dengan arogansi yang dibuat-buat. Kemudian timbre suaranya naik satu oktaf. "Memangnya, hanya dengan mencetak tigapuluh poin dia sudah hebat, huh!"

"Jangan dipikirkan, Momoicchi. Dia memang begitu, kan," Kise berusaha menenangkan Momoi.

Kepala merah muda Momoi bergerak—menandakan gelengan tidak setuju. Manik pinknya sedikit menggelap, "tidak. Dai-chan yang kukenal, dulu, tidak seperti itu, Ki-chan..."

Kise mungkin bukan Momoi Satsuki yang mengenal Aomine Daiki hampir seumur hidupnya. Tapi, setidaknya dia mengerti maksud Momoi. Aomnecchi yang memperkenalkan basket padanya, dulu, juga bukan Aomine yang seperti ini.

Bukannya Kise menyalahkan Aomine—dia berbakat, semua orang tahu. Tidak ada entitas yang meminta dilahirkan dengan talenta yang outstanding. Yang dia sadar, kini, jarak yang memang sudah terpeta sejak awal di string pertama, semakin bertambah lebar.

Kalau dia boleh jujur, Kise rindu saat dimana suasana gymnasium ramai—seperti dulu.

Tidak melihat duet Kurokocchi dan Aominecchi di arena, atau Midorimacchi yang terganggu dengan Murasakibaracchi yang tidak pernah berhenti makan, atau hegemoni Akashicchi, rasanya seperti anomali.

"Yo, Kise!"

"Ada apa?" Kise setengah berlari mendekati sosok yang memanggilnya. Seseorang berambut biru gelap, bersama satu—ah, tidak, dua orang lain. (Nyaris saja dia mengabaikan si rambut biru muda—instrukturnya—mengingat hawa keberadaannya nyaris tidak terdeteksi)

Lengan Aomine melingkar di pundaknya, sedikit kasar—membuatnya terbungkuk, "kami ingin merayakan keberhasilanmu masuk string pertama."

"Huh?"

"Ayo kita pergi!" Aomine berseru dengan semangat—mengabaikan raut bingung Kise. Diikuti sorak monoton dari Murasakibara dan Kuroko.

Kise tidak tahu, apa yang membuatnya mengikuti langkah tiga orang anggota regular tim basket mereka. Mungkin karena lengan Aomine yang masih merangkulnya, sambil setengah menyeretnya—mencegahnya kabur. Atau, setidaknya dia ingin sedikit lebih akrab dengan teman-teman barunya. (Hei, mereka berada dalam satu tim, ingat? Tentu saja Kise akan sering bertemu dengan orang-orang dengan warna rambut sedikit abnormal ini. Dia tak akan tahan latihan basket setiap hari tanpa ada seorang teman pun yang bisa diajak bicara.)

Sore itu, Kise ingat, mereka berempat berakhir di konbini. Entah bagaimana bersama satu orang ekstra—remaja berakacamata dengan rambut hijau ramah lingkungan yang Kise tak tahu namanya.

"Aku Midorima Shintarou. Minimal, ingatlah nama para pemain regular, nanodayo!"

Meski enggan mengakuinya, Kise berpikir sore itu adalah senja terbaik yang pernah dia lalui. Dengan kakofoni langkahnya dan teman-teman barunya, obrolan ringan mulai dari basket, pelajaran sekolah, hingga hal-hal sepele yang tidak penting, dan tawa. (Setidaknya dia bisa sedikit lupa, jika hidupnya selalu berada di titik bosan—perasaan menyebalkan seperti kau tak tahu lagi apa yang harus kau lakukan.)

Hari itu, seolah awal sebuah kebiasaan baru bagi Kise; mampir ke konbini seusai latihan, berjalan pulang bersama teman-teman pelanginya sambil mengobrol. Bukan berjalan sendirian sambil membalas e-mail yang tampaknya tak pernah habisdari fansnya—seperti sebelumnya. Dalam diam, Kise berharap mereka bisa terus seperti ini.

Dia masih melihat Midorimacchi pada latihan di hari berikutnya. Kurokocchi juga sudah kembali datang. Ada yang berbeda dengan Kurokocchi—hanya saja Kise tidak tahu apa, mungkin ada hubungannya dengan kondisi internal tim mereka. Dia sudah berniat akan menanyakannya sepulang latihan, kalau saja Kuroko tidak terburu-buru meninggalkan gymnasium, diikuti Momoi. Terpaksa Kise berjalan pulang sendiri (lagi). Hanya ada Kise, angin yang bertiup, dan jalanan yang berombak sepi.

"Mido-chin, sebaiknya aku beli maiubo rasa keju atau jagung bakar?"

"Kenapa tidak kau beli semuanya saja, nanodayo?"

"Tetsu, kau mau popsicle rasa apa?"

"Aku mau yang rasa stoberi, Dai-chan!"

"Aku tidak bertanya padamu, Satsuki."

"Kise-kun, kau mau yang mana?"

Rasanya, kemarin-kemarin Kise masih mendengar suara teman-temannya beresonansi di telinganya. Kontradik dengan hari ini, hanya Kise Ryouta dan desir angin yang belakangan ini tak pernah lagi didengarnya.

Dulu, Kise sering mendengar desau angin bersahutan dengan suara ponselnya setiap pulang sekolah. Sambil mengeluh tentang hidupnya yang membosankan, Kise membalas satu per satu e-mail yang ditujukan padanya. Suara angin yang berembus itu kemudian menghilang, ketika dia memiliki teman yang bersedia berjalan pulang bersamanya—ketika basket mulai menjadi bagian dari hidupnya. Kise tidak pernah berpikir dia akan kembali mendengar nyanyian angin yang memuakkan ini—lagi.

Basket sudah mulai terasa membosankan baginya. Gap yang semakin terbentang di dalam tim sedikit banyak mulai mempengaruhinya. Mungkin, dia akan berhenti latihan—seperti Murasakibaracchi dan Aominecchi. Bukankah permainannya sudah bisa dikatakan bagus? Sekali-dua kali tidak berlatih tidak akan berpengaruh besar.

[ Olahraga apapun, tujuannya adalah kemenangan. Bukankah benar begitu? Memangnya apa lagi destinasimu selain menang?]

Jadi, selama mereka terus menang, menang, dan menang, tidak masalah bukan?

Kise tak lagi ingat, sejak kapan passionnya mulai menurun, dan terus turun mendekati titik nihil. Satu-satunya hal yang tersisa hanyalah resonansi suara angin yang bertiup di sela-sela rongga di hatinya.

fin


chryss' footnote: belakangan ini saya terlalu asyik baca novel, sampai enggak nulis apapun. liburan bikin otak saya macet, sampai nulispun harus dipaksa—hasilnya cuma begini orz apresiasi selalu ditunggu. terima kasih ^^.