I'm back! ;) #siapa lo?Nah, ini cerita satu-satunya yang kuimajinasikan profesi mereka, meskipun masih ada kenyataan pahit(?) tentang jati diri mereka...Let's begin, daripada kelamaan baca pendahuluan saya kan? #eh**************************************************************************************
Matahari menyinari wajahku yang sangat gelap gulita saat itu.
"Mouri? Mouri...?"
Aku masih tetap memberikan aura gelap diwajahku.
"Kenapa kau seperti itu, Mouri?"
Kucubit pipiku, berharap ini hanya mimpi. Namun lain dari keinginanku.
"Kau aneh, Mouri!"
"Kamu yang membuatku seperti ini! Seharusnya kamu sadar, aku membencinya!"
Orang yang ku bentak, hanya cengar-cengir sendiri.
"Ayolah! Nilai ulanganku sering jeblok. Kau tahu? Terakhir kali aku dapat nilai lima di kertas ulangan matematikaku."
"Itu resikomu sendiri! Kenapa kamu malah bawa orang lain?" bentakku.
Flashback: on.
"Motochika! Seperti biasa, nilaimu jeblok!" bilang pak Imagawa—guru matematika, pada seorang murid bernama Chousokabe Motochika.
Orang yang dipanggil pak Imagawa hanya menggaruk kepalanya.
"Apa yang membuatmu seperti ini?"
"Emm..." Chousokabe pun berpikir sebentar. "Saya tidak bisa belajar, pak."
Beliau hanya menggeleng kepalanya. Aku yang melihat mereka berdua di tepi pintu, hanya bisa menghela nafas. Sudah biasa, Chousokabe Motochika mendapat nilai buruk seperti itu. Guru-guru protes semua karena nilainya yang merah kecuali guru olahraga kami, pak Takeda.
"Oh ya pak! Bagaimana jika saya punya guru privat?"
Pak Imagawa pun menengok laki-laki kekar itu.
"Apa kamu yakin bisa tidak mendapat nilai buruk lagi setelah mempunyai guru privat?" tanyanya dengan nada tidak yakin.
Laki-laki ber-eye patch kiri itu mengangguk mantap.
"Baiklah, ajak salah satu temanmu untuk jadi guru privatmu." tawarnya pada Chousokabe.
"Ah! Saya sudah tahu siapa yang pandai dalam urusan ini, pak!" serunya. "Dan yang pantas melakukan ini adalah—"
Aku yang mendengar percakapan mereka pun segera melengok tepat pada wajah Chousokabe—yang menatapku sambil nyengir.
"Mouri Motonari!" tunjuknya padaku dengan jari telunjuknya dihadapan pak Imagawa.
Aku menelan ludah saat itu juga.
Pak Imagawa melihatku, dengan senyum badutnya yang sangat khas.
"Tolong ya, Mouri? Keberhasilan temanmu adalah keberhasilanmu juga." harapnya padaku.
Kini, suara tawa anehnya terdengar kembali.
"Grr! Awas kamu, Chousokabe!" geramku dalam hati.
Flashback: off.
"Ayolah Mouri..." mohonnya padaku. "Kaulah harapanku!"
Masih dengan aura gelap, aku berjalan dengan memalingkan wajahku darinya.
"Tempat tinggalku disini, woi!" teriaknya padaku dengan melambaikan tangannya padaku.
"Aku ingin pulang! Itu neraka! Aku tidak ingin ke neraka!" omelku. Dengan masih terus berjalan, aku meninggalkannya di depan apartemennya.
"Hei! Itu kan amanatmu! Mana bisa kabur begitu?"
Aku masih terus berjalan. Dia pun berlari mengejarku.
"MOURI!" dicengkeramnya tanganku yang kurus dengan sangat kuat. "Baik! Jika kau tidak ingin mengajariku, aku akan batalkan perjanjianmu!"
Aku melengok dia dengan senyum sinis.
"Benarkah?" tanyaku dengan nada menantang, merasa tidak yakin dengan apa yang telah keluar dari mulutnya.
Dia menunduk, kesal.
"Hahh... Bila itu maumu, Mouri. Aku juga salah karena aku memaksamu mengajariku."
Entah kenapa, aku merasa tidak tega untuk meninggalkannya.
Ia melepas tanganku seraya berkata, "Selamat tinggal, Mouri.".
Dia berjalan meninggalkanku dengan cepat, menuju depan apartemennya.
"Dasar bodoh kamu, Chousokabe!" umpatku dalam hati. Dengan terpaksa, aku kembali berjalan menggiringinya menuju depan apartemennya.
Tiba kembali di depan gerbang apartemennya, dia menggerutu sendiri. Dan ia menengokku dibelakangnya saat ia melihat pantulan bayanganku.
"Kenapa kau masih mengikutiku, Mouri!? Pergi!" usirnya, namun aku tidak menggubrisnya.
Jadi, dia tidak tahu aku menggiringnya tadi?
"Jadi, kamu benar-benar tidak ingin diajarkan?" tanyaku, dengan nada sebal.
"Aku tidak ingin diajar oleh orang keras kepala seperti kau!"
Aku menarik tangannya, mencengkeram tangannya dengan sangat kuat. Perasaan kesal dan bersalah menyatu dalam diriku.
"Dan siapa yang mengajukan namaku pada pak Akechi tadi, hah!?" bentakku.
Dia terdiam. Aku melepaskan cengkeraman tanganku.
"Cepat masuk ke apartemenmu! Aku banyak tugas setelah ini. Aku tau kamu hanya berpura-pura marah."
Dia gelagapan dan mencoba masuk ke apartemennya. Setelah menaiki anak tangga, kami tiba di depan pintu apartemennya yang tertutup.
Suara sedikit cekikikan dari Chousokabe memenuhi ruangan itu.
"Mouri. Aku tidak tahu apa pikiranmu." katanya, sebelum membuka pintu apartemennya dengan kunci yang berada digenggamannya.
Aku melihat wajahnya dengan raut wajah jutek.
"Tapi.." ia menghadapkan wajahnya padaku, membuatku membelalakkan mataku.
"Ke—kenapa kamu—"
"Kau itu tsundere, ya?"
Dipeluknya aku dengan sangat, kuat. Aku tidak bisa mengeluarkan diriku dari genggaman tangannya yang kuat. Aku tidak sanggup untuk mengerang.
Apakah perasaanku saja, apa laki-laki ini punya sedikit kelainan? Baru kali ini aku dipeluk oleh laki-laki.
"Chou—Chousokabe!" ucapku, dengan tenggorokan yang tertahan akibat cekikannya yang kuat di leherku. "Aku bisa—aku bisa mati, tau!"
Dia melepaskan pelukannya. Aku terbatuk sesaat—dan menstabilkannya kembali dengan mengatur nafasku. Lalu melipat tanganku, membuang wajahku.
"Apa bulu ketekmu belum dicukur? Dan apakah kamu sudah memakai deodorant? Bau sekali!" tanyaku tanpa basa-basi.
Dia syok. Lalu tersipu malu.
"Aduh, aku jadi malu..."
Aku mual seketika. Ya tuhan, apakah dia seorang banci? Kumohon, jangan!
"Sudahlah! Ayo kita belajar!" serunya sambil memutar kunci pintu.
Pintu pun terbuka. Dan aku, serta Chousokabe kaku—terdiam saat itu juga.
Di dalam kamarnya, terlihat sekali celana dalam dan sampah—tergeletak dimana-mana.
Aku berdeham, dengan wajah yang kupalingkan dari kamarnya—menutup mulutku dengan jari-jemariku.
"Sebentar! Aku bersihkan dulu kamarku! Maklum, aku selalu buru-buru berangkat sekolah."
Sesuai perintahnya aku hanya menunggu di luar pintunya. Dia masuk kedalam kamarnya dan menutup kamarnya sedikit. Suara berisik menghiasi ruangan kamarnya.
Setelah menunggu cukup lama, ia akhirnya membukakan pintu kamarnya dan menemuiku kembali.
"Nah, silakan masuk pangeranku!" serunya.
Aku masuk ke dalam kamarnya.
"Nah, Mouri! Kau mau teh panas atau coklat panas?"
"Cukup coklat panas." jawabku seperlunya. Kulepas kacamataku dan menaruhnya dalam saku seragam sekolahku.
"Ha! Ternyata kau memang berselera cewek banget!" ejeknya padaku.
"Apa kamu bilang?" tanyaku dengan raut wajah kesal.
"Ayolah! Biar kau itu cowok, tapi dari fisikmu sampai seleramu itu memang cewek!"
Ku ambil kamus di dalam tas selempangku dan melemparkannya tepat dibagian bibirnya.
"Aw! Mouri! Sakit tau!"
Ku berjalan menuju ke arahnya.
"Mo—"
Tanpa sempat mendengar kata-katanya, aku mengijak kakinya dengan sangat lembut, kurasa. Dia meringis kesakitan.
"Ini ya kekuatan cewek? Memalu—"
Kini sebuah tamparan mendarat di wajah—tepatnya dipipi.
"Jaga mulutmu, Chousokabe! Jangan harap kamu akan lulus tes matematika dari Imagawa-sensei selanjutnya bila kamu terus mengejekku seperti ini."
Hening. Dia bertatih-tatih berjalan menyalakan kompor dan memasak air dengan loyo, serta diriku terdiam, tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Tertarik pada sebuah meja belajar yang banyak sekali buku didalamnya, aku membongkar lemari belajarnya yang terdapat buku menumpuk—tanpa sepengetahuannya.
"Heh! Pantas! Banyak sekali buku cabul di lemarinya, bukannya buku belajar."
Aku mendesah sebentar.
Kulirik tumpukan bukunya yang lain. Sebuah buku berwarna biru putih cerah menarik perhatianku. Ku buka isi buku itu perlahan.
"Buku coretan, eh?" lirihku dalam hati.
Banyak sekali gambar-gambar orang disana. Tapi, itu gambar gerakan olahraga yang dipraktekkan dalam renang.
Kubuka terus tanpa mempedulikan sekelilingku. Semakin lama, aku terbuai untuk mempelajarinya. Sama ketika aku mempelajari buku pelajaran.
Tapi, baru kali ini aku terbuai dalam pelajaran olahraga.
Suara derap kaki tak menghentikan diriku membuka bukunya.
"Ayo kita bela—"
Chousokabe pun terdiam, kaku. Dia mendapatiku membuka buku coretannya.
Seketika, aku gelagapan ingin menyembunyikan buku coretannya. Namun terlambat. Dia telah melihatnya.
"Ma—maafkan aku Chou—"
"Siapa yang menyuruhmu membongkar lemariku, hah?" murkanya, membuatku sedikit takut.
Dia meletakkan dua coklat panas yang ia tenteng tadi di dekat kompor, lalu menghentakkan kakinya menuju ke arahku.
Dengan wajah yang beraura hitam, dia menepis buku yang berada ditanganku.
"Kenapa harus disembunyikan, Chousokabe?" tanyaku, mencoba tenang dari ketakutanku. "Bukankah itu hanya—"
"Ini buku panduanku!" tukasnya tajam. "Aku ini seorang atlit renang, kau tahu?"
Hening sejenak.
Aku berpikir, sepertinya dia baru saja memberitahu alasan dia tidak bisa belajar.
"Ternyata waktu belajarmu itu terpotong karena kamu terlalu konsentrasi pada kegiatan renangmu?" tebakku.
Dia melengokku.
"Bukan begitu, Chousokabe?" tanyaku sekali lagi.
Dia mengepalkan tangannya.
"Iya! Itulah alasanku kenapa aku tidak bisa belajar!" katanya, terus terang.
"Aku mengerti." sahutku, cepat.
Dia terperanjat.
"Ah... Padahal, selama ini orang pintar selalu menganggapku bodoh." lirihnya.
Ia mengambil kembali dua coklat panas yang mulai mendingin.
"Itu karena mereka sombong pada kepintaran mereka." jawabku dengan raut wajahku yang jutek. Sudah biasa aku melihat orang pintar yang sombong di kelas kami.
"Tapi, Mouri beda!" serunya, senang sembari melengokku—menyodorkan coklat panas di tangan kanannya. "Padahal Mouri juara satu dikelas kita dan masuk dalam tiga besar dalam seangkatan kita—kelas 1 SMA ini, di seluruh Hokkaido. Tapi jawabanmu seperti itu, itu sangat membuatku senang."
Aku memalingkan wajahku—sambil menerima gelas coklat panas pemberiannya. Malu dan senang yang kurasakan saat ini.
"Iy... Iya! Ayo belajar! Waktuku tidak banyak!" ucapku, gelagapan.
"Seperti biasa, kau tsundere ya?"
Aku memakai kembali kacamataku, menutupi wajahku—menahannya yang mulai merah padam, berusaha tidak senang dengan pujiannya dan juga perasaan senang karena ia—
Mengerti sedikit tentangku.
"Ayo kita belajar!" soraknya, semangat.
Aku pun tertawa kecil. Kemudian ku ambil buku pelajaranku dalam tas selempangku sambil menenggak habis coklat panasku beserta dirinya.
"Jadi, Chousokabe." mulaiku, setelah meletakkan gelasku yang hanya tinggal setetes air. "Dimana yang tak kamu mengerti?"
Hening. Dia melihat wajahku, nyengir lebar padaku.
"Semuanya." jawabnya singkat, namun jelas ditelingaku.
Aku menghela nafas panjang. Aku sudah bisa menebaknya.
"Baiklah! Kita mulai dari hukum kirchiff. Aku buat soalnya terlebih dahulu."
Kemudian aku mengambil buku catatan yang terselip di buku pelajaranku.
"Untuk apa? Aku kan tidak bisa!"
"Jangan bilang 'tidak bisa'!" tepisku, tajam. "Bila kamu berhasil menjawabnya, aku akan meloloskan materi ini."
Ia mengangguk seakan-akan mengerti. Namun aku tidak tahu, apakah dia memang mengerti, atau terpaksa mengerti.
Ku mengambil alat tulisku dan mencoret-coret buku catatanku.
"Sepertinya rumusnya sudah pas." kataku dalam hati. Aku masih terus mencoret-coret buku catatanku. Mencari angka yang pas dan hasil yang pas pula untuk amatiran seperti dia.
Chousokabe hanya mengupil, menungguku menyelesaikan soal yang ku buat. Sangat hening.
"Hei—Mouri! Apa kau tertarik untuk ikut olahraga berenang?" mulainya, memecah keheningan kami.
Aku melengok pada wajahnya. Ketidakpercayaan dengan apa yang diucapkannya membuat diriku membelalakkan mataku dengan sangat besar. Tapi aku menahannya dengan memasang wajah datar.
"Apa? Berenang? Jangan bercanda!"
Dia menggeleng.
"Tidak! Aku tidak bercanda! Klub kami kekurangan orang!"
Aku terperanjat bukan main. Berenang? Seorang murid pandai ikut berenang?
"Aku tidak tertarik." jawabku, sekali lagi dengan wajah datar.
"Ayolah, Mouri! Kau belum pernah ikut klub selama ini, bukan? Ayolah!" rayunya padaku.
Aku menghela nafas panjang.
"Apa untungnya bagiku?"
"Untung? Kau akan punya banyak teman disana! Banyak yang baik kok!"
Aku tertegun.
Tidak ada salahnya juga disana. Siapa tahu, aku bisa mencari pengalaman baru. Lagian, dari catatannya bisa kunilai menarik, sepertinya.
"Bagaimana? Mau terima tawaranku?"
Ku anggukan kepalaku tanda setuju.
"Baiklah! Aku akan telepon manajerku langsung!"
Ia merogoh kantong celananya secepat kilat. Dan aku hanya bisa memandangnya dengan wajah datar, tiada ketertarikan.
Lumayan lama dia menunggu panggilannya diangkat. Sampai akhirnya seseorang diseberang sana mengangkat panggilannya. Entah mereka berbincang apa, aku tidak menggubrisnya. Namun saat ia berkata—
"Iya! Mouri Motonari, anak sekelasku yang cerdas seangkatan kita itu! Dia ingin ikut bergabung dengan kita!" jeritnya di panggilan itu.
Aku menengok dirinya.
"Bodoh kamu, Chousokabe! Cukup panggil namaku, bodoh! Tidak perlu bilang 'cerdas' segala!" pekikku dalam hati.
Dia tidak mempedulikan apa kata hatiku—dengan raut wajah cemberutku saat itu. Dia masih terus berbicara pada manajernya.
Beberapa lama kemudian, dia mematikan ponselnya.
"Besok kita sudah bisa praktek, Mouri!" jeritnya, senang.
"Iya, dan ini sudah menunjukkan waktu petang." sahutku. "Saatnya aku mengerjakan pekerjaan rumahku. Kita lanjutkan besok."
"Ah! Pulang ya? Mau kuantar?"
Aku menggeleng.
"Ayolah!" rayunya lagi padaku. "Aku tidak tega melihatmu diperkosa orang, kau tahu?"
Ku perbaiki kacamataku yang mulai melorot. Tanpa mempedulikan katanya barusan, aku langsung keluar dari apartemennya—setelah aku membereskan barangku tentunya.
"Mo—hei! Tunggu!" susulnya aku yang berjalan keluar apartemennya.
Aku berjalan terus, dan ia hampir menyusulku di jalan. Namun saat dia mulai mendekatiku, aku berlari.
"Kenapa sih kau, Mouri?" teriaknya saat aku berlari kencang.
Aku membisu, dan masih melangkahkan kakiku, berlari secepat kakiku bisa melangkah.
"Mouri!"
Aku berhenti, lalu membalikkan badanku.
"Aku bisa pulang sendiri!" tukasku, grogi. Kini, aku merasa seperti dikejar oleh penjahat.
"Tapi, ini sebagai tanda hormatku pada guru privatku! Bukan karena aku mengejekmu, tau!"
Dia mendekatiku perlahan. Aku ketakutan, berjalan mundur seiring ia melangkahkan kakinya padaku—saat ia maju satu langkah, aku mundur satu langkah juga.
Aku merasa benar-benar seperti akan diperkosa layaknya di film drama yang kadang kala ku tonton dikala senggang.
"Chousokabe! Jangan macam-macam padaku!" getirku, berhenti setelah kesekian kali aku melangkahkan kakiku.
"Ini bukan jalan pulangmu." sahutnya, membuatku sedikit canggung.
"Iy—iya! Ini memang bukan jalan pulangku!" kataku, terus terang. "Aku kan manusia! Wajar bila aku berjalan kemanapun aku ingin!"
"Tapi tidak dalam satu ini. Disini sangat berbahaya, Mouri!"
"Apa? Bahaya? Aku cowok tau! Aku bisa menjaga diriku! Malah kaulah penjahat yang akan membahayakanku!"
Dia mendekatiku.
"Mungkin aku memang penjahat. Tapi layaknya aku melihatmu, orang yang belum mengenalmu pasti mengira kau cewek layaknya aku!" desisnya.
Aku menampar wajahnya.
"Apa sih? Jadi kamu mau bilang aku banci gitu? Aku tau tubuhku ini seperti perempuan. Tapi sekali cowok, aku tetap cowok!"
"Tapi, itu memang kenyataannya."
"Jangan bicara macam-macam, Chousokabe! Apa yang kamu tahu dariku?"
Hening. Kini, matahari semakin tenggelam, membuat wajah kami gelap akibat membelakangi matahari.
"Mungkin, aku tidak tahu tentangmu." jawabnya.
"Nah—kalau be—"
"Tapi!" selanya. "Aku pasti bisa mengenalmu!"
Mataku berkaca-kaca. Apa? Dia ingin mengenaliku?
"Jangan ngomong sembarangan!"
"Kau kira, di kelas aku tidak memperhatikanmu? Kaulah anak murid yang paling aneh sendiri!"
Aku berusaha mungkin menahan keterkejutanku dengan wajah datar.
"Hei! Apa maksudmu!?" bentakku, kesal karena disinggung olehnya.
"Kau selalu sendiri. Kau tidak punya teman. Kau bahkan dikelas selalu belajar, belajar, dan belajar. Kau adalah murid paling kasar, dingin, cuek, jutek, tenang, senang bilang 'bodoh' pada kami, dan anti sosial yang pernah kukenal!"
"Emang, dimana masalahnya!?" tanyaku, dengan nada menantang. Kesal? Tentu saja aku kesal.
"Tidak bosankah kau selalu begitu?" tanyanya. "Aku paling tidak mengerti paham tentangmu, Mouri!"
Ku menunduk, dan semakin kesal.
"Aku juga." sahutku. "Aku juga tidak tahu dirimu, Chousokabe! Kamu rela, demi teman, melakukan apapun. Padahal sudah jelas kamu dimanfaatkan, tapi kamu tetap saja baik. Apa yang kamu harapkan dari mereka!?"
"Apa!?" pekiknya, dengan emosi tak tertahankan.
"Aku sering lihat dirimu selalu membantu orang. Tidak sadarkah akibat dirimu yang terus terang seperti itu dapat membuat orang mempermainkanmu?"
Dia menatapku dengan remeh.
"Apa? Kau bilang, ada yang memanfaatkan kebaikanku? Bodoh! Kalau mereka begitu, aku sudah menjotos mereka satu-persatu!"
Aku mendengus.
"Aku berbuat baik, karena aku ingin! Apa kau tidak sadar bahwa kita digariskan untuk saling bersosialisasi?"
"Aku tidak percaya dengan sosialisasi."
"Tidak percaya?" tanyanya, heran padaku.
Aku menggeleng.
Dia menunduk, tertegun.
"Maaf, tapi aku tidak boleh lama-lama disini. Matahari sudah mulai hilang dari pandanganku." kataku, membuat lamunannya buyar.
"Eh—ah, iya! Kita lanjut besok, ok?"
Aku berdeham.
"Terserah dirimu."
Dengan sedikit cahaya matahari yang tersisa, aku berjalan menyusuri jalan—yang kuyakini ini adalah jalan pulangku tanpa berpamit darinya.
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" kesalku dalam hati. Dengan menenteng tas selempang milikku, aku merasa ada yang menemaniku berjalan.
Percakapan kami barusan terus menghantui pikiranku. Aku terus melamun disepanjang perjalanan.
"Hei, Nari-san! Tumben kamu lewat jalan ini?"
Suara itu mengagetkanku. Aku menengok ke arah belakangku. Aku tau, biasanya yang memanggilku Nari-san adalah—
"Mitsunari?"
"Kenapa lewat jalan ini?" tanyanya sekali lagi.
"Aku habis mengajari teman sebangku Ieyasu tadi." jawabku, sambil memperbaiki kerah seragamku.
"Hoo—Motochika?"
Aku mengangguk.
"Tapi ini sudah jam enam. Kenapa masih keluyuran?" tanya teman sebangkuku ini.
"Ah—tidak ada apa-apa." tutupku. Aku tidak ingin, teman sebangkuku mengetahui sisi saat aku berkelahi dengan Chousokabe.
"Kata senpai-ku, kamu ikut klub renang ya?"
"Seperti itulah." jawabku, datar.
"Mengapa bisa? Apa karena kamu menyukai Motochika?" desisnya, geli.
"Hei! Aku cowok normal!" kesalku.
"Ayolah! Kamu tidak tau kalau Motochika itu seorang gentleman yang separuh hidupnya adalah seorang homo atau yang kita—para orang Jepang, menyebutnya dengan 'yaoi'?"
Aku membisu sesaat. Gentleman? Yaoi?
"Dan Tokugawa Ieyasu, si bocah sialan yang selalu jadi anak kecil padaku, serta Date Masamune, yang selalu berkata-kata dalam bahasa inggris. Mereka berdua—orang yang kubenci, dan Motochika, mereka terkenal sebagai orang yang tidak bisa menahan nafsu syahwat. Aku pernah dengar dari Yukimura yang kakak angkatnya seorang pemimpin klub berita." sambungnya.
Jadi—saat dia bilang aku seperti cewek tadi, dia menyatakan perasaannya sebagai seorang Yaoi?
Astaga, aku ternyata salah bergaul!
Wajahku pucat pasi.
"Emm... Aku pulang dulu, ya? Matahari tak tampak lagi dari pandanganku." tegurku.
"Ah! Iya! Apakah kamu tahu jalan pulang ke rumahmu?" tanyanya.
"Aku tau. Dulu aku pernah ke sebuah warung disekitar sini melewati jalan ini dari rumahku. Yah—ingatan itu takkan buyar." timpalku, meyakinkan.
Aku beranjak dari posisiku, dan berjalan selangkah demi selangkah. Dia melambaikan tangan, dan aku membalasnya dengan seulas senyum hormat.
Diperjalanan, aku terus memikirkan hal yang baru kualami.
Kukepalkan tanganku. Apakah benci? Kesal? Marah? Aku tidak tahu!
Perasaan itu menyatu dalam benakku.
"Chousokabe Motochika. Aku takkan memaafkan kelakuanmu tadi. Aku bersumpah, diatas matahari yang terbenam, aku akan lebih waspada terhadapmu!" geramku.
Kulewati hari itu dengan terus memikirkan taktik jitu terlepas dari pria yang dibilang Mitsunari adalah gentleman.
Awas kamu, Chousokabe!
************************************************************************************
Sebenarnya mau disankutpautkan dengan cerita Gakuen, tapi saya ini kan suka renang *promosi: onSaya mah anak bocah, masih bisa berenang di sungai Mahakam, sungai terpanjang ke dua setelah Barito *promosi ke-2: onTapi jangan tanya sekarang, sejak rubuh jembatan itu saya jadi takut berenang =="Banyak mayat di sungainya T_TYap, next chapter! Apa yang akan dilakukan Mouri Motonari (itu my prince!) ketika mengetahui dibalik senyum gentle Motochika? XDRnr?
