Psycho-Pass milik IG Productions


Ginoza mengambil kaleng bir yang kelima. Tapi karena efek alkohol mulai menggerogoti kepalanya, kaleng itu malah lepas dari tangannya, lalu menggelinding di jalan setapak taman. Dengan agak terhuyung, Ginoza mengejar minuman pelipur lara itu. Pengejarannya tidak berlangsung lama. Kaleng itu berhenti menggelinding saat menabrak kaki seseorang yang berdiri di jalan setapak.

"Ah..." Ginoza memungut kaleng birnya. Tanpa mendongak untuk melihat kaki siapa yang ditabrak, Ginoza berjalan kembali ke bangku taman untuk melanjutkan acara minum-minumnya. Dasar pemabuk.

"Malam yang buruk karena pelanggan yang buruk, Tuan Ginoza Nobuchika?" sapa si pemilik kaki yang tidak diacuhkan oleh Ginoza, Kougami Shinya.

Ginoza menoleh. Ia tidak mengenal pria sebaya dirinya dengan rambut acak itu, tapi ia bisa menduga siapa pria itu hanya dari pertanyaannya yang sinis.

"Kau polisi, 'kan? Biar kutebak, dari unit anti-kejahatan susila di distrik Hachiouji?" tanya Ginoza, lalu meneguk isi kalengnya.

"Hebat juga kau," sahut Kougami. Ia mendekati Ginoza, tapi hanya berdiri di dekatnya. Memandang berkaleng-kaleng bir yang tergeletak di sisi Ginoza.

"Tidak juga. Aku menebak seperti itu karena aku belum pernah melihatmu tapi kau tahu nama lengkapku. Aku cukup sering berurusan dengan mereka di Hachiouji, jadi kupikir kau juga berasal dari sana."

Ginoza berhenti minum. Ia menatap Kougami dengan curiga.

"Kau mau menangkapku? Dengar, aku baru dibebaskan dua hari yang lalu dan yang kurindukan di penjara hanya nenekku dan bir dingin. Aku sudah menemui nenekku, jadi sekarang boleh aku minum-minum dulu?"

Kougami menggeleng. "Kau tidak punya tempat tujuan sehingga berlama-lama di sini?"

Ginoza terperangah. "Aku tidak punya rumah lagi. Apartemenku sudah disewakan pada orang lain saat mereka mendengar aku ditangkap lagi."

"Setelah ini, perbaikilah hidupmu. Ada program khusus untuk bekas PSK sepertimu yang ingin bertobat. Bisa kau ikuti," ujar Kougami, datar.

Ginoza kelihatan kesal dan membanting kaleng di tangannya. Isinya berhamburan dan memercik di celana Kougami.

"He, aku tidak mengenalmu tapi kau sudah mengajariku tentang hidupku!" bentak Ginoza, mencengkeram kerah kemeja Kougami.

"Menyerang polisi bisa membuatmu dihukum lagi, Ginoza."

Ginoza berdecak. Kougami benar, posisinya saat ini tidak menguntungkan. Ginoza tidak boleh berulah lagi jika masih ingin merdeka. Ia melepaskan Kougami, kemudian memungut minumannya, satu-satunya yang ia miliki saat ini. Kemudian berlalu tanpa menoleh.

Namun Kougami rupanya tidak berniat melepaskan Ginoza. Pemuda itu menarik lengan Ginoza hingga tubuhnya berhadapan lagi dengan Kougami. Kaleng-kaleng yang dipegangnya berhamburan di jalan. Sebagian penyok dan bocor, menumpahkan isinya yang berbau tajam.

Ginoza hendak memarahi Kougami karena ulah polisi itu yang sudah melampaui batas. Namun tatapan tajam Kougami menciutkan nyalinya. Kougami tampak seperti monster yang ingin memakannya. Ginoza ingat, tatapan Kougami itu sama dengan tatapan sebagian kliennya, orang-orang yang menganggap bisa berbuat apa saja pada Ginoza hanya karena sudah membayar.

"A-apa yang kauinginkan?" tanya Ginoza tergagap. Ia tidak mengerti apa yang diinginkan oleh Kougami, seseorang yang tiba-tiba muncul dari tempat antah-berantah dan berlagak menjadi pahlawan.

"Ikutlah denganku."

Itu adalah kalimat yang paling tidak masuk akal yang bisa diucapkan oleh seorang polisi. Tapi Kougami kelihatannya serius.

"Kalau kau menolak, aku akan memaksa."

Nada bicara Kougami datar dan pelan. Tapi justru hal itu yang membuat Ginoza gentar. Orang yang serius tidak perlu berkoar-koar untuk menyatakan kehendaknya.

"K-kau menangkapku?" Ginoza meringis. Cengkeraman Kougami terlalu kuat, tapi Ginoza terlalu takut untuk melepaskan diri.

"Aku tahu apa yang kau lakukan sebelum minum-minum di sini. Dari mana lagi kau mendapatkan uang untuk membeli bir? Aku akan menutup mata tentang perbuatanmu hanya jika kau mau ikut denganku."

Ginoza menelan ludah. Pilihannya sama-sama tidak mengenakkan.

"Sebenarnya, apa yang kau inginkan dariku?"

Ginoza tampak ketakutan dan kebingungan saat Kougami menggiringnya memasuki rumah. Kougami dapat memahami perasaannya saat dipaksa memasuki tempat yang asing baginya dalam keadaan tangan diborgol. Tapi Ginoza sempat mencoba kabur darinya sehingga Kougami harus membelenggunya agar mudah dikontrol. Memar di mata kiri Kougami adalah bukti perlawanan Ginoza.

"Ini rumahku. Tenanglah, kau akan baik-baik saja di sini. Aku hanya ingin menolongmu."

"Menolong?"

Kougami diam saja. Ia menarik lengan Ginoza agar mengikutinya masuk lebih dalam. Mereka menapaki tangga menuju lantai atas. Di sisi tangga itu, terdapat dinding yang dihiasi foto-foto Kougami dan keluarganya serta Akane, istrinya. Ginoza memperhatikannya sambil berjalan, lalu bertanya lagi.

"Kenapa kau membawaku ke sini? Keluargamu..."

"Saat ini aku tinggal sendirian," tukas Kougami. "Jadi tidak akan ada gangguan selama kau tinggal di sini."

"Tinggal di sini? Siapa yang mau..."

Kougami memotong kalimat Ginoza dengan memojokkannya di dinding dan membungkam mulutnya. Ginoza terbelalak karena terkejut.

"Diamlah. Biar aku yang mengurus semuanya untukmu," bisik Kougami di telinga Ginoza.

Napas Ginoza agak tersengal. Wajahnya memucat. Kougami tahu ia merasa terancam. Tapi sebelum semuanya beres, Kougami akan menahannya di sini.

Di lantai atas, Kougami membawa Ginoza memasuki sebuah kamar. Ia menghempaskan Ginoza ke atas ranjang, lalu mencari-cari sesuatu di lemari di kamar itu. Di sisi lain, Ginoza yang tangannya dikunci ke belakang, menggeliat agar dapat membalikkan wajahnya yang terbenam di kasur. Saat ia berhasil, Kougami ternyata sudah duduk di tepi ranjang dengan tangan memegang beberapa lembar kain yang cukup panjang.

"Ini akan menahanmu untuk sementara, Ginoza," kata Kougami dingin.

Ginoza terbelalak. Tidak perlu waktu lama untuk memahami apa yang hendak Kougami lakukan padanya. Maka, Ginoza menggeliat lagi sekuat tenaga agar dapat menjauh dari Kougami. Pergelangan tangannya sampai lecet karena bergesekan dengan gelang dari logam. Tapi, seberapa jauh ia bisa menghindar dengan kondisi tangan terborgol?

Sepuluh menit kemudian, Ginoza sudah tergolek di ranjang dengan tangan terikat kain ke tepi atas ranjang. Kougami juga menutup mata dan mulut PSK muda itu. Yang terdengar dari Ginoza hanya helaan napas yang berat karena lelah bergumul melawan Kougami yang lebih kuat.

"Malam ini kau kubiarkan seperti ini. Kalau kau patuh, besok aku akan melepaskan ikatanmu," ujar Kougami.

Ginoza menjawabnya dengan gumaman. Sepertinya ia memohon agar Kougami melepaskannya, tapi Kougami bergeming. Ia harus meyakinkan Ginoza bahwa ia serius hendak menahan Ginoza di rumahnya.

"Aku janji, aku akan menjelaskan segalanya setelah semuanya usai. Bersabarlah."

Kougami berdiri dan beranjak meninggalkan Ginoza sendirian. Tapi saat melihat ke arah kaki Ginoza, ia duduk lagi agar dapat meraih kaki Ginoza yang terbungkus jeans lusuh yang agak kebesaran. Meletakkan kaki panjang itu di pangkuannya.

Ginoza memekik saat tangan Kougami menyentuh kakinya. Sebelumnya ia mengira Kougami akan meninggalkannya sendirian. Tapi ternyata Kougami kembali lagi. Entah apa yang hendak ia lakukan, tapi Ginoza merasa ada yang salah. Ia meronta, menarik kakinya dari pangkuan Kougami.

Ginoza sudah tak asing lagi dengan belenggu selama 'karir'-nya. Sebagian kliennya memang memiliki kelainan yang tak dapat Ginoza hindari. Umumnya sebelum mencapai kata sepakat, mereka akan berterus terang mengenai apa yang mereka inginkan dari Ginoza dan jika Ginoza setuju, mereka bisa mendapatkan keinginannya. Ginoza tidak keberatan diikat dan dicambuk saat melayani mereka, asalkan sesuai dengan kesepakatan. Sebagian dari mereka juga kadang melampaui batas hingga Ginoza kewalahan dan kadang kesulitan bergerak karena kerasnya perlakuan yang ia terima. Untuk menghibur diri, Ginoza hanya menganggapnya sebagai bagian dari risiko pekerjaan.

Tapi diikat oleh seorang polisi di rumahnya tanpa mengetahui tujuannya bukan bagian dari risiko pekerjaan! Ginoza akan merasa tenang jika Kougami berterus terang saja dan akan memenuhi keinginan Kougami asalkan dia dilepaskan. Kougami tidak perlu melakukan hal ini! Ginoza akan patuh! Ia akan menjadi anak yang baik asalkan Kougami tidak...

"Hei, tenanglah! Aku tidak bisa melepaskan sepatumu kalau kakimu menendang-nendang seperti itu!"

Ginoza tersentak. Jadi Kougami hendak menanggalkan sepatunya saja? Seharusnya ia mengatakannya dari awal agar Ginoza tidak salah sangka!

"Bagus, jangan bergerak lagi. Aku tidak mau ranjangku kotor karena sepatumu."

Ginoza yakin bahwa wajahnya pasti memerah karena ke-geer-an. Mudah-mudahan Kougami tidak memperhatikan.

Setelah kakinya terasa dingin karena kaus kakinya juga dilepaskan, Ginoza juga merasa belenggu di tangannya ditambah dengan memakaikan borgol di pergelangan tangan. Kougami mungkin merasa perlu 'menghukum' tawanannya. Terserahlah. Ginoza tidak akan melawan lagi. Ia hanya ingin Kougami cepat meninggalkannya.

Tapi ternyata harapan Ginoza meleset sangat jauh.

Alih-alih meninggalkan Ginoza, Kougami malah melakukan perbuatan lain yang membuat Ginoza kembali dilanda ketegangan. Ginoza merasa kausnya tengah disingkap hingga perutnya terasa dingin. Itu belum seberapa karena selanjutnya yang terjadi adalah, Kougami melepaskan ikat pinggangnya! Apa yang akan ia lakukan selanjutnya, Ginoza sudah membayangkannya.

Ginozapun kembali memberontak. Kougami tinggal sendirian di rumahnya, 'kan? Boleh jadi, Kougami merasa kesepian dan melihat kesempatan saat bertemu dengan Ginoza di taman. Tidak ada yang akan mencari PSK kambuhan yang hilang begitu saja. Ginoza disekap sampai matipun, tidak ada yang peduli. Neneknya saja kini sudah tidak bisa mengenalinya lagi karena alzheimer yang dideritanya. Ayahnya memang masih ada, tapi mendekam di penjara sejak Ginoza masih kecil dan Ginoza memang tidak pernah melihatnya lagi. Jadi, tidak ada yang akan mencarinya sekalipun ia dilenyapkan dari dunia ini oleh Kougami.

Ginoza menjerit di balik kain penutup mulutnya. Ia tidak rela diperkosa lalu dibunuh tanpa perlawanan. Ia tidak akan membiarkan Kougami mengalahkannya dengan mudah!

Tapi sebuah tamparan di pipi membuyarkan perlawanan Ginoza dengan cepat. Tangan-tangan kekar Kougami menekan tubuhnya agar tetap rebah. Ginoza yang terkejut, membeku seketika.

"Kau ini benar-benar tidak bisa diatur! Aku pinjam ikat pinggangmu untuk mengikat kakimu!"

Ginoza terhenyak. Kougami tidak berbohong. Ia merasakan kakinya diikat menggunakan ikat pinggang tuanya. Kougami sungguh-sungguh mengekangnya.

Sayangnya, Ginoza tidak merasa malu lagi karena ke-geer-an. Ia kini merasa marah. Kougami tidak berhak menahannya, meskipun polisi itu tidak menunjukkan tanda-tanda menginginkan tubuhnya. Ginoza melawan. Sekali lagi, meskipun tampaknya akan sia-sia karena kekangan yang dibuat Kougami terlalu kuat.

Kougami menghapus peluh di keningnya. Mengatasi pemuda sekurus Ginoza ternyata menguras tenaga juga. Bahkan setelah ia diikat erat, Ginoza masih meronta-ronta hingga tempat tidurnya berderak. Anak itu punya semangat juga.

Kougami memandang Ginoza yang masih bergulat untuk mendapatkan kembali kemerdekaanya. Tapi ia tidak khawatir. Kelelahan akan membuat Ginoza menyerah dan pasrah. Malam ini, setidaknya, Ginoza akan belajar untuk tidak melakukan perbuatan sia-sia.

Kougami melihat jam tangannya. Sudah larut malam dan ia sangat membutuhkan tidur. Ia akan mengurus Ginoza pagi-pagi sekali. Pada saat itu, anak itu pasti sudah menyerah. Kougami lalu meninggalkan kamar dan mengunci pintunya dari luar. Di dalam kamar, Ginoza masih menggeliat untuk melepaskan dirinya.

"Kalau bukan demi ayahnya, aku tidak akan membawanya ke sini," gumam Kougami sebelum berjalan menuju kamarnya.

Malam itu, Kougami tidur dengan sangat nyenyak. Kenyataan bahwa di rumahnya ada seorang pemuda yang sedang sangat marah padanya, tidak mengganggu polisi itu sama sekali. Kougami yakin, ia sudah melakukan hal yang benar.

NYAMBUNG LAGI MINGGU DEPAN


a/n :

Multichapter yang pertama belum kelar tapi yang nulis malah nyusun multichapter baru. Problemnya selalu sama : menemukan kata-kata yang tepat untuk mengakhiri sebuah cerita. Payah.

Dan setelah bikin cerita Ginoza nginep di rumah mantan gurunya, saya malah bikin fic yang lebih aneh dan 'seru' lagi. Memang, Pak Ginoza ini enak banget diapa-apain, termasuk dijadikan kelinci percobaan (meminjam istilah salah seorang penulis fanfic) hahaha. Saya ngaku deh, nulis ending chapter 1 (POV Ginoza) ini bikin mata juling, otak kebongkar dan gigi pada rontok! Hahaha! Dasar amatiran!