Yang kulihat sekarang adalah api yang menyulut membakar habis gubuk usang tempat kami berteduh.

Tangisan pilu mereka, sebenarnya membuatku ikut karena berperan sebagai kakak sulung, aku harus tetap menjaga kedua adikku ini segenap hati.

Tanganku yang mungil berusaha memeluk mereka agar panas api tak langsung menyengat tubuh mungil adik-adikku. Hanya berlindung sebuah topi warisan dan jubah usang, aku mencoba melindungi mereka dari api yang semakin menjilat-jilat.

Ketika aku berusaha menenangkan mereka, tiba-tiba pintu yang sudah terbakar itu terdobrak hingga jatuh.

Tentu sempat kulirik siapa yang berani berbuat seperti itu, aku mendapati seorang pria dengan tubuh tegap dan pakaian lengkap seperti seorang polisi, yang mencoba menyeruak masuk kedalam gubuk ini. Padahal, sudah beberapa kali atap gubuk ini terjatuh dan menghalanginya ketempatku.

Dengan semangatnya yang seolah tak pernah padam, ia mendekatiku yang sedang memandangnya takut-takut.

Tangannya yang besar terulur hangat padaku. Aku mencoba menatap wajahnya yang sedikit tertutup oleh baret polisinya. Matanya berwarna biru berlian, indah seperti kristal es. Pria itu seperti ingin menolong kami tuk keluar dari sini.

Dengan senyuman tipis, aku mendorong kedua adikku pelan kehadapannya. Aku membiarkan mereka duluan yang diselamatkan. Aku memang sudah bertakdir untuk mati disini. Jadi, biarkanlah.

Aku menatap pria beriris kristal itu dalam-dalam. Ia sudah menggendong kedua adikku dalam dada bidangnya. Namun, belum ingin keluar karena tidak tega meninggalkanku.

Aku mengelus lembut kepala adikku. Baru setelah itu aku menggengam erat jari manis pria itu sambil tersenyum selebar mungkin.

"Aku akan pergi dari sini. Namun setelah adikku bahagia.."

Dengan perasaan tak menentu, akhirnya pria itu pergi dari hadapanku dengan kedua adikku yang meringkuk manis dalam pelukannya. Aku hanya berlutut memandangi punggung pria itu yang semakin menjauh dan menghilang diantara bara api yang sudah membesar.

Aku terbaring ditempatku dengan keadaan tengkurap. Air mata membanjiri pipi tirusku. Akh, aku kekurangan gizi sepertinya. Sambil tersenyum pasrah, aku mulai menutup mata. Menikmati secara diam api yang sudah menyulut dan mengerogoti kakiku perlahan.

"Selamat tinggal… adik-adikku yang manis…"

BRAAK!

Lagi-lagi ada seseorang yang mengejutkanku berupa sebuah pintu yang sudah hancur itu diinjak secara perkasa oleh pria bertubuh gagah dan perwira. Aku menyipitkan mataku sedikit agar jelas melihatnya. Dia berpakaian polisi seperti pria yang tadi. Namun irisnya berwarna merah api.

DEG. DEG

Kenapa jantungku berdegup sekencang ini?

DEG. DEG

Tidak jelas apa keinginannya, tapi dia mengulurkan tangannya. Beberapa kali ia tarik-tarik seperti orang yang sedang memberi semangat. "Ayo! Ayo!" kurang lebih itu yang tertangkap diindera pendengarannku.

DEG. DEG

Kenapa aku tertarik untuk menyambut uluran itu? Tangan mungilku seolah bergerak sendiri mencoba menggapai ulurannya yang hangat.

DEG. DEG

Ia tersenyum penuh ketulusan. Sebuah senyuman yang belum pernah aku lihat…

DEG. DEG!

Tanganku sudah mencapai telapak tangannya. Namun disaat itu, tiba-tiba padangan semua berubah menjadi gelap.

Dan aku tak tau lagi apa yang telah terjadi denganku.

"Memangnya apa tujuanmu sebagai seorang polisi hah?"

"Tentu dengan tujuan utama dapat mengayomi masyarakat agar lebih baik kedepannya. Dan, aku ingin mencari semua adikku yang hilang. Seperti yang dikatakan anda, Jendral."

"Yahh.. jika itu maumu, akan kubuatkan lembaga detektif khusus untukmu."

"Eh? Te-terima kasih jendral! An-anda dermawan sekali!"

"Ya. Karena kau adikku…"

"Terima kasih kakak!"

[Disclaimer : Boboiboy Animonsta]

- HANDSOME POLICE OF BLAZZINGRIMS –

.

By :

- Vallor Anemity -

.

.

WARNING! [This fiction contains little blood and gore, expect adult conten! OC Alert! And OOC Alert! If you didn't like this fic, please press the back button. I won't see some not polite review, because I have warned you're. Thank You.]

.

.

!ENJOY!

.

(-*-)

.

.

YOU HAVE BEEN WARNED

Chapter 1 : Introduce-

.

.

.

"Memang kau pelakunya. Apa masalahmu?"

"Apa kalian punya analisis yang tepat? Aku sangat meragukannya."

"Tentu saja. Ini surat pernyataan bahwa kami legal menangkap anda. Dan ini bukti analisanya."

"Akhh… begitu ya… aku ketahuan."

"Sebaiknya tuan mengaku perbuatan durjana tuan di kantor polisi saja."

"…"

Matahari bulan Maret mulai terbit dari ufuk timur. Sinarnya tak jemu menghangatkan sebuah gedung bertipe klasik bertingkat 5 yang berdiri di tengah-tengah pusat kota sejak 11 tahun didirikan. Gedung berdinding biru dan abu-abu itu menghadap ke timur, dengan lambang yang terpasang diatap gedung. Lambang itu bergambar sebuah pedang kecil dan pistol saling menyilang, yang dikelilingi oleh api hitam sebagai simbol keberanian, serta padi dan kapas sebagai simbol kemakmuran. "BLAZZINGRIMS" tertulis melambung diatas lambang itu.

Salah satu ruangan yang ada di gedung 'sedikit' mewah tersebut, terdapat sebuah ruangan VIP yang sudah disediakan Sang Pemilik gedung untuk salah satu tim polisi yang dibentuk resmi menjadi kelompok detektif di kota itu. Ruangan itu sudah lengkap dengan 3 kamar dan3 ruang kerja yang ditambah dengan pendingin dan ruang makan, kamar mandi (dilengkapi dengan bathup), dan ruang keluarga atau ruang kumpul yang sudah tersedia tv LED dan sofa. Ruangan itu dapat merangkup sebagai ruang tamu juga.

Di ruang tengah, yang berperan sebagai ruang keluarga itu, terdengar suara ponsel yang menandakkan ada pesan masuk. Seorang pria duduk di sofanya yang berhadapan dengan tv LEDnya yang masih off. Ia Berkutat dengan ponselnya yang sedari tadi berbunyi. Titik-titik air hangat seiringan jatuh perlahan dari rambutnya yang masih terlihat basah. Air itu jatuh dan membasahi handuk yang mengalungi lehernya. Sesekali handuk itu ia gosok dengan kasar di rambutnya. Membuat surai hitamnya menjadi acak-acakan.

Gempa, 20 tahun, Seorang Inspektur Polisi Dua, atau Ipda di Blazzingrims dan ketua tim detektif "Trio Cooller". Entah julukan dari mana itu, tapi memang nama itu cocok untuk timnya. Di percayai menjadi pemimpin segala bidang dalam keperluan polisi di Blazzingrims. Karena ketangkasan, keramahan, dan keadilannya yang paling dikenal para polisi disana. Hatinya yang hangat membuat kepribadiannya halus dan lembut. Walau terkadang suka naik pitam. Tapi apa daya? Polisi ganteng dengan ranting kedua itu, hanya bisa bersabar menjalani sisi pahitnya takdir.

Bau biji kopi panggang melecut indra penciumannya untuk mencari asal aroma nikmat itu. Ketika dia menoleh, ia mendapati bawahannya yang berparas mirip dengannya, namun dengan iris merah delima, yang sedang membawa nampan berukuran sedang. Diatas nampan itu sudah tersedia satu gelas kopi besar, dan dua tumpuk roti sandwich berisi tuna panggang dan keju leleh, serta sayuran segar lainnya diatas piring kecil. Gempa tersenyum pada sosok itu, sementara sosok itu hanya membalas senyuman Gempa dengan wajah datarnya.

"Berisik sekali handphone milik anda, Gempa-sama… bisa tolong matikan atau di silent? Aku muak mendengarnya."

"Perlu kukakatan berapa kali sih? Panggil aku Gempa saja. Aku juga muak mendengar kalian memanggilku dengan kata tambahan 'sama'. Kau itu sebenarnya orang mana sih?"

Halilintar meletakkan nampan berisi sarapan kesukaan Gempa diatas meja tamu yang berdiri didepannya. Setelah itu, baru ia duduk disebelah Gempa sambil mencari-cari remot tv tanpa ingin mengubah ekspresinya.

"Dasar penukar topik pembicaraan."

"Otaku gadungan."

Halilintar mendengus kasar mendengar ejekan Gempa. Pria berumur 20 tahun itu tak suka mencari ribut dengan atasannya. Sebenarnya Gempa juga tak suka menyombongkan diri karena kedudukan statusnya yang 'tinggi' diantara polisi lain. Ia tidak memanfaatkan gelarnya itu untuk menjadikan anak buahnya sebagai seorang budak. Baginya, semua orang itu sama dimata Tuhan.

Tuhan tidak melihat kita dari prestasi atau kedudukan yang tinggi, melainkan melihat amal ibadah serta kebajikan kita selama didunia yang singkat ini.

"Remot tv dimana sih? Kau lihat tidak?" Gempa memandang Halilintar bingung karena baru tersadar dari lamunan paginya. Halilintar langsung menepukkan tangannya tepat diwajah Gempa. "Jangan melamun.. pagi-pagi udah ngelamun… tuh! Sarapan dulu. Masih enak kau punya anak buah yang baiknya kayak gini."

Gempa tersenyum tipis berusaha menahan tawa. Ia tau, Halilintar memang bawahannya yang paling hebat serta otaknya yang juga encer. Semua kasus rumit yang berhubungan dengan 'simbol' atau 'sandi' mampu ia pecahkan dalam waktu semenit. Ketangkasan dan ilmu silat di raganya membuat tubuhnya sedikit atletis dan berotot. Polisi ganteng dengan ranting pertama. Kepribadiannya yang dingin serta kaku membentuk karakteristiknya menjadi suka emosi, gegabah, dan tidak sabaran. NAMUN! Jika sudah berada di dalam ruangan VIP mereka, ia adalah seorang pria dengan hati terbuka. Apa adanya, dan pintar memasak maupun membersihkan rumah. Tidak disalahkan jika Gempa menugaskan kebersihan dan kerapihan ruangan ini padanya.

Gempa meraih satu sandwich yang masih terasa hangat. Aroma keju leleh dan tuna panggang begitu membuat indra penciumannya terangsang untuk segera melahap sandwich itu.

"Bismillah…" ucapnya pelan dan langsung memasukkan seperempat sandwich ke dalam mulutnya. "Mmmh… enak bener…" ucapnya nikmat disela-sela kunyahan.

Halilintar tersenyum tipis mendengar pujian dari atasannya. Masih dengan tangan yang baru mendapatkan remot, ia menekan tombol on pada ujung remot. TV menyala dan langsung berpas-passan dengan sebuah liputan berita dari salah satu channel yang sedang membicarakan mereka. Dengan presenter seorang wanita berpakaian rapih dan rambut panjang tergerai. Nada bicaranya yang tadi serius, terdengar ceria ketika memulai meliput berita ini. Halilintar mengencangkan sedikit volumenya.

"Kita berlanjut ke berita selanjutnya… "Trio Cooller" atau "Trio Polisi Ganteng" dari Blazzingrims Police berhasil menguak kasus, misteri donat lobak merah berkecoak. Ternyata pelaku adalah pelapor sendiri yang merekayasa kejadian tersebut. Diduga, Pak Reno memiliki dendam kepada pemilik perusahaan Donatterra yang terkenal enak. Pak Reno pun akhirnya di ringkus dan dimasukkan ke penjara…"

Gempa menelan secuil sandwich terakhir dibantu sesapan panjang kopi susu hangatnya. Baru setelah itu ia mengelap mulutnya dengan handuk kecil berwarna kuning yang menggantung dilehernya. Tatapannya terpaku sebentar pada siaran berita pagi itu. Iris emasnya kini melirik sedikit bawahannya yang nampak datar menatap tv, tampak tak peduli akan tatapan darinya.

"Kasus yang mana dah? Ohh… yang kemarin ya? Rumit juga siih… butuh 2 hari kita menyelesaikannya. Aku paling benci ketika ia bilang gudang itu adalah gudang lama yang penuh debu. Padahal, jelas sekali gemboknya bersih."

Halilintar menyahut tanpa mau menoleh, "Tatapannya juga panik begitu, pas Taufan tanya gudang apa itu. Berani sekali dia membohongi kita. Toh, kesimpulannya tetap masuk penjara juga."

Gempa tertawa pelan. Ia menggelengkan kepalanya kecil sebelum kembali menyesapi kopi buatan anak buahnya itu. Lalu menaruhnya pelan diatas meja. Ia bersandar pada sofa dengan kaki dan kembali fokus pada tv detik, ia terlihat panik. Gempa menatap cepat ke arah jam dinding, dan akhirnya kembali menatap Halilintar dengan wajah paniknya.

"Mana Taufan?! Seharusnya kan jam segini dia udah berisik! Dia masih tidur?!" Seru Gempa panik diikuti Halilintar yang langsung berdiri dari sofa bersamaan dengan Gempa. Mereka berjalan cepat ke arah kamar Taufan yang berada dibagian barat daya bersebelahan dengan kamar Gempa.

Langkah mereka begitu cepat hingga mereka tak bisa mengatur keseimbangan. Ketika mereka berdua nyaris terjatuh dan menabrak pintu kamar Taufan, pintu itu terbuka duluan dan menampakkan seorang pria bertubuh sedikit mungil dari mereka dengan tatapan penuh semangat. Halilintar berteriak diikuti Gempa yang sudah mendorong Halilintar untuk jatuh. Taufan langsung melebarkan matanya dan…

"AKHH!"

GABRUK!

Mereka jatuh bertumpuk di dalam kamar Taufan. Dengan tidak elitnya.

"Duuhh.. apaan sih Hali? Gempa-sama? Masa Taufan yang kecil begini di tindih dua orang berbobot lebih dari 80 kilogram?!" ringis Taufan mencoba menyingkirkan kedua pria itu. Mereka berdua menyingkir dari atas Taufan, disusul sebuah 'pukulan' sayang dari Halilintar khusus untuk Taufan. "Aduuuh! Apaan sih Hali? Aku gak nganggu kamu lho!"

"Enak saja. Beratku Cuma 76 tau! Sotak kau! Kak Gempa tuh yang beratnya nyaris 90 kilogram. Gak pernah diet habisnya…"kali ini sebuah bogem mentah yang mendarat di kepala Halilintar. Bogem itu mampu membuat Halilintar terlonjak kesakitan.

"Kau yang sotak tau! Beratku cuman 75 kilogram! Aku gak pernah diet, karena aku tidak suka diet. Kau yang seharusnya diet! Tapi ku anjurkan untuk berpuasa saja. Rutin, Senin-Kamis. Biar rezeki lancar, sama pekerjaannya dilancarin, begitu."

"Aaammiiinnnn…." Halilintar dan Taufan sudah bersimpuh dengan tangan mengadah membaca doa. Baru setelah itu mengusapkan kedua tangan pada wajah kembar mereka sebagai penutup didepan Gempa yang sedari tadi menceramahi mereka. Gempa hanya bisa menghela nafas pasrah. Sebenarnya, dia sendiri juga bingung harus menghadapi seperti apa sikap bawahannya yang terlihat seperti adiknya sendiri. Taufan dan Halilintar tertawa geli karena merasa aksi mereka lucu, disusul kedua sudut bibir ranum Gempa yang menaik.

Hidung Taufan menangkap sebuah sinyal aroma sandwich dari luar kamarnya. "Halilin~ kamu masak sandwich lagi yaa? Asiiikkk!" Taufan langsung berdiri sambil berlari kecil menuju ruang keluarga. Gempa juga ikutan beranjak dari lantai dan berjalan penuh senyuman hangat diwajahnya. Diikuti Hali dari belakang yang sedang menutup pintu kamar Taufan.

Taufan nampak mengunyah sandwichnya itu disofa. Tapi tatapannya terpaku pada berita yang tersiar di tv mereka. Dengan rasa keheranan, Gempa duduk disebelah Taufan yang menghiraukannya. Sementara Halilintar pergi ke kamar mandi untuk membasuh diri.

"Apa ada yang aneh dengan beritanya Taufan?"

Taufan menggeleng. Ia menelan makanan itu pelan-pelan takut tersedak. "Tidak Gempa-sama. Beritanya tadi bahas kasus kemarin ya? Aku belum nonton nih…" Pria itu menyengir lebar.

Gempa ikut menatap tv yang sempat dihiraukan sebentar. Tangannya ia letakkan di sandaran sofa. Ia menyilangkan kakinya dan kembali memerhatikan Taufan penuh maksud.

"Taufan.. bisa tidak sih jangan panggil aku dengan kata tambahan 'sama'? panggil saja langsung 'Gempa', atau 'kakak' gitu. Ingat, kita sudah 4 tahun bekerja sama. Wajah kita mirip! Sampai publik bilang kalau kita tiga bersaudara. Hiraukan saja gelar atau apaan itu, asalkan kalian bisa memanggilku kakak. Anggap saja aku kakak kalian oke?"

Taufan memandangi Gempa tegang. Awalnya dia ragu, tapi entah kenapa, ia juga ingin memanggil atasannya itu dengan sebutan 'kakak'. "Baiklah, kalau itu maunya.. kakak."

Gempa langsung sumringah. Dia memeluk 'adik' barunya akrab. Taufan tentu kaget. Tapi pada akhirnya, dia juga ikut membalas pelukan 'Sang Kakak'.

Taufan, 20 tahun. Dimata Gempa, Taufan adalah seorang pria dengan tubuh biasa saja. Tidak ada otot yang menonjol ataupun kelebihan fisik lainnya. Meskipun begitu, ia adalah polisi terceria dan teraktif yang selalu meramaikan keadaan sepi di ruangannya. Hobinya hanya bermain skateboard. Itu pun sekarang dia jarang bermain dengan benda peluncur itu. Karena saking sibuknya mereka, kadang menyita waktu senggang 'Sang Polisi tampan' hingga tak bisa bercengkrama walaupun hanya sebentar. Dan tampaknya sekarang hari yang mereka semua inginkan hadir bersama cerahnya langit pagi ini. Polisi ganteng dengan ranting ketiga. Taufan berpribadi baik dan hangat. Menuntun karakteristiknya menjadi seseorang yang mudah bergaul maupun berbaur dengan orang-orang disekitarnya. Salah satu sifat uniknya adalah, 'sisi jahil' Si Taufan. Taufan senang menjahili Halilintar apapun, dimanapun, maupun, dan kapanpun. Mereka tak henti-hentinya membuat suara gaduh saat menjelang adzan shubuh. Kalau sudah begini, mau tak mau Gempa mesti mengeluarkan bogem mentahnya kepada mereka berdua.

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan di pintu depan membuat mereka terlonjak kaget. Sedikit terhuyung, Gempa mendekati pintu ruangan VIPnya, bersamaan dengan senyuman yang selalu bertengger di wajah tampannya ketika hendak bertemu seseorang.

Gempa membuka pintu itu lembut. Tampak seorang pemuda yang sebaya dengan Taufan sedang membawa sebuah map kuning didekapannya. Tatapannya lembut, baret polisi khas Blazzingrims bertengger manis dikepalanya. Ia menatap Gempa sambil tersenyum sopan, dan mengangkat tangannya hormat pada Sang Atasan.

"Ya.. ada apa Serda Tanah?" Sambut Gempa mengikuti gaya bawahannya, membalasi hormat serda itu. Pemuda itu nampak tersenyum lebar. "Selamat Pagi, Inspektur. Kedatangan saya ingin memberi informasi bahwa Jendral Blaze ingin menemui anda nanti siang, pukul 12.00 WIB, dan…" Tanah menyodorkan sebuah map kuning yang terkemas rapih kehadapan Gempa secara sopan. "Beliau meminta saya utuk memberikan map kuning ini kepada Inspektur, karena ada beberapa tugas yang belum anda selesaikan."

Gempa merengut dibalik senyumannya. Tapi, dengan senang hati ia menerima map kuning yang diberikan oleh bawahannya. Gempa membuka-buka map itu sedikit sambil menatap santai serda itu. "Ada lagi yang perlu disampaikan?"

"Cukup itu saja. Kalau begitu saya mohon pamit ingin kembali ke kelas." Gempa nampak bingung. Ia pun menghentikan langkah Serda manis itu yang mulai beranjak pergi. "E..eh. Tunggu sebentar, kemari.." Serda muda itu menoleh ke arah atasannya, sambil berjalan berbalik mendekati Gempa,

"Ada apa ya, Inspektur?"

Gempa menyatukan alisnya, pungung lebarnya bersender pada bibir pintu. "Kelas? Memang sekarang hari apa? Bukankah mengajar hanya sampai Jum'at? Itu pun setengah hari."

Serda Tanah tersenyum polos didepan Gempa yang semakin menunjukkan wajah bingungnya.

"Hari ini ada kedatangan tamu terhormat dari Freeziesrims. Semua Kopral, Sertu, Serda, Bripka, dan Bripmop diminta untuk bersiap menyambut kedatangannya. Oh iya, terkecuali untuk Serda Halilintar dan Serda Taufan. Mereka dibiarkan istirahat untuk hari ini oleh Jendral."

Gempa tersenyum miring mendengar adik-adiknya tidak ikut menyambut kedatangan tamu dari kota sebelah yang dikenal 'gadungan' itu. "Hooo… begitu.. emm… kalo begitu, siapa tamu itu?"

"Jendral Ice."

Gempa diam mematung. Nama itu terdengar tak asing di indera pendengarannya. Pria itu nampak mengenal nama Jendral tersebut, tapi siapa?

"Mengapa beliau kemari? Kotanya kan belum luput dari yang namanya 'Kasus Kriminal', bukankah beliau harus menangani sampai selesai dulu ya?"

Serda itu menggeleng bahwa tidak tau juga. Gempa mengerti. Ia pun menyuruh Tanah untuk kembali kekelasnya lagi. Tanah pun pamit meninggalkan ruangan VIP itu.

Gempa membanting pintu itu pelan agar tak membunyikan suara gaduh di ruangannya. Berjalan gontai menuju sofa, Gempa membuka lembaran-lembaran mapnya yang nampak membosankan. Taufan yang masih duduk manis di sofa dan terus mengunyah, memerhatikan wajah kusut kakaknya itu.

"Apa kak? Kasus lagi yah?"

"Gak tau juga sih, makanya kakak lihat-lihat nih…" Ketika lembaran-lembaran tengah dibuka, ada secarik kertas yang terjatuh dari sana. Gempa dan Taufan yang penasaran, dengan cepat meraih kertas itu bersamaan. Ternyata sebuah foto lama.

Foto itu sudah nampak memiliki garis-garis lipatan putih. Mungkin sudah lama terlipat atau sudah lama tersimpan, namun jelas di dalam foto itu ada seorang pemuda bersurai hitam, beriris merah api, yang mengenakan sebuah seragam polisi khas Blazzingrims, dengan seorang anak dalam pelukannya yang berumur sekitar 13 tahun yang memakai baret polisi khas sini. Sepertinya baret itu milik Sang Polisi yang sedang dipakai anak itu. Mereka nampak ceria dengan pose hormat mereka.

Gempa memincingkan matanya. Ia seperti tidak asing dengan anak dalam pelukan polisi beriris merah api itu. Hanya saja,

"AKH!" Gempa dengan cepat langsung memegangi kepalanyayang berdenyut secara tiba-tiba.

"KAK GEMPA!" Taufan berteriak mencoba memanggil kakak angkatnya itu. Taufan memegangi kedua tangan Gempa yang kaku. "Halilintar! Bantu aku Hali!" Taufan memanggil litingnya yang sedang membasuh diri. Tak lama suara pintu kamar mandi pun berderit dan terbuka lebar. Halilintar keluar bersamaan uap panas yang mengelilinginya. Tatapan dinginnya masih ia pakai hingga melihat atasannya yang kini tidur dalam pelukan Taufan.

"Astaghfirullah! Kak Gempa!"

Halilintar berseru dan mendekati kakaknya itu. Dengan cepat ia memerintah Taufan untuk segera memapah kakak angkat mereka menuju kamarnya

"Tunggu Hali…"

"Apalagi?! Kak Gempa lagi begini juga!"

"Itu.. foto itu yang tadi kakak lihat. Dan.."

"Berisik! Cepat bantu aku memapahnya!"

"Ah.. iya.. iya…"

Taufan dan Halilintar akhirnya bekerja sama memapah kakak tertuanya itu.

Dan,

Foto itu sempat terjatuh yang tidak sengaja membalikkan gambarnya. Tampak dibalik foto itu tertulis sebuah tulisan yang ditulis sambung, tak meninggalkan khas tulisannya yang terlihat kuno itu,

Bersama adik tercinta, Gempa-

.

To be Continued…

(-*-)

Haaiii… salam kenal! Aku Vallor Anemity ^^)7

Gyahaha… tenang saja kok, ini masih Anni yang dulu. Tapi entah kenapa pengen aja ganti nama. Soalnya kalau AnniSwatCS terasa cocok untuk Artist saja. :3 dan Vallor untuk nama penaku~ ^0^)9 harap kalian masih stay tune yach!

Vachii membawa fic terbaru nih~ kalian mungkin sedikit bingung dengan awalnya, karena Vachii sendiri juga merasa kaget habis nulis yang berbau dewa tiba-tiba langsung yang bertema kehidupan reality biasa. Hehehe.. yah, semoga seiringan waktu, bisa dipahami lahh… kalo kalian memang tidak suka, Yah, monggo tekan tombol back… -.-)~ ngono kok susah tenan…

Ada yang bingung dengan pangkat-pangkat mereka? Xixixi… jika kalian bingung, biar Vachii kasih tau dehh…. .)9

Gempa : Ipda (Inspektur Polisi Dua)

Halilintar : Serda (Sersan dua)

Taufan : Serda

Tanah : Serda

Petir : Sertu (Sersan satu)

Angin : Sertu

Yaya : Usaha Kesehatan

Ying : Pemegang gudang senjata

Gopal : Penjaga parkiran seluruh kendaraan polisi

Fang : Terungkap di chap selanjutnya

Api : Misteri

Air : Misteri

Blaze : Jendral (Blazzingrims)

Ice : Jendral (Freeziesrims)

-Sebagian OC sebagai tambahan-

Fuuaahh… itu semua jabatan-jabatan yang ada di fic ini. Sebenarnya… Vachii sendiri juga bingung pangkat apa lagi yang ada dipolisi. Tapi yah, sepengetahuan aja yah. Ya udah ya… segitu aja. /Ditelenbumi udah ah, gak usah banyak omong lagi… **)/

Kritik dan saran serta dukungan membuat cerita ini akan terus berlanjut. So,

MIND TO REVIEW?