Jemari-jemari lentik itu menari riang kala tuts-tuts keyboard mengalunkan melodi yang tak pernah terhenti. Kristal-kristal violet pucat memantulkan deretan kata yang selalu teruarai dengan begitu lembut. Tak perduli bahasa seperti apa yang tersusun, penafsiran akan sebuah keramahanan dapat tertangkap oleh sang gadis berambut hitam. Mengukir senyum di wajah manisnya yang selalu tersapu rona-rona kemerahan yang menambah kecantikan natural yang begitu padu.

Hyuuga Hinata.

Hanyalah seorang gadis yang bersembunyi dalam dunia tempat deret kata satu-satunya hal yang dapat ia kenal. Bukan tatan sinis dan pisau-pisau tajam yang dikenalnya dalam dunia nyata, dunia yang dipenuhi hal-hal yang dibencinya.


Naruto © Masashi Kishimoto
Just Word © Ruise Vein Cort
Don't like please leave without flame―expect flame yang membangun :p
Bila menemukan (...) atau (See More) tak wajar harap meberitahu.

Itu human eror bukan kesalahan saat di upload, tapi saat di Copas


"Jadi kau masih belum bisa menyapa anak itu?" Rentet kata tercetak jelas pada layar ponsel biru milik Hinata. Sebuah pesan dari teman dunia maya yang tak pernah ia temui namun sangatlah ia kenal. Kyuubi Pretender.

Gadis itu tak segera mengetik kalimat balasan. Memasukkan kembali ponsel yang masih menampakkan Opera Mini―software yang tak pernah ia tutup semenjak mendownloadnya kecuali ponsel sial miliknya harus kehabisan baterai. Memasukkanya ke dalam saku rok rampel berwarna merahnya dan kembali memperhatikan bagaimana seorang Hatake Kakashi menjelaskan pelajaran dengan tetap memperhatikan rentetan kata dalam buku novel mesumnya.

Merasa bosan, gadis Hyuuga itu mulai menggoreskan ballpoint birunya di atas kertas-kertas file. Setidaknya Neji yang duduk di samping gadis itu mengerti benar apa yang akan dilakukan sang sepupu di rumah bila hari ini ada kegiatan catat mencatat.


Memeluk kesunyian belaka,
Kedua telingaku tertutup,
Mengusir suara-suara yang mengetuk,
Suara tanpa ada persahabatan.


"Hinata-sama, Anda baik-baik saja bila bersama mereka?" tanya Neji ragu. Menyerahkan buku tulis miliknya pada Hinata yang tengah sibuk mengetik pesan balasan pada Kyuubi Pretender.

"Kak Neji, tolong... Jangan panggil aku dengan surfik 'sama'. Kakak membuatku berpikir bahwa kakak adalah salah satu dari mereka," pinta Hinata. Menerima buku dari Neji dan menatap sosok yang sudah dianggapnya sebagai kakak kandung lekat.
Neji terdiam sesaat, menghela nafasnya pelan akan rasa frustasi dengan sikap sang sepupu. Benci sekaligus sayang adalah kata yang dapat menggambarkan bagaimana perasaan seorang Neji pada Hinata-samanya.

Ia membenci Hinata. Karena diri yang begitu lemah di hadapannya kini adalah sosok yang kelak akan mewarisi keluarga Hyuuga. Menjadi kepala keluarga bangsawan yang amatlah besar.

Ia menyayanginya, begitu mencintai sosok rapuh yang selalu menggelayutinya di kala usia mereka barulah enam tahun. Gemetaran saat 'seekor landak' pirang menyapanya ramah. Sosok yang ingin didekapnya untuk terus seperti itu, mengharapnya agar dapat berubah menjadi putri kecilnya yang tak kan pernah terenggut oleh sebuah pinangan.

"Kalau begitu, Nii-chan mau bertanya. Apa kau baik-baik saja satu kelompok dengan kedua orang itu?" tanyanya lembut. Meraih ponsel Hinata yang bergetar di atas meja―Hinata sendiri sibuk menyalin catatan Neji―dan membaca sebuah pesan dengan nama yang cukup aneh The Most Handsome Chicken. "Kelihatannya saya harus mengawasi teman-teman Anda di situs jejaring sosial, sense mereka kacau..."

Hinata terkikik geli. Membiarkan Neji menyalankan laptop silver-nya dan mulai mengakses situs yang dimaksud. Mengawasi apakah ada kata-kata menjerumus masuk dalam akun gadis itu.

Ia tak merasa keberatan bila Neji mengutak-atik account miliknya. Karena ia mengerti benar bahwa Neji melakukan itu untuk keamanan Hinata sendiri. Tidak seperti seseorang yang pernah menghancurkan hidupnya dahulu.

"Oi, Hime... Aku sudah mengirimkan link yang kau minta. Nanti cek saja sendiri. Dan jangan cari aku di FB satu minggu ke depan. Tugas sial! Guru mesum konyol! Sign, The Most Handsome Chick."


Tak ingin aku berkawan nyata,
Karena nyata tak pernah tersenyum,
Inginku berkawan mimpi,
Karena mimpi terimaku apa adanya.


Ibu jari Hinata meloncat-loncat dengan lincah menyusuri keypad. Mengetik beberapa balasan hingga suara melengking milik Uzumaki Naruto mengalihkan perhatiannya. Sungguh, dari puluhan siswa di kelasnya mengapa ia harus satu kelompok dengan orang yang membuatnya selalu pingsang di tempat? Apa Kakasih melupakan hal yang bukan lagi rahasia umum itu?

"Nata-chan, bisa kau masukkan ponsel itu sebentar?" pinta penyuka warna orange itu. Mendekatkan wajahnya pada Hinata dan memancing gadis itu memerah―setidaknya ia sudah belajar untuk tidak segera pingsang maupun mimisan dalam kondisi sedekat itu.

"Ma-maaf, N-Naruto-san!"

"Ya sudah, lalu... Apa kau punya ide mengenai tanaman apa yang akan kita tanam?" kembali remaja itu mengumbar suara yang cukup merdu. Mengambil jarak dari wajah Hinata yang terus bertambah merah setiap detiknya. "Kau sakit, Nata-chan?"

"Ti-tidak! B-bu-bukan begi-tu."

Remaja pirang itu mengeriyetkan keningnya. Merasa penasaran dengan apa yang sebenarnya melintas dalam benak Hinata.

"Dobe, mau tanam tomat saja?" suara yang begitu datar menyeruak. Menepis kebisingan yang terja...di di antara mereka bertiga. Suara merdu milik Uchiha Sasuke.

"Teme! Aku tidak bertanya padamu!" bentak Naruto, segera menatap tajam kristal-kristal onyx maupun lengkungan sinis di wajah sang rival. "Lagipula tomat belum tentu akan berkecambah dalam waktu dua minggu. Kau juga yang kesulitan untuk mencatatnya nanti," tambahnya.

Hinata sedikit memiringkan kepalanya. Merasakan sesuatu bergetar di dalam roknya saat Naruto maupun Sasuke saling adu mulut apakah akan menanam biji tomat atau tidak untuk tugas mereka.

Kristal violet miliknya sedikit melirik pada tiga orang gadis yang duduk tidak jauh dari tempatnya. Mengenakan icon hati saat memperhatikan Uchiha bungsu maupun tatapan sinis seolah meremehkan padanya. Sebuah katalisator yang membuatnya ingin segera menikmati kelembutan di dunia miliknya. Sebuah candu yang terus memaksanya untuk... Isi pulsa.

"Sudah cukup! Sebagai ketua kelompok aku putuskan kita menanam pohon cabe!" Dan kau bertanya, untuk apa Naruto bertanya tanaman apa yang akan mereka tanam bila ia sendiri sudah memiliki keputusan sendiri.

"Dobe baka, mana ada pohon cabe. Tanaman itu sama sekali tidak berkambium!"

Beri alasan mengapa kau tidak segera meminta Neji―yang tengah berdiskusi dengan Lee dan Tenten―untuk mengantarmu pulang sekarang?


Mata berisi senjata tajam,
Mulut bersenjatakan api,
Semua kalian kenakan dalam nyata,
Tanpa ulur keramahan.


Sesekali sebuah tawa renyah mengalun dari bibir tipis Hyuuga Hinata. Memberi respond pada kata-kata menggelitik yang terhampar di layar laptop miliknya. Guyonan dari teman-teman dekatnya... Sekalipun kata dekat disini haruslah berantonim bila ada dalam jarak.
Ia terus terbuai bersama dentang irama syahdu dari i-Pod miliknya. Menikmati lagu-lagu yang baru saja didownloadnya akibat petunjuk dari The Most Handsome Chicken.

Sudah tak dapat mengingat lagi kapan terakhir kali ia terjerumus dalam dunia cyber ini. Semua terasa begitu cepat. Ia... Menikmati dunia yang tak pernah mempermainkannya dan selalu membimbingnya itu.

Neji memanglah ada di sampingnya. Tapi itu berbeda, dia tidak bisa selalu menghiburnya kala manusia-manusia egois itu kembali menyapanya dan menimangnya dalam racun yang terasa begitu manis pada permulaannya saja.

Sudah terlalu banyak pisau-pisau yang terasah benar menusuk punggung gadis belia itu. Membuatnya ragu untuk mendekat pada eksistensi-eksistensi nyata di sekitarnya―pengecualian bagi segelintir orang-orang terdekatnya, yang sangatlah ia kena...l luar maupun dalam.

Tak perduli apa bagaimana masa kedepannya nanti. Tak perduli apa yang akan terjadi pada seorang Hinata yang tak ingin berkenalan dengan dunia nyata. Hanya perduli untuk bersembunyi dalam cangkang beisi bahan-bahan beludru.

Bila tak ingin terluka... Untuk apa harus bersusah payah berteman dengan pada pembuat luka? Tak perlu rasanya ia mendapati pengkhianatan yang lain. Setelah semua terjadi, sejumlah besar kotoran yang mereka lemparkan bersama peluru-peluru itu sudah cukup bagi Hinata.

Tiga belas tahun waktu yang dilewatkan dalam kebohongan dari manisnya racun 'pertemanan'. Dan saat waktu menyadarkan ia sudah menaiki tangga kedelapanbelas, ia sudah tenggelam di balik tempurung kura-kura.

Hanya habiskan waktu untuk bercengkrama dengan rentetan alfabet di dalam laptop birunya.


Nyata menatapku sinis,
Mimpi mengetik lembut,
Aku hidup dalam nyata,
Namun bersembunyi dalam mimpi.


Owari

(Dengan gaje)


Aneh?

Gaje?

Anda benar ^^

Oi, Ndin... Udah kubuat nih pesenanmu.

Met marah-marah di Wall ku...

Heh... Aku nggak bisa buat romance sih... Jadi nyasar begini


Mind to Review?

Flame diterima... TAPI HARUS LOG IN!