Summary: Kaizo adalah anggota klan yang terkenal sebagai klan pembasmi setan. Fang adalah murid dan asistennya yang Kaizo adopsi karena memiliki kekuatan aneh. Bersama Boboiboy, dari klan pengendali elemental yang musnah ratusan tahun lalu, mereka harus membunuh seorang raja iblis sebelum Kiamat terjadi. AU, fantasy. Slowburn.

.

Boboiboy milik Animonsta Studios

.

Chapter I : Kismis dan Keju

.

.

Kota Fresia, pesisir Laut Estoria Timur, tahun 476

Kota Fresia adalah kota yang indah berada di dekat lautan. Banyak pedagang dan pengembara dari berbagai negara singgah di tempat ini karena sangat strategis, tempat para pelayar menjual barang komiditi mereka dan mengisi perbekalan untuk perjalanan panjang mengarungi samudera. Kota ini kaya karena pariwisata dan hasil lautnya, terutama mutiara dan udang. Ini adalah kota indah yang ramai, dengan rumah-rumah besar menjulang terbuat dari batu, kuliner yang lezat, baju gaun yang manis, jalan-jalan rindang yang ditanami pohon dan bunga-bunga, serta penginapan-penginapan yang ramah dan nyaman.

Tapi pada malam itu, terjadi penyerbuan besar-besaran oleh setan-setan laut dari Pantai Payau Utara. Bala tentara itu menyerang kota tersebut. Langit malam tampak berkabut karena asap tebal dari api yang membakar seluruh kota. Sebagian berlarian, mencari tempat yang selamat dari jilatan api, sebagian lagi terluka atau mati.

Fang saat itu berumur 9 tahun, ia hanya seorang anak yatim-piatu yang menjadi pembantu tukang roti. Malam naas itu, ia juga menjadi korban seperti ribuan penduduk yang lain. Fang kecil berlari dari toko roti tempatnya tinggal dan bekerja, toko itu terbakar bersama bangunan yang lain. Bapak pemilik toko itu telah mati dan mayatnya sedang dimakan oleh beberapa ekor setan berkulit seperti sisik ikan. Mereka menarik-narik daging itu sambil mengunyah dengan rakus. Fang tidak ingin bernasib sama jadi ia lari. Ia pandai sembunyi karena tubuhnya sangat kecil dan kurus, larinya juga kencang.

Dengan nafas terengah-engah, Fang menyusuri lorong-lorong perumahan yang sedang dimakan api. Kebakaran terjadi dimana-mana, cahaya apinya terang menerangi langit malam. Tak ada bangunan yang lolos dari jilatan rakus api. Banyak manusia terpanggang hidup-hidup, orang-orang memeluk keluarga mereka yang hangus sambil menangis. Jasad-jasad dimakan dengan rakus oleh setan-setan.

Fang harus pandai mengendap. Awalnya ia berpikir ia harus lari ke pantai karena banyak air, tapi ia baru ingat kalau mereka adalah setan laut, mereka pasti juga banyak di pantai. Maka Fang kecil lari sejauh mungkin keluar kota.

Derap kakinya dengan lincah melewati gang dan lorong. Matanya awas mengamati setan-setan yang berseliweran bebas sambil mengunyah daging manusia. Fang menguat-kuatkan dirinya agar tidak menjerit ketakutan, ia tahu ia harus diam dan tenang. Habis ini, Fang kecil akan menangis kuat-kuat karena ia trauma oleh hal-hal sadis yang ia temukan. Di ujung sana ada hutan. Ia akan tiba di sana dan selamat.

Dari arah berlawanan, tiba-tiba ada setan berbentuk seperti naga kecil menerjang Fang. Anak itu berteriak ketakutan. Setan itu mencengkram tubuh Fang dengan sangat erat dan membuka mulutnya, memperlihatkan deretan taring runcing, siap mengoyak-koyak tubuh kurus Fang. Anak itu sangat ketakutan ia akan mati hari ini, terkubur di perut seekor setan. Ia menutup matanya menunggu gigi-gigi runcing itu mencabik tubuhnya sampai sesuatu yang aneh terjadi.

Tiba-tiba cahaya biru terang bersinar dari arah Menara Putih Agung Fresia, bangunan tertinggi di kota ini. Fang menengadahkan wajah karena terkejut ada cahaya terang. Cahaya biru itu sangat terang seperti matahari, dan kemudian berubah menjadi seperti gelombang cahaya biru. Gelombang cahaya itu kemudian meledak dan merayap sangat cepat ke seluruh sudut kota, menyapu habis semua setan-setan dan memadamkan api, semuanya menjadi debu beterbangan. Jerit kesakitan para setan terdengar menyayat dan sangat ribut, sebelum akhirnya mereka musnah menjadi abu keperakan. Setan naga yang hendak memangsa Fang pun ikut menjadi abu, membuat sekujur tubuh Fang dihujani debu sisa penyucian. Kota ini terselamatkan, namun kerusakan tetap terjadi dimana-mana. Terlalu banyak korban yang mati.

Fang kembali menatap Menara Putih Agung tersebut dengan takjub. Apa yang menyebabkan ada cahaya biru terang tadi? Cahaya itu sangat terang hingga untuk sesaat malam seperti siang hari. Cahaya penyucian itu telah menyelamatkan kota ini.

Fang memicingkan matanya. Ia melihat ada seseorang berdiri di puncak menara yang terbuat dari batu putih tersebut. Fang melihat samar-samar, orang itu memakai jubah gelap dan kemudian dengan cepat menghilang dari sana. Diakah yang menyebabkan cahaya tersebut?

Fang pernah mendengar mengenai beberapa manusia yang diberkahi kekuatan roh atau spiritual yang kuat oleh Tuhan. Mereka bisa menjadi pembasmi para setan, menyucikan mereka sampai tak bersisa menjadi abu. Kekuatan spiritual mereka bervariasi, ada yang lemah ada juga yang kuat. Tapi orang yang berdiri di atas Menara Putih ini sudah tentu sangat kuat kekuatan rohnya, hingga ia bisa menyucikan ribuan setan dan apinya dalam sekali serangan. Belum lagi ledakan gelombang itu bisa menyapu daerah yang sangat luas, satu kota hingga melewatinya. Fang rasa ia adalah pembasmi yang tidak main-main.

Fang ingin tahu siapa dia. Menara putih itu sangat dekat dengan tempat Fang berdiri. Ia kemudian berjalan menghampiri menara putih tersebut. Mungkin ia bisa melihat siapa dia.

Dengan langkah gontai, anak itu nenyusuri jalanan, seraya berusaha tidak melihat jasad-jasad manusia yang berantakan setengah dimakan oleh setan-setan itu tadi. Kakinya yang hanya memakai sepatu cokelat usang yang sudah tipis ia paksa melangkahi mayat, tubuhnya yang terlalu kurus dibalut lapisan baju lusuh kebesaran, berkibar ditiup angin dingin. Ia sudah sampai.

Di depan pintu raksasa Menara Putih Agung, tak ada siapapun. Hanya ada beberapa orang yang mengerang kesakitan dan beberapa menangisi kepergian keluarga dan sahabat. Kota indah ini berubah menjadi seperti medan perang, penuh kesengsaraan dan darah. Fang berusaha tidak memikirkan semuanya dalam-dalam, kalau ia pikirkan dalam-dalam tentang jasad-jasad itu ia akan menangis ketakutan di tempatnya berdiri. Fang hanya fokus ingin melihat siapa pahlawan itu.

Sebuah celah kecil terbuka dari pintu gerbang raksasa tersebut. Tak ada yang sadar kecuali Fang. Anak itu menyembunyikan tubuhnya dalam bayangan lorong. Ia memperhatikan lekat-lekat.

Seseorang memakai jubah biru malam keluar. Jubah itu tampak kotor, panjang menyentuh lutut orang itu. Sepatu kulit yang juga agak kotor berwarna hitam terikat erat di kakinya, tinggi hingga lutut. Wajahnya tampak muda, matanya tajam dan dingin. Bibirnya terkatup rapat. Pemuda itu membawa pedang di pinggangnya.

Fang tak pernah melihatnya sebelumnya di kota ini, tapi kota ini memang kota yang ramai karena banyak dermaga dan pelabuhan, banyak pendatang asing. Tapi bagi Fang wajahnya bukan hal yang mudah dilupakan. Ekspresi wajah pemuda itu tampak keras dan dingin, terbalut fitur yang rupawan. Wajahnya berwibawa, layaknya raja-raja zaman dahulu.

Pemuda itu tahu ia diawasi, ia kemudian memandang Fang. Mereka bertemu mata, menyebabkan Fang terkejut dan takut. Fang langsung menarik dirinya untuk sembunyi dibalik tembok batu. Ketika Fang memberanikan diri untuk melihatnya lagi, pemuda itu sudah menaiki kudanya. Ia lalu memacu kudanya dan berderap pergi tanpa melihat ke belakang lagi.

.

5 Tahun Kemudian

.

Kota Fresia, tahun 481

"Fang! Cepat bawakan ini ke kamar diatas!"

"Cucikan ini sampai bersih, Fang!"

"Urus kuda-kuda tamu! Pastikan mereka mendapat minum dan makan!"

"B-baik!"

Setelah kehancuran di kota Fresia oleh kawanan setan dari Pantai Payau Utara tersebut, kota itu tak pernah sama lagi. Kota itu menjadi miskin dan dikuasai oleh para bajak laut atau perompak. Kejahatan begitu mudah terjadi dan tak dihukum, perampokan, pembunuhan, penculikan dan sebagainya. Anak-anak dan wanita adalah target mudah. Beberapa kali Fang hampir menjadi bulan-bulanan para perompak itu. Beberapa kali Fang dipukul hanya karena mereka ingin saja. Selain itu, sulit sekali ia mencari makanan, ia akhirnya bekerja menjadi tukang cuci dan pesuruh di sebuah penginapan bobrok. Tangannya hingga lecet-lecet akibat dipaksa terus-terusan mencuci meski saat musim salju tiba. Di musim salju, air sungai begitu dingin menusuk hingga telapak tangannya kering pecah-pecah dan mengeluarkan darah. Fang selalu meringis kesakitan saat membalut tangannya pada malam hari.

Fang tak bertemu dengan pemuda misterius itu lagi untuk beberapa tahun. Bagi Fang, pembantaian massal mengerikan di Fresia takkan pernah bisa ia hapus dari memori, serta ledakan cahaya biru yang memenuhi langit malam berkabut menyucikan semuanya. Cahaya itu seperti fajar harapan, yang mengusir mimpi buruk malam. Fang ingin tahu tentang pemuda itu, namun kejadian dalam hidupnya memaksa Fang untuk melupakan sang pembasmi.

"Aku ingin pergi dari kota tanpa harapan ini," ujar Fang pada dirinya sendiri, saat ia berumur 14 tahun, telah lewat 5 tahun sejak kejadian serbuan bala tentara setan tersebut. Fang tengah berbaring di sebuah gudang jerami yang begitu dingin. Ada seekor kuda poni kurus tidur bersama Fang, Fang selalu tidur di dekatnya agar hangat. Fang rasa mereka sudah berteman.

"Tapi bagaimana aku memiliki perbekalan untuk lari dari sini, sepeser perak pun aku tak punya," gumam Fang pada dirinya sendiri. Ia merasa sedih. Ia tak ingin mencuri uang, ia takut ketahuan. Jika ketahuan, ia akan dihukum sekejam-kejamnya. Fang pernah melihat ada seorang wanita mencuri dan hukumannya sangat melecehkan dan menyakitkan. Fang masih trauma melihat pemandangan mengerikan itu, perbuatan mereka lebih jahat daripada setan.

Namun Fang tidak tahan lagi. Ia ingin pergi dari sini, karena ia sudah lelah diperbudak oleh Pak Tua dan istrinya. Setiap hari mereka memperkerjakan Fang tanpa istirahat, dari jam 3 pagi sampai jam 11 malam. Fang juga diberi makan sedikit sekali dan tak diperbolehkan mengambil lebih. Jika ia melakukan kesalahan, ia akan dipukuli dengan kayu atau dibenamkan tangannya ke air panas. Bagi Pak Tua dan istrinya, Fang sudah berhutang budi pada mereka karena mereka memberikannya makan dan tempat tinggal di gudang jerami. Fang harus berterimakasih, Fang harus patuh dan bekerja keras meski sakit sekalipun.

Fang lalu melihat buku tebal di hadapannya, dengan lilin kecil yang ia pegang. Buku itu berjilid tebal, judulnya 'Sejarah Dunia Baru dan Petanya'. Buku ini satu-satunya barang pribadi Fang, selain baju-baju bekas yang ia pungut. Buku ini adalah buku tentang berbagai negara di dunia, ia temukan saat seorang pelaut meninggalkan barang bawaannya karena tak bisa membayar biaya penginapan. Pak Tua pemilik penginapan tak peduli apakah Fang memiliki buku itu, maka ia pun mengambilnya dengan senang hati. Fang selalu membacanya sebelum ia tidur, sambil melamum memimpikan bagaimana indahnya negara-negara yang ia baca itu. Selain perlakuan buruk yang diterimanya, buku itu pula yang membuat Fang ingin lari dari tempat ini. Ia mulai menyusun rencana.

Fang adalah anak yang cerdas. Ia kemudian memutar otak, mencari jalan. Mungkin ia seharusnya tidak mencuri uang, tapi perbekalan makanan. Ia bisa mencuri sedikit-sedikit dari dapur penginapan tempatnya bekerja dan menumpuknya di suatu tempat. Ia akan membawa kuda poni ini, karena Fang tidak tega melihat si kuda kurus terus dipaksa menarik beban yang terlalu berat.

Esok harinya, Fang mencuri beberapa kerat roti dari dapur. Ia berhasil dan menyimpannya dalam tas usang yang ia miliki. Roti ini biasanya tahan lama, pikir Fang.

Besoknya, ia mencuri lagi beberapa potong keju dan segenggam kismis. Ia berhasil, tak ada yang berada di dapur waktu itu. Fang kemudian mengantonginya dan cepat-cepat keluar dari dapur.

Tiba-tiba, ada tangan yang menarik bajunya. Fang terkejut dan menoleh, sebuah tinjuan mendarat di wajahnya. Fang jatuh tersungkur, kepalanya membentur dinding hingga luka. Laki-laki tua itu tampak murka melihat ada anak kecil berani mencuri darinya.

"Dasar anak tak tahu diri! Ayo kau sini, pencuri!" hardik si Pak Tua tersebut sambil menjambak rambut Fang dan menyeretnya keluar. Fang berteriak kesakitan.

"Aduh! Aduh! Maaf! Ampuni saya!" isak Fang.

"Aku beri kau tempat tidur dan makanan, kau malah mencuri?!" si lelaki tua menyeret Fang hingga ke jalanan. "Biar kuhajar kau disini! Sebelum itu, keluarkan apa yang kau curi itu!"

Fang merogoh kantong bajunya. Dengan takut, ia memberikan keju serta kismis tersebut ke lelaki tua. Lelaki itu merebutnya dari tangan kurus Fang dan langsung mencampakkannya ke tanah. Fang memandang makanan yang dibuang itu dengan meringis, ia tak pernah memakan keju dan kismis sebelumnya.

Keributan kecil di pinggir jalan itu menarik perhatian orang-orang sekitar, yang kebanyakan berprofesi sebagai pelaut, perompak dan pedagang. Mereka menontoni Pak Tua tengah memarahi Fang.

"Ada apa Pak Tua?" tanya seorang perompak dengan janggut kekuningan. Tubuhnya bau dan kotor. Nafasnya berbau rum atau alkohol.

"Anak ini mencuri dariku," ujar si Pak Tua, masam. Si perompak bersama teman-temannya berkerumun mengelilingi Fang dan Pak Tua. Fang sangat ketakutan.

"Ay, aku tahu hukuman apa yang sesuai untuknya! Biar jera!"

"Siram ia dengan minyak panas!"

"Hajar dia dahulu!"

Beberapa tangan mulai meninju dan memukul tubuh ringkih anak itu. Tendangan-tendangan mendarat pada tubuhnya. Fang meringkuk berusaha melindungi diri. Sakitnya tak terperi, Fang hingga tak bisa menjerit meminta ampun karena sakit sekali. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Mungkin ia pantas mendapatkannya karena ia telah mencuri. Seharusnya Fang tahu diri dan bersyukur saja ia masih bisa makan. Seharusnya ia tidak berusaha kabur dari sini. Fang mulai hilang kesadaran.

Tiba-tiba pukulan dan tendangan itu semua berhenti. Dengan lemah dan penuh luka, Fang membuka matanya perlahan. Ia melihat kawanan perompak dan Pak Tua tampak terdiam menatap seseorang di belakang Fang. Agak lama bagi Fang baru menyadari kalau orang ini sedang berbicara pada semua orang.

"...apa yang anak ini curi?" tanyanya dengan nada tenang. Fang hendak menolehkan kepalanya tapi sekujur tubuhnya sakit sekali. Ia kemudian terus meringkuk menahan siksaan nyeri sambil mendengarkan.

"Ia mencuri emas dan perakku!" tuduh si Pak Tua. "Aku sudah memungut dan merawatnya dari kecil, ia selalu menyusahkanku saja dan sekarang ia berani mencuri uangku! Sudah seharusnya aku beri hukuman biar jera! Mau jadi apa kecil-kecil sudah mencuri!" ujar Pak Tua berbohong namun disetujui oleh para perompak. Fang menggeleng lemah. Penduduk sekitar yang menonton hanya diam menunggu kejadian selanjutnya.

Orang itu mengerutkan alis dan menyapu pandangannya ke sekeliling, memandang Pak Tua dan para perompak.

"Aku tak tahu kalau keju dan kismis seharga perak dan emas. Setahuku itu sangat murah," ujarnya dengan nada tajam. "Enyahlah kalian, jangan ganggu anak ini," katanya lagi. Pak Tua dan perompak tersebut tak terima. Mereka mengeluarkan senjata mereka dan hendak menerjang orang tersebut.

Tiba-tiba semua orang yang hendak menyerangnya terpental ke belakang dengan kuat. Sebagian jatuh bergulung ke jalanan, sebagian lagi membentur keras dinding-dinding rumah. Orang-orang yang menonton terpekik kaget bercampur ketakutan ada hal ganjil terjadi. Fang membelalakkan matanya karena terkejut. Ia lalu dengan susah payah bangkit dan menoleh ke belakangnya, melihat siapa dia.

Pemuda itu adalah orang yang sama dengan orang yang Fang lihat di Menara Putih Agung 5 tahun silam. Sang pembasmi dengan cahaya biru keperakan. Ia berdiri tegap di sana, tubuhnya terbalut jubah yang berbeda namun tetap berwarna biru malam dan kelabu. Wajahnya masih menyiratkan ekspresi yang sama pula, hanya saja garis wajahnya lebih dewasa dan maskulin. Mata mereka bertemu dan Fang melihat warnanya seperti tanah merah.

Fang membuka mulut hendak mengucapkan terimakasih, sebelum seseorang di keramaian berteriak dengan nada takjub.

"I-itu Master Kaizo dari klan Kanayama! Dia pembasmi legendaris!"

Para penduduk yang menontoni mereka langsung berbisik ribut, kebanyakan melihat pemuda bernama Kaizo itu dengan rasa takut bercampur takjub. Tentu saja mereka tahu tentang klan kenamaan Kanayama. Klan yang hidup di daerah Pegunungan Hijrin dan Kaijin itu, yang dipercayai sebagai anak-cucu Dewi Marisha-Ten, dewi cahaya, matahari dan bulan. Klan itu sering melahirkan anggota-anggota yang berkekuatan spiritual besar dan beberapa diantara mereka adalah pembasmi legendaris.

"Kau sebaiknya mundur saja," saran seorang pedagang buah pada seorang perompak yang masih duduk kesakitan akibat terhempas tadi. Perompak itu hanya melengos. Ia dan teman-temannya berdiri dengan susah-payah karena nyeri dan menatap Kaizo dengan pandangan tidak puas. Sambil bersungut-sungut dan menggerutu, mereka semua pergi dari sana. Seorang dari perompak meludah ke tanah, tanda penghinaan.

Pak Tua itu juga berwajah masam sekali, ia kemudian memungut keju dan kismis yang ia campakkan ke tanah dan masuk lagi ke penginapan, matanya yang kecil dan berair terus memandangi Kaizo dengan marah bercampur takut. Nanti saja kalau ia pergi, akan kuhajar habis-habisan anak itu, katanya dalam hati.

Fang tahu niat Pak Tua itu dan ia menggigil ketakutan. Ia bisa mati habis ini.

"Sebaiknya kau lari saja dari sini," ujar Kaizo. Fang mendongakkan kepalanya dan menatap pemuda itu.

"Saya pun ingin, tapi saya tak memiliki perbekalan apapun."

Fang menundukkan kepalanya. Kaizo mengamati anak di depannya, tubuhnya kecil mungkin masih berumur 9 tahun namun bisa jadi ia lebih tua daripada estimasi Kaizo. Anak ini jelas sekali kekurangan makan tapi terus dipaksa bekerja keras, wajar ia lebih kecil dari anak-anak seusianya. Rambutnya yang berwarna biru malam tampak panjang acak-acakan, terurai sampai sebahu. Bajunya lusuh sekali, warnanya sudah seperti tanah. Ia memakai baju bekas yang berlapis-lapis, tampak terlalu besar untuk ukuran tubuhnya. Udara di kota Fresia memang bisa menjadi sangat dingin, mungkin anak ini memungut baju-baju yang dibuang, menjahitnya dan memakainya lagi. Anak ini lebih patut disebut gelandangan daripada anak yang mengaku diurus oleh Pak Tua itu.

"Terimakasih sudah menyelamatkan saya," kata Fang sambil berusaha berdiri. Ia meringis menahan pedihnya luka. "Kalau saja Master Kaizo tidak ada, pasti saya sudah mati."

Kaizo menggumam. Ia mengamati Fang selama beberapa detik, seolah berpikir dan kemudian membalikkan badannya.

"Ayo," kata Kaizo, beranjak dari sana sambil menuntun kudanya. Fang ingin mengikuti sang pembasmi tapi ia segan. Mungkin 'ayo' itu Kaizo katakan pada kudanya, bukan pada Fang.

Saat ini yang terpenting adalah Fang harus menemukan tempat bersembunyi dari amukan Pak Tua, bukan mengikuti lelaki asing. Fang lebih baik lari saja dari Pak Tua sebelum Pak Tua kembali dan membunuhnya. Ia akan mengambil tas dan bajunya di gudang jerami. Gudang jerami itu selalu sepi jam-jam begini. Selain itu, Fang juga harus membebaskan kuda poni itu, tapi sekarang kuda kurus itu pasti sedang dipakai untuk mengangkut tepung gandum. Fang tak sampai hati teman satu-satunya terus dipaksa bekerja membawa beban yang sangat berat.

"Mengapa kau melamun disana? Ayo!" kata Kaizo, memecah pikiran Fang. Fang menatapnya dengan bingung. Apakah Master Kaizo ingin mengajaknya pergi?

"Aku akan pergi ke Anatolia, melewati jalur barat. Ada sebuah desa bernama Rintis, kau bisa hidup disana," kata Kaizo lagi. Fang langsung tersenyum lebar kegirangan.

"B-baik! Saya akan mengambil baju dan bekal saya dahulu!" ujar Fang bersiap pergi.

"Tidak perlu, kau akan mendapatkan baju yang lebih layak," kata Kaizo. Mata Fang membola. Baju baru? Ia tak pernah memilikinya dan tak pernah ada yang cukup murah hati untuk membelikannya. Benarkah janjinya?

"Te-terimakasih Master Kaizo! Tapi selain itu saya harus membawa teman saya juga, seekor kuda poni. Saya tak bisa meninggalkannya," kata Fang lagi, ragu-ragu. Kaizo mulai tak sabar.

"Terserah. Tapi dalam waktu 30 menit kau tak menyusulku di tepi kota, aku akan pergi ke Anatolia sendirian," putus Kaizo. Fang mengangguk dan langsung berlari dari sana. Ia menyusuri celah-celah diantara rumah-rumah berdinding batu dengan gesit.

Kaizo mengerinyitkan dahi sepeninggal anak aneh tersebut. Ia merasakan ada hal yang tidak biasa dengan anak berambut panjang acak-acakan itu. Mungkin juga karena dia memiliki bakat mengolah kekuatan rohnya, tapi tetap saja ada yang tidak biasa dengan auranya. Tak masalah, Kaizo pasti akan mengetahuinya atau tidak. Ia tak terlalu peduli sebenarnya, jika takdir anak itu baik maka baiklah ia. Jika anak itu tak mau berusaha merubah keadaannya, maka ia akan tergilas musnah seperti manusia-manusia lain yang bermental cengeng dan mudah putus asa karena kesulitan. Kaizo memiliki mata yang jeli dan otak yang kritis saat menilai orang lain, ia perlu kemampuan ini untuk membaca musuhnya, dan ia bisa melihat anak itu memiliki semangat yang tak mudah patah. Kaizo tidak peduli apakah orang itu berbakat, unik atau sangat pandai, baginya semuanya tak ada artinya tanpa keinginan untuk bekerja keras. Orang yang unik bukan berarti ia berguna.

Kaizo menyusuri jalan yang dipenuhi orang-orang berlalu-lalang dengan kuda-kuda mereka, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ia perlu ke pinggiran perbatasan untuk melanjutkan perjalanan berkuda ke Anatolia, sebuah negara yang dipimpin Sultan Mehmet IV. Kaizo diutus oleh ayahnya, Jenderal Agung Raijin Kanayama, penguasa Pegunungan Hijrin dan Kaijin untuk pergi ke Anatolia atas misi menyelidiki kebangkitan Raja Iblis Timur, Magog Ghur. Tanda-tanda bangunnya raja iblis tersebut sudah ada, bisa jadi segel yang mengikatnya telah lemah. Anatolia adalah negeri terdekat dari tempat raja iblis itu disegel, meski harus menempuh beberapa puluh kilometer lagi. Kaizo berniat melepaskan anak itu ke Desa Rintis agar ia bisa melanjutkan perjalanan sendirian ke Anatolia. Ia tak mau berlama-lama membawa beban yang hanya akan menganggunya. Kaizo menyelamatkan anak itu bukan karena rasa kasihan, tapi rasa keadilannya. Dua hal yang berbeda karena rasa kasihan itu dari hati, sementara keadilan berasal dari logika.

Mungkin juga Kaizo memang merasa kasihan padanya, tapi ia tak pandai memeriksa isi hatinya.

Sementara itu Fang gembira sekali. Ada orang asing yang sudah sangat baik padanya, akan membawanya pergi dan membelikan baju baru. Fang berniat membalas kebaikan orang itu dengan sebaik-baiknya. Fang tak memiliki koin sepeser pun, tapi ia bisa menggunakan tenaganya. Ia bisa menjadi pelayan dan pesuruhnya, Fang sudah biasa melakukan banyak tugas di penginapan jadi takkan sulit baginya. Fang mengingat-ingat nama orang itu, Kaizo. Seperti nama orang-orang dari Negeri Selatan nun jauh disana, yang tinggal di daerah pegunungan. Jauh sekali ia mengembara, pikir Fang.

Anak itu akhirnya sampai di dekat gudang jerami. Dengan hati-hati, ia membuka pintu itu sedikit dan mengintip ke dalam. Tak ada siapapun, persis seperti dugaannya. Fang langsung melesat masuk dan mengambil tasnya. Ia memasukkan semua baju dia ke dalam tas beserta beberapa kerat roti yang kemarin berhasil ia curi. Bajunya hanya sedikit, maka ia hanya perlu waktu singkat untuk berkemas. Ia juga mengambil kain alas tidur dan menggulungnya cepat-cepat. Buku kesayangannya tak lupa ia bawa pula. Ia akan berpetualang!

Fang tiba-tiba mendengar pintu gudang dibuka dengan keras. Fang langsung sembunyi di antara gulungan jerami. Jantungnya berdegup keras sekali. Pak Tua-kah?

"Pedagang sialan itu akan kubalas!" ujar Pak Tua, marah. "Sudah hari ini anak nakal itu mencuri dariku, sekarang kuda ini harus patah kakinya. Kemana lagi anak nakal itu? Masih banyak pekerjaan yang belum ia selesaikan!"

"Diamlah jangan banyak ribut!" bentak istrinya, kesal. "Biar aku tagih ke pedagang itu atau aku ambil paksa kudanya untuk mengganti kuda kita. Kau cari saja Fang, suruh dia sikat bersih baju-baju dan bersihkan kamar-kamar!"

Pak Tua hanya bersungut mengiyakan. Jika ada orang yang lebih ditakuti olehnya, itu adalah istrinya. Istrinya berbadan lebih besar darinya dan jauh lebih sangar. Fang beruntung Pak Tua yang memergokinya mencuri, bukan istrinya.

"Kuda ini kita sembelih saja dan jadikan sup," ujar sang istri lagi seraya menggiring kuda poni yang terluka itu masuk. Selepas itu, mereka kemudian pergi menutup pintu gudang jerami dengan keras. Fang menunggu beberapa saat sampai langkah mereka tak terdengar lagi. Ia lalu keluar dari tempat persembunyiannya, menghampiri kawan satu-satunya.

Kuda itu tampak menyedihkan, kaki kirinya yang depan tampak berdarah dan berbentuk aneh. Fang meringis kasihan.

"Tasfa, kasihan sekali kau. Tenanglah dahulu aku bisa memperbaikinya. Tenagaku masih banyak kok," kata Fang, sambil merunduk memeriksa kaki kuda poni tersebut. Tasfa hanya mendengus kesakitan.

Fang menyentuh luka itu dan kemudian ada cahaya redup berwarna jingga. Tulang dan kulit kuda itu kembali seperti semula dalam waktu satu menit. Fang berdiri sambil tersenyum puas, Tasfa hanya menjilati wajahnya tanda berterimakasih. Fang tertawa geli dan memeluk kuda tersebut.

"Hush sudah! Ayo ikut aku, Tasfa. Kita akan pergi berpetualang!"

.

.

Kaizo melihat jam sakunya. Sudah lewat 30 menit. Tampaknya anak itu tidak bisa ikut, katanya dalam hati.

Pemuda itu kemudian memasang pelana kudanya dan mengecek kembali barang bawaan. Yang terpenting, kompas dan peta menuju Anatolia telah ia dapatkan dari kota ini, ia sudah siap melanjutkan perjalanan. Petunjuk jalan juga ia dapatkan dari penduduk sekitar yang pernah melalui jalur tersebut dengan aman dari para penyamun dan perampok. Sebenarnya Kaizo tak memerlukan saran agar selamat dari para bandit, ia hanya ingin menghindari pertarungan tidak perlu. Buang waktu saja.

Kaizo menaiki kudanya dan berderap laju meninggalkan Fresia. Dengan cepat kudanya berlari kencang menyusuri jalan kecil yang membelah hutan lebat. Pepohonan cemara dan pinus menjulang tinggi, tumbuhan beri liar merambat bergoyang perlahan diterpa angin akibat laju langkah si kuda. Udara dingin hampir membekukan Kaizo, tapi ia terus memacu kudanya. Anatolia masih sangat jauh.

Telah lewat ratusan meter Kaizo berkuda di jalanan kecil di tengah hutan ini, sampai Kaizo mendengar ada suara yang memanggilnya.

"Master Kaizo! Tunggu!"

Kaizo menghentikan kudanya dan menoleh ke belakang. Tampak seorang anak kecil menaiki kuda poni kurus yang berlari kearahnya. Ia datang rupanya, pikir Kaizo.

"Kau terlambat," kata Kaizo saat anak itu berhasil mencapai posisi Kaizo. Wajah anak itu tampak cemas saat ia mendengar perkataannya.

"Maafkan saya, saya tadi harus mengambil jalan memutar agar tidak dikejar," kata Fang sambil terengah-engah. Tasfa juga terengah-engah karena barusan berlari kuat sekali. Kaizo kemudian berbalik, kudanya berjalan berderap.

"Ya sudah. Apa kau yakin tak ada yang mengikutimu?"

"Iya, saya yakin."

"Siapa namamu?"

"Saya biasa dipanggil Fang," jawab anak itu. Kuda mereka berjalan bersisian, kuda Kaizo berwarna hitam pekat menjulang tinggi sementara kuda poni Fang tampak pendek dan berwarna cokelat tua.

"Sebagai rasa berterimakasih saya, saya siap melayani. Saya seorang pelayan di penginapan, saya terbiasa bekerja keras," kata Fang, penuh harap. Kaizo tidak menatapnya, matanya lurus menghadap ke depan.

"Kau bisa apa?" tanya sang pemuda.

"Saya bisa memasak dan mencuci, saya juga biasa mengurus kuda. Tugas lain pun saya juga bisa melakukan."

"Layananmu tak kuperlukan. Aku bisa melakukan tugas seperti itu sendirian," tukas Kaizo. Fang menahan rasa kecewanya dalam hati, tapi ia terbiasa dengan perlakuan kasar Pak Tua. Perkataan tajam Kaizo tak sebanding dengan apa yang Pak Tua pernah lemparkan ke Fang.

"Kalau begitu, apa yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikan Master?" tanyanya. Kaizo memandangnya sekilas.

"Jika aku memberikan perintah, seberapa anehnya bagimu, jangan membantah," kata Kaizo. "Mungkin itu untuk keselamatanmu."

"Baik, Master Kaizo," gumam Fang. Ia rasa, itu adalah yang bagus. Meski Kaizo orang yang dingin, ia tidak menyiksa atau berlaku semena-mena tanpa alasan yang bagus, pertanda ia tahu berlaku adil. Fang rasa, Kaizo jauh lebih baik daripada Pak Tua.

Tak ada lagi percakapan setelah itu. Fang juga tidak berusaha memulai pembicaraan, membiarkan Kaizo menikmati kesunyian. Fang tidak keberatan, ia bisa berbicara dengan Tasfa, meski tidak keras-keras agar tidak menganggu Kaizo. Selama perjalanan berkuda ini, Fang memperhatikan lingkungan sekitarnya dengan sangat antusias, karena ini pertama kalinya ia keluar dari Fresia. Ada banyak tanaman yang tidak ia kenal dan hewan-hewan menarik yang berada di atas pohon. Tupai-tupai menggigiti kacang, burung berbulu cantik berkicau merdu. Kelinci-kelinci hutan masuk ke lubang di tanah, wajah mereka bulat menyembul di antara rerumputan. Fang menontoni lingkungan sekitarnya dengan penuh rasa ingin tahu. Ia ingin bertanya pada Kaizo mengenai nama-nama hewan dan tumbuhan yang mereka lalui, tapi Fang rasa Kaizo takkan senang diajak bicara tak perlu.

Mereka terus berkuda hingga matahari tampak meredup, menandakan hari sudah sore. Kaizo mencari tempat untuk mereka beristirahat dan menemukan sebidang tanah lapang yang ditumbuhi lumut. Fang lalu menanyakan dimana Kaizo akan tidur dan bisakah ia bantu membereskan pelana dan barang-barangnya? Kaizo hanya berkata 'buatlah sesukamu' dan kemudian pergi sambil membawa busur dan sekantong anak panahnya.

Fang mengambil alas tidur milik Kaizo dan menggelarnya agak jauh dari tempatnya tidur. Ia juga membersihkannya agar Kaizo merasa lebih nyaman. Barang bawaan Kaizo dengan hati-hati ia taruh di dekat alas tidur, ia tidak ingin Kaizo mengiranya lancang karena membongkar barang bawaannya. Fang kemudian mengikat dua kuda tersebut ke sebuah pohon. Kalau saja ada sungai, Fang pasti sudah membawa kuda-kuda agar minum di sana.

Selesai tugasnya membereskan barang, Fang kemudian duduk diam menunggu masternya kembali. Ia membuka bukunya yang lusuh itu, yang telah ratusan kali ia baca dan ia susuri dengan jemari kecilnya. Ia membaca tentang Desa Rintis, menghafal semua informasi yang ada. Kata Kaizo, Fang akan tinggal di sana. Menurut buku ini, Desa Rintis adalah desa yang permai dan aman. Fang tidak sabar ingin segera sampai. Mungkin ia akan mendapat pekerjaan baru dengan tuan yang lebih ramah. Mungkin juga ia akan memiliki teman baru disana! Fang antusias sekali, mungkin ia juga bisa-

Dua ekor ayam hutan mati dijatuhkan tepat di depan Fang, memecah lamunannya. Fang menjerit karena terkejut. Ia mengangkat wajahnya dari bukunya, tampak Kaizo berdiri tak jauh dari sana sambil menenteng busur dan sekantong anak panah.

"Makanlah. Nyalakan api saat hari masih tak begitu gelap agar tidak menarik perhatian para bandit," kata Kaizo. Fang menyentuh dua ekor ayam hutan itu, kepala mereka berlubang ditembus anak panah. Rupanya Master Kaizo sedang berburu tadi, pikir Fang.

"Baik! Terimakasih Master Kaizo!" seru Fang, senang. Ia langsung mulai mencabuti bulu ayam itu dan memotongnya. Fang kemudian menusukkan ranting-ranting ke potongan daging agar bisa dipanggang. Lepas itu, Fang menyalakan api dengan batu pemantik milik Kaizo, dan ketika api sudah besar Fang memanggang daging ayam tersebut. Fang jarang sekali memakan daging, saat ia bekerja kepada Pak Tua, ia hanya diberi roti kasar dan garam saja setiap hari. Kalau ia beruntung, ia akan diberi apel yang sudah lembek atau sisa perasan anggur. Rasanya seperti sedang pesta besar bagi anak itu saat Kaizo memberikannya ayam hutan, ia tak sabar ingin memakannya.

Saat daging sudah matang dipanggang, Fang mempersilahkan Kaizo untuk makan bagian mana saja yang ia suka. Kaizo yang tengah mengasah pedangnya tidak mengalihkan perhatian pada anak itu. Ia hanya berkata.

"Makanlah sebanyak kau bisa agar kau kuat besok."

Fang mengucapkan terimakasih berulang-ulang, yang tidak dibalas apapun oleh Kaizo. Malam itu, Fang merasa kenyang untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Ia kemudian tidur berbantalkan tubuh Tasfa sambil menatap langit malam yang cerah bertaburan bintang. Fang berani mengatakan pada dirinya kalau ini adalah hari terbaik yang pernah ia alami; ia berhasil lari dari Pak Tua dan ia memakan makanan yang sangat lezat.

Tanpa Fang sadari, Kaizo tak melepaskan pandangan tajamnya pada Fang. Cepat atau lambat, akan terbongkar apa yang tersembunyi, pikir Kaizo.

.

Bersambung

.

A/N

- Raijin, Kanayama, Marisha-Ten: Nama dewa-dewi mitologi Jepang.

- Anatolia: Nama daerah kuno yang dulu meliputi Turki dan Asia Kecil. Sekarang Anatolia biasa dipanggil Turki. Bangsa Romawi dulu bermukim disini.

- Fang bukan punya kekuatan penyembuhan.

- Kekuatan Kaizo bakalan ditunjukkan nanti. Saya suka konsep bertarung Kaizo di Musim 3, karena dia bertarung dengan sangat fleksibel/bisa berganti metode penyerangan sesukanya. Makanya di ff ini Kaizo akan mengadaptasi gaya bertarung dari Musim 3.

- Boboiboy dan Yaya akan muncul chapter depan! Sai, Shielda dan lain-lain juga akan dapat giliran, mereka akan punya cerita sendiri tapi fokus fic ini tetap KaiFang dan kemanisan relasi mereka kyaaaa~ XDD Oh ya soal sekuel Children of Kindly West, saya akan tulis dan saya usahakan lebih epic.

Ada yang ingin disampaikan? Silahkan review!