M'BIFE
.
Disclaimer : All of us belongs to God
© by Me
.
This story is dedicated for me '-'
Ngebales kangennya aku ke SasuNaru
.
.
Gelap.
Langit malam persis selimut pekat yang membungkus dunia.
Dan malam yang hitam.. bercampur merah di ujung gang itu. Darah berceceran, tiga orang nampak ambruk bersimbah darah, dan seorang lagi meringkuk ketakutan. Terdesak ke ujung gang. Di depannya berdiri sosok hitam dengan seringai kejam.
"Mu-mustahil! Bagaimana kau.."
Sosok itu tertawa, menggelegar mengacaukan malam. Wajah porselennya berkilat ditimpa cahaya bulan. Kedua matanya yang bagaikan mutiara hitam menyipit, sesaat kemudian kelopak matanya membuka perlahan dengan begitu menakjubkan. Dia menyeringai lebar, menyingkap sepasang taring di ujung bibirnya. Pria di ujung gang gemetar hebat.
"Vam-pire?" Katanya patah-patah. Keringat dingin mengucur deras.
Seketika sosok itu mendengus. Dia memutar bola matanya muak. "Kau menyamakanku dengan makhluk murahan heh?"
Di detik yang sama, dalam sekali hentakan, sepasang sayap hitam muncul dari balik punggungnya. Melebar dengan gagahnya, menutupi cahaya bulan yang meringsek ke gang itu. Kerangka tulang yang dibalut bulu-bulu hitam halus itu begitu mempesona.
"Maaf saja." Katanya lagi, "Darah sama sekali tidak menggugah seleraku."
Dia mengangkat tangannya, kuku hitamnya memanjang. Runcing dan tajam. Sekejap saja, kepala pria itu terpenggal dari badannya hanya dengan sekali hempasan. Dia berbalik, menatap seorang anak perempuan yang berdiri di pangkal gang. Menontonnya sejak tadi.
"Sudah aku selesaikan."
Anak itu mengangguk. "Aku lega. Orang-orang yang membunuh kedua orang tuaku akhirnya mati. Dendam mereka telah aku balaskan."
Makhluk bersayap di depannya tidak merespon. Dia mendekat, kembali melebarkan sayap hitamnya. Irisnya yang hitam pekat berubah merah, tiga titik hitam berpendar disana.
"Dan sesuai perjanjian.." Kuku hitamnya mencengkeram bahu anak itu. "Jiwamu harus jadi santapanku, bocah."
Anak itu menatapnya datar, tidak peduli. Dia sudah membalaskan dendam keluarganya, apalagi? Untuk apa dia hidup sendiri. Ekor matanya melirik kuku runcing yang mengerat bahunya bergerak ke bawah, tepat di depan dadanya. Seinchi lagi kuku itu menembus tubuh mungilnya, saat tiba-tiba suara langkah kaki yang berat terasa jatuh disana.
"Sialan. Lagi, dan lagi."
Anak itu, dan juga makhluk bersayap di depannya, menoleh ke belakang. Mendapati seorang pria berjubah hitam berdiri ogah-ogahan. Di tangan kanannya ada sebuh sabit panjang. Dia membuka tudung hitamnya, membuat surai merahnya tampak berkilauan ditimpa cahaya, kemudian tanpa basa-basi menodongkan sabit itu ke arah mereka dengan tampang jengkelnya.
"Kau-" Jemarinya mengerat gagang sabit itu gemas. "Iblis tengik sialan. Lagi-lagi kau ikut campur urusan manusia."
Kalimat penuh emosi tersebut ternyata hanya direspon dengan decihan. Makhluk bersayap hitam ini malah menggelengkan kepalanya kasihan.
"Entah kenapa pekerja para dewa yang begitu loyal ini selalu terlihat lucu di mataku."
"Jaga mulut busukmu itu, Sasuke! Aku bahkan bisa membunuhmu disini."
"Oh ya? Lalu kenapa kau membawa teman ha?"
Pria berambut merah itu mendongak, agak kaget mendapati seorang perempuan berambut pirang dan seorang pria berambut merah, melayang di atasnya kemudian melesat cepat turun ke bawah. Berdiri tepat di belakangnya.
"Bahkan dewa cinta yang konyol juga ada disini." Si iblis –Sasuke- tertawa melihat keadaan yang rasanya benar-benar bodoh. Dia bisa lihat pria merah berkanji Ai di dahi, yang baru saja melesat turun, menatapnya tersinggung.
"Kalian kenapa kesini?!" Pria bersabit itu berteriak sewot.
Gadis berambut pirang pucat itu maju, menggeser bahunya malas. "Pergi, Sasori. Tugasmu menjemput orang-orang mati itu. Iblis ini adalah urusanku." Gadis itu menyipit, menatap anak kecil di ujung sana yang menatapnya balik. Tatapannya kosong.
"Hah.. padahal masih anak-anak." Gadis itu menghela napas kasihan. "Yah, mau bagaimana lagi." katanya mengendikkan bahu. Ini pekerjaan dan dia harus profesional.
"Tunggu dulu, Ino!" Langkahnya terhenti ketika Sasori menarik lengannya. "Tentu saja aku ada urusan juga dengan iblis itu. Dia yang membunuh keempat orang ini! Aku harus memasukkan detailnya dalam laporanku."
Ino mengepalkan tangannya geram. Dia menatap Sasori nyalang, di saat begini bisa-bisanya temannya ini mengajak berdebat. Kalau dia tidak cepat, ketuanya mungkin akan memuntahkan lahar panas padanya.
Tawa remeh berhasil merebut perhatian keduanya. Sasuke nyatanya sedang menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum menghina. Sesekali menggumamkan, 'dasar makhluk pekerja.'
"Daripada kau, makhluk terkutuk!" Sasori mengacungkan sabitnya tidak terima. Ino sibuk menenangkan Sasori, sementara Sasuke mengalihkan pandangan. Kembali mengerat bahu anak kecil tadi.
"Mereka mengganggu makan malamku."
Ino mendesis. Berlari secepat mungkin demi menghentikan Sasuke, tapi kalah cepat. Kuku-kuku runcing itu menghujam dada gadis kecil itu dalam hitungan detik. Darah terpercik ke dinding gang. Si iblis tertawa, mencabut jemarinya yang sudah tertanam sempurna. Jemari itu keluar dengan jantung segar dalam genggamannya, kuku hitam itu bercampur merah darah. Dia mengunyah jantung itu tepat di depan mereka semua.
"Terlambat." Ino merutuki kelalaiannya. Dan Sasori hanya bisa bergumam, 'menjijikkan.', saat dilihatnya Sasuke pergi. Mengepakkan sayap hitamnya dan membawa tubuh atletis itu menjauh, membelah langit malam.
Ino berbalik dan menatap kawanannya nanar. "Dia berhasil memakan jiwa anak itu. Habislah aku.." katanya mendesah frustasi. Dia benar-benar yakin akan tenggelam dalam lahar panas kali ini. Sudah tiga kali ini dia gagal menjalankan tugasnya!
"Ah, sial. Bagaimana aku harus menyusun laporan ini nantinya?" Sasori tak kalah frustasi, dia menatap kesal keempat mayat yang tergeletak disana.
Pria berambut merah lain, yang sejak tadi ternyata hanya duduk dan menonton, bangkit dan menepuk-neput coat nya yang berdebu. Dia sudah menduga hal ini sebenarnya. Iblis itu hidup selama ratusan tahun, dan dia sudah dibiarkan terlalu bebas.
"Aku akan mengutuknya." Katanya datar.
Ino menoleh kaget. "Gaara. Tidak biasanya kau emosi."
Sasori yang sedang mengabsen roh-roh dari mayat di sebelahnya ikut mengangguk. "Kau juga tidak bisa lakukan itu sendirian. Dia terlalu kuat."
"Aku akan membawa kasus ini ke dewan langit."
Kedua orang tadi kembali menatapnya heran. Yang mereka tahu, Gaara adalah dewa dengan emosi sedatar mungkin, tidak pernah mengurusi hal-hal yang bukan pekerjaannya.
"Beraninya dia menyebutku dewa cinta yang konyol." Katanya.
Oooh.
Menara tertinggi di kota itu, dan Sasuke tampak duduk sendirian di atas sana. Langit malam menelannya dalam kegelapan. Dia menatap lurus, ke arah manusia-manusia yang bertebaran di bawah sana. Dia berulang kali mendengar bisikan-bisikan permohonan dari manusia-manusia yang putus asa, dan berulang kali pula dia melihat iblis-iblis lain turun ke bawah untuk membuat perjanjian dengan mereka. Iblis bisa membantu manusia untuk memenuhi keinginannya, dengan balasan jiwa mereka jadi santapan setelahnya. Tapi Sasuke sebenarnya tipe yang cukup pilih-pilih. Dia tidak sembarang membuat perjanjian, soalnya dia tidak makan sampah. Dia suka membuat perjanjian dengan anak kecil, persis korbannya terakhir. Jiwa anak kecil itu manis dan gurih, menggugah selera makan. Tapi beberapa bulan terakhir ini, dia benar-benar tidak punya selera makan.
Sasuke menghela napas kasar. Sesuatu begitu membebaninya belakangan ini. Sesuatu yang menghilangkan rasa laparnya dan membangkitkan sedikit perasaan cemas dalam pikirannya. Sesuatu itu adalah.. bisikan. Bukan, bukan bisikan permohonan putus asa seperti yang biasa. Melainkan sebuah bisikan lembut yang memanggil namanya berulang-ulang. Hal ini membuatnya gusar. Selain itu, ada satu hal lagi.
Tangan kanannya bergerak perlahan, meraba ke arah dada, diam disana selama beberapa saat. "Ini berdetak." Gumamnya tak percaya.
Benar. Satu hal lagi, hatinya tiba-tiba saja berdetak.
Iblis disebut makhluk yang tak punya hati bukan tanpa alasan. Itu realita. Hati mereka hanya pajangan, tak ada detak disana, tak ada kehangatan ataupun perasaan.
Namun sekali lagi, hatinya berdetak saat ini.
Semua ini membuatnya cemas. Pengetahuannya luas, dia paham bagaimana makhluk magis lain –misalnya vampire, werewolf, atau nymph- mengalami beberapa hal khusus saat akan bertemu mate. Maka bisikan lembut dan detakan hati ini menimbulkan sebuah pemikiran gila di benaknya. Apakah dia-?
Tapi kenapa? Dia makhluk langit yang abadi! Bahkan iblis pula. Bagaimana mungkin dia memiliki-
"Aku tidak mengerti." Dia mengusap surai ravennya lelah. Dia habiskan setiap malam duduk termenung disini karena kalut.
Sasuke terbiasa sendiri, dia hidup sendirian selama ratusan tahun tanpa memiliki ikatan apapun. Tidak ada yang namanya keluarga bagi para iblis. Tidak juga kawan maupun rekan. Lalu, bagaimana mungkin dia memiliki mate?!
"Ini tidak masuk akal." Katanya lagi sembari menggeleng gusar. Namun bisikan lembut itu kembali terdengar, dan hatinya entah kenapa berdebam begitu keras karenanya. Sasuke melempar tatapan nyalang ke bawah sana. Dia yakin, suara itu berasal dari sana.
Dia menarik nafas panjang. Baiklah, dia harus memeriksa ke bawah sana. Bibirnya sempat tertawa tak percaya dengan tingkah bodohnya, tapi dia tidak punya pilihan. Hati yang berdetak ini menimbulkan gundah gulana dan perasaan rumit lainnya. Dia harus mencari tahu sebelum hal ini semakin menyiksanya.
Srakk.
Sepasang sayap hitam yang lebar itu terbuka dengan gagahnya. Lalu mengepak dan membawanya pergi, melesat ke bawah sana.
Memanipulasi orang lain dan menyamar di tengah-tengah manusia sudah menjadi hal biasa bagi Sasuke. Dia melakukan itu sesekali karena tidak ingin terlihat mencolok di bawah sini. Karena itu, di sinilah dia, di sebuah gedung olahraga. Tubuh tingginya berbalutkan celana hitam dan sweater hitam dengan kerah memanjat leher. Tak lupa arloji hitam melekat di tangan kanannya.
Obsidiannya menajam, berkeliling seisi gedung. Telinganya dipertajam, memaksimalkan fokus untuk setiap suara yang diterimanya. Dia mendengar riuh, tawa pecah, namun suara yang dicarinya tidak ada. Lalu ada jeritan dan teriakan, panggilan yang sahut-menyahut, lalu bisikan-bisikan. Suara itu belum ada. Padahal dia yakin sekali, instingnya mengatakan bisikan lembut yang selalu didengarnya itu menuntunnya kemari. Apa instingnya melemah akibat sekarang hatinya bisa gundah?
"Yippie! I'am the winner!"
Sasuke terperanjat. Itu dia! Itu suaranya yang sama, yang berbisik lembut di telinganya setiap malam. Dia melirik ke kanan kiri, mencoba mengikuti resonansi suara yang merambat melalui udara. Nafasnya menderu dan hati –konyol-nya berdetak semakin cepat. Kaki jenjangnya melangkah gugup, melewati setiap pasang mata yang memandanginya kagum. Kemudian dia berhenti, menatap bingung sosok manusia yang melompat girang jauh di depannya.
Dia tidak terlalu tinggi. Kulitnya tan kecokelatan dan matanya bersinar bagai permata biru. Anak-anak rambutnya yang pirang itu bergerak-gerak dramatis akibat ulahnya melompat-lompat kegirangan. Di tangannya ada raket, barangkali dia baru saja memenangkan sebuah pertandingan. Tidak, tunggu dulu, bukan itu masalahnya!
"Seorang pemuda-?" Alis Sasuke bertaut bingung.
Makhluk langit bengis abadi yang bertitel iblis ditakdirkan memiliki seorang mate sudah cukup konyol baginya, dan sekarang, seorang pemuda?
Dia menggeleng tidak terima. Ini pasti salah paham, mungkin pikirannya agak menyalah. Atau barangkali ternyata dia alergi dengan jiwa terakhir yang dimakannya. Siapa tahu jantung gadis kecil itu membawa bakteri patogen berbahaya dan memberikan efek kronis begini pada tubuhnya. Dia hampir saja melangkah pergi, namun hatinya kembali enggan. Ada rasa berat yang mengganjal.
Sasuke terdiam cukup lama. Memijat batang hidungnya, kemudian menghela napas gusar. Dia akhirnya memutuskan mendekat kesana. Duduk di sebuah kursi kayu panjang di tepi lapangan badminton. Obsidiannya menatap lurus ke arah si pirang yang masih heboh berputar lapangan merayakan kemenangannya. Dia agak tercekat saat si pirang melangkah mendekat, berjalan pasti ke arahnya. Kemudian mendudukkan diri di kursi yang sama. Sasuke terperangah, berpikir barangkali pemuda ini juga punya insting bahwa dia datang untuk-
"Gerah.." Bibir ranum itu menggumam, tangannya sibuk membuka tas oranye menyala, dan mengeluarkan sebotol isotonik darisana.
Sasuke mendengus. Insting apanya. Dia menatap bodoh tas olahraga di antara mereka, tentu saja si pirang duduk disini. Onyx itu kembali melirik, memperhatikan setiap lekuk wajah di depannya. Jelas sekali pemuda ini adalah kebalikan dirinya yang gelap gulita. Lihat saja rambutnya yang secerah matahari itu. Apalagi sepasang matanya yang seakan memproyeksikan birunya langit. Dan Sasuke tidak suka cerah, biasanya dia mau muntah kalau dekat-dekat makhluk nyentrik begini. Tapi (sekali lagi) entah kenapa, ada perasaan hangat pada setiap detakan jantungnya. Ada sesuatu yang terus menariknya untuk mendekati pemuda ini.
"Anda mau?" Suara si pirang mengembalikan fokusnya.
Sasuke menatap tangan tan yang terjulur dengan botol isotonik yang isinya tinggal setengah. Dia menggeleng, dan mendorong pelan tangan itu. Serasa ada sengatan listrik ketika kulit mereka bersentuhan.
"Ku pikir anda sedang menatapku karena kehausan." Katanya lagi.
Sasuke menegakkan duduknya, mengecek arlojinya, berpura-pura terlihat sibuk. "Tidak, tidak. Aku kemari tadi hanya untuk melihat-lihat. Lalu aku berhenti saat melihat permainanmu." Alibinya, bohong tentu saja. "Gerakanmu bagus, kau menguasai beberapa teknik dengan baik. Tapi tetap terlihat agak serampangan."
"Oh! Anda menyadari itu?"
Tidak disangka, si pirang ternyata nyambung. Kedua matanya membulat antusias.
"Aku selalu latihan sendiri. Otodidak." Katanya semangat. "Aku tidak punya cukup uang untuk ikut pelatihan resmi. Uang hasil kerja sampingan cuma cukup untuk membayar tempat latihan di gedung ini." Dia malah curhat.
"Sayang sekali. Padahal kau punya potensi besar." Sasuke bergumam kasihan, dia melihat ada kesempatan. "Selama aku melatih pemain badminton, belum pernah aku menemukan orang se-enerjik kau."
"Anda pelatih rupanya!" jerit si pirang, raut wajahnya berubah kagum.
"Ya. Tapi saat ini aku sedang kosong."
"Bagaimana kalau Anda melatihku?"
Sasuke menyeringai tipis. Dia bahagia, tapi ekspresinya memang agak horror begitu. Sudah bawaan lahir. "Bukannya kau bilang tidak punya uang untuk membayar pelatih?"
"Ey.." Pemuda itu tertawa kecil, meninju pelan bahu Sasuke. "Anda bilang sedang kosong, dan aku punya potensi besar. Daripada menganggur lebih baik berbuat kebajikan dengan menolong calon atlit masa depan kan?" katanya menggerak-gerakkan kedua alisnya sok oke.
"Baiklah." Sasuke mengangguk, mengangkat kedua bahunya seolah tak punya pilihan lain. "Aku akan melatihmu agar cengiranmu itu bisa terpampang di surat kabar nanti. Berapa usiamu?"
"Sembilan belas. Anda?"
Sasuke berpikir sebentar. Menakar-nakar bagaimana wajahnya sekarang diukur dalam hitungan umur manusia. "Dua puluh enam."
Dia mengurangi enam ratus dua puluh tujuh tahun dari usia sebenarnya.
Pemuda pirang itu gentian mengangguk, kemudian menjentikkan jarinya karena baru teringat sesuatu. "Aku lupa memperkenalkan diri!" katanya menjerit, lengkap dengan cengiran lebar. "Namaku Uzumaki Naruto."
Dan onyx di depannya seakan terpaku menatap senyum merekah di depannya.
"Kau bisa memanggilku Sasuke."
To be continueu
Umm, haloha semua '—')/
For the first, daku mengaku keki menulis SasuNaru saat ini.
Selain khawatir melihat fandom yang kelihatan sunyi senyap tak berpenghuni sehingga tidak ada yang membaca dan mereview fict engga mutu ini, daku juga sebenarnya keki karena baru pertama kali buat SasuNaru.
Agak horror sebenarnya.. melihat dunia SN yang sunyi kelabu, tapi apalah daya.. rindu ini menggebu-gebu. Pokoknya SasuNaru, SasuNaru.
Sekian.
Maap alay.
RnR juseyo?
