An Uta no Prince-sama fanfic.
Uta no Prince-Sama © Broccoli.
((Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari fanfiksi ini-kecuali fangasm dan melepaskan Headcanon #dukk. Typo adalah suatu hal yang manusiawi. Jika OOC, mohon dimaafkan.))
fanfic by Ayacchiiin
.
Dia dan Dia
.
[Cinta adalah penyusup paling ulung di dunia. Ketika dia datang, kau tidak akan sadar sampai akhirnya ia mengetuk sudut terdalam hatimu.]
.
.
Siapa yang tidak suka liburan? Apalagi libur musim panas sekarang ini. Libur panjang selama hampir sebulan yang selalu dinanti oleh jutaan kaum pelajar. (Puta-pura) melupakan tugas menggunung dan bersenang-senang sampai pingsan.
Semua bersorak girang ketika seluruh kegiatan sekolah akan diliburkan. Tidak terkecuali sekolah selebritis seperti Saotome Gakuen. Memang beberapa siswa tetap memilih tinggal di asrama, namun tidak sedikit juga yang memilih pulang ke kampung halaman, berkumpul bersama keluarga untuk mengisi liburan.
Tadinya Kurusu Syo beranggapan begitu. Ia akan mengisi penuh liburannya dengan ayah, ibu, serta adiknya. Bersama dalam berbagai suasana kekeluargaan. Mengunjungi satu atau dua destinasi wisata, atau sekadar mengobrol panjang jika waktu makan malam tiba.
Nyatanya kini ia cemberut. Menatap ayah dan ibu yang tengah membereskan koper masing-masing untuk diangkut pergi selama beberapa hari—atau mungkin minggu?
"Papa dikontrak oleh sebuah acara untuk menata busana para selebritisnya. Mungkin Papa tidak akan pulang selama beberapa hari. Kalian baik-baik di rumah, ya? Kunci pintu, jangan menerima tamu sembarangan dan jangan iseng main petasan di kamar mandi. Oke?"
"Siap, Papa," jawab Kurusu bersaudara serempak.
"Mama ada tur orkestra di Eropa. Berangkatnya siang ini. Baru kembali bulan depan. Kalian baik-baik di rumah, ya? Jangan lempar-lempar meja atau televisi seandainya bertengkar nanti. Syo jangan lupa minum obatmu. Kaoru juga, kalau kakakmu bandel adukan ke Mama."
"Rebes, Mama," jawab keduanya dengan nada datar.
Kedua suami-istri super sibuk itu melangkah menuju pintu depan, namun ketika akan memutar gagang pintu, Nyonya Kurusu berbalik, memandang kedua putranya dengan tatapan cemas.
"Bagaimana pun juga aku tidak bisa meninggalkan mereka berdua di rumah, Sayang," ucapnya pada sang suami.
"Ayolah, mereka sudah besar, Ma. Tidak perlu cemas berlebihan. Lagipula Syo Karateka, dia bisa menjaga adik dan dirinya sendiri. Kalau ada maling, dia bisa melawan."
"Tapi tetap saja, Pa. Bagaimana kalau yang muncul bukan maling? Bagaimana kalau Sadako yang datang? Hanako? Wanita mulut sobek? Teke-teke? Nenek Ungu? Nenek gayung? Mereka 'kan nggak bisa dihajar pakai karate, Pa."
Sang suami nepuk jidat, begitu juga kedua putranya. Mama, plis….
"Begini, deh. Kalian menginap saja di rumah Natsuki-kun, ya? Seperti biasanya," usul sang Mama, membuat Syo bergidik ngeri.
"Ja-janganlah, Ma. Aku dan Kaoru bisa jaga diri. Lagipula begitu melihat wajah Kaoru, wanita mulut sobek juga pasti akan kabur," pungkas Syo cepat. Mungkin dia lupa bahwa dia dan Kaoru memiliki wajah yang sama.
"Tapi Mama sudah sms Natsuki-kun. Gimana dong?" Mama mengacungkan layar telepon pintarnya. Entah sejak kapan dia mengetik sms. "Hitung-hitung menemani Natsuki-kun juga, karena orangtuanya ikut serta dengan kelompok orkestra Mama ke Eropa."
Syo menghela napas. Pasrah.
Jadi begitulah. Di pagi menjelang siang ini, Kurusu bersaudara berjalan kaki menuju rumah teman kecil mereka. Shinomiya Natsuki.
Keduanya memakai topi jerami dengan bentuk dan motif yang sama, lalu menyeret satu koper keperluan mereka selama menginap—keduanya tidak pernah membawa banyak pakaian atau barang jika pergi menginap ke rumah keluarga Shinomiya.
"Hei, Kaoru. Kamu bawa apa, sih, kenapa kopernya jadi lebih berat daripada tahun lalu?" racau Syo sambil sesekali membetulkan letak topinya, menghindari hujaman sinar matahari.
"Bukannya Syo-chan yang banyak bawa barang?" kilah Kaoru. "Aku cuma bawa kaos, celana, Yukata kalau diperlukan, charger ponsel dan beberapa novel. Juga buku pelajaran kalau-kalau aku mendadak rajin."
"Heh itu banyak," keluh Syo. Walaupun katanya berat, tapi dia masih tetap enteng menarik kopernya.
"Rasanya setiap tahun kita selalu menginap di sana, ya? Seperti punya keluarga dekat," Kaoru menegadah, memandang langit biru muda dengan untaian awan putih bersih, "bahkan barang-barang pribadi pun kita tinggalkan di sana karena yakin tahun depan akan datang menginap lagi. Kotak aksesoris Syo-chan dan koleksi novel-novelku pasti masih tersimpan rapi."
"Kalau aku lebih ingin berdiam di rumah, daripada harus menginap lagi di sana. Tulangku rasanya patah-patah kalau dipeluk Natsuki."
"Kayak aku nggak aja," Kaoru menggaruk pipinya. Memang benar, dia juga sering jadi korban pematahan tulang—eh, pelukan oleh Natsuki. Rasanya sesak jika pemuda jangkung itu sudah memeluknya dengan gemas.
"Kapan si bodoh itu menghentikan kebiasaannya memeluk kita? Aku sudah memintanya berhenti, tapi sepertinya tidak digubris," biasanya Syo akan mulai cerewet ketika mengingat kebiasaan Natsuki yang satu itu. Kaoru ingin tertawa ketika mengingat semua momen di mana mereka seakan hampir mati kehabisan napas karenanya.
"Kurasa Natsuki memiliki alasan untuk tetap melakukan kebiasaan itu. Ini hanya dugaanku, tapi kuyakin, inilah alasannya mengapa ia tetap keras kepala untuk terus memeluk," ucapan adiknya berhasil membuat Syo menelengkan kepalanya. Ia penasaran ketika Kaoru memulai hipotesanya. "Syo-chan masih ingat, tidak? Dulu kita suka didandani Papa dengan penampilan yang sama? Karena kita kembar identik, hampir tidak ada yang bisa membedakan kita."
Syo menaikkan alisnya. "Ha? Kurasa kalau kita berdandan sama lalu berjalan beriringan begini, orang-bisa bisa membedakan kita melalui…," ah, berat mengatakannya, "tinggi badan kita…," suara Syo semakin pelan di akhir. Enggan mengakui dirinya lebih pendek dibanding adiknya.
"Memang, tapi sulit menyapa kalau kita sedang terpisah, 'kan? Kebanyakan orang akan berpikir beberapa menit, takut salah menyapa. Syo atau Kaoru?"
"Lalu?"
"Aku pernah iseng mengerjai Natsuki. Aku menyapanya dengan mencoba meniru gayamu, nada bicaramu. Semuanya. Ketika dia memelukku, kupikir itu karena dia tertipu. Ternyata tidak. Dia langsung menyebut 'Kaoru' bahkan belum sedetik setelah ia melepas pelukannya," tutur Kaoru mengenang kejadian beberapa tahun lalu itu. "Kurasa Natsuki melakukan itu untuk mengenali kita. Dia sadar perbedaan tinggi kita melalui pelukan."
Syo melongo, tak menyangka hipotesa adiknya akan sejauh ini.
"Kamu bisa berpikir sejauh itu, ya," puji si sulung. Kaoru hanya mengulas senyum simpul seraya mengangkat bahu. "Tapi tetap saja, aku tersiksa kalau sudah dipeluk-peluknya. Dia juga sering mengekoriku. Benar-benar mengganggu."
"Ah, kalau mengekorimu… mungkin karena aku yang minta."
"Apa?" kepala Syo menoleh cepat, memandang adiknya dengan wajah keberatan.
"Oh, ayolah, Syo-chan. Kami semua mencemaskanmu," suara Kaoru terdengar lebih pelan, "kamu tahu? Papa dan Mama cerewet menyuruhku menyusulmu ke Saotome Gakuen untuk menyeretmu pulang kembali begitu kamu memutuskan untuk tinggal di asrama. Mereka baru lega setelah kamu menelepon dan bilang kalau kamu dan Natsuki ternyata sekamar. Begitu-begitu, Natsuki sudah dipercaya Papa dan Mama, loh. Setidaknya, bukan orang lain yang menemanimu sekolah di sana."
Syo mengernyit heran. Ilmu apa yang dipakai si maniak Piyo-chan itu hingga orangtuanya saja sampai begitu percaya?
"Dengan adanya Natsuki di sampingmu—yang mengenal luar-dalam keadaanmu—setidaknya membuat rasa cemasku berkurang. Begitu juga rasa cemas keluarga Shinomiya." kalimat Kaoru terputus, seiring langkah mereka yang semakin mendekati area penyeberangan. "Kamu selalu ada untuk menjaga Natsuki dari luka hatinya. Mengawasi agar Natsuki tidak melepas kacamatanya sembarangan dan berbuat seenaknya. Juga sabar saja walaupun tingkah Natsuki kadang memancing emosimu."
"Oh?" Syo mendongak, memandang lampu lalulintas bagi pejalan kaki. Masih merah.
"Natsuki juga ada untukmu. Dia tulus menyayangimu, Syo-chan. Dia mungkin akan menjadi orang pertama yang membawamu ke rumah sakit jika kamu kolaps. Orang yang akan memaksamu untuk istirahat jika kamu sudah mulai memaksakan diri—kurasa dia bisa memindahkanmu dari ruang latihan ke kamar kalian hanya dengan satu tangan. Dia juga paling tahan banting dengan sifat tempramenmu. Kalian cocok Syo-chan. Kalian saling menjaga."
Syo tak membalas kalimat panjang adiknyaa. Dia hanya berjalan dalam diam setelah lampu lalulintas berubah hijau. Kaoru tak dapat melihat dengan jelas, namun ia yakin ada semu merah muda di pipi sang kakak.
Suara jangkrik mulai sayup-sayup terdengar, terselip diantara suara ranting pohon yang bergesekan. Sinar mentari yang menelusup dari celah dedaunan tampak bagai cahaya lampu sorot paling menenangkan. Baru saja keduanya melewati taman bunga matahari kecil milik sebuah kafe, seolah setiap tangkainya tersenyum pada langkah mereka.
"Kamu salah paham Kaoru," suara Syo tak pernah terdengar begini halus. "Aku dan Natsuki—juga kamu—hanya teman sejak kecil. Kita sudah bersama sekian tahun hingga sudah seperti saudara. Aku dan dia hanya rival abadi di arena kontes biola—walau aku tidak akan pernah bisa mengalahkannya. Dia terlalu jenius."
"Itu sebabnya Syo-chan menyerah menggesek dawai biola? Karena Natsuki terlalu jenius untuk ditandingi? Sayang sekali, padahal permainanmu juga luar biasa dan biola sekali pun dapat menggambarkan perasaan kalian dengan amat gamblang, Syo-chan."
"Kamu jangan ngomong ngelantur. Pasti tersengat panas matahari, ya? Sini aku traktir es."
"Syo-chan, aku serius," tukas Kaoru, kali ini ia berlari kecil, kembali berada tepat di samping Syo. "Aku bukannya tidak pernah melihat kalian berduet biola."
Tentu Kaoru tidak pernah melupakan panggung setahun tahun lalu, saat para juri kontes meminta Natsuki; selaku juara bertahan untuk kembali memainkan biolanya sebagai acara penutupan. Natsuki boleh memilih siapa saja dari sekian peserta yang tampil untuk berduet dengannya—dan dia memilih Syo.
"Saat kalian mulai berduet, seluruh aula seketika terdiam. Musik yang kalian hasilkan terdengar begitu jujur, mengalir dengan begitu lepas. Kamu dan Natsuki memang hanya memainkan biola berdua di atas panggung, namun kalian tampak seperti pasangan baru yang tengah berkencan. Tanpa mengeluarkan kata-kata gamblang, namun semua tahu bahwa ada kesan hanya aku dan kamu dalam alunan melodinya."
Kaoru tidak mengerti, mengapa pipinya sekarang terasa panas. Mungkin Syo benar, ia tersengat panas matahari. Dia menunduk, memandang sandal yang mengalasi kakinya. Seolah ia akan mencipta dosa bila harus memandang wajah Syo.
"Saat itulah aku sadar, kalian saling memahami, namun hanya menyimpannya dalam diam. Kalian saling melagukan cinta lewat not musik, bercumbu melalui nada demi nada, seolah kamu dan dia percaya, kalian bertemu untuk saling melengkapi. Begitu manis sampai-sampai orang awam pun tahu bahwa kalian sangat intens. Entah mengapa, aku tidak tahu, namun saat itu kalian terlihat begitu romantis, Syo-chan."
Semilir angin membuat sekumpulan Bunga Ajisai melambai riang. Warna ungu dan birunya tampak bagai bola-bola lembut yang menghias dedaunan. Suara Kaoru semakin lama semakin lirih, seolah berbisik. "Aku iri Syo-chan. Kamu begitu disayang kekasihmu. Kamu mendapatkan pasangan yang tepat untuk mendampingimu."
Beberapa menit, Kaoru tidak menemukan jawaban apapun dari Syo. Mungkinkah kakaknya tersinggung? Marah? Kaoru tertunduk takut, menunggu jawaban apa yang kira-kira akan dilontarkan Syo. Sedetik kemudian, sensasi dingin dari sepotong es soda menyentuh bibirnya.
"Cepat makan, nanti mencair," ucap Syo ringan sambil menjejalkan potongan es itu ke dalam mulut adiknya. Entah kapan, namun Syo sempat-sempatnya membeli tiga bungkus es krim—satu lagi untuk Natsuki. Syo menggerutu kecil tentang hawa panas yang ia rasakan, lalu membuka bungkus es miliknya dan melanjutkan langkahnya. Rumah Shinomiya sudah semakin dekat, hingga langkah mereka melambat dan menjadi lebih santai.
"Masih terlalu cepat menyimpulkan perasaan kami melebur menjadi cinta atau bukan," sahut Syo. "Lagipula aku tidak bisa membayangkan bagaimana Natsuki jatuh cinta."
Tidak. Dia mencintaimu, Syo-chan. Sangat. Sampai-sampai ia tidak berani menggapaimu. Takut mengecap kembali rasa pahitnya patah hati.
"Ah, iya. Bagi Syo-chan, Natsuki itu lebih dari sekadar pacar, sih, ya?"
"Bu-Bukan!" dan Syo tak tahu harus menampilkan ekspresi apa karenanya. "Hubunganku dan Natsuki itu saling urus tahu," ia mengibaskan tangan seraya menaikkan oktaf suaranya. "daripada pacar, bukannya kami lebih masuk akal kalau disebut sebagai keluarga? Keluarga, tahu!"
Wajahmu memerah, Syo-chan.
"Ah, begini, deh, keluarga, ya?" Kaoru menjentikkan jarinya. "Bagaimana dengan tunangan? Lebih alami daripada pacar, 'kan? Mana ada yang sebatas pacar datang setiap hari ke rumah sakit—dari pagi hingga malam—hanya untuk membuat pasangannya mengomel? Menceritakan hal tidak penting, atau sekadar menggesek dawai biola dengan nada-nada riang? Permainan biola Natsuki itu mahal, loh."
"Tu-tunangan… ya… ?" Syo terdiam sebentar, lalu perlahan, menyentuh dagunya perlahan dan matanya melirik ke arah atas. Membuat Kaoru gemas seketika.
"Aah! Dipikirin! Syo-chan mikir! Syo-chan mikir!"
"Bu-bukan! Aku tidak memikirkannya!" merasa sudah dikerjai sang adik, Syo akhirnya berbalik cepat. Berlari kecil menuju rumah keluarga Shinomiya yang sudah tampak bagian atapnya. Bahkan mungkin Syo tidak tahu lagi adiknya tengah menggumam apa di belakang sana.
"Kamu hanya tidak sadar, Syo-chan. Kamu tidak sadar bahwa kamu sedang mencintainya," suara Kaoru hampir tidak terdengar, "karena cinta adalah penyusup paling ulung di dunia. Ketika dia datang, kau tidak akan sadar hingga ia mengetuk sudut terdalam hatimu."
Bangunan rumah keluarga Shinomiya sudah semakin jelas. Sisi berbentuk kerucut dengan warna merah, serta dinding bata berwarna tua. Syo berlari menuju pintu gerbang di depan sana, berharap Natsuki akan segera membuka pintu dan membiarkannya masuk. "Kaoru! Ayo cepat!"
Adiknya hanya memasang senyum simpul, lalu menjitak pelipisnya sendiri. "Aku memang terlalu banyak bicara," gumamnya. Di depan sana, Natsuki sudah membukakan pintu gerbang, memeluk Syo tanpa peduli pemuda pendek itu tengah meronta-ronta.
Kadang kala, aku iri melihat mereka. Menyayangi tanpa kata. Mencintai tanpa perlu bukti. Natsuki menjaga Syo-chan. Syo-chan juga menjaga Natsuki. Ah, betapa aku ingin seperti itu juga. Dijaga dan dicintai oleh kekasih terbaik.
Semilir angin menerbangkan beberapa helai daun, membuatnya menari-nari di udara, seiring manik biru Kaoru mengikutinya. "Tapi…. Tidak jadi deh," wajahnya berubah heran, hingga akhirnya ia menengadah, seolah menatap matahari.
Masa aku harus merebut kekasih kakakku sendiri?
End?
1# Aslinya rumah Natsuki di ladang gitu :3/ (Terus saya bingung ini ortunya musisi juga apa engga, terus saya bikin musisi aja di sini.)
Intinya….. saya nulis apa? #lari.
Januari, 2015. Aya.
