Aku suka kamu, Armin.

Sejak dulu, kau tak akan memungkirinya.

Aku suka kebaikan hatimu,

Juga keberanianmu.

Tapi yang terutama, senyummu Armin!

Aku ingin melihat senyummu selalu sepanjang hari-hariku.

Lihatlah aku, Armin!

Tidakkah rasa sukaku ini terlihat dimatamu?

Tidakkah kau lihat diriku yang selalu memerhatikanmu?

Lihatlah aku, Armin.

Walau sedikit, angkatlah wajahmu.

Perlihatkanlah senyummu, hanya padaku


HARAPAN JIMAT CINTA

(Suichi Shinozuka)

Chapter 2 : Perlihatkan Senyummu

Shingeki no Kyojin belongs to Isayama Hajime

'

'

Enjoy the story!

"Christa?"

Christa terkesiap. Ia langsung sadar dari dalam dunia khayalnya.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Armin sambil menaikkan satu alisnya, sedikit heran dengan sikap Christa yang tiba-tiba terdiam, seperti termenung. "Ada yang mengganggumu?"

"Aaah…" Christa menggelengkan kepalanya cepat. "Aku baik-baik saja, tidak usah khawatir," ungkapnya lagi sambil berusaha tersenyum, walau air mukanya pasti berbeda.

"Oh, begitu. Ngomong-ngomong tentang kata-kataku barusan, jangan dianggap serius. Rasanya mustahil orang seperti aku memacari seorang Leonhart, hehe" gumam laki-laki berkulit putih itu sambil tertawa kecil. Christa mendongakkan kepalanya sedikit, memerhatikan wajah Armin. Terlihat rasa kecewa dan putus asa disana.

"Mungkin aku bisa membantumu," bisik Christa.

"Eh?"

Aku suka kamu, Armin.

"Annie pasti juga menyukaimu."

Aku ingin mengungkapkannya tapi…

"Kau tinggal berusaha sedikit lagi untuk mengungkapkannya…"

Kalau saja kita bisa terus berdua selama darmawisata,

"Kalau saja kau bisa terus menemaninya selama darmawisata,"

Dan menggenggam jimat cinta bersama.

"Dan memberikan Annie jimat cinta."

Aku pasti sangat bahagia!

"Dia pasti senang!"

Teruslah tersenyum Armin, karena aku suka senyummu.

"Teruslah buat ia tersenyum, Armin. Aku tahu kau suka senyumnya."

Armin menatap Christa dengan tatapan tak percaya. Mata biru terangnya terbelalak. Ia benar-benar tak menyangka teman sekelasnya berkata begitu. Tapi kemudian tatapan itu berubah menjadi pancaran hangat dengan senyum lebar yang cerah.

"Terima kasih, Christa. Entah mengapa kata-katamu membuatku semangat. Benar aku tak boleh menyerah. Setidaknya aku harus mencoba, kan?" kata Armin dengan semangat. Wajahnya terlihat merona.

"Um!" angguk Christa. "Kau pasti bisa Armin!" balas gadis kecil itu sambil tersenyum.

"Terima kasih nasehatmu, Christa. Yosh, aku duluan ya. Yuk, Kau juga harus cepat ke bus," ajak Armin sambil melambaikan tangan dan berlari duluan, meninggalkan Christa.

Christa melambaikan tangannya sambil terus tersenyum, menatap sosok Armin yang semakin jauh di lorong gelap itu. Ketika sudah yakin sosok Armin tak terlihat lagi, senyum ceria itu tiba-tiba berubah menjadi wajah yang kecewa. Tubuhnya terhempas ke lantai.

"Apa yang aku lakukan…" isak Christa. Kedua telapak tangannya menutup wajahnya, mencegah sedikit air matanya terjatuh.

"Bukan itu yang ingin kukatakan," bisiknya dalam hati. Tapi apa boleh buat? Semuanya sudah terjadi dan Christa menyesalinya. Kalau saja ia punya cukup nyali untuk mengungkapkan isi hatinya dengan lugas. Tapi bagaimana pun juga, menyesal bukan hal yang tepat. Ia harus memenuhi janjinya pada Armin. Membuatnya bisa menatap senyum Armin, sudah cukup membuatnya senang.

"Kau kemana saja, Christa?! Kita hampir saja meninggalkanmu, kau tahu?!" teriak Sasha dalam bus, ketika bus sudah mulai berjalan. Pipinya merah dan mengembung, dan tatapannya penuh rasa khawatir.

"Hehehe maaf maaf, tadi aku hanya ke toilet saja kok," balas Christa sambil berusaha tetap ceria di depan teman-temannya.

Mikasa menatap wajah Christa lekat-lekat.

"Eh, ada apa, Mikasa?" Tanya Christa.

"Kau, habis menangis ya?" Tanya Mikasa sambil memegang pipi Christa. Gadis berambut pirang pucat itu langsung terkesiap.

"Ah, ti… tidak kok, hanya perasaanmu saja," jawab Christa sambil berusaha menutupi rasa gugupnya. Ia benar-benar mengagumi intuisi Mikasa yang hebat.

"Christa, itu Armin sedang duduk sendiri. Mungkin ini kesempatanmu untuk duduk disampingnya!" bisik Sasha sambil menunjuk ke arah belakang. Kedua alisnya naik dua kali, dan mengacungkan jempolnya.

Christa tersenyum lembut. "Sudahlah, biar ia bersama Annie saja." jawabnya.

"Annie?" teriak kedua temannya sambil terbelalak.

"Ya, kalau dipikir-pikir, Armin lebih cocok dengan Annie. Apakah kalian berpikir seperti itu juga? Mereka sama-sama hebat. Alangkah senangnya jika mereka bersama, kan? Dibandingkan Annie, aku jauh dibelakangnya. Haha, jadi begini rasanya patah hati ya? Tak apa, melihat Armin tersenyum saja itu sudah— "

Mikasa menutup bibir Christa dengan jari telunjuk dan tengahnya.

"Jangan mengatakan hal seperti itu, Christa. Aku tahu kau tak mungkin semudah itu menyerah," bisik gadis berambut legam sebahu itu.

Christa menurunkan tangan Mikasa dari bibirnya, kemudian menggeleng. "Aku sudah berjanji pada Armin untuk membantunya. Jadi…"

"Eh? Kau berjanji seperti itu?" pekik Sasha. Christa menganggukan kepalanya pelan.

Mikasa menatap prihatin sahabatnya itu. "Jangan sakiti dirimu, Christa.

Christa menggelengkan kepalanya lagi, sambil tersenyum lebar. "Tenang saja, aku baik-baik saja." Christa tahu bahwa perasaannya yang paling dalam tidak berkata begitu. Tapi, mau bagaimana. Armin tidak menoleh kearahnya. Daripada melihat Armin sedih, mungkin lebih baik dirinya saja yang terluka.

"Hey Armin. Kau sendiri? Bolehkan aku duduk disampingmu?" tiba-tiba saja Eren datang menghampiri Armin yang tengah sendiri.

"Eh? Um," Armin mengangguk dan mempersilahkan temannya itu duduk. Mikasa dan Sasha yang melihat itu, menghela nafas lega.

Diam-diam, Christa yang ikut melihatnya, juga bernafas lega.

"Kyoto! Yay! Mikasa, Christa, ayo kita cari makanan terenak dari daerah ini!" teriak Sasha begitu melompat dari bus.

"Jangan membuatku malu, Sasha," balas Mikasa. Christa hanya tersenyum geli melihat tingkah laku temannya itu.

"Ah, Armin," Christa langsung berlari kecil hendak menghampiri Armin begitu melihat sosoknya keluar dari bus.

"Christa—" suara Mikasa tercekat ketika hendak mencegah Christa. Tapi gadis beriris tosca itu tak memedulikannya. Mikasa hanya menghela nafas melihat temannya berlalu. Dalam hatinya, ia sedikit khawatir pada Christa.

"Whup!"

"Eh? Christa?" Armin cukup kaget melihat temannya itu tiba-tiba menepuk bahunya dari belakang.

"Armin, aku datang untuk menepati janjiku. Kau ingat kan? Aku akan membantumu," kata Christa sambil tersenyum.

"Be… benarkan? Terima kasih. Jadi, apa yang harus aku lakukan?" Tanya Armin.

"Hmm…" Christa mulai berpikir. "Ah! Penampilan. Bagaimana kalau kau merubah penampilan? Kupikir gadis jaman sekarang suka laki-laki yang berpakaian modis dan keren." Terang Christa sambil menjetikkan jarinya.

"Modis?" Armin menaikkan satu alisnya.

"Lihatlah Jean. Kupikir ia cukup modis. Scarf-nya itu, begitu pula dengan kaca mata gayanya, kupikir itu sudah bisa menimbulkan kesan modis padanya," papar Christa.

"Yah, tapi menurutku itu terlalu—"

"Lihatlah senior kita, Rivaille! Banyak gadis menyukainya. Bahkan gosipnya, senior kita Petra, diam-diam menyukainya. Kemeja dan sepasang celana panjang hitamnya itu, juga model rambutnya, sederhana tetapi terkesan modis, kan?" Christa memaparkan pendapatnya dengan semangat.

"Hmm… benar. Tapi rasanya aku tidak cocok dengan semua itu," balas Armin sambil mengerutkan keningnya.

"Jadi ayo cari gaya yang cocok untukmu. Ayo!" kata Christa sambil menarik tangan Armin.

"Eeh? Kita mau kemana?" teriak Armin. Christa tak menjawab. Ia terus berlari ke suatu tempat.

"De… department store?" Armin memincingkan matanya ketika sampai di tempat tujuan.

"Pilihlah baju yang kau suka, Armin," balas Christa sambil menyibak-nyibak kumpulan pakaian pria.

"Tapi, kita dilarang kemana-mana dulu sebelum jam bebas, kan?" tanya Armin sedikit khawatir.

"Sudahlah, Armin. Kita akan kembali 30 menit lagi. Tenang saja, tidak akan ketahuan," jawab Christa meyakinkan.

Armin menggeleng kepalanya ke kanan dan akhirnya mengikuti kemauan Christa.

"Ba.. bagaimana?" Tanya Armin. Wajahnya terlihat sangat gugup.

"Terlihat bagus!" pekik Christa sambil tersenyum.

"Tapi, jaket ini membuatku gerah," balas Armin sambil mengibaskan tangannya ke arah wajahnya.

"Hmm… kalau tidak nyaman, ganti saja," jawab Christa. Armin pun masuk lagi ke ruang pas.

"Bagaimana?" Tanya Armin setelah beberapa menit di ruang ganti. Kini ia menggunakan baju yang berwarna terang.

"Imut—eh maksudnya terlihat kekanak-kanakan. Aku tak bisa membayangkan kau seperti itu berjalan di samping Annie," balas Christa. Armin mengangguk setuju, kemudian menutup tirai kamar pas.

Akhirnya, Armin asyik mencoba-coba baju dan Christa sibuk mengomentarinya. Kadang ia tertawa melihat Armin memakai benda-benda yang tidak sesuai dengan image-nya seperti kaca mata hitam dan sebagainya. Tapi menurut Christa, Armin tetaplah menarik dengan pakaian apapun. Sayangnya, ia harus berkomentar sambil membayangkan Armin bersanding disamping Annie.

"Bagaimana dengan ini?" Armin keluar dengan sedikit gugup. Kali ini dia menggunakan kemeja putih yang dilapisi waistcoat coklat tua, dengan celana panjang yang senada dengan waistcoatnya. Setengah rambut pirangnya juga diikat ke belakang.

Christa terbelalak melihat penampilan Armin kali ini. Wajahnya merona hebat dan mata toscanya membesar. "Ke… keren," bisiknya. Gadis itu mengacungkan jempolnya.

Armin tersenyum tipis. Tiba-tiba senyumnya itu berubah menjadi ekspresi tegang dan terkejut.

"Hm? Ada apa?" Tanya Christa ketika melihat air muka Armin berubah.

"Christa… guru," bisiknya sambil menunjuk ke belakang Christa.

"Eh dimana—"

Belum sempat Christa menyelesaikan kalimatnya, Armin sudah menarik tangannya dan masuk ke dalam kamar pas. Lelaki itu menutup tirai kamar.

"Kya—"

"Ssst, jangan sampai kita ketahuan, Christa!" bisik Armin sambil menutup bibir tipis gadis itu dengan tangannya. Ia juga mendekap tubuh mungil itu dengan tubuhnya yang lebih tinggi 10 cm. Jaraknya… ah tidak ada jarak. Wajah Christa benar-benar terbenam di dada berlapis waistcoat itu.

"Dekat… dekat sekali…" mata Christa berkunang-kunang. Tubuhnya kaku seakan membeku. Ia benar-benar tegang. Wajahnya pasti sudah merah, dan jantungnya berdegup sangat cepat.

"Bertahan Christa. Tunggu sampai guru itu pergi," bisik Armin di telinga gadis yang tengah didekapnya. Christa hanya mengangguk pelan.

Begitu guru itu benar-benar pergi, akhirnya Armin melepas dekapannya, dan mereka pun keluar dari kamar sempit itu.

"Maafkan aku!" Armin membungkukkan badannya di depan Christa. Ia benar-benar minta maaf karena mendekap Christa tanpa ijin.

"Sudahlah," balas Christa sambil tersenyum. "Yang penting sekarang kau harus menunjukkan penampilanmu ini pada Annie."

Armin mengangguk pelan, dan mereka pun kembali ke perkumpulan.

"Ah itu Annie! Ayo cepat ajak dia makan siang bersama!" bisik Christa begitu melihat sosok gadis cantik yang memiliki tatapan tajam itu.

"Haruskah aku…?" Tanya Armin diikuti anggukan Christa. Dengan sedikit ragu, Armin melangkahkan kakinya kearah Annie.

Christa menatap punggung Armin sambil tersenyum. Armin tampak keren dengan pakaian itu. Ya, Armin melakukan itu demi Annie. Kini ia berusaha untuk berani demi Annie. Ia juga berlatih di toilet demi Annie. Sebegitunya kah rasa suka Armin pada Annie?

Pelupuk mata Christa terasa basah. Entah kenapa rasa sakit dihatinya timbul kembali. Ia mengusap matanya dan menghirup nafas panjang. "Tak apa," bisiknya pada diri sendiri. Ia harusnya cukup senang hari ini bisa membatu, bahkan sampai didekap oleh orang yang ia suka.

"Tidak, aku akan makan bersama Reiner dan Berthold," tolak Annie.

"Eh?" Armin cukup terkejut dengan penolakan Annie. Christa yang dapat mendengarnya juga terkejut.

"Oh begitu. Ya tak apa, semoga harimu menyenangkan. Dah," jawab Armin sambil tersenyum, menutupi rasa kecewanya.

"Armin—" panggil Christa, tapi lelaki itu mengabaikannya. Ia tampak cukup terpukul, dan kecewa, tentu saja. Christa menunjukkan rasa sedih melihat orang yang ia sukai kecewa. Ia tak dapat melihat senyum itu.

Tak terasa, hari sudah berubah menjadi oranye keemasan. Armin dan Christa sudah berpisah pada waktu itu juga. Kini, gadis itu tengah mengelilingi toko souvenir bersama kedua sahabatnya.

"Kenapa kau bengong sedari tadi, Christ?" Tanya Sasha sambil mengulum permen.

"Ah? Tidak kok," bantah Christa. Tiba-tiba matanya tertuju pada gadis yang sedang berdiri sendirian di pinggir jembatan, tengah menatap matahari tenggelam.

"Annie!" pekik Christ sambil berlari kearahnya.

"Christ!" panggil Sasha yang melihat gadis itu tiba-tiba berlari dan menghilang.

"Hai, Annie," sapa Christa.

"Hng? Ada apa? Tanya Annie sedikit heran melihat Christa tiba-tiba menghampirinya.

Christa tak menjawab. Mereka terdiam beberapa saat, ditengah bias cahaya keemasan.

"Tentang Armin, kau tahu ia sangat pintar. Ia selalu paling hebat di pelajaran teori—yah walaupun fisiknya lemah. Tapi ia selalu berusaha dan selalu baik pada orang lain."

"Ya, aku tahu," jawab Annie singkat.

"Jadi…" Christa menghentikan kalimatnya. Annie menatap gadis beriris senada dengan miliknya itu dengan sedikit bertanya-tanya.

"… Apakah kau menyukainya?" Tanya Christa pelan.

Annie memicingkan matanya, sambil menarik nafas pelan. Tiba-tiba iris itu menatap Christa lekat.

"Ya, aku menyukainya," bisiknya sambil berlalu.

Lagi-lagi tubuh Christa terhempas ke tanah. Matanya membesar, dan alisnya mengerut. Ia dapat merasakan air mata hangat mengalir di pipinya. Semakin lama, semakin deras.

"Kau beruntung, Annie," isaknya.

.

.

Perlihatkan Senyummu : END

See ya at chapter 3 ^^