.

Under The Mistletoe With Me

.

Pengarang: Kristen Proby

.

.

.

Cast: Kim Joonmyeon x Zhang Yixing

.

.

Ini BUKAN karya Cactus93, Cactus93 hanya ingin me-remake dan berbagi cerita yang Cactus93 sukai. Cactus93 hanya mengganti nama pemeran, mungkin dialog yang sesuai dengan keadaan. Setting cerita ini tidak di Korea. Yixing POV.

.

.

.

Hope u will enjoy this remake^^

Happy reading

.

.

"Aku lega kau tidak ada pertandingan hari ini dan bisa menikmati makan malam Thanks giving bersama kami." Ibu mertuaku, Mrs. Kim, tersenyum pada anaknya, Yifan yang sedang menjejalkan kentang tumbuk ke mulutnya.

"Aku juga, Mom. Ya Tuhan, ini lezat."

"Itu adalah karbohidrat yang sangat banyak untuk seorang pria yang sedang dalam pelatihan," komentar Joonmyeon yang ada di sampingku. Aku menggosokkan telapak tanganku naik turun di sepanjang paha suamiku dan menyeringai kearahnya. Dia senang sekali menggoda adik laki-lakinya.

"Bung, ini Thanks giving." jawab Yifan.

"Jadi asupan karbohidrat yang masuk tidak dihitung?" Joonmyeon bertanya.

"Tepat sekali." Yifan menyeringai dan kembali menyuap kentangnya.

Dalam ruangan ini aku dikelilingi oleh orang-orang yang penyayang dan kocak. Gen keluarga Kim memang mengagumkan. Namun selain suatu hal yang sudah amat jelas, yaitu rupawan, mereka semua ramah dan baik hati, dan aku bangga serta beruntung dapat menjadi bagian dari mereka.

Anson, putri kami yang berusia empat bulan, menggeliat di lenganku.

"Kemari, sayang, biar aku yang menggendongnya." Joonmyeon menarik putri kami ke lengannya dan menaruhnya di bahu lebarnya. Anson menyesuaikan diri dan kembali tertidur, wajahnya menempel di leher ayahnya. Aku tidak bisa menyalahkannya, itu merupakan tempat favoritku juga. "Makanlah, sayang."

Kami semua berkumpul di rumah Sehun dan Luhan untuk liburan. Pasangan yang saling mencintai itu telah menikah selama dua bulan sekarang, dan aku amat bahagia untuk mereka. Luhan bukanlah saudara perempuan sedarah namun dia telah menjadi bagian dari keluarga ini selama bertahun-tahun. Dia dan Baekhyun, yang termuda dan satu-satunya anak perempuan dalam klan Kim, adalah sahabat baik. Dengan tambahan orangtua Sehun, Mrs. Oh dan Neil, dan dua saudaranya, Kyungsoo dan Taeyong, bersama kedua orang tuaku juga, rumah ini dipenuhi dengan orang, suara keras dan tawa, dan sedikit terlalu hangat.

Aku tidak ingin berada di tempat lain.

"Xing, bagaimana perkembangan blogmu?" tanya Baekhyun di sampingku.

"Berjalan dengan baik, terima kasih. Aku sangat menikmatinya."

"Dia terlalu rendah hati." Joonmyeon menyela sambil menyeringai. "Blognya berkembang dengan luar biasa. Dia telah memiliki lebih dari dua ribu follower, dan reviewnya telah dipilih oleh beberapa penerbit untuk menghiasi cover buku."

Dia tersenyum padaku dan mencium keningku, tataman mata lembutnya bersinar penuh kebanggaan. Oh Tuhan, aku mencintainya.

"Buku jenis apa yang kau review?" tanya Luhan.

"Novel percintaan," jawabku sambil tersenyum.

"Jenis yang mesum?" Yifan bertanya penuh harap. Dihadiahi pukulan di lengannya oleh saudara perempuan Sehun, Kyungsoo. "Kenapa?"

"Jangan seperti maniak," gumamnya, sambil menatap tajam kearah Yifan.

"Sebenarnya, semua jenis, tapi iya, novel erotis memang sedang naik daun saat ini," aku merespon dan mengedipkan mata pada Yifan.

"Oh! Apakah kau telah membaca buku-buku itu yang sedang dibicarakan oleh banyak orang?" Kyungsoo bertanya. "Kau tahu, buku yang si pria mengikat si wanita lalu memukul bokongnya dan melakukan segala macam hal yang nakal?"

Aku merasakan kupingku terbakar saat aku merona. Para pria memutar mata mereka, namun Jongdae, adik laki-laki Joonmyeon paling muda, berdehem dan tidak mau menatap siapapun.

Menarik.

"Iya, aku telah membacanya, Kyungsoo "

"Aku juga ingin membacanya," Baekhyun berbisik di telingaku. "Aku sedang tidak berkencan saat ini."

"Akan aku email daftarnya," bisikku dan kami mengikik.

"Kalian sedang berbisik-bisik tentang apa?" Joonmyeon bertanya, menarik tanganku dan mencium ruas jariku.

"Hanya mengenai buku." jawabku.

"Okay, berikan bayi itu." Luhan berdiri dan berjalan mengitari meja, lengannya terbuka, dan mengambil Anson dari bahu Joonmyeon, menciumnya. "Hi, cantik. Aku rindu padamu."

Tatapanku jatuh pada Sehun. Dia sedang memandangi istrinya, mata birunya dipenuhi cinta dan kebahagiaan. Luhan sendiri juga sedang mengandung.

"Setiap saat jika kau ingin berlatih memberi makan tengah malam, kau mendapat izinku," Joonmyeon memberitahunya.

Aku memutar mataku dan memukul lengannya. "Berhentilah berusaha memberikan bayiku pada orang lain."

Dia berkedip padaku dan menggigit kalkunnya. "Aku hanya bercanda."

"Kau tahu aku akan menjaganya dengan sepenuh hati," Luhan merespon dengan senyum bahagia dan menciumi pipi Anson, membuatnya terkikik.

Ponsel Joonmyeon berdering dalam sakunya. Dia melihat layarnya dan memundurkan kursinya.

"Aku segera kembali."

Aku bertanya-tanya siapakah itu? Yang pasti tidak mungkin mengenai pekerjaan, ini hari Thanks giving. Aku mengangkat bahu dan menyelesaikan makan malamku, dan kemudian membantu membersihkan meja serta membersihkan dapur. Dengan bantuan semua orang, pekerjaan itu cepat selesai dan kami semua duduk dengan segelas wine atau secangkir kopi untuk mengobrol dan memulihkan diri dari hidangan Thanks giving yang lezat.

Akhirnya, Joonmyeon kembali dari panggilan teleponnya, dahi pada wajah tampannya berkerut. "Siapakah itu?"

"Itu bukan apa-apa." Dia menggelengkan kepalanya dan berjalan menuju dapur untuk mengambil sebotor bir dari dalam kulkas sebelum duduk disebelahku di sofa.

"Itu seseorang," responku

Dia menggelengkan kepalanya lagi dan membuka tutup botol birnya. "Jangan mengkhwatirkan hal itu."

Aku memberenggut padanya. Ini hal yang baru. Bukan berarti kami harus berbagi semua detail kecil dengan siapa kami berbicara namun biasanya kami seperti itu. Dia tidak pernah tertutup sebelumnya.

Sebelum aku mulai berargumen dengannya, dia mengambil tanganku dan menjalinkan jari-jari kami, membawanya ke bibirnya. "Lupakanlah."

Dia menyeringai padaku dan mengedipkan mata, kemudian melanjutkan pembicaraan dengan Yifan mengenai musim footballnya bersama Seahawks, secara efektif mengakhiri pembicaraan. Dengan perut penuh dan kobaran api hangat yang jaraknya tidak terlalu jauh, aku duduk dengan nyaman disamping suamiku yang kekar, merebahkan kepalaku pada bahunya yang berotot, dan mengamati aktivitas di sekitarku.

"Yixing, ini foto-foto Anson yang kami ambil minggu lalu," Luhan mengangsurkan sebuah flashdisk mini padaku. "Aku pikir kau akan menyukainya."

"Oh, aku yakin aku akan sangat menyukainya! Terima kasih lagi kau mau melakukan ini. Aku akan memesan kartu Natal minggu depan." Aku tersenyum lebar padanya saat ia mengambil tempat duduk diseberangku bersama Baekhyun.

Kepala Baekhyun dan Luhan saling menempel, seperti biasanya, bermain-main dengan Anson yang sedang tertidur. Aku tersenyum pada mereka bertiga. Tiga gadis cantik. Aku mengambil ponselku dari saku dan mengambil foto mereka.

Kyungsoo duduk disamping mereka dan mencium kepala Anson, dan aku mengambil foto lagi.

Semua orang tua kami duduk di sekeliling meja makan sambil meminum kopi, bercakap-cakap mengenai cucu dan rencana Natal.

Yifan dan Joonmyeon masih mengobrol tentang sepakbola, bersama Jongdae, saudara laki-laki mereka yang lain dan Sehun menimpali kesana kemari. Taeyong berjalan dari arah dapur, memberikan Sehun sebotol bir lagi dan bergabung bersama mereka. Yang tidak ada hanya Hansol, yang sedang dalam sebuah misi bersama SEAL (angkatan laut).

Kuharap dia akan pulang saat Natal.

"Kau baik-baik saja?" bisik Joonmyeon.

"Mmm."

Dia tersenyum padaku dan mencium rambutku. Mataku terasa berat. Kubiarkan kelopak mataku menutup dan mendengarkan percakapan di sekitarku.

"Aku akan kembali sebentar lagi." Joonmyeon memegang daguku dengan jarinya dan mengecupku dengan lembut. Aku tidak pernah puas akan bibirnya. Priaku pandai mencium. Dia bergerak menjauhiku sambil merendahkan tubuhku di sofa sehingga kepalaku berada pada lengan sofa dan aku merasakan ia berjalan menjauh dariku.

Yifan, Sehun dan Taeyong masih sibuk membicarakan tentang football, dengan bersemangat berargumen mengenai garis penyerangan.

Tiba-tiba mataku mengerjap terbuka dan mengira-ngira berapa lama aku telah terlelap. Aku tidak bermaksud untuk tidur.

Para ibu kami telah meninggalkan suaminya di meja makan dan bergabung bersama kami para gadis di ruang keluarga. Ibuku menimang Anson di lengannya dan mendapatkan cibiran dari Baekhyun.

"Aku tidak pernah mengendongnya diantara Luhan dan kalian, aku tidak akan pernah punya kesempatan."

"Jangan merengek," gerutu Luhan.

"Tutup mulutmu." Baekhyun membalas, dan aku terkikik. Mereka sangat kocak, walaupun ketika sedang berdebat.

"Xing, aku ikut senang blogmu berjalan dengan baik," Ibunya Sehun, Mrs. Oh berkata sambil tersenyum.

"Terima kasih, aku juga demikian. Aku membutuhkan sesuatu untuk dikerjakan ketika aku berada di rumah bersama Anson. Jangan mengira aku bosan, tapi aku hanya..." Bagaimana aku menjelaskan bahwa aku membutuhkan sesuatu, hanya untukku tanpa terkesan egois?

"Aku mengerti," kata Mrs. Oh.

"Jadi, mari kita berbicara mengenai strategi, nona-nona." Baekhyun menggosok-gosokkan telapak tangannya dan menempati ujung sofa dengan tumpukan besar potongan iklan dari koran. "Black Friday" Dia menyeringai dengan amat bersemangat sambil bergoyang di sofa, rambut pirangnya yang indah bergerak bersamanya, menjilat jarinya, dan menyambar iklan paling atas kemudian membuka lipatannya.

"Kali ini aku tidak akan memulainya belanja jam 4 dini hari," Luhan memberitahunya sambil mengusap gundukan kecil di perutnya. "Si kecil ini tidak akan membiarkanku bangun sepagi itu."

"Aku juga tidak bisa sepagi itu". Aku menimpali.

"Aku akan berbelanja secara online saja." Kyungsoo melambai sambil memutar matanya. "Aku menolak terlibat dalam gontok-gontokkan hanya demi sehelai scarf."

"Kau tidak seru," ejek Baekhyun.

"Aku ikut, jika kita berangkat sekitar jam tujuh. Aku akan sempat menyuapi Anson dan menyiapkan diriku sendiri."

"Okay, nanti Luhanie dan aku akan menjemputmu."

"Akan menghabiskan semua uangku, sayang?" Sehun bergumam di telinga Luhanie saat ia naik ke pangkuan Sehun. Dia membungkus lengannya di sekeliling Luhan dan memeluknya dengan erat dan aku tidak dapat menahan cengiranku pada mereka. Mereka benar-benar sangat saling mencintai.

"Yep. Semuanya. Kita akan jadi tunawisma setelah aku selesai".

"Tidak masalah, kita akan tinggal bersama Baekhyun."

"Oh, tidak bisa." Baekhyun menggelengkan kepala dan tertawa. "Kami akan menyisakan cukup uang supaya kau dapat membayar cicilan rumah."

"Oh bagus," dia menjawab datar.

"Well, beberapa dari kita sedang berhemat," aku memberitahu mereka sambil berdecak. "Jadi bersikap lembutlah padaku."

"Ini akan menyenangkan!" Baekhyun bertepuk tangan ketika Anson mulai rewel pada lengan ibuku.

"Kami sebaiknya pulang." gumamku sambil berdiri, meregangkan lenganku melewati kepalaku. "Yifan, dimanakah Joonmyeon dan Jongdae?"

"Aku rasa mereka berada di teras." Jawab Yifan dan kemudian dia kembali berkonsentrasi pada obrolan sepakbola bersama para pria.

Ada apa antara pria dan football?

Aku berjalan menuju pintu teras dan membukanya perlahan. Aku dengar suara berat suamiku berkata, "aku hanya tidak tahu harus berbuat apa padanya."

"Well..." Jongdae memulai namun langsung berhenti ketika dia melihatku di pintu. Dia tersenyum padaku. "Hei, Yixing."

"Hei." Aku melangkah keluar menuju teras dan tersenyum pada Joonmyeon, tapi perutku terasa membelit ketika kuingat panggilan telepon misterius saat makan malam dan kemudian ini. "Apa yang sedang terjadi?"

Joonmyeon menggelengkan kepalanya dan mengendikkan bahunya tak acuh. "Tidak ada apa-apa."

"Uh, huh." Aku tatap matanya, menyadari bahwa dia menyimpan sesuatu dariku, namun kemudian kudengar Anson menangis di dalam. "Kita sebaiknya pulang. Anson sudah siap untuk tidur."

"Okay, mari kita pergi."

ooOoo

*Black Friday adalah sehari setelah hari Thanksgiving di Amerika Serikat yang dianggap sebagai permulaan dari musim belanja untuk keperluan Natal. Biasanya pusat perbelanjaan besar mulai membuka tokonya dini hari dan menawarkan diskon besar-besaran.

"Apakah kau yakin tidak mau aku mengantar Anson ke tempat ibuku?" tanyaku pada Joonmyeon saat aku berkutat di seputaran dapur, membereska sisa sarapan.

"Tidak usah, kami akan baik-baik saja." Joonmyeon meletakkan Anson di dadanya, menimangnya perlahan kemudian tersenyum padaku.

"Bersenang-senanglah hari ini. Jangan khawatirkan kami."

"Aku memang berniat untuk bersenang-senang. Dan berbelanja habis-habisan. Aku membawa kaus kaki pengganti untuk menyegarkan kakiku di tengah belanja nanti."

Joonmyeon menggelengkan kepalanya dan tertawa. "Aku tidak memahami Black Friday."

"Itu adalah tantangan yang dikemas dengan berbelanja. Itu bukan sesuatu yang kau pahami." Aku mengganti mode dering ponselku menjadi mode getar dan menyurukkannya ke dalam sakuku, melemparkan kunci ke dalam tasku, kemudian menatap suamiku. "Hey, aku punya pertanyaan."

"Oke."

"Apa yang terjadi di rumah Sehun dan Luhan tadi malam?"

Joonmyeon memberenggut dan menghela napas. "Xing, jangan khawatirkan hal itu. Bersenang-senanglah hari ini dan kita akan membicarakannya nanti."

"Kita tidak pernah saling menyimpan rahasia."

"Aku pun sedang tidak menyimpan satu rahasia pun sekarang. Aku hanya ingin kau bersenang-senang hari ini. Kita akan bicara nanti."

"Jika kau mau seperti itu."

Joonmyeon mencondongkan tubuhnya dan menciumku penuh kasih sayang, lalu menggenggam daguku dengan tangannya dan memperdalam ciumannya, mengakibatkan jari kakiku keriting. Dia beraroma seperti kopi, sabun mandinya dan hanya Joonmyeon, dan ketika ia menarik diri dan memberiku seringaian percaya dirinya dengan mata biru terangnya yang tersenyum padaku, aku tidak dapat menahan diri untuk tidak mendesah, walupun setelah bersamanya selama bertahun-tahun.

"Sampai nanti," bisikku saat kudengar Baekhyun membunyikan klakson diluar.

"Berhati-hatilah." Dia mengecup dahiku. Aku membungkuk untuk mencium pipi Anson dan aku pun keluar melalui pintu.

ooOoo

Ada kalanya, kau membutuhkan satu hari bersama para teman perempuan, dan hari ini kusadari bahwa telah terlalu lama aku tidak menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama teman-temanku. Kami telah mengelilingi Seattle, mendatangi setiap promo, dan menikmati kebersamaan satu sama lain.

"Kau hebat bisa mendapatkan jam itu untuk Yifan di Macy's." Baekhyun berkomentar sambil mengangkat sebuah sweater.

"Aku tahu, kuharap dia menyukainya."

Ponselku bergetar dalam sakuku dan aku menariknya keluar untuk membaca pesan teks yang diterima.

puting.

Huh? Joonmyeon telah mengirimkan sebuah pesan yang bertuliskan puting? Apakah maksudnya dot untuk botol susu Anson?

"Oh, lihat! Bagian bayi. Ayo, semua, aku ingin melihatnya." Luhan mendahului kami menuju ke bagian bayi yang bercat cerah untuk melihat pakaian dan perlengkapan lainnya.

Ponselku bergetar lagi.

Aku menyukainya saat kau menunggangiku dan aku bisa bermain dengan milikmu.

Suamiku telah kehilangan akal sehatnya. Atau seseorang telah mencuri ponselnya dan mengirimiku pesan teks yang menjijikan.

Samar-samar kudengar Baekhyun dan Luhan bercakap-cakap di sekitarku, namun aku tidak memperhatikan apa yang mereka perbincangkan atau bahkan apa yang mereka lihat. Aku hanya bergerak dengan pikiran kosong saat mengikuti mereka melewati rak-rak pakaian dan mengelilingi seorang Santa yang ribut dan peri-peri yang amat bising oleh teriakan dan tangisan anak-anak.

Disini amat sangat bising.

dan aku orgasme dalam mulutmu.

Apa-apaan ini? Aku memandangi ponselku sambil merenggut.

"Oh, Xing, Anson akan terlihat amat menggemaskan mengenakan ini!"

Aku menyimpan ponselku dalam sakuku dan memandang kearah Baekhyun yang sedang memegang sebuah rompi hitam yang imut. "Oh, itu sangat imut! Aku akan membelinya."

Ponselku bergetar lagi, jadi kutarik keluar dan membaca pesan teksnya.

Kau membuatku ereksi dengan sangat keras.

Joonmyeon tidak pernah berbicara seperti ini lagi padaku selama bertahun-tahun. Bertahun-tahun. Sebelum aku dapat menyimpan ponselku kembali kedalam saku, dia bergetar lagi dan pesan teks lain dari Joonmyeon muncul di layar.

Aku ingin kau berlutut dihadapanku mengulum ereksiku dengan bibir pinkmu yang indah. Aku akan menarik rambutmu

Hanya itu. Akhir dari pesan teks itu terpotong lagi. Ini bukan suamiku. Aku telah berhenti menggunakan kata-kata mesum semenjak Anson belum lahir. Sial, semenjak sebelum mengandung Anson.

"Yixing?" Aku dengar Luhan memanggil namaku, namun sebelum sempat aku menjawab, masuk lagi sebuah pesan teks.

Inilah yang akan kuberikan padamu malam ini. Bersiaplah. Dan...sebuah foto dari kejantanannya.

"Yixing?" Baekhyun menyampirkan tangannya pada lenganku untuk mendapatkan perhatianku, dan mataku menangkap tatapan dari mata birunya yang menyiratkan kekhawatiran.

"Sialan, apa yang terjadi dengan kakakmu?"

"Apa maksudmu?" Baekhyun bertanya.

"Dia telah mengirimkan pesan-pesan teks yang tidak pantas, yang membuatku mulai berpikir bahwa itu semua bukan ditujukan untukku, mengingat dia tidak pernah mengatakan hal-hal nakal semacam itu bertahun-tahun, dan tadi malam di rumah Luhanie dia menerima panggilan telepon pribadiyang ia tidak mau ceritakan padaku dan kemudian dia membicarakan tentang wanita dengan Jongdae. Baekhyun, jika kakakmu mulai macam-macam denganku, maka demi Tuhan..."

Baekhyun tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Yixing, kau tahu dia tidak pernah macam-macam."

"Pada saat ini, aku tidak yakin."

Dan akibat dari ucapanku tadi melumpuhkanku. Aku menatap teman-temanku dan mengingat kembali kejadian semalam dan tadi pagi, cara dia menghindar, mengatakan padaku untuk menunda membicarakannya, namun kemudian menciumku untuk menutupi hal itu. Aku merasakan mataku makin melebar dan detak jantungku berdegup menjadi tiga kali lebih cepat.

"Sialan."

"Yixing, aku yakin ada penjelasannya. Joonmyeon tergila-gila padamu." Luhan mengusap lingkaran besar di punggungku, berusaha menenangkanku.

"Iya, Xing." Baekhyun mengangguk menyetujui. "Aku tahu dia mencintaimu dan Anson lebih dari apapun."

"Namun bukan berarti dia tidak berselingkuh," bisikku.

"Mari kita pergi dari sini. Aku pikir kita telah cukup membuat kerusakan pada kartu kreditku dalam sehari."

Baekhyun mengumpulkan beberapa barang yang telah kami pilih dari rak dan kami berjalan melintasi toko dan keluar menuju mobil.

"Aku tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi," aku berbisik.

"Well, langkah pertamamu adalah berbicara padanya. Tanya dia." Kata Luhan yang duduk di belakang kursiku. Baekhyun menyetir, kearah yang tidak kuketahui, dan aku duduk di sampingnya.

"Aku sudah menanyakan padanya. Dia bilang untuk menundanya. Pagi ini dia berkata padaku untuk bersenang-senang dan kami akan berbicara malam ini. Oh, Tuhan, dia akan mengatakan bahwa dia akan meninggalkanku." Perutku bergejolak dan aku mulai terengah-engah.

"Yixing, jangan terlalu berlebihan." Baekhyun memutar matanya dan berkonsentrasi pada lalu lintas, langsung menuju rumahku.

"Kita akan kemana?"

"Kita menuju rumahmu."

"Aku tidak mau bertemu Joonmyeon dulu. Aku perlu menenangkan diri dan berpikir."

"Tidak, kau harus menghadapi kakakku dan mencari tahu apa yang sedang ia lakukan."

Aku memutar jari-jariku diatas pangkuanku dan menggigit bibirku hingga berdarah. "Mungkin kau saja yang menghadapinya dan beritahu aku bagaimana hasilnya."

"Oh tidak, ini harus kau yang melakukan. Namun apabila kau menginginkan kami disana bersamamu, kami akan tinggal. Apakah kau takut padanya?" Baekhyun menatapku dengan matanya yang menyipit.

"Tidak! Aku tidak takut padanya, aku hanya tidak tahu apakah dia akan menjawab pertanyaanku."

"Yixing, kukatakan padamu," Luhan berkata dengan nada tegas. "Joonmyeon tidak sedang macam-macam."

"Aku tidak pernah mengira dia akan melakukan hal itu." Tuhanku, kami telah melalui naik turunnya kehidupan berumah tangga, namun tidak pernah, tidak pernah sekalipun aku menyangka dia akan tega berbuat seperti ini padaku.

"Mari kita mengulanginya lagi," Baekhyun memulai saat menepi di pinggir jalan rumahku, "Tadi malam dia menerima sebuah telepon misterius di rumah Luhanie yang tidak ingin ia bicarakan, dan hari ini dia mengirimimu pesan teks mesum."

"Iya."

"Itu tidak berarti di sedang berselingkuh, Xing."

"Aku tahu, namun ini tidak seperti Joonmyeon."

"Tidak ada foto wanita telanjang, kau tidak pernah memergokinya di ranjang bersama siapapun..."

"Tidak."

Ya Tuhan, aku pasti akan mati jika memergokinya di ranjang bersama wanita lain. Koreksi: wanita lain itu yang akan mati. Kematian secara perlahan dan menyakitkan.

"Aku pikir ini hanya kesalahpahaman," kata Luhan lembut. "Namun berasal darimanakah perasaan ketidakamanan ini dalam pernikahanmu? Ini sama sekali bukan seperti dirimu, sayang? Kau tidak pernah merasa tidak aman seperti ini sebelumnya."

"Aku tahu." Aku menggigiti bibirku lagi sembari menahan airmataku. Aku tidak pernah merasa menjadi diriku sendiri sejak si bayi lahir. Pernikahan kami tidak terasa sama lagi.

"Sejak Anson lahir, kehidupan seks kami biasa saja. Kami berdua selalu merasa kelelahan sepanjang waktu." Aku mengangkat bahu dan memandang kearah tanganku merasa malu. "Aku tahu pernikahan kami tidaklah sempurna, namun aku tidak pernah merasa tidak terhubung seperti ini dengannya. Jika aku tidak dapat memuaskannya, orang lain akan melakukannya. Kau tahu bagaimana dia."

"Oh, Demi Tuhan, Yixing, dengarkan dirimu sendiri. Kurasa kau membutuhkan seks yang panas dan liburan, nona," komentar Baekhyun, membuatku tertawa.

"Yeah, sepertinya itu benar."

Truk Joonmyeon terparkir di jalan masuk rumah dua tingkat kami yang indah. Nampaknya dia telah memasang lampu-lampu Natal hari ini, yang mana malah membuatku semakin emosional. Tahun ini merupakan Natal pertama Anson. Bagaimana jika kami tidak sempat merayakannya sebagai keluarga di rumah kami?

Baekhyun mematikan mesin mobil dan membuka bagasi.

"Mari kita bawa barang belanjaanmu kedalam."

Kami mengangkut tas belanjaanku yang berjumlah sangat banyak yang penuh dengan hadiah untuk seluruh keluarga, dan lebih dari yang Anson butuhkan atau akan dia ingat untuk Natal pertamanya, kedalam rumah. Joonmyeon sedang mengemas sebuah tas popok dan telah menaruh jok bayi disamping pintu.

"Ladies, kalian kembali lebih cepat dari dugaanku." Ia menyunggingkan senyum bahagia yang lebar, namun yang kulihat hanya tas yang sedang ia persiapkan.

"Kau mau kemana?!" tanyaku. Aku mendengar nada putus asa dalam suaraku, aku tahu aku terdengar seperti orang gila, tapi aku tak dapat menghentikannya.

"Uh," Wajahnya mengkerut padaku dan mendorong tangannya diantara rambut pirang gelapnya yang lembut.

"Tidak kemana-mana. Tadi aku akan meminta Baekhyun untuk membawa pulang Anson bersamanya untuk beberapa jam supaya kau dan aku memiliki waktu berdua saja."

"Tentu saja aku akan menjaga Anson!" sahut Baekhyun dibelakangku. "Luhanie, maukah kau membantu Joonmyeon menyelesaikan mengepak perlengkapan Anson kedalam tas sementara aku akan membantu Yixing ke atas dengan belanjaannya?"

"Siap."

Joonmyeon memandangi kami bertiga seolah-olah kami telah kehilangan akal. "Apa yang terjadi?"

Baekhyun mendorongku menaiki tangga saat kudengar Luhan berkata, "Kalian berdua harus berbicara, bodoh."

ooOoo

.

"Jadi, bicaralah padaku." Joonmyeon berjalan memasuki kamar tidur kami dan melewatiku, berkacak pinggang. Baekhyun dan Luhan baru saja pergi bersama Anson dan kami tinggal sendirian.

"Tidak, kaulah yang harusnya mulai berbicara. Aku ingin tahu dengan siapa kau berbicara di telepon semalam. Dan ditujukan untuk siapa semua pesan teks yang kau kirimkan hari ini."

Ya, aku memang terdengar seperti seorang isteri menyebalkan yang sedang mengomel, namun aku tidak bisa berhenti. Aku melepas mantelku dengan gerakan menyentak dan

melemparkannya keatas belanjaan yang berada diatas ranjang kami kemudian berbalik untuk menghadapnya, menyilangkan lenganku di dada.

"Yixing, apa yang sedang kau tuduhkan padaku?" dia bertanya dengan suara rendah, mata birunya menyipit.

"Aku tidak menuduh, aku sedang bertanya. LAGI. Aku telah bertanya sejak tadi malam."

"Tadi malam di rumah Sehun aku berbicara dengan Victoria, Yixing. Dia sedang tertimpa masalah dan sedang dalam perjalanan menuju kemari."

Apa? Bryanna adalah sepupuku, namun hubungan kami sudah seperti kakak adik.

"Dia dalam perjalanan dari Chicago?"

"Iya."

"Tapi anak-anak..."

"Ikut bersama dengannya."

"Apakah dia menyetir?"

"Iya."

"Apa-apan, Joonmyeon? Mengapa kau tidak menceritakannya padaku semalam?"

"Karena aku tidak mau membuatmu cemas. Itu merupakan Thanks giving pertama Anson, lagipula aku dan Jongdae telah mengurusnya."

Dia menjalankan tangannya di rambutnya, berjalan menjauh dariku kearah kamar mandi.

"Kenapa dia kemari?"

"Aku belum tahu detilnya, yang aku tahu bahwa dia ketakutan dan harus pergi dari sana secepatnya dan menuju kemari."

Aku hanya berdiri dan berkedip padanya. Victoria, kerabatku yang terdekat, dalam perjalanan pulang dan sedang tertimpa masalah dan aku baru saja mengetahuinya?

"Joonmyeon..."

"Yeah, aku tahu, setelah dipikir-pikir seharusnya aku menceritakannya, namun kau pasti akan cemas, dan aku hanya ingin kau menikmati liburan."

Oke.

"Dimanakah dia sekarang?"

"Aku tidak yakin, dia mengemudi dengan pelan karena cuaca dan anak-anak, tapi dia seharusnya telah sampai disini pada pertengahan minggu depan. Jongdae terus memantaunya."

Adik lelaki Joonmyeon, Jongdae adalah seorang polisi di Seattle, dan aku yakin dia akan berbuat semampunya dengan kewenangannya untuk membantu Victoria. Para pria Kim selalu menjaga keluarganya, dan karena aku, Victoria menjadi bagian dari keluarga juga, jadi aku yakin dia akan aman.

"Sekarang, mengenai pesan-pesan teks," Joonmyeon bergumam dan kemarahanku muncul lagi. "Biarkan aku melihat ponselmu." Dia menengadahkan tangan yang besar dengan penuh pengharapan.

"Kenapa? Supaya kau bisa menghapusnya?"

"Ya Tuhan, Yixing, ada apa denganmu? Berikan saja ponselmu, kumohon." Dia terlihat gusar dan khawatir, namun sama sekali tidak kelihatan merasa bersalah, yang memberiku harapan, jadi kuserahkan ponselku. Dia membuka pesan-pesan itu dan cemberut saat membacanya.

"Kau tidak menerimanya utuh."

"Maksudmu?"

"Aku tidak suka kita memakai dua provider ponsel yang berbeda."

"Joonmyeon, aku tidak berpikir bahwa fakta bahwa kita menggunakan dua provider berbeda adalah pokok pembicaraan kita sekarang. Kau mengirim itu semua ditujukan untuk siapa?

"Kau." Dia mengembalikan ponsel itu kepadaku dengan cemberut. "Pada siapa lagi aku mengirimkan pesan nakal?"

"Katakanlah padaku."

"Apa yang telah merasukimu? Aku hanya bermaksud mengirimkanmu beberapa pesan untuk sedikit menghidupkan suasana. Aku sedang menggoda istriku, sialan, hanya itu!"

Sekarang dia murka. Mata yang biasanya menatap lembut itu berkilat, rahangnya menegang, tangannya kembali berkacak pinggang.

Aku merasa seperti seorang yang amat idiot. Kupejamkan mataku dan duduk di ujung tempat tidur, merendahkan kepalaku dan menutupi wajahku dengan tangan.

Apa yang salah denganku?

"Baby, bicaralah padaku." Joonmyeon berlutut di hadapanku dan melepas tanganku dari wajahku. Dia menangkup pipiku dengan tangannya, mengusap kulitku dengan ibu jarinya dan aku merasakan airmata berkumpul di mataku.

"Aku kira..."

"Aku tahu prasangkamu, dan itu membuatku sangat marah, tapi katakan kenapa kau sampai berpikiran kesana, Xing. Ini bukan seperti kita."

Kupejamkan lagi mataku saat kelegaan menyelimutiku kemudian kugenggam pergelangan tangannya dengan tanganku, agar tangannya tetap menempel di pipiku.

"Sejak Anson lahir, hubungan kita jadi berbeda," aku berbisik dan membuka mataku. "Kita amat sibuk dengannya, kau dengan pekerjaanmu. Dan aku dengan blogku, dan kita selalu merasa amat kelelahan. Aku hanya merindukanmu. Dan aku tahu kita tidak lagi bercinta seperti dulu, dan yah..."

"Kau berasumsi aku akan mencarinya di luar."

Itu bukan pertanyaan. Aku ngeri dengan nada dingin pada suaranya dan fokus pada dadanya.

"Aku tidak pernah memberimu alasan untuk percaya dengan hal semacam itu, Yixing." Tuhan, dia terdengar murka dan aku tidak bisa menyalahkannya.

"Kau benar, dan aku minta maaf. Tapi kau sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu dariku, dan pesan teks itu mengejutkan. Kau tidak pernah lagi menggodaku seperti itu sejak sebelum aku mengandung.

"Aku tahu." Dia menjalankan jarinya di pipiku sebelum menggenggam kuat tanganku dengan tangannya. Aku suka betapa besar dan kuat tangannya.

"Saat kita berada di Tahiti untuk menghadiri pernikahan, kau terlihat amat santai dan bahagia, lalu aku menyadari bahwa aku juga merindukanmu, sayang. Seksnya hebat dan kita tertawa seperti kita tidak pernah tertawa dalam waktu yang lama. Saatnya untuk kembali terhubung. Aku ingin mulai berkencan lagi."

"Berkencan?" aku terkikik.

"Well, yeah. Aku ingin melakukan banyak hal hanya berdua bersamamu. Tidak harus setiap saat, karena Anson adalah bagian dari kita, tapi kita memiliki keluarga besar yang amat senang mengasuhnya sesekali, jadi menurutku kita bisa mengambil keuntungan dari itu dengan menghabiskan waktu bersama."

Dan aku pun meleleh. Inilah yang amat kami butuhkan, apa yang telah aku rindukan.

"Kita hanya meninggalkan Anson bersama keluarga," tegasku.

"Tentu saja, aku tidak akan meninggalkannya dengan sembarang orang. Namun asal kau tahu saja para orang tua kita akan amat senang menghabiskan waktu ekstra bersamanya setiap beberapa minggu atau semacamnya."

Dia benar, mereka pasti mau, tapi akan amat sulit untuk berpisah dengan Anson. Walaupun, memperbaiki hubungan antara aku dan Joonmyeon sangat penting.

"Kau benar. Bagaimana kita memulainya?" aku bertanya.

"Well, sekarang juga..." dia memberiku senyuman itu, senyuman yang selalu dia gunakan ketika merayuku, dan sialan itu tidak pernah sekalipun gagal.

"Sekarang juga?" bisikku.

Dia mencondongkan badannya dan perlahan menyapukan bibirnya pada bibirku, sekali, kemudian, menggigit pelan di ujung bibirku.

"Sekarang." Ciuman. "Juga."

Oh, yeah.

Dia menarikku berdiri dan membuka t-shirt biru lengan panjangku melalui kepalaku, kemudian menarik lepas kaus abu-abunya dan melemparkannya kesamping. Ketika aku dengan cepat membuka jeans dan pakaian dalamku, dia menepiskan tangannya di tempat tidur, menjatuhkan tas-tas dan kotak-kotak ke lantai.

"Kuharap disana tidak ada barang yang mudah pecah," katanya sambil menyeringai dan aku menggelengkan kepalaku, tersenyum padanya. Matanya menyala saat menatap tubuh telanjangku, dan dia menarikku mendekat, membungkus lengannya disekeliling pinggangku dan memelukku dengan erat. "Apakah kau sudah makan siang?"

Makan siang?

"Oh, iya."

"Bagus, karena kau akan membutuhkan energi." Dia menguburkan wajahnya di leherku, menggigit dan menghisap dalam perjalanannya keatas menuju telingaku dan sepanjang garis rahangku.

Aku meraih jeansnya dan melepaskan kancingnya, menyusupkan tanganku diantara celana boxer dan kulitnya, dan meloloskannya melewati pinggulnya dan menuruni kakinya, menciumi dadanya dan perut terpahatnya.

Ereksinya penuh dan keras, dan tanpa menyentuhnya dengan tanganku, aku memutar lidahku pada ujungnya. Joonmyeon melenguh, menghisap masuk udara melewati giginya dan aku menyeringai saat aku kembali berdiri.

"Tuhan, aku menginginkanmu." Matanya berkelana dari wajah turun ke tubuhku, payudaraku, perutku, kaki dan kembali keatas lagi dan aku juga melakukan hal yang sama, mengagumi tubuhnya yang luar biasa.

Bekerja di bidang konstruksi selama hampir limabelas tahun membuat bentuk tubuhnya tetap luar biasa, ototnya padat dan kekar. Kulitnya masih berwarna perunggu sisa perjalanan kami dari Tahiti.

Dagunya tercukur bersih namun dia perlu potong rambut. Rambut coklat tuanya bergelombang dan acak-acakan saat jari-jari tangannya mengusap disana. Tanganku gatal ingin mengusap rambutnya juga.

Mata itu sedang tersenyum padaku, seksi dan penuh dengan janji serta gairah dan jika aku masih mengenakan celana dalam pasti sudah basah kuyup.

Dia mengambil tanganku dan menarikku hingga menempel padanya, menjalinkan jari-jari kami dan menaruh tangan kami di punggungku. Aku menyusuri dagunya dengan hidungku dan mendorong jari dari tanganku yang bebas ke rambut lembutnya.

"Xing," dia berbisik. Kutatap matanya saat dia dengan lembut mencium bibirku.

"Yeah?"

"Jika kau sampai berpikir lagi bahwa aku akan menyelingkuhimu," gumamnya, amat pelan, pada mulutku, "Aku akan memukul bokongmu habis-habisan."

Mataku melebar dan aku melongo padanya. Sialan, ini hal yang baru.

"Oke." Sialan, bagaimana seharusnya aku merespon?

"Aku tidak sedang bercanda." Dia menarik jemarinya menuruni wajahku, turun ke leherku dan menangkup payudaraku dalam telapak tangannya, mengelus puting yang tegang dengan jarinya.

Aku menjatuhkan kepalaku ke belakang dan menggigit bibirku. "Aku tidak pernah lagi melihat wanita lain selama sepuluh tahun."

Bibirnya meluncur turun ke leherku dan akhirnya menangkup bokongku dengan tangannya dan mengangkatku, memutarku dan membaringkanku di tempat tidur.

Dia merangkak diatasku dan meletakkan ereksinya yang keras dihadapan vaginaku sementara mulutnya melakukan hal yang amat nakal pada mulutku.

Lidahnya kuat dan pasti, tegas, dan menari dengan lidahku. Sikunya tertanam di kedua sisi kepalaku dan jarinya tenggelam dalam rambutku.

Aku menjalankan tanganku turun dari punggungnya yang halus menuju bokongnya dan kembali naik lagi. Aku sangat suka meraba tubuhnya. Tidak akan pernah bosan.

Aku memutar pinggulku dan melenguh ketika ujung penisnya menyapu clitku.

"Ah, baby, kau sangat basah," dia bergumam dalam mulutku dan menarik mundur kepala ereksinya kembali ke bibir labiaku. Aku menekan kakiku pada bokongnya, mendesaknya masuk.

"Aku menginginkanmu."

Dengan menggeram dia memasukiku, menguburkan miliknya hingga ke pangkalnya, kemudian meletakkan keningnya pada keningku. Aku melenguh pada hujamannya, setelah melahirkan putri kami tubuhku masih belum terbiasa untuk bercinta, kemudian dia diam dan membiarkanku menyesuaikan diri terhadapnya dan sedikit nyeri yang kurasakan pun mereda.

"Kau terasa amat nikmat."

"Aku rajin melakukan senam."

"Luar biasa."

Tawaku menyembur, cengkeramanku mengencang pada miliknya, membuatnya merintih.

"Itu berarti aku melatih otot vaginaku di bawah sana agar kembali kencang setelah hamil."

"Aku tahu, aku hanya sangat menyukai saat kau tertawa ketika aku berada didalammu."

Aku menyeringai padanya dan memegang wajahnya dengan telapak tanganku. "Aku mencintaimu."

Dia menjejalkan mulutnya pada mulutku dan bergerak lebih cepat, lebih keras, memutar panggulnya di clitku pada setiap hujaman dan aku merakan orgasmeku mulai terbangun, otot-ototku menegang, pahaku mengatup. Aku mencengkeram rambutnya dengan jari-jariku dan melemparkan kepalaku ke belakang saat aku datang, dan terkejut dengan kuatnya orgasme yang kualami, dan sangat senang karena merasakan tubuhku mulai kembali normal.

"Itu benar, baby, aku ingin kau datang di ereksiku."

"Sial!" Aku membungkus kakiku lebih ketat pada pinggulnya saat aku kejang, dan dapat kurasakan orgasmenya sedang terbangun juga. Dia menghujam sekali lagi, kemudian memutar lagi dengan kuat padaku, menumpahkan benihnya didalamku.

Dia ambruk diatasku sambil mendesah kuat, mengistirahatkan pipinya di bahuku dan bergumam, "Hanya kau, babe."

ooOoo

Aku terbangun sendirian, merasa bingung. Bulan purnama bersinar terang, menerangi seluruh penjuru kamar. Tempat tidur terasa dingin dimana Joonmyeon tertidur beberapa jam yang lalu dan rumah terasa sunyi.

Aku bangkit dari tempat tidur, meregangkan lenganku diatas kepalaku, merasakan tarikan dari otot-otot yang digunakan dengan baik tadi siang dari percintaan kami yang panas dan tak terduga. Aku menyeringai dan mendorong rambutku ke belakang dari wajahku. Mungkin kami bisa mengulanginya.

Aku mengira-ngira dimanakah dia berada.

Aku berjalan pelan di lorong yang gelap, berniat menuruni tangga dan menemukannya di dapur, namun saat aku melewati kamar Anson, kudengar suara Joonmyeon, berbicara dengan nada menenangkan. Lampu redup di meja menyala, membuat bayangan melintasi lantai lorong.

Aku mengintip kedalam, melihat Joonmyeon bergoyang lembut di atas kursi goyang berbantal berwarna hijau keabu-abuan polos yang cantik, yang ia beli ketika aku sedang mengandung. Anson terbaring dalam lekukan siku Joonmyeon, menyedot botolnya, mata besarnya yang berwarna biru menatap wajah ayahnya.

Oh Tuhan, aku sangat mencintai mereka.

Joonmyeon mengusap dengan lembut kepala mungil Anson dan tersenyum pada putrinya.

"Kau secantik mommy, kau tahu. Aku harap kau mendapatkan warna rambutnya. Aku sangat menyukai warna rambutnya." Joonmyeon berbisik padanya, seperti mereka sedang melakukan percakapan yang serius, dan mata Anson terpaku pada mata Joonmyeon, mendengarkan sambil minum susu.

"Kau memiliki wataknya juga, kan?" Aku menyeringai pada diriku sendiri dan mencondongkan dahiku pada kusen pintu, menguping. "Tidak apa-apa, itu hanya berarti kau tahu apa yang kau inginkan. Kau akan membuat beberapa pria bajingan kehabisan uangnya. Tapi itu akan terjadi setelah umurmu empat puluh."

Anson menghela nafas. "Ok, saatnya bersendawa, baby girl. Aku mencuri dengar saat ia menaruh Anson di bahunya untuk menepuk punggungnya. "Hadiah apa yang akan kita berikan untuk mommy pada hari Natal?"

Walaupun aku masih amat sangat ingin berdiri dan menguping, kuputuskan bahwa aku sudah cukup mendengar dan berjalan masuk ke dalam kamar. Tuhan, dia terlihat amat mungil pada bahu lebar ayahnya dan tangan besarnya pada punggung Anson. Joonmyeon memandang sekilas dan menyeringai padaku.

"Apakah aku membangunkanmu?"

"Tidak, aku terbangun dan kau tidak ada, jadi aku memutuskan untuk mencarimu."

Aku mengecup lembut kepala Anson dan menghirup aroma khas bayinya kemudian mencondongkan tubuhku melewatinya dan mencium bibir suamiku yang manis.

"Tuan puteri lapar."

"Seperti yang kulihat," jawabku sambil tertawa kecil. "Kau sangat terampil bersamanya."

"Kuharap begitu, agar dia selalu menempel padaku."

"Yeah, itu tidak terlalu buruk." Anson telah tertidur lagi. "Mari kita baringkan dia dan kembali ke tempat tidur."

Dia tersenyum. "Itu adalah tawaran terbaik yang aku dapatkan sepanjang hari ini."

ooOoo

"Ya Tuhan, kenapa di perkebunan pohon Natal suhunya selalu lebih dingin daripada di tempat lain?

Apakah diam-diam mereka memiliki saluran pendingin di bawah pepohonon ini atau semacamnya? Karena, aku bersumpah atas , di rumah tidak sedingin ini."

Aku bergerak ke kanan ke kiri, mencoba agar tetap hangat kemudian aku mengangkat selimut yang kugunakan untuk menutupi Anson dan memeriksa keadaannya. Dia meringkuk amat rapat dalam gendongan yang tergantung melintang didadaku, nampak amat hangat dan tertidur nyenyak.

Setidaknya salah seorang dari kami merasa hangat.

"Aku tahu bagaimana caranya agar membuatmu lebih hangat, baby." Joonmyeon mengedipkan mata padaku dan menyunggingkan seringaian serigala dan aku tidak dapat menahan diriku untuk tertawa.

"Ya, aku yakin itu, tapi aku tidak mau melepaskan pakaianku disini, bung. Jadi, yang manakah yang kita inginkan?"

Kami mengelilingi perkebunan pohon cemara, Joonmyeon dengan kapak tergenggam di tangannya, berusaha mencari pohon Natal yang sempurna untuk kami.

Aku tidak paham sama sekali mengapa kami harus memiliki pohon asli, terutama yang harus kami tebang sendiri, padahal kami memiliki pohon tiruan yang terbuat dari plastik yang bagus, tersimpan dalam sebuah kotak di rumah.

Joonmyeon berpikir bahwa Anson memerlukan pohon asli untuk Natal pertamanya.

"Kau tahu, Anson bahkan tidak akan mengingat pohon ini, Joonmyeon. Pohon tiruan itu pun sudah cukup."

Dia berbalik untuk memelototiku. "Aku telah membiarkan kau menyimpan pohon palsu jelek itu selama delapan tahun. Kita akan menggunakan pohon asli tahun ini."

"Bagaimana jika sesampainya di rumah, terdapat sekawanan laba-laba dalam pohon itu? Atau bahkan seekor tupai?" Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menyembunyikan senyumku.

Aku sangat senang mengganggunya.

"Ini bukan National Lampoon's Christmas Vacation -sebuah Film plesetan tentang hari Natal-"

"Oh, aku amat lega."

"Hari ini kau sangat sok pintar." gerutunya saat ia meneruskan pencarian dengan teliti diantara pepohonan.

"Aku kedinginan. Kalau aku terus berbicara bibirku tidak akan membeku."

Tiba-tiba, tangan Joonmyeon yang terbungkus sarung tangan mencengkeram belakang kepalaku dan menarikku ke arahnya.

Bibirnya menguasai bibirku, dan dia menciumku lama dan pelan, lidahnya menjilati bibirku dan kemudian membelit lidahku.

Dia menggigit kecil bibirku, menggosokkan hidung dinginnya pada hidungku dan tenggelam lagi dalam ciuman kami, bibirnya terasa lembut dan santai. Akhirnya dia menarik diri, mata birunya bercahaya kemudian dia menghembuskan nafas.

"Penghangat bibir?"

"Iya, terima kasih." Aku terperangah dan tidak bisa berkata-kata. WOW.

"Bagus. Mari mencari pohon untuk Anson."

"Ini pohon yang bagus," Joonmyeon menunjuk sebatang pohon besar, tinggi dan rimbun dengan daun hijau.

"Itu terlalu tinggi."

Dia menilaiku spekulatif, seolah-olah aku yang telah menghancurkan kesenangannya, dan aku terkikik saat ia mengambil pita pengukurnya.

"Sial," gerutunya dan mencari pohon berikutnya.

Akhirnya, kami menemukan pohon yang sempurna dan Joonmyeon dengan cepat menebangnya, sambil meneriakkan "Timber!" -pohon tumbang- saat pohonnya jatuh ke tanah.

"Kau pasti selalu ingin mengatakan itu, ya kan?" tanyaku.

Dia tertawa. "Yeah."

Dia mencengkeram batang segar yang baru saja terpotong itu dan mengangkatnya, bersiap untuk menyeretnya di belakangnya saat kami melangkah kembali ke arah truk.

Dalam perjalanan keluar, kami mampir di toko tanaman dan membeli beberapa garlandsegar, sebuah wreathuntuk digantung di depan pintu masuk utama dan poinsettia.

Joonmyeon mengambil beberapa mistletoe dan melemparkannya pada tumpukan belanjaan kami dan mengedipkan mata padaku. "Aku suka bercinta denganmu dibawah naungan mistletoe, baby."

"Yeah?"

Dia menyeringai lagi.

"Kau tidak memerlukan mistletoe untuk melakukan itu."

"Tidak ada salahnya untuk mencoba."

Tahun ini rumah kami akan sangat semarak.

.

.

ooOoo

TBC

ooOoo

.

.