Gundukan bernisan batu pualam itu ditatapnya dengan mata kosong. Bukannya ia tidak ingin menangis, tentu saja ia ingin menangis. Di bawah sana, terbaring tubuh sang ibu yang ia cintai. Tapi ia tidak bisa menangis. Tidak di sini, tidak sekarang. Karena di hadapannya, sang ayah tengah bersimpuh memeluk tanah merah yang memisahkannya dengan raga sang istri.

Sakura kecil meremas kuat buket bunga di tangannya. Matanya kian berair, mengaburkan punggung sang ayah yang berguncang akibat tangis. Tapi ia harus menahannya karena sudah ada janji yang harus ia jaga. Dengan tangan yang gemetar, ia memetik setangkai dandelion yang tumbuh di dekat kakinya dan meniup benih-benih berwarna putih itu kuat-kuat.


Dandelion Wish

Naruto © Masashi Kishimoto

Story by CMA


Sakura mengejar Sasuke yang berjalan menjauhinya sambil menyeret-nyeret selimut panjang mereka. Saking marahnya pria itu, ia tidak peduli meski seluruh tubuhnya yang telanjang bulat terekspos cuma-cuma. Tinggal Sakura saja yang keteteran memunguti ujung selimut itu untuk menutupi tubuh suaminya.

"Aku tidak percaya kau melakukan hal ini padaku." Sasuke meremas rambutnya, bahunya naik-turun. "Kau benar-benar ..."

Sakura meringis melihat reaksi Sasuke. Salahnya sendiri mengatakan hal itu di saat mereka berdua masih sama-sama tak berbusana. Tapi ia rasa bukan waktunya bagi mereka untuk bercumbu saat ada satu fakta yang harus ia utarakan.

"Kau ... kau ..." Sasuke bahkan tidak tahu harus mengatainya dengan sebutan apa. Dengan kesal pria itu mendecih dan bertolak pinggang, menolak menatap iris hijau zamrud yang menatapnya penuh permohonan maaf.

"Aku tahu mungkin itu bukan sesuatu yang ingin kamu dengar setelah kita bercinta semalaman. Tapi, aku merasa perlu mengatakannya. Kau mungkin tidak tahu, tapi aku mengerti dirimu lebih dari kau sendiri. Aku tahu, cepat atau lambat, kau juga akan mempertanyakan hal yang sama. Apa salahnya jika aku mengatakannya sekarang?"

Ucapan Sakura berhasil membuat Sasuke meledak lagi. Ia berbalik dengan cepat dan menatap tajam wanita yang berusaha menutupi bagian bawah tubuhnya dengan selimut. Sasuke harus puas diam di tempat dengan tangan terangkat untuk memudahkan Sakura melilitkan selimut itu di tubuhnya. Benar-benar pose marah yang unik tapi toh itu tak menghentikan Sasuke untuk terus mengomel.

"Iya! Kau benar! Mungkin nanti malam pun aku ingin tahu tentang hal itu! Tapi tak bisakah kau menunggu waktu yang lebih tepat?! Bagaimana kau pikir perasaanku, hah? Aku sedang memeluk istriku, membisikkan kata-kata cinta padanya, dan berharap ia menjawab yang sama—"

"Aku bilang 'aku juga mencintaimu', kok," sela Sakura yang dihadiahi delikan tajam Sasuke. Tapi bukannya takut, Sakura malah mengikik geli. Sasuke yang sedang marah, tidak pernah ia tahu kalau selucu ini adanya.

"Oke, kau memang bilang begitu! Tapi, apa yang kau katakan kemudian? 'Tapi, aku juga masih mencintai Sasori'! Hah!" Sasuke kembali memunggungi Sakura begitu sang wanita selesai dengan tugasnya. "Sebenarnya kau mencintaiku atau tidak, sih?!"

Wajah marah Sasuke yang memerah sangat menggoda sifat jail Sakura yang jarang ditampakkannya. Kapan lagi ia bisa menggoda Sasuke hingga merah ke telinga? Tapi itu bisa menunggu. Yang harus ia lakukan sekarang adalah menjelaskan duduk permasalahannya pada Sasuke. Pria itu bisa begitu reaktif dengan ucapannya, jauh berbeda dari dia yang biasa, dan Sakura merasa perlu menenangkannya.

"Sasuke," panggil Sakura lembut sambil memeluk tubuh suaminya dari belakang. Tubuh Sasuke memang lebih besar darinya, tapi pinggangnya lumayan ramping untuk ukuran pria. Itu memudahkan Sakura untuk melingkarkan tangannya. Perlahan pelukannya semakin erat, dengan Sakura yang menyandarkan kepalanya di punggung Sasuke.

"Aku masih mencintai Sasori, kau tahu itu dengan jelas. Tapi, bukankah aku di sini, bersamamu?" bisik Sakura lirih. Suasana apartemen mereka yang senyap—minus deru napas Sasuke yang seperti banteng—menjadikan bisikan itu terdengar begitu jelas.

Sasuke diam, sepertinya sedang mencoba mengontrol diri karena perlahan napasnya kembali normal. Kesempatan itu digunakan Sakura untuk terus menjelaskan.

"Kau mungkin tidak suka, atau bahkan benci, untuk mendengarnya. Tapi karena aku mencintaimu, aku ingin kau tahu."

"Logikamu kelewat aneh untuk orang kebanyakan, tahu?" Sasuke melepaskan pelukan Sakura dan berbalik menatapnya. "Apa kau ingin membalas sikap kasarku sebelum malam tahun baru itu?" sepertinya masih sulit bagi Sasuke untuk tenang. Sakura pun tahu, ucapannya malah membuat Sasuke semakin tak nyaman. Terancam. "Kau ... sebenarnya apa maumu?" tanya Sasuke gusar, nyaris seperti orang putus asa. Terlalu banyak hal yang terjadi sejak semalam, itu membuatnya bingung dan takut sendiri. Perpisahan mereka, kembalinya Sakura, percintaan mereka yang panas, dan sekarang ini.

Iris hitam kelam itu nampak meredup, tersembunyi di balik kelopak mata yang terkatup erat. Helaan napas Sasuke membuat Sakura tidak tahan untuk tidak menyentuh pipinya, menangkupnya dalam telapak tangan yang hangat.

"Aku tidak ingin kau terluka sendirian. Itu saja," ujar Sakura sambil mengelus pipi Sasuke yang masih memerah dengan ibu jarinya. "Kau seperti ayahku, kalian tidak akan bicara jika tidak dipaksa. Kau mungkin akan bertanya-tanya kemudian, apakah aku masih suka pada Sasori. Tapi kau pasti takut menanyakannya, jadi aku langsung beri tahu saja dari pada kau memendamnya dan khawatir sendirian."

"Tetap saja ..."

"Dengar, Sasuke." Sakura menyentak tangannya, memaksa Sasuke untuk membuka mata dan menatapnya. Iris kelam itu tampak kebingungan, marah, takut ...

"Aku mencintai Sasori, itu fakta yang ada. Bagaimanapun, aku sudah menghabiskan sepuluh tahun bersamanya. Fakta bahwa aku punya masa lalu seperti itu tidak bisa kau ubah. Kau tidak bisa berharap aku melupakannya dalam sekejap mata. Dia sangat berarti bagiku." Sampai di sini, Sasuke mulai kesulitan menelan. Jakunnya naik-turun dengan susah payah. Melihat usahanya untuk tetap mendengarkan tiap kata—yang tentu saja menyakitinya—membuat Sakura tersenyum.

"Tapi, fakta bahwa kau punya kesempatan untuk merubah hatiku, adalah yang paling penting. Fakta bahwa aku di sisimu saat ini, adalah janji yang bisa kau percayai. Aku ... memilihmu."

Bibir Sasuke mengatup, membentuk satu garis lurus. Kegamangan dalam matanya belum hilang, pikiran-pikiran negatif itu masih beterbangan dalam pikirannya. Ia masih merasa terancam.

"Itu tidak cukup," bisik Sasuke pelan sambil menunduk, menekankan wajahnya pada telapak tangan Sakura yang lembut. "Kau bisa saja kembali lagi padanya ..."

"Lalu aku harus apa untuk meyakinkanmu, hm?" Sakura menekankan tubuhnya ke tubuh suaminya. Satu tangan yang tidak menangkup wajah Sasuke terkepal di dada pria itu.

"Anak."

"Apa?"

"Aku mau anak." Sasuke menangkap tangan Sakura dan menatapnya serius. Semakin lama, pegangannya mengerat, seolah meminta persetujuan Sakura atas permintaannya.

"Aku bermimpi kita memiliki anak," ujar Sasuke perlahan, tatapannya melembut. "Dia sangat nakal tapi kau selalu membelanya."

Perkataan barusan membuat sudut bibir Sakura tertarik sedikit ke atas. "Kupikir dia akan pendiam sepertimu." Sakura tertawa. "Tapi, mari kita wujudkan mimpi itu—" Sakura menatap Sasuke dalam-dalam dengan manik mata yang berbinar, "Dengan mata sepertimu," tangannya menyentuh sudut mata Sasuke yang sedikit berkerut, "hidung sepertimu," Sakura menyentuh ujung hidung Sasuke yang membuat pria itu geli, "dan juga senyum milikmu." Jari Sakura berakhir menempel di bibir lembut Sasuke yang perlahan melebar, membentuk sebuah senyum tipis.

"Dia pasti akan sangat mirip denganmu." Sakura mendesah, seolah bisa membayangkan dengan jelas rupa sang anak di depan matanya.

"Dia juga pasti mirip denganmu. Mungkin rambutnya berwarna merah muda, bisa jadi dahinya juga lebar. Dan mungkin dia adalah perempuan." Sasuke menangkap lagi tangan Sakura yang jemarinya masih menyentuh bibir tipisnya.

"Kau benar." Sakura memeluk Sasuke dengan tangan yang lain. "Tentu saja akan mirip, ya 'kan?" Sasuke tersenyum makin lebar sebagai jawaban.

Karena dia... "... Anak kita."

Dan mereka menyegel harapan itu dengan ciuman yang lembut dan manis.

.

.

TING TONG!

—EH?

.

.

"Ayah harusnya telepon dulu jika mau berkunjung. Aku pasti akan masak makanan kesukaan Ayah."

Rupanya yang datang adalah Haruno Kizashi. Sang mertua yang seumuran dengan orangtua Sasuke itu nampak murung seperti biasanya. Bahkan dalam ukuran keluarga Uchiha, wajah berkeriput Kizashi benar-benar tampak menderita. Pria itu juga lebih sedikit bicara dibandingkan dengan ayahnya. Kerena itu, Sasuke lebih hati-hati dengan ucapannya. Siapa juga yang mau merusak imej di depan ayah wanita yang dicintai?

Kizashi hanya diam sambil meneguk teh dari cangkir yang baru saja disuguhkan Sakura sementara putrinya menyiapkan cemilan untuk mereka bertiga. Sayangnya sejak pertengkaran mereka yang terakhir, Sasuke belum mengisi persedian makanannya lagi. Mungkin sekarang Sakura sedang memasak sesuatu di dapur untuk dihidangkan bersama teh merah yang sedang diteguk dengan tegang oleh Sasuke.

Sasuke sebenarnya sudah mati kutu saat ia membukakan pintu dengan tubuh hanya terbalut selimut—jangan lupakan jejak merah yang Sakura tinggalkan di leher dan dadanya—sementara Sakura dimintanya masuk ke kamar. Begitu ia mendapati bahwa sang mertua lah yang ada di ambang pintu, dengan canggung ia mempersilahkan Kizashi masuk. Mata sang mertua hanya melirik Sasuke tanpa berkata apa-apa sebelum Sasuke undur diri untuk berpakaian. Saking malunya, Sasuke berpikir untuk pura-pura demam atau apa—yang tentu saja tidak mungkin.

Dan sekarang, di keheningan ruang tamu apartemennya yang luas, Sasuke hanya bisa duduk membatu dengan tatapan mata tertuju pada permukaan kaca meja yang membatasinya dengan Kizashi. Samar terdengar suara pisau yang memotong di atas tatakan juga desisan air yang direbus dalam ketel.

"Sasuke."

Sasuke terlonjak. Suara Kizashi yang dalam dan tenang terdengar begitu jelas seolah mereka duduk bersebelahan. Dengan tatapan mata, Sasuke menunjukkan kalau ia memerhatikan dengan penuh apa yang akan diucapkan sang mertua.

Sesaat, Kizashi melirik ke arah pintu yang menuju ke dapur, memastikan bahwa Sakura masih sibuk dengan urusannya dan mereka bisa bicara dengan lebih leluasa. Setelah yakin, Kizashi menatap Sasuke lagi.

Ada helaan napas berat yang diembuskan sebelum kalimat itu terucap.

"Terima kasih."

Mungkin sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga Haruno untuk bicara sambil menatap mata lawan bicaranya dengan begitu intens. Mata sayu sang mertua tampak serius saat menatapnya, mengingatkan Sasuke pada mata Sakura setiap kali wanita itu bicara serius padanya.

"Aku mencintainya, Ayah tidak perlu berterima kasih. Harusnya aku yang mengucapkannya." Sasuke mencoba menyelipkan seulas senyum tipis di antara perkataannya. Mungkin Kizashi tengah mengacu pada ucapan random Sasuke di malam tahun baru itu.

Kizashi menatap Sasuke sejenak sebelum meneguk tehnya lagi. Kerutan yang bertambah di dahinya menandakan bahwa ia tengah merangkai kata di dalam kepalanya.

"Aku yakin kau sudah tahu soal mantan Sakura ...," Kizashi melihat Sasuke mengangguk kecil, "sulit bagimu untuk bisa mendapatkan hati Sakura seutuhnya. Tapi aku bersyukur kau bisa bertahan ... bahkan lebih." Kizashi memberikan lirikan penuh arti pada tanda merah di dekat rahang Sasuke yang tidak bisa tertutupi oleh turtle neck sweater yang dipakainya. Sasuke sedikit memalingkan wajah untuk menghindari tatapan Kizashi.

"Untuk itu, aku berterima kasih padamu. Dan untuk setelahnya, aku harap kalian akan terus bersama." Kizashi mengakhiri pembicaraan secepat ia memulai. Sasuke bahkan tidak benar-benar berpikir ini adalah pembicaraan. Omongan tentang Kizashi yang irit bicara ternyata memang benar adanya. Hanya saja, binar matanya yang tak menampakkan kebahagiaan membuat Sasuke tertegun. Sakura bilang, mereka berdua mirip. Kalau begitu, mungkinkah Kizashi juga menyimpan banyak pemikiran buruk? Tentang keegoisannya yang menjadikan Sasuke jangkar untuk menahan Sakura pergi agar tetap di sisinya?

Begitukah?

Sasuke tiba-tiba berdiri dan mengambil duduk di sebelah Kizashi. Dengan gerakan mantap ia meraih satu tangan sang mertua dan menggenggamnya di atas paha. "Ayah," panggilnya. Entah mengapa ia melakukan ini. Di matanya, Kizashi nampak begitu sedih. Berbeda sekali dengan ayahnya yang terlihat angkuh dan sulit digapai—dari luar. Kedukaan yang dibawanya dari masa lalu sudah merubah fisik tua Kizashi menjadi sedemikian ringkih, membuat Sasuke merasa ia perlu untuk melindunginya juga selaku menantu satu-satunya.

"Yang terjadi sudah berlalu. Luka yang Ayah pikir tak bisa hilang mungkin akan selamanya ada. Tapi Sakura tetap kembali pada Ayah dan mencintai Ayah sama seperti sebelumnya. Tolong jangan berpikir kalau Ayah sudah merusak hidupnya karena aku akan membuatnya bahagia—kita akan membuatnya bahagia."

Pada kondisi normal, Sasuke akan langsung muntah darah setelah mengucapkan apa yang barusan dikatakannya. Anehnya, ia merasa tenang dan damai. Pikirannya jernih, tangannya menggenggam lembut tangan Kizashi yang tua dan keriput. Berharap dengan sangat agar maksudnya bisa diterima dengan baik dan pria itu tak harus bersedih sendirian.

Semua usahanya terbayar saat seulas senyuman lemah terbit di wajah murung mertuanya. "Kalau begitu, bukan masalah 'kan, kalau aku berharap kalian segera memiliki anak?"

Sasuke balas tersenyum lembut seraya meletakkan kembali tangan Kizashi ke tempatnya semula. "Sebenarnya, itu juga yang sedang kami rencanakan."

"Aku akan menunggu dengan sabar," ujar Kizashi setulus hati. Ia menatap menantu satu-satunya dengan sorot mata yang lebih baik, bahkan menepuk punggung Sasuke sebelum Sakura muncul dan menginterupsi.

"Ada apa ini? Kenapa sepertinya kalian habis membicarakan sesuatu yang penting?"

Sasuke berdiri dan membantu Sakura menata makanan yang dibawanya. "Tidak ada apa-apa."

Mata Sakura menyipit tak percaya. Tapi melihat ayahnya juga ikut memberikan satu senyuman, akhirnya Sakura merelakan topik itu hilang begitu saja tanpa mengetahui bahwa dirinya begitu dicintai oleh dua orang paling penting dalam hidupnya.

.

.

.

.

Pertemanan antara mereka sudah terjalin sejak mereka di bangku TK. Pemandangan Sakura yang mondar-mandir di dalam kamarnya tanpa izin bukan hal aneh lagi. Kunci pun diduplikat agar sang sahabat bisa datang berkunjung bahkan saat yang punya rumah sedang tak ada. Dan sepertinya sekali lagi Sakura memanfaatkan kunci itu untuk masuk ke dalam rumah Karin dan mulai berbuat seenaknya.

"Hai, baru pulang dari rumah sakit?" Sakura menghentikan aktifitasnya menata bunga tulip merah dalam vas kaca milik Karin. Yang ditanya hanya mengangguk lelah dan meletakkan tasnya sebelum duduk menelungkup di atas meja.

Sakura bersenandung mengikuti alunan musik yang melantun dari radio kayu antik milik Karin. Radio itu adalah pemberian seseorang yang dirawat dengan baik oleh sang psikiater hingga performanya tak berkurang sejak tiga tahun lalu.

"Bagaimana kondisinya? Sudah lebih baik?" Sakura meletakkan vas kaca itu dan duduk di hadapan Karin. Melihat wajah lelah sahabatnya membuat Sakura tersenyum penuh simpati. "Kau pasti sangat lelah."

Karin mengibaskan tangan dengan tubuh masih tertelungkup. "Aku akan lelah kalau rupanya kau datang untuk menangis lagi."

"Jangan mengejekku." Sakura pura-pura jengkel. "Aku ke sini untuk mengatakan bahwa kami baik-baik saja—aku baik-baik saja."

Karin memaksakan satu tangan menopang kepalanya yang terasa berat. Tatapan matanya penuh selidik. "Itu terlalu singkat. Aku butuh penjabaran lebih," tuntutnya. Ia tidak akan melepaskan Sakura sampai sahabatnya itu menceritakan semuanya hingga ke hal-hal paling kecil.

"Yah ... bagaimana aku harus memulainya?" Sakura memutar matanya bingung. "Intinya sih, semuanya sudah berlalu. Kurang lebih ..."

"Ck. Nada bicaramu saja tidak yakin begitu." Karin menjentik jarinya di dahi lebar Sakura dan berkelit menghindar. "Kau ...," satu tangan Karin meraih gelas tinggi berisi air, "berhutang penjelasan padaku. Suamimu bahkan meneleponku untuk mencarimu. Aku nyaris menelepon Paman Kizashi karenanya. Dan sekarang semua baik-baik saja? Aku mau tahu apa yang kau maksud dengan 'baik-baik' saja itu."

Sakura tersenyum tipis mendengar argumen Karin. 'Baik-baik saja' adalah kalimat andalan Sakura dalam menangkis semua kecemasan sahabatnya. Sahabatnya tentu tahu kebohongan Sakura—ayolah, mereka sudah sahabatan hampir seumur hidup mereka—tapi tetap membiarkan Sakura sampai dokter cantik itu sendiri yang datang padanya. Namun, untuk saat ini, Karin ingin memastikan bahwa sahabatnya benar-benar baik-baik saja.

Sakura terdiam sesaat, menimbang dan memilah ceritanya. Saat itulah, sebuah lagu mengalun lembut dari radio milik Karin. Cepat-cepat Sakura berdiri dan meraih pinggang Karin. "Ayo, temani aku dansa!"

Karin ingin protes, tapi saat ia mendengar lagu itu, yang ia lakukan adalah balas menggengam tangan Sakura. "Hah. Yakin kau tidak apa-apa?" sindirnya.

Sakura tersenyum dan berputar seirama lantunan lembut lagu yang menjadi ringtone ponselnya selama ia berpacaran dengan Sasori. Ia tidak pernah menggantinya sampai mereka akhirnya putus. Lagu itu terlalu berarti bagi Sakura hingga mendengarnya saja sering mengundang tangis. Tapi kali ini ia ingin mengenang lagu itu dengan senyuman, dansa, dan sedikit cerita bersama Karin.

"Kau tahu? Dia ingin anak ..." Sakura mulai bercerita.

"Anak?" Karin berputar di bawah tangan Sakura. "Sasuke mau anak, katamu?"

"Ya. Dan dia terlihat sangat manis saat memintanya." Sakura terkikik sendiri. "Seharusnya aku lebih sering menggodanya."

"Menggoda? Maksudmu membuatnya galau?" Karin nyaris jatuh akibat kaki Sakura yang ingin menyandungnya. "Pria seperti Sasuke tidak terlihat seperti calon ayah yang baik. Kenapa ia meminta anak secepat ini? Kalian baru berbaikan, 'kan?"

Sakura bersyukur atas nalar sang sahabat yang cepat tanggap. Itu sering memudahkan Sakura saat ia kesulitan merangkai kata. "Ya. Dia meminta anak sebagai jaminan agar aku tetap di sisinya," bisik Sakura pelan. "Dan hanya untuk catatan, aku yakin dia bisa jadi ayah yang hebat."

Karin menatap mata Sakura sebelum memutar tubuh sahabatnya itu. "Dan kau bilang apa? 'Ya'?"

"Hm."

"Kau ..." Karin bingung bagaimana menyampaikannya tanpa berpotensi mengeluarkan semua pikiran buruk dari sudut hati Sakura. Saat kita mencoba bahagia, ada sebagian memori yang harus disimpan di sudut terdalam. Memori yang tak selamanya melukai, tapi cukup membebani. Dalam kasus Sakura, itu adalah cintanya pada Sasori.

Karin ingat setiap detil cerita Sakura. Ia sendiri menamai dirinya sebagai recorder berjalan milik Haruno Sakura. Dan Karin ingat, dulu, dulu sekali, Sakura mendambakan seorang anak berambut merah dengan wajah persis dengan sang ayah yang akan menjadi 'Ayah paling awet muda' seperti yang selalu dikatakannya.

"Aku akan melakukannya, Karin." Seolah tau apa yang akan diucapkan sahabatnya, Sakura lebih dulu memberikan pernyataan. "Aku akan melahirkan anaknya, menjadi ibu, menjadi istrinya."

"Ya, ya, tentu saja." Karin terpaksa menelan lagi peringatannya. Sakura yang sekarang rupanya masih serapuh hari-hari yang lalu. Kadang, Karin berpikir, apa yang membuat sahabatnya bisa kuat dan rapuh di saat bersamaan. Ia seperti menjalani silkus hancur-terbentuk-retak-hancur-terbentuk lagi sejak ... entahlah ... kematian ibunya? Itu salah satu momen terberat yang harus dilalui Sakura kecil. Yang bisa Karin lakukan adalah hanya berdiri di sana, mengamatinya berjuang untuk bangkit dan menjadi sandarannya.

"Sasuke merasa ragu karena takut aku akan kembali pada Sasori. Pagi itu, aku katakan padanya kalau aku masih mencintai Sasori. Apa aku salah?"

Tidak ada lagi dansa meski lagu masih terus mengalun di seisi ruangan. Sakura hanya berdiri dan menunduk menatap lantai di bawah mereka. Menunggu Karin untuk mendukungnya seperti biasa dengan kata-kata yang menyejukkan.

Karin, entah kenapa, memiliki dorongan untuk tersenyum. Matanya menyipit di balik lensa minus kaca matanya. "Tidak. Tidak salah, kok."

"Tapi, aku merasa bersalah sekali. Aku pikir aku sudah bisa menanganinya sekarang ... tapi bahkan mendengar lagu seperti ini saja membuatku gamang."

Nada suara Sakura mengingatkan Karin dengan suara tercekat seorang anak kecil yang meneleponnya tujuh belas tahun yang lalu. Meski tidak ada tangis, jelas sekali terdengar begitu menderita. Hingga sekarang, rahasia bagaimana Sakura bisa memberitahu Karin bahwa ibunya meninggal tanpa isak tangis tetap menjadi misteri.

Dan sekarang, nada suara itu muncul lagi. Kali ini Karin memastikan untuk membuat Sakura tidak merasa sendirian. Ia memeluk sahabatnya dan mengusap punggungnya dengan lembut. "Aku senang kau sudah memantapkan perasaanmu."

Sakura balas menarik ujung kemeja yang dipakai Karin, persis seperti saat mereka masih SD. "Hm. Aku akan berusaha."

Karin tidak tahu apa yang akan menunggu Sakura di depan sana. Namun, sahabat yang ia kenal tidak tahu apa itu 'menyerah'. Ia akan terus maju dengan membawa segenap hatinya yang tersisa. Mungkin ia akan hancur di tengah jalan, mungkin merasakan lebih banyak kesulitan, tapi pada akhirnya, ia akan bahagia. Pasti akan bahagia.

Dihalaunya selapis bening air yang mengaburkan mata. Lantas, satu senyum lembut tercipta. "Kalau begitu, mau meniup dandelion?"

.

.

.

.

Ada sesuatu yang ajaib dari dandelion. Karin pertama mengetahuinya dari Sakura.

"Tiup benihnya dan kau akan bahagia." Begitu katanya saat Karin tanpa sengaja mendapati Sakura duduk sendiri di bangku taman dengan pangkuan yang penuh dengan benih-benih putih bunga dandelion.

"Seperti pengabul harapan?"

"Ya. Seperti itu." Sakura tersenyum lebar. "Sebanyak benih yang kau tiup dan terbang, sebanyak itulah kemungkinan harapanmu dikabulkan. Jadi, tiuplah dandelion agar harapanmu dikabulkan."

Entah siapa yang mengajari Sakura itu semua, namun, Karin tahu bahwa kebiasaan Sakura meniup dandelion lebih seperti kebutuhan. Setiap kali Sakura memiliki harapan, ia akan meniup banyak dandelion. Kadang dengan wajah bahagia, khawatir, bahkan dengan tatapan kosong yang mengkhawatirkan. Tapi, yang paling ekstrim yang pernah dilihatnya adalah di hari pernikahan Sakura dan Sasuke.

Di ruang tunggu pengantin wanita, Karin melihat sahabatnya yang sudah disulap menjadi putri dongeng, terduduk di tengah ruangan. Gaunnya menggembung seperti awan di sekitar tubuhnya. Namun, yang paling mencolok adalah benih-benih bunga dandelion yang hampir memenuhi seluruh lantai. Entah apa yang ia harapkan hingga ia harus meniup sebanyak itu. Yang jelas, Karin memiliki dorongan untuk membawa Sakura kabur dari pernikahannya hari itu jika saja ia tidak melihat Sakura tersenyum saat melihatnya.

Jadi, sekarang di sinilah mereka. Berkendara dengan mobil jip tua milik Karin, menyusuri jalan beraspal menuju sebuah padang bunga dandelion di tepi kota. Itu adalah tempat favorit Sakura yang selalu didatanginya setiap ada waktu. Di padang itu, terkubur banyak harapan dari benih-benih dandelion yang tumbuh menjadi bunga cantik berwarna kuning. Padang itu adalah dunia milik Haru—Uchiha Sakura yang terus ada karena wanita itu tak henti meniupi benih-benihnya hingga tumbuh kembali menjadi bunga yang baru, harapannya yang lainnya.

"Apa kau sudah meminta izin Sasuke sebelum pergi?" Karin bertanya dengan mata lurus menatap jalanan di depan. "Aku tidak mau dia tiba-tiba menuduhku menculikmu."

"Ya." Sakura yang sedang menikmati semilir angin yang membelai rambutnya hanya menjawab pendek. Sebenarnya, ia tengah melihat kelebat bayangannya dan Sasori yang bermunculan sepanjang jalan.

Masa lalu memang hantu di siang bolong.

"Bicaralah denganku, jangan menatap ke luar jendela terus."

Sakura tersenyum dan memutar duduknya menghadap Karin yang terus fokus menyetir. Seperti yang sudah sepatutnya diucapkan oleh orang yang nyaris seumur hidupnya mengenal Sakura, Karin pasti tahu apa yang ada dalam pikiran sahabatnya.

"Biarkan bayangan itu berlalu." Karin menambahkan. "Kalaupun kau mau lihat, lihat saja lewat spion. Spion ada untuk melihat ke belakang, tapi tujuanmu tetaplah yang ada di depan."

"Wah, wah. Kuliah pagimu mencerahkan sekali," sindir Sakura. "Apa kau tahu betapa bersyukurnya aku memiliki pskiater pribadi sepertimu?"

"Jangan membuatku menurunkanmu di sini." Karin pura-pura jengkel. "Aku mengajakmu ke sini untuk melepas beban dan membuat harapan baru, bukannya menimbun diri dalam kenangan masa lalu."

"Aw. Yang barusan itu menusuk sekali." Sakura menghindari cubitan dari Karin. "Baik, baik. Aku mengerti, Ma'am. Lagipula, aku punya banyak sekali harapan. Aku rasa aku akan menghabisakan sepanjang hari di sana."

Karin mengganti gigi dan memutar stir mobil ke kiri. "Baguslah. Buat satu harapan untuk suamimu. Dia butuh banyak tersenyum."

"Haha. Wajahnya memang menakutkan, 'kan ya?" Sakura tertawa. Wajah Sasuke memang selalu terlihat dingin. Sekalinya tidak memasang wajah jutek, wajah—ehem—puasnyalah yang terpasang ketika mereka melakukan 'kegiatan malam'. Tapi, mana mungkin Sakura menceritakan hal itu.

"Itu siapa?" Pertanyaan Karin memecah lamunan singkat Sakura. Di ujung jalan, sudah terhampar padang bunga dandelion yang terlihat seperti lautan. Juga, ada sebuah mobil merah di tempat Sakura dan Karin biasa memarkir mobilnya. Bersandar di bodi mobil, seorang wanita berambut merah bersedekap dada, terlihat seperti sedang menunggu seseorang.

"Dia tidak terlihat asing," tambah Karin saat mereka semakin dekat. Barulah ketika mereka sudah memarkirkan mobil dan turun, Sakura mengenali siapa wanita tersebut.

Mata sewarna batu rubi dan rambut merah panjang terurai. Namun, senyum meremehkan yang dulu sering Sakura lihat, tidak lagi ada. Digantikan dengan segaris bibir tipis yang hanya bisa tersenyum lemah.

"Lama tidak bertemu, Sakura-san."

"Tayuya-san ..."

.

.

.

.

Sasuke menatap Naruto setajam mata pedang.

"Apa maksudnya ini?" tanyanya sambil mengacungkan sebuah kertas tebal terbungkus plastik transparan.

Naruto cuma bisa tertawa cengengesan sambil menggosok belakang lehernya.

"Sudahlah, datang saja," jawab sahabatnya dengan wajah malu-malu yang membuat Sasuke mual.

Sasuke kembali melemparkan tatapan tajam sebelum menyobek plastik pembungkus dan mengeluarkan kertas berwarna biru donker yang bertuliskan nama sahabatnya dan pacarnya dengan tinta sewarna emas. "Kau, dan Hinata, ... menikah?"

Ada banyak keanehan di sini. Naruto dan Hinata memang sudah berpacaran sejak mereka kuliah, yang artinya lebih lama dari usia hubungan Sasuke dengan Sakura sehingga wajar saja jika mereka menikah. Tapi pertanyaannya, kenapa sekarang? Selama ini rencana pernikahan mereka selalu tak terlaksana karena sang calon mertua, yang tak lain adalah kepala keluarga Hyuuga yaitu Hyuuga Hiashi, selalu menolak segala macam manuver yang dilancarkan Naruto untuk mendapatkan izinnya.

Lantas, mengapa sekarang Hiashi mengizinkan? Apa yang sudah Naruto lakukan sampai pria itu memberi izin dan rela melepas Hinata dalam pelukan Naruto?

Sebersit pikiran membuat Sasuke kaku. Matanya perlahan kembali merangkang naik, menemukan mata sebiru laut yang terlihat gelisah. Sepertinya dugaan Sasuke benar karena Naruto semakin terlihat salah tingkah.

"Dia hamil?"

Wajah Naruto berubah seperti narapidana yang hendak dihukum mati.

"Tidak! Jangan bicara keras-keras!" Dengan cepat Naruto meloncat dari kursinya dan membekap mulut Sasuke. "Kalau tersebar, Hiashi-san akan membuatku impoten!"

Sasuke melepas bekapan tangan Naruto sambil misuh-misuh. Alisnya menukik tajam, tanda kalau ia kesal diperlakukan demikian. "Kenapa tidak dikebiri sekalian?!"

"Kejam kau, Teme! Aku sudah habis dipukuli Neji kemarin—untungnya dia mau membantuku. Jadi, jangan buat aku impoten dengan menyebarkan itu!"

Ah. Pantas saja. Kalau sudah Neji yang bicara, Hiashi pasti mempertimbangkannya lagi. Tapi, kalau saja Hiashi tahu Hinata dihamili Naruto, bukannya dinikahkan, pastilah Naruto sudah dibuang ke lautan berhiu.

"Jadi, hanya Neji yang tahu?" Sasuke melirik tanggal di undangan dan mengingatnya. Ia akan memberitahukannya pada Sakura nanti.

Naruto duduk kembali di kursinya. Wajahnya terlihat mendung. Sasuke samar-samar melihat memar di rahang Naruto. Setelah ia menyadarinya, ia juga melihat sudut bibir sahabat blonde-nya itu pecah. "Tenten juga tahu," jawab Naruto pelan. "Aku tidak ingin Hiashi sampai tahu. Aku tidak mau anakku jadi yatim."

Sasuke menghela napas. "Makanya, pikirkan dulu akibatnya sebelum kau melakukannya." Tangan Sasuke memukul pucuk kepala Naruto menggunakan bundelan map. "Tapi, selamat."

Segaris senyum terbit di wajah Naruto. "Terima kasih, Teme!"

"Jangan senang dulu. Hiashi pasti akan tahu pada akhirnya. Kalau saat itu tiba, apa pembelaanmu?"

Naruto kembali murung. "Sudahlah ... Neji sudah kejam sekali dengan melarangku bertemu Hinata sampai kami menikah. Jangan tambahkan bebanku dengan pertanyaanmu itu."

"Syukurlah Neji melakukan hal itu. Pria serigala sepertimu memang berbahaya." Sasuke mengangguk—yang terlihat sangat menyebalkan di mata Naruto.

"Teme! Aku sudah menahan diriku dari bertahun-tahun lalu. Ini kali pertama aku melakukannya! Mana kutahu kalau aku sehebat itu! Lagipula, kalau kau di posisiku, apa kau akan tahan tidak menyentuh Sakura?!" Naruto balas mengomel, dadanya naik-turun.

Pertanyaan Naruto tiba-tiba saja menyentak Sasuke. Seolah ada orang yang memencet tombol backward hingga di depan mata Sasuke kini jelas terbayang kegiatan yang ia lakukan dengan Sakura di malam tahun baru lalu. Bahkan Sasuke mengingat suara manis dan juga seksi milik Sakura. Jemari panjang istrinya yang menarik rambutnya, serta wangi bunga yang tercium samar saat Sasuke menenggelamkan wajah di lekukan leher Sakura.

"Lihat, tuh! Wajahmu memerah seperti om-om mesum!" Naruto melempar kertas memo kecil ke wajah Sasuke yang membuat pria itu sedikit kaget. "Akui saja, Tuan Uchiha. Kau juga tidak akan mampu menjaga tanganmu!"

Tidak. Tentu saja Sasuke tidak akan tahan.

Mengalihkan pembicaraan, Sasuke melampar pertanyaan lain yang membuatnya penasaran. "Tadi, kau bilang ini pertama kali? Kau langsung bisa membuatnya hamil hanya dengan sekali melakukannya?"

"Sudah kubilang jangan ucapkan hal itu!" Naruto kali ini melemparkan map yang ada di atas meja. Gemas dengan tingkah Sasuke yang katanya genius tingkat dewa. "Jaga lidahmu!"

Sasuke mendecih. Tidak menyangka kalau dirinya baru saja dinasehati oleh Naruto. "Lalu?"

"Kenapa memangnya?" Naruto masih terlihat jengkel. "Ah. Jangan bilang kalau Sakura belum hamil juga? Ha! Tuan Keren, ternyata kau tidak sejantan yang kuduga." Sebuah senyum yang menyebalkan tersungging di wajah Naruto.

Sasuke tidak mau mengakui, tapi ia merasakan sentilan rasa malu atas ucapan sahabatnya. "Pekerjaan Sakura sering membuatnya stress. Wajar kalau ia sulit hamil."

"Alasan." Naruto menyindir sambil mengambil map yang tadi dilemparkannya. "Ya sudah. Pokoknya, jangan lupa datang! Kalau tidak datang, awas kau!"

Dan dengan pesannya barusan, Naruto meninggalkan Sasuke yang terpaku di kursinya dengan kepala penuh pikiran. Sang eksekutif muda perlahan melirik undangan yang ditinggalkan sahabatnya.

Hamil, ya?

Sekali lagi Sasuke tidak ingin mengakui. Tapi, Ya Tuhan! Dia merasa sangat iri.

.

.

.

.

A/N :

Udah. Segitu doag ceritanya.

Serius?

Enggak lah, bercanda XD

Alasan kenapa saya publish cerita ini adalah karena teman-teman yang selalu memberikan dukungan bagi saya. Meskipun sejak awal saya sendiri sudah berniat untuk buat sequelnya. Dan kenapa cuma segini? Sebab, ini bahkan belum sampai setengah dari ceritanya. Saya khawatir kalau saya upload sampai lebih dari 10k words, mata kalian jadi pada juling bahkan sebelum sampai endingnya.

Dan ya, harus saya akui, saya kena WB. Memang bukan alasan, tapi tolong biarkan itu jadi alasan saya. Wkwkw. Saya mencoba menulis cerita ini di antara proyek fic GaaMatsu (yang nyaris setahun dianggurin) dan proyek BTC tahun ini. Semoga bisa selesai tepat waktu, saya minta doanya aja deh ya.

Untuk fic ini, saya kesulitan menulis dengan hanya sudut pandang Sakura. Saya bahkan belum yakin dengan cara saya untuk menggambarkan bagaimana Sakura bisa jatuh cinta sama Sasuke. Saya tipe penulis yang semedi sambil dengerin lagu mellow di kamar sampai nangis-nangis sebelum nulis adegan galau. Jadi, ya, tolong dimaklumi kalau tidak sesuai ekspektasi karena menggalau itu capek :')

Untuk rate sendiri, saya memutuskan untuk meletakkannya di rate-T meskipun ada kemungkinan naik rate di chapter yang mendatang—tergantung gimana nanti. Ada reader yang merasa fic BTS saya kurang sreg masuk arsip ff rate-M, entah mengapa. Kalau alasan saya sih, karena fic BTS kontennya lumayan berat dan seputar orang dewasa jadi mungkin agak sulit dipahami remaja yang kisah cintanya lebih banyak bunganya. Dan HARUS DICATAT bahwa meskipun nanti ratenya naik jadi M, bukan berati ada lemon. Implisit mungkin, jadi jangan duluan berharap. Saya bukan penulis ff 'hot'.

Masih sulit bagi saya untuk menulis selancar dulu karena WB ini. Bahkan baca ff BTC tahun ini saja saya kurang semangat. Karena itu, saya mohon dukungannya lewat review kalian, sebab itu satu-satunya penyemangat saya.

Sekali lagi, terima kasih sebesar-besarnya untuk semua pembaca yang dengan senang hati RnR ff Bed Time Stories dan bahkan mem-fav atau follow bahkan lama setelah fic itu publish. Maaf untuk sebagian pembaca yang gak saya balas reviewnya. Dan semoga kalian bersabar dengan saya untuk ff yang lainnya.

Jaa!

P.S : saya lagi galau karena Gaara katanya gak sama Matsuri. Tumbang satu lagi OTP saya setelah Neji gugur di perang lalu. My kokoroooo ... Hiks.

P.S.S : maaf saya kebiasaan bikin A/N yang panjang :3