Bagaikan terdampar di suatu tempat yang jauh. Tidak terbatas padang rumput berwarna hijau. Jauh hingga memenuhi cakrawala di bawah langit biru. Kurentangkan tangan dan berharap bisa menggapainya.
Siapakah yang bersedih?
Siapakah pemilik tangisan ini?
Begitu memilukan.
Hatiku sangat sakit mendengarnya.
Ah, aku berharap bisa mendekapnya. Hatiku yang dingin dan terasa kosong mungkin tidak bisa menghiburnya. Namun, aku sangat ingin memeluknya.
Siapakah dia yang menangis tersedu-sedu?
Jangan bersedih.
Kumohon jangan bersedih.
Hatiku sangat sakit mendengarnya.
Aku berada di suatu tempat dimana angin berhembus kencang. Menerpa wajahku dan meniup helaian rambutku. Aku berusaha untuk menghalaunya, melindungi mata dengan lengan agar aku bisa melihat kemana berjalan.
Dan saat mengangkat tatapan, maka aku akan melihatnya.
Seseorang yang berdiri di kejauhan.
Bibir merah yang terbuka,
saat wanita tanpa wajah itu berkata,
"...kau sudah berjanji...kau harus menepati janjimu..."
Jangan marah.
Jangan bersedih.
Aku tidak tahu...tidak tahu...
Aku...sama sekali tidak mengerti.
.
.
a sequel of 'The Woman who Surfaces to the Future':
The Man who Lingers in the Present
—Draco's story
Rozen91
Harry Potter © J. K. Rowling
.
.
xxx
"Draco...hei, kau sudah bangun?"
Saat laki-laki itu membuka mata, ia melihat seorang wanita duduk di sofa di seberang meja. Wajah yang tidak dikenal. Alis kelabu pria itu mengerut dalam, memandang skeptis.
"Siapa kau?"
"Ah," ucap wanita itu, tersenyum maklum. "Kau masih belum mengingatku juga. Aku memang sengaja datang hari ini agar kau tidak kesusahan saat seseorang tiba-tiba datang." Tangannya mengelus permukaan album foto di pangkuannya. Entah milik siapa, namun Draco merasa warna emerald dan emblem M perak di tengahnya cukup familiar. Ah, darimana orang asing ini mengambilnya? Draco merasa kesal.
Melihat ekspresinya, wanita berambut hitam di seberang hanya tersenyum. Tampak agak sedih.
"Draco, ini aku," katanya, "Pansy, sahabatmu."
Iris kelabu Draco melebar.
"Pan...sy..." ucapnya lambat-lambat, terpaku pada sosok wanita itu. Menelusuri dari ujung kaki hingga kepala seolah baru pertama kali melihatnya. "Ah...bagaimana kabarmu?"
"Aku baik-baik saja. Kuharap kau menjaga kesehatanmu. Pasti tidak enak tidur di sofa, 'kan?"
Well. Draco hanya menggaruk-garuk kepalanya, mengalihkan mata dan tidak tahu harus berkata apa. Pansy menatapnya. Sekilas matanya tampak berkaca-kaca.
Draco meliriknya. Terlihat terganggu. "Kau...kau berubah."
"Tentu saja... umurku sekarang sudah 21 tahun."
Draco membelalak. "21!?"
"Draco," kata Pansy pelan, berusaha untuk tidak membuatnya panik, "kita berdua bukan lagi murid Hogwarts."
Dua alis perak ternagkat tinggi. Pantas saja dia merasa tidak mengenal ruangan tempatnya terbangun ini.
"Ini manormu. Ruang lukisan di sayap timur lantai 2."
Raut wajah Draco yang terlipat-lipat hanya memperlihatkan kebingungan. Ia memegang kepalanya dengan alis mengerut dalam. Mengedarkan pandangan seperti berusaha menyamakan ruangan itu dengan di ingatan. Sayangnya, ruangan itu direnovasi 2 tahun yang lalu, karena itu, Draco sama sekali tidak mengenalinya.
Pansy melayangkan senyum sembari mengangkat album di tangannya. Sudah berapa kali ia menyaksikan pemandangan Draco yang tidak berdaya dan bingung setengah mati?
"Apa kau mau mengingat semuanya lagi, Draco?"
"Huh? Apa maksudmu?"
Pansy diam sejenak. Oh, ayolah, sudah berapa kali ia menghadapi percakapan ini? Seperti adegan drama yang terus diulang-ulang. Pansy tidak bisa membuatnya berhenti. Dan jikapun ingin, ia tidak bisa melanggar janjinya pada Draco. Draco sudah memberinya amanat, dan Pansy akan menjalankannya. Bahkan jika itu berarti harus membuat sahabatnya kehilangan harapan.
"Kau tahu, Draco," mulainya, "kau mengidap penyakit yang disebut dengan kelainan ingatan. Penyembuh berkata trauma psikologis membuatmu menjadi seperti ini. Setiap kali memori kembali pada masa saat kita masih di Hogwarts."
"...apa..."
"Dan kau selalu melupakan orang-orang yang kau kenal dan kejadian bersama mereka," Pansy menatapnya sedih, "setiap hari rabu tiba."
Pria itu, seseorang yang bernama Draco Malfoy, selalu kehilangan memori setiap hari rabu. Kembali lagi di suatu masa ketika ia masih menjadi murid Hogwarts. Ingatan yang terhenti di umurnya yang ke 15. Biarpun demikian, biarpun ingatan itu terhenti di masa remajanya, ia juga tidak bisa mengingat wajah dan nama orang-orang yang bersamanya. Seolah-olah...ia selalu sendirian.
Kelainan memori macam apa ini?
Draco mencengkeram kepalanya.
Berkabut...dimanapun ia pergi selalu ada kabut...
Ia tidak bisa mengingat siapapun...apapun...
Selalu saja...selalu saja...tanpa masa lalu...tanpa masa depan...
selalu berputar bersama roda waktu...
_bersambung_
Alhamdulillah,,, inilah fic sequel terakhir dari 'the Child who Vanished along with the Past'.
Di fic ini akan diperlihatkan apa yang terjadi di masa lalu dan di masa depan setelah Hermione merubah masa lalu. Setidaknya, di fic sebelumnya, readers sekalian sudah tahu apa yang terjadi di tahun ketujuh Dramione hingga mereka jadi kayak gini. Bukan berarti di sini akan dijelaskan secara langsung,, paling tidak gambaran in sya Allah dapat gitu,, hahaha,,
Mengenai fic sebelumnya, Hermione POV, biarpun berbicara tentang masa depan, tapi malah ending di saat Hermione kembali ke tanggal 13 September 2005. Mau gimana lagi, di fic Orphe, sudah diperlihatkan situasi Hermione di garis waktu yang baru. Jadi, saya putuskan untuk menamatkan fic Hermione seperti itu saja, dan menumpahkan semua ide ke fic terakhir ini.
Terima kasih juga buat para readers dan reviewers sekalian yang telah mengikuti 2 fic sebelumnya, terutama di fic Hermione yang tidak sempat saya balas review-nya,, maaf sekali,, ,
Yosh! Thanks for reading.
Rozen91
