Author's notes:

- Karakter hanya milik Masashi Kishimoto.

- Ditulis hanya untuk hiburan.

- Fanficcer tidak mendapatkan keuntungan materi apapun dari fanfiction ini.

- Alternate Reality setting out of character.

- Romance, Hurt/Comfort, Drama.

- Cerita setelah Harusame.

- Didedikasikan untukmu yang lahir pada tanggal dua puluh November.


Ameagari

.

.

.

いつも見ていた。近いようで遠くて。いつだって、届かない。

Itsumo mite ita. Chikai you de tookute. Itsudatte, todokanai.

Aku selalu memperhatikanmu. Kau begitu dekat, namun terasa jauh. Seperti biasa, aku tak bisa meraihmu.

.

.

.

Chapter 1

.

.

.

Malu-malu, gadis kecil berusia lima tahun menarik-narik ujung baju kakaknya. "Nii-san!" panggilnya.

Kakaknya yang berrambut pirang dan beriris mata biru itu menyahut tanpa menoleh kepada adiknya. "Ada apa?"

"Aku mau bertanya." Gadis itu bertutur kata dengan ekspresi yang sama.

"Ya, tanya apa?" Kakaknya terlalu asyik bermain video game untuk menoleh memandang lawan bicaranya.

"Apakah…" Gadis itu terlalu gugup, "kau mengenali seseorang yang sering melukis… di bukit belakang desa?" tanyanya dengan suara cemprengnya.

Tanpa memperhatikan ekspresi gugup dan malu-malu adiknya, kakak gadis itu menjawab pertanyaan yang bisa ia jawab di luar kepala, "Oh, itu Inojin, Yamanaka Inojin, putra Ino-ba-san dan Sai-ji-san."

"Terima kasih, Nii-san!" Gadis kecil itu berterima kasih kepada kakaknya dengan semangat kemudian berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya, tak menyadari bahwa kakaknya memandangnya aneh.

Saat itu, untuk pertama kalinya gadis cilik itu menyebut nama anak lelaki itu, anak lelaki yang selalu ia kagumi sejak lama. "Yamanaka… Inojin," ucapnya dalam hati sambil tersenyum dan tersipu.

.

.

.

Uzumaki Himawari melangkah pelan di tengah-tengah jalan utama Konohagakure yang ramai, kepalanya tertunduk. Otaknya tengah sibuk mengenang, mengenang seseorang yang penting dalam hidupnya. Kenyataannya, kenangannya bersama orang itu tidak pernah terlepas dari kepalanya sedetik pun. Lelaki itu selalu hadir di kepalanya setiap saat. Semakin Himawari tidak bertemu dengan orang itu, ia malah semakin merindukannya alih-alih melupakannya.

Gadis berrambut indigo panjang itu terus melangkah dengan kepala tertunduk, membiarkan kakinya berjalan lurus ke depan. Kemudian, sebuah suara menghentikan langkahnya, membuatnya tersentak dan kepalanya terangkat sementara ia mulai menajamkan pendengarannya.

"Apa-apaan dengan rambut model ini?! Kau membuat dirimu berbeda, Inojin!"

Kata terakhir yang Himawari dengar membuat dadanya memanas dan wajahnya menoleh cepat menuju sumber suara. Matanya membulat dan jantungnya berdegup kencang saat ia mendapati objek yang ditunggunya selama ini. Setelah beberapa kali mengerjap, ia sadar bahwa ia tak salah lihat.

Himawari membeku. Ia tak salah lihat! Objek di depan matanya benar-benar nyata! Inojin yang sedang berdiri bersama Shikadai! Ya Tuhan, pemuda itu sudah sampai di Konoha.

Himawari memutar tubuhnya, sebisa mungkin ia memikirkan apa yang perlu dilakukannya tanpa memamerkan wajah merahnya.

Oh Tuhan! Ia tidak bisa berpikir! Yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah menguping pembicaraan kedua pemuda—yang berumur lebih dewasa dibandingnya—itu dengan paha gemetaran karena gugup.

Inojin terkekeh. "Kau tahu, aku hanya mulai bosan dengan model rambutku."

"Ya, terserah kau. Tapi sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di sini, ibuku bisa-bisa akan mengomel. Sore jaa!"

Saat Himawari kembali melirik dua pemuda itu, Shikadai tengah berjalan meninggalkan Inojin sementara Inojin tersenyum sambil melambaikan tangannya isyarat sampai jumpa.

Himawari menundukan wajahnya lebih dalam. Bagaimana ini? Aku memang merindukannya, tapi aku tidak memiliki keberanian untuk menghampirinya. Kami-sama, apa yang harus kulakukan?

"Sashiburi!"

Satu kata yang muncul tepat di belakang Himawari membuatnya tersentak dan dadanya berdegup semakin kencang dengan wajahnya semakin memerah dengan cepat. Tangannya yang bergetar mencengkram kantung kertas belanjaannya dengan kuat, berusaha untuk mengurangi kegugupan. Jin-kun menghampiriku?! Kami-sama! Apakah aku bermimpi?! Jin-kun menghampiriku!

Saat ragu-ragu Himawari memutar tubuhnya, takut-takut suara Inojin itu hanyalah khayalannya, ia melihat Inojin berdiri tegak di hadapannya dengan senyuman manis mengembang di wajahnya. Senyuman ramah yang tak pernah berubah sejak lebih dari empat tahun terakhir, senyuman yang begitu ia rindukan. Rambut pirang lelaki itu telah dicukur sekarang, membuatnya terlihat mirip dengan Paman Sai. Ya Tuhan… Himawari tidak bermimpi.

Himawari tersenyum senang dan gugup membalas senyuman Inojin, tak tahu harus seperti apa reaksinya saat ini, ia terlalu senang untuk sekedar menyempatkan diri berpikir.

"Apa kabar…"

Sementara Inojin tengah berkata menyapanya, jantung Himawari yang malang seakan mau meledak dan ia khawatir Inojin mampu mendengarnya.

"…Uzumaki-san?"

Kata terakhir dari kalimat itu seakan membuat jantung Himawari berhenti berdetak karena ditusuk sesuatu dan waktu solah berdiam diri di tempat. Kata terakhir itu meruntuhkan kesenangan Himawari dengan cara yang paling sederhana. Ia memanggilku… 'Uzumaki-san'?

Sesungguhnya saat-saat ini adalah saat yang paling ditunggu Himawari setelah lebih dari empat tahun belakangan, namun ia tidak pernah menyangka bahwa saat-saat yang ia tunggu justru adalah saat-saat yang paling membuatnya merasa perih.

Himawari mengembuskan napasnya berusaha mengurangi rasa sakit di dadanya, tempat hatinya berada. Tapi ternyata itu sulit. Namun setidaknya ia bisa menampilkan sebuah senyum palsu.

"Kabarku baik, senang bertemu denganmu lagi..." Himawari menelan ludah, memaksakan diri untuk bicara. "Yamanaka-senpai," sambungnya. Saat ini ia hanya bisa berharap lelaki tinggi yang berdiri di hadapannya ini tidak menyadari perubahan ekspresi di wajah Himawari.

Hanya Himawari yang tahu, memanggil Inojin dengan sebutan itu sangatlah sulit baginya. Hal terberat yang pernah dilakukannya.

Himawari—yang merasa tak sanggup menahan ekspresi perihnya—cepat-cepat membungkuk dan mengucap permisi kemudian berlari meninggalkan Inojin, menyisakan tatapan heran dari pemuda berkulit putih pucat itu.

.

.

.

Seorang gadis cilik melangkah ragu tatkala melihat seorang anak lelaki yang lebih besar darinya tengah melukis di atas bukit di bawah pohon rindang. Tubuh kecil gadis itu hanya mampu melangkah sejauh ini, tak berani mendekat.

Gadis itu selalu terpesona dengan lelaki itu sejak pertama kali bertemu di bukit ini, tangan putih lelaki itu seperti mampu menciptakan dunia fantasi dari imajinasinya sendiri. Lelaki itu tampak berkilauan, mata bulat anak perempuan itu selalu berkilat karenanya. Dan setiap kali bertemu dengan anak lelaki itu, gadis itu merasakan perasaan aneh yang membuatnya tidak pernah bisa melepaskan pandangannya. Ia selalu berusaha memandangnya selama yang ia bisa.

Ketika hendak berbalik, takut-takut lelaki itu menyadari keberadaannya, tiba-tiba keadaan malah berbalik dan membuat wajah gadis itu merona dan dadanya yang malang mulai bergejolak.

"Hei! Himawari-chan!"

Saat itulah hati Himawari yang rapuh serasa meleleh. Kami-sama, ia tahu namaku! Yamanaka-kun tahu namaku! jerit hati Himawari yang kegirangan.

Kaki Himawari melemas sebagai repon atas kebahagiannya siang ini.

.

.

.

Himawari membantingkan tubuhnya di atas kasur dan membiarkan rambut indahnya yang panjang menyebar di atas bantal. Mata biru langitnya memandang ke langit-langit kamarnya.

Ia mengangkat paksa senyumannya yang tampak miris. Ia tidak perlu menyesali kejadian barusan dan tak perlu kaget karena justru inilah kejadian yang paling realistis. Memang ia yang selama ini bodoh, kenapa ia berpikir lelaki itu masih mengingatnya? Ayolah, kejadian itu sudah lama sekali berlalu, pasti Inojin sudah melupakannya. Lagi pula, itu pasti hanya kejadian paling tidak penting untuk diingat oleh siapapun.

Apa yang sebenarnya Himawari harapkan?!

Sejak awal ini memang salah Himawari, tidak seharusnya ia berharap dan menunggu. Tidak seharusnya ia menyimpan perasaan pada lelaki itu. Tidak sepantasnya… Uzumaki Himawari mencintai Yamanaka Inojin.

Perasaan mencintai… yang ia simpan sendiri selama lebih dari sepuluh tahun.

.

.

.

Tsuzuku

.

.

.


Update every week.