KERANGKA IV
G 30S/PKI - 1965 :
- Lantai Berdarah -
.
Kirana menyujudkan tubuhnya, serendah-rendah yang dia bisa, ketika tangan kanannya telah meraba lantai yang basah itu, gerakannya lemas. "Kita harus membersihkan lantai ini."
Dirobeknya bawahan daster yang Kirana kenakan, kesenduan mata menyapu lantai bercat merah korban ketragisan.
Kirana tanpa menoleh, putera negerinya masih tegak mematung di belakang badan. "Bantu aku, kita harus cepat, sebelum adik-adikmu terjaga..."
Dipelnya darah-darah yang bergenangan di lantai kayu itu, sungguh, semuanya bercat merah oleh hemoglobin yang sekarang tidak ada gunanya.
Tanpa gontai, namun pelan. Tanpa tempo yang teratur, namun tetap pasti. Dihapusnya darah itu dengan segera. Di malam yang membutakan mata.
Putera (negara)nya, membantu. Air mata ingin keluar dari pelupuk mata.
Mata menyorot selurus datar, bibirnya saling terkatup, rapat-rapat. Tanpa suara dari dalam tubuhnya. Bahkan seluruh suara batinnya yang minta dikatakan seolah terisolasi dan terbungkam.
"Ayah..."
Tidak ada suara lain, selain aduan antara kain yang mengusam dengan darah, dan lantai yang sedikit mendecit.
"Ibu tidak ingin adik-adikmu tahu, hanya itu, jangan katakan ini pada mereka. Jangan pernah menghawatirkan'nya' di depan mereka. Adik-adikmu terlalu muda untuk tahu tentang ini..."
Hatinya pedih, teramat sangat pedih, dipecahkan, hancur berkeping-keping, tanpa bisa disatukan lagi oleh apapun. Perasaannya seolah mati, wanita itu mematung ekspresinya, segala rasa.
.
Tanpa tangis, tanpa lirih, tanpa desahan lara karena senandika pengutuk.
"Aku tidak mau, anak(-anak)ku melihat darah, dan menghawatirkan ayahnya. Aku tidak mau itu terjadi," janjinya. Wanita itu beranjak, segalanya pilu...
"Mereka tidak perlu tahu (ini). Tidak perlu..."
•••
Negeri ratu,
... raja kuasa negeri.
Indonesia yang satu,
... inilah Pancasila Sakti...
