Naruto by Masashi Kishimoto. I don't take material advantage by writing this story.

AU. Sequel of Wanita yang Menatap Lembayung Senja.


Suatu Hari Nanti


Ruangan itu sepi. Satu-satunya sumber suara hanyalah detik-detik dari arloji. Tirainya masih terbuka meskipun langit sudah gelap. Satu-satunya sumber cahaya di dalam ruangan itu hanyalah lampu kecil di atas meja nakas. Bila dilihat sekilas dari luar jendela, orang-orang pasti akan berasumsi bahwa apartemen ini ditinggal sang penghuni.

Nyatanya tidak. Keheningan dan stagnasi detik jam diusik oleh suara kaki yang bergesekan dengan kain, kemudian diikuti ketukan ujung kuku pada ponsel. Ketukan kuku itu berhenti setelah dia memutuskan untuk duduk. Matanya memindai kondisi ruangan yang samar-samar terlihat berantakan. Dia akhirnya beranjak setelah beberapa jam terakhir bertindak seperti orang mati, lantas menutup tirai kamarnya rapat-rapat meskipun sudah beberapa jam terlambat. Saklar lampu diketuk hingga cahaya membanjiri seluruh permukaan benda yang dapat diraihnya.

Berantakan di kamarnya semakin terlihat jelas. Haruno Sakura mendengus dan mengusap wajahnya. Dia memunguti sampah kertas dan plastik transparan yang berserakan di karpet kamarnya. Setelah terkumpul semua, dia segera memasukkannya ke dalam tempat sampah. Rambutnya yang terasa menempel ke tengkuknya digerai lagi, diluruskan, kemudian diikat secara asal. Matanya memindai seluruh ruangan lagi dan mendecak saat menemukan selembar kertas dengan lebar satu senti dan berukuran panjang layaknya tali. Kertas yang disimpan sebagai pesan di dalam fortune cookie.

You don't know what you have until it's gone.

Sakura meremas kertas itu hingga membentuk bola kecil dan melemparnya asal. Itu adalah pesan paling aneh yang pernah didapatkannya dari dalam fortune cookie. Pesannya jelas-jelas tidak mengindikasikan fortune ataupun sebaliknya! Itu lebih seperti kutipan-kutipan dari film atau novel romansa yang juga bergenre mellow. Meski begitu, pesan tersebut tetap berpengaruh secara emosional terhadapnya. Dia marah pada dirinya sendiri karena kalimat itu begitu akurat mendeskripsikan kondisinya.

Pesan itu membuatnya semakin teringat akan Uchiha Sasuke, mantan kekasih terakhir yang sudah dia sakiti tanpa tahu diri. Sakura menutup wajahnya frustrasi, kemudian melemparkan diri ke atas tempat tidur lagi, tanpa memedulikan setelan bekerja masih melapisi tubuhnya. Dia mengetuk-ngetuk ponselnya yang kini berlayar hitam. Jika layarnya dinyalakan dan kuncinya dibuka, kontak Sasuke adalah hal pertama yang akan ponsel itu tayangkan.

Pikirannya kembali dikelebati oleh Sasuke.

Sasuke tidak sempurna, tetapi dia adalah pria terbaik yang pernah mendampinginya. Sakura tidak pernah merasa dicintai sebesar Sasuke mencintainya. Dan apa yang Sasuke berikan padanya bukan hanya rasa cinta. Lebih, lebih dari itu. Dia tahu sifat terburuk Sasuke adalah keegoisannya, dan pria itu bahkan kelewat sering membuang ego demi Sakura. Termasuk di saat-saat terakhir hubungan mereka terjalin.

Sasuke tahu bahwa Sakura masih mencintai mantan kekasihnya selagi wanita itu sudah bersamanya, tapi dia tetap ada di sana ketika Sakura membutuhkannya. Dan alasan Sasuke memutuskan untuk pergi darinya pun bukan berdasarkan egonya.

Dia mengerti alasan Sasuke pergi. Seperti apa yang pria itu katakan dulu, perpisahan adalah yang terbaik untuk mereka saat itu. Sasuke merasa sakit karena tahu kebenaran mengenai Sakura, dan Sakura yang merasa bersalah atas itu, juga merasa sakit karena tak sanggup memaksa diri untuk mencintai Sasuke sepenuhnya. Bila dipaksa dilanjutkan, hubungan mereka akan terasa seperti dililit kawat berduri.

Tidak, mungkin kalimat itu tidak seakurat itu. Sakura tahu seperti apa Sasuke selama dia masih memilikinya, dia tahu seberuntung apa dirinya karena memiliki Sasuke di sisinya, tapi dia tidak menghargai itu sebesar seharusnya. Terutama di hari-hari setelah dia tahu mantan kekasihnya menikah; kehadiran Sasuke bahkan terasa sangat menyakitkan baginya.

Perpisahan membuat rasa sakit itu hilang, tetapi rasa sakit lain yang disebabkan oleh kehilangan seseorang yang dicintai mengisi hatinya. Sakura tidak sadar bahwa dirinya mencintai Sasuke sebesar itu sampai mereka berpisah, hingga detik demi detik yang terlewati semenjak Sasuke pergi terasa begitu berat untuk dijalani tanpa kehadiran pria itu di sisinya.

Betapa penyesalannya semakin membengkak ketika sadar bahwa semenjak mereka berpisah ... dia tak lagi merasakan sakit yang disebabkan oleh mantan kekasih yang mengkhianatinya, seolah-olah tempat untuk pria itu sudah tidak ada. Denyutan nyeri di hatinya hanya disebabkan oleh satu hal, yaitu kehilangan Sasuke. Betapa ironis, ketika rasa cinta tak cukup untuk membuat Sakura melupakan patah hati terdalamnya, tetapi rasa sakit lainnya sanggup untuk menyapunya begitu saja.

Hari-harinya selalu diisi dengan kerinduannya terhadap Sasuke. Namun, hari ini adalah puncak dari segala kerinduan yang mengaduk hatinya. Dia rindu sekali sampai air mata membasahi wajahnya. Sebelumnya rasa rindu yang dirasakan Sakura selalu muncul sendiri, jarang dipicu oleh apa pun. Namun, kali ini berbeda. Rasa rindunya dipicu oleh ... sebuah cincin perak yang baru dia temukan di dalam tempat sampah kamarnya.

Sakura jarang mengosongkan tempat sampah yang berada di dalam kamarnya karena dia memang jarang membuang sampah di sana. Sekalinya ada, sampah-sampah itu hanya terdiri dari sobekan kertas, plastik pembungkus produk nonpangan dan sampah-sampah kering yang tak akan membusuk ataupun menimbulkan bau. Karenanya, dia tak merasa jijik untuk mengaduk tempat sampah kamarnya untuk mencari selembar bukti transfer yang tak bisa ditemukan di mana pun. Dia khawatir tak sengaja membuangnya. Di tengah pencarian itu, sebuah cincin memasuki penglihatannya. Cincin yang dia ingat betul tak pernah dimilikinya.

Cincin itu diperhatikan dengan saksama. Otaknya masih berputar untuk mencari benang merah yang dapat menjelaskan keberadaan cincin itu di tempat sampahnya, terlebih cincin itu tampak mahal. Dia menemukan ukiran tanggal di bagian dalamnya. Ukiran tanggal yang terasa asing baginya. Namun, entah bagaimana, cincin itu membuatnya teringat akan Sasuke.

Sakura membuka jurnal tempat dia menulis seluruh agendanya. Dengan tergesa-gesa, dia mencoba mencocokkan tanggal yang terukir dalam cincin tersebut dengan apa pun yang tertulis di jurnalnya. Dia tak bisa menahan tangis saat menemukan bahwa tanggal yang terukir di dalam cincin sama dengan tanggal dari agenda yang ditulis: "Makan malam di luar bersama Sasuke. Pakaian formal." Dan saat itu dia sadar bahwa hari itu adalah hari pernikahan mantan kekasih yang mengkhianatinya dengan wanita lain. Hari saat Sakura menangisi pria itu di dalam pelukan Sasuke.

Dia tidak tahu bagaimana caranya, tetapi Sakura yakin Sasuke tahu alasan hancurnya Sakura saat itu. Cincin ini mungkin adalah cincin yang hendak Sasuke berikan padanya, untuk melamarnya, tetapi batal karena pria itu mengetahui kebenaran tentang perasaan Sakura. Dia mengingat dirinya bertindak seolah-olah Sasuke adalah pihak yang jahat saat pria itu menyatakan perpisahan di antara mereka, dan Sakura tidak pernah menyesali tindakannya saat itu sebesar sekarang. Karena saat ini terlihat sangat jelas yang jahat di antara mereka adalah dirinya. Dia sama sekali tak sanggup membayangkan sakit yang Sasuke rasakan saat itu.

Sakura ingin menghubungi Sasuke. Dia ingin mengetahui bagaimana kabar pria itu. Dia ingin memastikan bahwa Sasuke baik-baik saja sekarang, baik secara fisik maupun psikis, tidak seperti di malam saat Sakura tanpa sadar menyakitinya. Ponsel yang tergeletak di atas tempat tidurnya masih terjebak di kontak Sasuke. Sakura tak berani menghubungi pria itu sekalipun keinginan untuk mengontak Sasuke tak pernah lebih besar daripada apa yang dia rasakan saat ini.

Bantalnya masih terasa lembap meskipun tangisnya sudah berhenti berjam-jam yang lalu. Dia memundurkan kepala dari bagian bantal yang menyerap air matanya. Tangannya mengetuk-ngetuk pinggiran layar ponsel yang kini sudah menyala. Ini adalah kebiasaannya setiap kali merindukan Sasuke; memandang foto yang mengabadikan kebersamaan mereka, atau membuka kontak pria itu tanpa menghubunginya.

Satu ketukannya meleset dari pinggiran hingga tanpa sengaja memberi perintah pada ponsel untuk menghubungi Sasuke. Sakura memekik dan mengutuk layar ponselnya yang terlalu sensitif. Kepanikan menjalar ke sekujur tubuhnya. Sebelum terdengar satu desibel pun nada sambung, dia hendak memutus sambungan telepon. Dia tak ingin Sasuke tahu bahwa dirinya tak sengaja menghubungi. Namun, sebelum panggilan terputus, layar sudah mengumumkan bahwa panggilan sudah dijawab. Sakura refleks memukul tempat tidur keras-keras.

Dia menempelkan ponsel ke telinga dengan ragu. Bibirnya digigit hingga perih. Dia tak tahu apa yang harus dia katakan sekarang. Sambungan telepon itu hanya diisi kesunyian selama beberapa detik.

"Sa ... kura?"

Air mata Sakura yang sudah mengering kini membuat matanya berkaca-kaca. Dia membekap mulutnya sebelum berujar, "Moshi-moshi, Sasuke." Sebisa mungkin mengatur napas agar suaranya tak bergetar. "Apa ... apa kabar?"

"Aku baik." Suara Sasuke terdengar kaku. Mungkin pria itu terkejut dengan Sakura yang tiba-tiba menghubunginya. Bagaimanapun, ini adalah pertama kali mereka saling bicara lagi setelah perpisahan mereka tujuh bulan lalu. "Kau?"

Bibir Sakura yang membentuk senyum bergetar. "Syukurlah." Dia memejamkan mata untuk menahan tetesan air matanya. Tenggorokannya terasa tercekik. "Aku juga baik." Suaranya parau.

"Kau menangis?" Intonasi Sasuke sudah tidak kaku lagi. Ada sebersit nada khawatir yang Sakura rasakan di sana. Hal ini membuat bahunya bergetar semakin kencang dan sekatan di tenggorokannya terasa semakin kuat.

"Tidak," dia memaksa untuk batuk, "aku—"

"Uchiha-sama, meeting akan dimulai kembali sebentar lagi. Sebaiknya Anda segera memasuki ruangan."

Sasuke masih di kantornya? Padahal ini sudah pukul delapan malam ...

"Tunggu sebentar. Aku sedang sibuk."

Sakura sudah tak sanggup menahan aliran air matanya lagi.

"Tapi—"

"Sudah kubilang, aku sedang sibuk!"

Sakura tersentak. Dia terkejut karena bentakan Sasuke pada siapa pun yang tadi berbicara dengan pria itu. Dan bentakan itu terjadi karenanya. Tiba-tiba rasa bersalahnya bercabang.

Sasuke berdeham. "Ada apa, Sakura?"

Sakura menggeleng. "Ti-tidak." Dia meneguk ludah, mencoba menahan diri dari sesunggukan. "Aku ... aku ha-hanya ingin ... mengetahui ka-kabarmu. La-lagi pula ... sepertinya kau ... sibuk."

"Berhentilah menangis."

Sakura memejamkan matanya. Dia mengusap wajahnya. Senyum mengembang di bibirnya. "Aku tidak sedang menangis." Dia mengatur napasnya perlahan dan meneguk segelas air yang berada di atas nakas. "Maaf aku mengganggu waktumu." Dia lega karena bicaranya kembali lancar.

"Kau tidak—"

"Segera hadiri meeting-mu. Aku benar-benar tidak ingin mengganggu pekerjaanmu." Dia menarik napas panjang. "Mungkin," bisiknya, kemudian volume suaranya dinaikkan, "aku akan menghubungimu lagi nanti."

"... hn."

"Dan katakan pada orang yang tadi bicara padamu, aku minta maaf karena sudah membuat kau membentaknya." Bibir Sakura digigit keras atas tergelincirnya kata-kata tersebut. Dia tidak seharusnya mengatakan itu.

Terdengar suara embusan napas panjang Sasuke. "Itu bukan salahmu. Aku yang seharusnya meminta maaf."

Sakura tersenyum. "Sudah dulu, ya? Selamat malam, Sasuke."

"Selamat malam, Sakura."

Air mata Sakura menganak sungai di pipinya. Dia menangis dalam diam karena tak sanggup menahannya lagi. Sekarang, rasa rindunya terhadap Sasuke semakin membuncah. Memang, rasa rindu yang paling perih adalah rindu yang muncul setelah bertemu. Sakura tidak bisa membayangkan bertemu dengan Sasuke jika mendengar suaranya saja sudah cukup untuk membuat dadanya seperih ini. Meskipun begitu, dia tetap senang mendengar Sasuke baik-baik saja. Dan hatinya tetap terasa damai merasakan bahwa Sasuke masih peduli padanya setelah dirinya menyakiti pria itu begitu dalam.

Dia tahu dia tak seharusnya merasa begitu. Namun, dia sama sekali tak bisa memungkirinya.

.

Sakura tidak pernah menghubungi Sasuke lagi. Dia berusaha untuk mencobanya beberapa kali, tapi dia tak bisa. Benar-benar tak bisa. Walaupun ingatan mengenai dirinya yang mengatakan pada Sasuke bahwa dia akan menghubunginya nanti sudah diterapkan dalam otaknya berulang kali, dia tetap tak bisa. Banyak keraguan yang menyelimutinya. Ada kecemasan besar yang mencegahnya.

Dia tak sanggup menepati ucapannya. Padahal dulu Sasuke sanggup bertahan dengannya, sementara Sakura, untuk menghubungi dan menepati ucapannya saja tak mampu. Dan setelah sadar akan hal itu, dia tahu dirinya tak layak untuk bersama Sasuke. Sasuke berhak atas seseorang yang jauh lebih baik daripada dirinya.

Itulah sebabnya dia berdiri di hadapan rumah keluarga Sasuke sekarang.

Tangan Sakura bergetar selagi menekan bel rumah. Kecemasan menyelubungi sekujur tubuhnya ketika dia menunggu jawaban dari bel. Suara samar dari gesekan pintu membuat adrenalinnya berpacu. Napasnya tertahan di dalam dada. Kepalan yang berisi sebuah cincin semakin mengerat.

Pintu terbuka, memperlihatkan sosok ibu Sasuke. Wajah wanita berambut hitam itu dipenuhi keterkejutan dan kebingungan. Cemas yang Sakura rasakan semakin membengkak.

"Sakura," sapa wanita itu. Suaranya ramah. Adrenalin yang berpacu di dalam diri Sakura mulai melemah.

"Selamat siang, Bibi." Sakura mencoba tersenyum. Seramah apa pun wanita yang berdiri di hadapannya, dia tetap tak bisa merasa santai. Bagaimana pun, putranya pernah Sakura lukai. Ibunya tak mungkin tak tahu soal itu.

Pintu dibuka semakin lebar. Mikoto memundurkan tubuhnya. "Masuklah," katanya.

Sakura menggeleng. "Tidak perlu, Bibi. Aku tidak akan lama." Dia menggenapkan hati untuk menjulurkan tangan kanan dan membuka kepalannya. Cincin yang sebelumnya berada di telapak sudah berpindah di antara jepitan ibu jari dan telunjuk. "Aku hanya ingin ... mengembalikan ini pada Sasuke. Aku tidak tahu di mana dia tinggal sekarang. Jadi ... jadi aku datang kemari."

Sebelah alis Mikoto tertarik. "Aku tidak mengerti." Dia menatap wajah Sakura yang tampak muram. Tangannya menyentuh tangan wanita beriris hijau bening itu dengan lembut. "Masuklah, kita bicarakan ini di dalam." Membaca gelagat Sakura yang bingung, Mikoto mengusap tangannya. Dia mengulas senyum. "Tidak apa-apa."

Perangai terakhir Mikoto memberi keberanian pada Sakura untuk melangkah masuk. Meskipun begitu, dia tetap tak bisa duduk dengan nyaman. Sofa empuk yang dia duduki terasa seperti papan keras baginya. Tubuhnya begitu kaku, ragu membuat gerakan dalam bentuk apa pun. Bahkan, rasanya untuk bernapas pun dia perlu berpikir.

"Sakura, kau tidak perlu tegang begitu. Tenanglah," ucap Mikoto lembut. Mimik mukanya memancarkan ketulusan.

Sakura mencoba mengatur napasnya dan tersenyum. Punggungnya terasa pegal karena dibiarkan tegang. Seiring dengan aturan napasnya yang teratur, bahunya semakin turun. Dia mulai rileks. Namun, rasa bersalah menyergapnya seketika saat sadar bahwa ibu dari mantan kekasihnya masih bersikap sangat baik padanya.

"Aku akan bertanya beberapa hal," kata Mikoto.

Sakura mengangguk. Dia menggigit bagian dalam mulutnya dengan gugup. Alih-alih menjawab, dia menunggu Mikoto mengungkapkan pertanyaan-pertanyaannya.

"Bagaimana cincin ini bisa ada padamu?" Mikoto menarik napas panjang. "Bukankah ... bukankah kau menolak lamaran Sasuke?"

Sakura memejamkan matanya rapat. Sudut-sudut matanya mulai terasa geli karena air matanya mulai bereaksi. Napasnya tersekat. "Sasuke tidak pernah melamarku," kata Sakura lirih. Bibirnya bergetar. "Aku ... aku menyakitinya sebelum dia melakukan itu."

Pertahanan Sakura runtuh. Pandangannya berkabut. Air mata mengalir di pipinya. Dia buru-buru menyekanya. "Aku menemukan cincin ini di kamarku. Entah bagaimana bisa ada di sana."

Tak ada satu kata pun yang meluncur dari bibir Mikoto. Sakura kembali memejamkan matanya rapat hingga dahinya mengernyit. Kepalanya tertunduk. Dia tak berani menatap wajah wanita yang putranya pernah dia lukai dan membaca ekspresinya.

"Aku tidak pernah tahu Sasuke akan melamarku sampai ... aku menemukan cincin ini." Sakura mengusap wajahnya lagi. "Kukembalikan cincin ini karena ini jelas bukan milikku."

"Sakura, sekalipun aku menerima cincin ini sekarang, aku tidak akan pernah memberikannya pada Sasuke dan akan bertindak seolah-olah kedatanganmu kemari tak pernah terjadi."

Perasaan Sakura semakin tidak nyaman setelah mendengar tak ada sebersit pun intonasi kemarahan dalam penuturan Mikoto. Akan tetapi, kata-kata itu tetap menusuk jantungnya.

"Tapi ..."

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan putraku saat melihat cincin ini lagi. Bisakah kau bayangkan jika Sasuke yang duduk di hadapanmu sekarang?"

Sakura tersentak. Isakannya pecah. Dia membekap mulut untuk menahan sesunggukan. Dia sungguh-sungguh ingin merutuki dirinya sekarang. Bagaimana mungkin hal tersebut tidak pernah menjadi pertimbangannya? Sekarang bahkan dia lupa apa esensi dari dirinya yang berniat mengembalikan cincin ini pada Sasuke. Benar, cincin ini bukan miliknya. Tapi, Sasuke pun pasti tak mau menyimpannya lagi.

"A-aku ... aku tidak pernah bermaksud untuk menyakiti Sasuke, Bibi. Maaf ... maaf aku pernah melukai putra Bibi. Tapi percayalah, aku tidak pernah ... bermaksud untuk itu." Napas Sakura mengalir dengan teratur. "Kurasa ... aku sering menyakitinya tanpa sadar. Aku harap ... dia mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada aku." Dia mencoba tersenyum dan menyeka seluruh wajahnya basah. Padahal, hatinya berdenyut nyeri.

"Dia tidak pernah menginginkan seseorang selain dirimu. Bahkan yang lebih baik atau sempurna sekalipun."

"Itu dulu, 'kan, Bibi? Sekarang ... sekarang mungkin Sasuke sudah bertemu dengan—"

"Sasuke melepasmu karena dia sangat mencintaimu, Sakura."

Tangisan Sakura pecah lagi. Bekapan mulut saja tak cukup untuk menahan isakannya. Tubuhnya bergetar keras. Isakannya semakin kencang ketika merasakan ibu Sasuke mendekap tubuhnya. Tangan wanita itu mengusap punggungnya perlahan, mencoba untuk menenangkannya. "Aku tahu kau pernah menyakiti putraku. Tapi ketahuilah, Sakura, aku tidak pernah membencimu karena itu. Aku juga perempuan, aku mengerti perasaanmu."

Butuh waktu lama sampai emosi Sakura kembali stabil. Dia merasa bodoh sekali. Bagaimana bisa dia bertamu dan bertindak seperti ini? Seharusnya dia lebih bisa mengendalikan diri sendiri.

Sentuhan keibuan di pipinya membuat Sakura mengangkat wajah. "Apa pun alasanmu, sebesar apa pun upayamu untuk meyakinkanku, aku tidak bisa menerima cincin itu, terlebih mengembalikannya pada Sasuke."

Sakura tersenyum pedih. "Aku mengerti, Bibi. Aku sadar ... aku pun seharusnya tidak melakukan itu."

"Bolehkah aku bertanya satu hal lagi?"

Sakura mengangguk.

"Aku tahu soal ... masa lalumu." Mikoto menatap Sakura. Ada keraguan memancar di wajahnya. Namun, Sakura sama sekali tak memotong pembicaraannya, membuat dirinya yakin untuk melanjutkan. "Bagaimana perasaanmu soal itu sekarang?"

Sakura tersenyum, tapi air matanya sekali lagi menurun. Dia mengusapnya dan alirannya berhenti. "Sekarang ... Sasuke adalah satu-satunya."

Mendadak, Sakura merasa tubuhnya menjadi lebih ringan. Ini adalah pertama kali dia mengungkapkan itu secara lisan. Dia masih merasa bahwa Sasuke seharusnya adalah orang pertama yang mendengar itu, tetapi dia merasa bahwa ibu pria itu bukanlah orang yang salah untuk mendengar pernyataan tersebut pertama kalinya.

.

Setelah tiga tahun tinggal di Konoha, ini adalah kali pertama Sakura menginjakkan kakinya kembali di Ame. Dia pulang. Tak ada lagi yang perlu membuatnya lari dari sini. Tak ada lagi yang dia hindari. Dia ingin segera bertemu kedua orangtuanya. Dan ... dia ingin segera menemui Sasuke.

Kepindahannya kemari tak bersifat temporer. Apartemennya di Konoha sudah dia jual, sekalipun ada sekelumit perasaan tidak rela karena begitu banyak kenangan di sana. Dia belum memutuskan untuk tinggal sendiri lagi. Dia ingin tinggal di bawah atap yang sama dengan orangtuanya dulu, terlebih setelah selang waktu panjang memisahkan mereka.

Setelah segala urusan perpindahannya selesai, Sakura beberapa kali termenung menatap secarik kertas yang selalu dia pastikan tak hilang. Kertas yang digurat tulisan Mikoto mengenai alamat kantor dan tempat tinggal Sasuke selama di Ame.

Sakura sudah tinggal di Ame sejak kecil. Tak sulit untuk mencari alamat yang tertulis di kertas itu. Namun, dia masih memerlukan berbagai pertimbangan untuk akhirnya menemui Sasuke. Dia perlu menguatkan hatinya dari segala kemungkinan.

Sasuke memang memberinya kesempatan. Tapi, bukan berarti pria itu mau menunggu. Pertemuannya dengan Mikoto memang membuat Sakura batal memupuskan harapannya untuk kembali bersama Sasuke. Tapi, soal hati, siapa yang tahu? Hati adalah sekoci yang berlayar di tengah badai. Lajunya tak akan pernah stagnan, ke mana singgahnya tak bisa diperkirakan. Bisa saja saat bertemu nanti, Sasuke sudah bersama wanita lain yang mencintai pria itu dengan sepenuh hatinya, dan mampu menghargai apa pun yang Sasuke berikan padanya. Terlebih, waktu yang terbentang di antara perpisahannya dengan Sasuke dan saat ini lebih dari satu tahun. Satu tahun tidaklah sebentar. Apalagi perasaan seseorang, musim saja berganti sampai empat kali.

Ketika Sakura merasa dia sanggup menghadapi kenyataan yang terjadi nanti, dia memutuskan untuk menemui Sasuke di kantornya. Selain karena dia tak tahu kapan pria itu ada di apartemennya, dia berpikir bahwa berkunjung ke sana terasa terlalu akrab. Sementara dia bukan siapa-siapa Sasuke sekarang, meskipun satu tahun lalu dia adalah salah satu orang terdekatnya. Sakura memejamkan matanya erat memikirkan itu.

Langkahnya menuju front office masih diselubungi rasa ragu, kendatipun dia sudah yakin ini adalah alamat yang ditujunya. Aura keragu-raguan Sakura sepertinya tertangkap oleh pegawai di front office hingga wanita itu menatapnya dengan saksama. Sakura mengatur napas agar lebih tenang. Dia merapikan rambutnya yang sudah rapi atas pelampiasan gerak kikuknya.

"Ada yang bisa saya bantu?" kata pegawai itu sambil tersenyum ramah.

Sakura berdeham. "Jam kerja kantor ini selesai pukul berapa?"

"Pukul lima."

Sakura mengangguk. Dia meremas kedua tangannya sendiri. "Bisakah kau memberi informasi pada Uchiha Sasuke bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya saat pulang nanti?" Sakura merasakan raut wajah enggan dari pegawai di hadapannya. "Aku yang akan menemuinya, dan aku janji aku bukanlah seseorang yang mencurigakan." Sakura merogoh tas dan membuka dompet. Dia memperlihatkan kartu tanda penduduknya. "Namaku Haruno Sakura. Kau boleh catat itu. Tapi tolong jangan beri tahu Uchiha Sasuke soal siapa yang akan menemuinya."

Pegawai itu mengangguk. Jantung Sakura berdebar lebih kencang ketika melihat pegawai tersebut mengambil gagang telepon dan menyampaikan pesan yang Sakura pinta. Menyadari bahwa Sasuke terasa begitu dekat dengannya membuat Sakura dilingkupi kegugupan. Dia mengucap terima kasih setelah pesannya disampaikan dan dia mendapat informasi bahwa Sasuke belum tentu pulang sesuai waktunya.

Sakura meninggalkan tempat itu dan kembali tiga jam setelahnya. Arloji di tangannya masih menunjukkan pukul setengah lima. Dia tersenyum kepada pegawai front office yang membantunya tadi, lantas duduk di atas sofa. Setengah jam terasa begitu lama baginya dan cukup untuk membuatnya duduk dalam gelisah. Orang-orang melintasi pintu keluar, tapi tak ada eksistensi Sasuke di sana. Bahkan sampai front office kosong, Sasuke sama sekali tak masuk ke dalam penglihatannya.

Dia hampir memutuskan untuk menghubungi Sasuke ketika arlojinya menunjukkan pukul enam. Langit sudah menggelap dan suasana di sekitar sudah benar-benar sepi. Dia mengurungkan niatnya karena ragu. Dia merasa tak enak bila sampai mengganggu pekerjaan Sasuke lagi.

Waktunya diisi dengan membaca koran yang tersedia di sana, kemudian diganti oleh mendengarkan musik menggunakan earphone. Lima lagu mengisi masa menunggu Sakura sampai jam menunjukkan pukul tujuh. Dia mulai merasa risi mendapati petugas keamanan yang hilir-mudik memperhatikannya secara tidak langsung. Lima belas menit setelahnya, barulah petugas keamanan tersebut bertanya pada Sakura siapa yang ditunggunya. Dia menjawab sejujurnya dan tak ada reaksi penting yang diterimanya.

Punggungnya yang mulai terasa lelah disandarkan kembali. Sofa yang tadinya nyaman sudah tak terasa sama lagi. Sikunya ditempelkan pada sandaran di pinggir sofa, tangannya menopang dagu. Lagu yang berputar dari ponselnya sudah menjengahkan meskipun lagu-lagu itu adalah playlist favoritnya.

Bosan yang berkepanjangan akan menimbulkan kantuk, dan itulah yang Sakura rasakan sekarang. Dia menahan diri dari menutup mata agar dia tetap bisa melihat jika Sasuke lewat di hadapannya. Upayanya gagal. Dia terbangun karena tepukan ringan di lengan dan panggilan namanya.

"Sakura."

Matanya baru terbuka setelah panggilan kedua. Dia mendapati Sasuke membungkuk di hadapannya. Sontak Sakura langsung duduk tegak. Dia malu karena ketiduran, tapi rasa itu terkikis oleh perasaan yang tercampur aduk karena kehadiran Sasuke. Bibirnya tersenyum lebih lebar dari yang otaknya perintahkan. Jantungnya berdebar lebih keras daripada biasanya. Tubuhnya terasa kaku, tapi dia masih mampu membekap mulut atas keterkejutannya.

"Sasuke," bisiknya parau. Dia merindukan pria itu. Sangat. Sangat rindu sampai penantiannya dari pukul setengah lima hingga setengah sembilan terasa terbayar hanya dengan melihat sosoknya.

Dan tiba-tiba Sakura kehilangan kata-katanya. Dia merasa otaknya kosong. Apa yang dia lakukan hanyalah menatap Sasuke tanpa mengatakan apa pun. Dia merasa begitu bodoh. Kemudian dia sadar bahwa Sasuke pun sama. Pria itu hanya menatapnya dalam diam. Ekspresinya datar, Sakura sama sekali tak bisa membaca apa yang tengah Sasuke rasakan.

Posisi mereka masih tak berubah, seolah-olah saraf dalam tubuh mendadak mati. Kegugupan melanda sekujur tubuh Sakura saat mendapati gerakan di bibir Sasuke.

"Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Sasuke. Mimik mukanya masih tak terbaca, tapi jelas sekali intonasi itu menunjukkan bahwa dia tidak senang.

Bahu Sakura merosot. Dia sudah mempersiapkan diri dari segala kemungkinan, tapi ternyata intonasi itu sudah lebih dari cukup untuk menembus zirahnya. Sakura tidak sanggup membayangkan bagaimana kondisinya jika ada hal yang jauh lebih tak diharapkan dari Sasuke yang harus dihadapinya nanti.

tbc

A/n:

Wanita yang Menatap Lembayung Senja masih fic kesayangan saya sampai sekarang :") membaca ulang fic itu adalah salah satu cara saya untuk melawan WB. Saking seringnya malah jadi ingin buat sekuelnya. Dan jadi, deh. Kabar bahagia buat yang kemarin minta sekuel nih! XD

Tadinya mau dibuat one-shot. Tapi kayaknya bakal panjang banget. Meskipun biasanya saya sering nulis panjang, tapi akhir-akhir ini nggak mood. Saya nggak akan ninggalin fic multichapter yang lain, tapi emang butuh waktu untuk update-nya.

Terima kasih sudah membaca sampai sini!

daffodila.