Halo halo 8D akhirnya setelah sekian lama nggak publish fanfic baru, saya memutuskan untuk membuatnya lagi. Mungkin ini abal banget. Tapi tolong jangan di Flame ya T.T #plakk
Tentang fic ini, terinspirasi dari "Voodoo Child" karya Tony Bradman dan Martin Chatterton yang menurut saya gila keren abis. #norak mode on #digeplak.
Oke deh, RnR ya? XD
Bagian Satu,
"Sinar yang Memudar"
A VOCALOID FANFIC
"Mengapa tidak kau lakukan? Kau tahu, kau sangat ingin melakukannya."
Cari jarum dan tusukkan...
Cari jarun dan tusukkan...
Mata hijau toscaitu menatap dengan terkejut pada papan tulisan 'DIJUAL CEPAT' begitu dia nongol dari tikungan jalan raya memasuki jalanan di depan rumahnya. Dia terus menapaki jalan di bawah sinar matahari di bulan November yang mulai temaram, matanya terpaku pada papan persegi di puncak tiang, di cat putih berdiri tegak di samping pintu rumahnya. Papan itu belum ada saat dia, Miku Hatsune berangkat sekolah tadi pagi, tetapi dia memiliki perasaan tidak enak mengenai papan itu.
Miku berhenti di depan pintu pagar dan melihat ke atas. 'DIJUAL CEPAT', ditulis dengan huruf besar-besar di papan. Di bawahnya tertulis nama dan nomor telepon agen penjual rumah.
Sambil cemberut, didorongnya pintu pagar dan bergegas menapaki jalan menuju rumah. Dia meraba-raba kunci rumah dari saku bajunya untuk membuka pintu, kemudian masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu di belakangnya. Tas sekolahnya di lemparkan begitu saja ke bawah tangga. "Kaa-san!" teriaknya.
"Kaa-san dimana?"
Dapur dalam keadaan kosong, namun pintu belakang terbuka lebar. Miku berjalan menuju taman. Ibunya sedang menyapu daun-daunan yang berjatuhan, menumpuknya di sebidang kecil tanah yang agak tidak beraturan yang mereka sebut lapangan rumput. Ibu menoleh dan tersenyum kepadanya.
"Mengapa papan itu ada di luar sana?" tanya Miku lalu melanjutkan, "Kaa-san tidak bercerita apapun tentang penjualan rumah ini. Kaa-san tidak bisa begitu! Aku tidak ingin rumah ini dijual!" seru Miku.
"Minggu lalu Kaa-san sudah memberitahumu tentang kedatangan agen penjual rumah," kata Kaa-san, senyumnya terputus. Rambut hijau tosca-nya yang seperti Miku, diikat di belakang, dia mengenakan celana jeans yang dimasukkan ke dalam sepatu boothitamnya dan mengenakan baju kerja usang.
"Tapi kamu pilih mengabaikan Kaa-san, itu masalahnya. Kaa-san tahu ini sulit bagimu, tapi kita tak bisa menghindar lagi."
"Aku tidak ingin pindah," kata Miku, wajahnya semakin cemberut saja dan suaranya menandaskan, "Aku besar disini."
"Tetapi banyak hal yang telah berubah, Miku," kata Kaa-san. Dia mulai meneruskan kegiatan menyapu daun-daunan itu, gerakannya termasuk lincah untuk wanita berusia 40 tahun.
"Rumah ini terlalu besar untuk kita berdua, dan terlalu mahal bagi Kaa-san untuk merawatnya. Dan sekarang ini Otou-san dan Kaa-san telah memutuskan untuk—"
"Tidak! Aku tidak mau dengar!" Miku berteriak, menutupi telinga dengan kedua tangannya. Dia tahu kata Kaa-san selanjutnya adalah "berpisah", dan dia tidak akan mampu mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Kaa-san yang disayanginya itu.
"Miku," Kaa-san berhenti menyapu lalu berjalan mendekati Miku dan memegangi kedua pipi putri semata wayangnya itu. "Kau akan belajar menerima keputusan ini, Sayang. Dunia tidak akan berakhir, bukan?"
"Mungkin," kata Miku mulai membuka telinganya dan bergerak mundur untuk menghindari tangan Kaa-san, "Tapi tak seorangpun yang peduli terhdap apa yang aku pikirkan, bukan?"
Mereka berdua terdiam sesaat, langit bertambah kelam karena mendung yang menggantung, seungu luka memar baru. Udara dingin di musim gugur menebarkan samar-samar sisa bau asap bakaran sampah. Miku menggigil kedinginan dan menyilangkan tangannya.
"Kaa-san peduli dengan apa yang kamu pikirkan," kata Kaa-san. "Jujur, Kaa-san mencemaskanmu. Kau tak lagi bermain dengan teman-temanmu, terlalu sering mengurung diri di kamarmu dan kau tampaksangat... marah sepanjang waktu." Kaa-san menunggu jawaban dari Miku, namun dia tetap mengunci mulutnya.
"Oke." Kaa-san menghela nafas, "Tunggu Kaa-san menyelesaikan menyapu halaman, nanti kita akan mendiskusikan hal ini, seperti yang sering kita lakukan setelah kau pulang sekolah. Masuk dan ganti bajumu dan masaklah air. Ibu akan membuat teh."
"Aku tidak ingin mendiskusikan hal ini," sentak Miku, "Aku punya PR yang harus aku kerjakan."
Miku berbalik dan bergegas masuk rumah. Dia meleas mantelnya dan melemparkannya pada pegangan anak tangga, memungut tas sekolahnya, berlaru dengan menghentakkan kaki menaiki anak tangga, menabrak pintu masuk kamarnya. Dia menjatuhkan tas sekolahnya dan duduk di meja, menekan kuat-kuat tombol 'Power' radio tape. Posisi gelombang radio berada pada stasiun favoritnya, dan musik mengalun dari speaker—memperdengarkan lagu yang sedang ngetop yang dinyanyikan oleh band remaja yang disukainya.
Tetapi Miku sebenarnya sedang menyimak suara halus, serupa gumaman yang menyertai kemarahan yang memenuhi pikirannya.
"Banyak hal yang telah berubah." Kata Kaa-san.
Banyak?
Miku lalu merenung. Marah? Kau boleh bertaruh, Miku sedang marah. Dilanda kekecewaan, kesedihan dan semuanya bercampur jadi satu. Kau tahu, Miku berhak marah. Dan dia tahu itu.
Sampai setahun yang lalu, Miku percaya bahwa mereka adalah keluarga yang berbahagia. Memang tak dapat disangkal, terkadang orangtuanya bertengkar dan beradu argumen yang berkepanjangan. Bukankah semua orangtua juga terkadang beradu argumen? Hingga keadaan memburuk ketika selama seminggu mereka terus menerus bertengkar hingga akhirnya Otou-san pergi dari rumah. Pada saat itu, Kaa-san merasa kebingungan bagaimana cara menjelaskan keadaan yang sedang terjadi kepada Miku. Tetapi penjelasan Kaa-san lebih dari cukup.
Otou-san memiliki teman wanita ; teman sekantornya. Wanita bernama Meiko Sakine.
Miku ingat bagaimana perasaannya saat dia mendengar nama itu untuk pertama kalinya—terkejut, tidak pecaya, terluka dan merasa marah. Sangat-sangat marah.
Beberapa minggu kemudian, dia baru bisa berbicara dengan Otou-san di telepon. Beberapa bulan kemudian dia baru mampu menemui Otou-sannya. Walaupun, sekarang ini Otou-san sering menghabiskan waktu akhir minggunya bersama Miku untuk menonton film, makan di Restoran atau kadang hanya duduk-duduk sambil mengobrol di taman.
Pada saat itu, Miku tidak banyak berkata-kata. Dia hanya mengulang-ulang satu kata ketika menjawab pertanyaan Otou-san tentang sekolah, dan mengunci mulutnya ketika Otou-san mulai membicarakan Meiko.
Dan Otou-san yang banyak bercerita. Miku heran mengapa Otou-san sering membicarakan Meiko di depannya ; namun belakangan, dia berangsur-angsur menyadari bahwa Otou-san ingin dia bertemu dengan teman wanitanya itu. Namun Otou-san hanya beberapa kali berani bertanya, dan sejauh ini Miku menanggapinya dengan tatapan mengandung arti "Beraninya Otou-san?".
Miku meyakini bahwa hidupnya akan berubah jika tidak karena... wanita itu.
Miku pernah sekali melihatnya. Ketika itu Otou-san datang ke rumah untuk mengambil barang-barangnya, dan Meiko duduk menunggu di dalam mobil. Miku bersembunyi di lantai atas dan mengintip dari balik korden. Dia mengamat-amati Meiko. Wajah cantik dengan bibir merah muda dan rambut di semir coklat menari-nari dalam pikiran Miku.
"Jadi, kau ingin kembali padanya?" terdengar suara memecah lamunannya. Miku bertanya-tanya darimana suara itu berasal, namun kemudian dia menyadari bahwa suara itu berasal dari radio tape-nya yang masih menyala. Pasti si penyiar radio yang sedang memandu acara itu sedang menanggapi pendengar yanga menelepon untuk sekedar curhat dan semacamnya. Miku selalu membayangkan penyiar radio itu tentunya keren dan acaranya selalu menarik.
Miku beranjak dan mulai mengganti seragam sekolahnya.
"Ya, aku ingin." Suara pahit seorang gadis terdengar dari radio. "Kepergiannya sangat menyakitkan hingga aku terpikir untuk membuat boneka yang menyerupai dirinya dan menusuk-nusukan jarum-jarum pada sekujur tubuh boneka itu."
"Wooo, seperti tenun boneka Voodoo kuno!" si penyiar radio terdengar tertawa,
"Ok, hal itu tidak akan membuatnya kembali menjadi sahabatmu. Namun jika rencana itu membuatmu merasa lebih baik..."
Miku sedang berdiri di hadapan cermin seukuran dengan dirinya yang melekat di lemari pakaian miliknya, dia berhenti mengenakan sweater yang tengah melewati kepalanya. Sejenak, dia membayangkan boneka Voodoo yang dibuat menyerupai Meiko. Boneka yang tertusuk banyak jarum. Miku mengibaskan rambut hijau tosca-nya yang panjang keluar dari sweater dengan satu gerakan tangan cepat. Dia melihat mata hijaunya di cermin—dan sedetik, mata itu berubah menjadi warna kuning yang menyala-nyala.
Miku tersentak lalu mundur perlahan. Dia berkedip dan menggosok matanya dan dibukanya kembali dengan sikap hati-hati dan melihatnya di cermin. Tapi tidak ada lagi mata kuning menyala-nyala itu di cermin. Matanya kembali normal seperti biasanya. Sekilas dia memandang sekelilingnya dan melihat tirai jendela yang terangkat ke atas, sinar senja memantul dari atap rumah seberang jalan.
Pasti hanya sebuah pantulan seberkas cahaya di cermin, begitu pikir Miku menyimpulkan. Tetapi peristiwa tadi telah begitu banyak mengganggu banyak pikirannya. Dan ada hal lain yang juga mengganggu pikirannya.
Dia tidak dapat melepaskan bayangan boneka Meiko dari pikirannya...
To Be Continue
Ngek. Selesai sih selesai. Tapi ini... gatau ah =_= pikiran sendiri aja dengan imajinasi siapa itu mamanya Miku atau papanya Miku. HAHAHAHAHAHA #diganyang.
Mengenai Genrenya, saya akan memunculkan yang "lebih" di chap depan ^^
RnR and no Flame, please? :'3
