Title: No Smooking, Girl

Naruto is belong to Masashi Kishimoto

Rated: M

Genree: Romance

Warning: YURI, Lime, AU, OOC

Enjoy it...

OoooooO

"Jika aku bisa menemukan gadis lain yang lebih menyebalkan darimu, dia akan menjadi gadis beruntung itu."

Sakura POV

Aku menatap mata biru itu selama beberapa saat, sebelum kembali menanyakan pertanyaan yang sama.

"Benar tidak apa-apa kau mentraktirku di sini?"

Oke, ini untuk yang kelima kalinya.

Naruto menggeram, wajahnya mengeluarkan ekspresi gemas itu. Ekspresi gemas yang membuatnya menggemaskan.

Sungguh, suasana restoran mahal ini membuat rasa yang janggal di perutku. Seolah-olah ada serangga yang berterbangan. Tidak, ini tidak termasuk dalam peribahasa "kupu-kupu di dalam perutmu" ketika kau sedang jatuh cinta, tapi sungguh, ini seperti dalam artian yang sebenarnya, kau seolah ingin muntah karena ada serangga di dalam perutmu.

Pelayan dengan seragam yang senada, bahkan kurasa sengaja dibuat sepadan dengan tema dalam restoran ini. Orang-orang berdandan hanya untuk makan malam. Apa mereka sedang bercanda? Mereka berdandan hanya untuk makan malam!

Aku hanya menduga, berapa harga makanan-makanan yang tidak masuk akal ini. Dan sungguh, darimana dia mendapatkan uangnya?!

"Aku bilang, tidak apa-apa, Sakura. Lagipula, jarang-jarang aku bisa mentraktirmu begini."

"Aneh, jangan-jangan, kau di beri tips oleh om-om karena memberi "servis" ya?"

Naruto menoyor kepalaku. "Sudah kubilang, aku bukan gay dan tidak melayani gay!" wajahnya kini merenggut seperti anak ABG yang tidak diberi kartu kredit. Perutku menjadi geli menatap ekspresi tanpa dosa itu.

"Kau terlihat seperti gay." Dia kembali mengangkat tangannya, bersiap untuk menoyor kepalaku. Lagi. "Oke, oke.."

Sejenak aku mengamati sekelilingku, sebelum sekelompok orang memasuki restoran dan duduk tepat di sebelah kami. Kulihat mereka dari sudut mataku, penampilan yang tentu saja sangat tepat dengan nuansa eksklusif restoran ini. Mereka terlihat tengah menikmati waktunya, dan sungguh, manusia-manusia yang tengah duduk di sisiku ini tidak bisa kau deskripsikan hanya dengan kata menarik. Rasanya seperti aku memasuki cerita-cerita dongeng tentang para dewa dewi yang di anugrahi dengan tubuh sempurna dan tatapan mata sedingin es. Tentu saja dengan pahatan wajah yang begitu menarik. Maksudku, mereka... menawan.

Tentu saja, pujian-pujian yang terbentuk begitu saja diotakku berhenti tatkala seorang dari mereka mengeluarkan sekotak rokok dan menyalakannya dengan begitu santai.

Seolah dia tidak perduli jika aku akan mati terkena kanker paru-paru karena rokok sialan itu. Tunggu..

Dia memang tidak perduli.

"Naruto, bukankah di sini dilarang merokok? Lagipula kan ruangan ini memakai pendingin!" tanyaku sembari menunjuk perempuan cantik itu.

"Hey, sudahlah. Jangan bikin ribut lagi di sini, kau tahu kan mereka bukan kalangan kita. Mungkin salah satu pelayan akan mengingatkannya nanti."

Dan tidak terjadi. Berpuluh pelayan melewati tempatnya duduk, namun tak seorangpun yang berniat mengingatkannya. Cih. Restoran macam apa ini?

Aku segera mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. "BUTA! Idiot. Jelas-jelas di situ tertulis tanda dilarang merokok!"

Keramaian itu berhenti sejenak, bagaimana tidak? aku memakai suara dengan volume 3 kali lebih besar dari biasanya. Tapi kemudian ucapanku di acuhkan oleh mereka seperti angin lalu, mereka kembali melanjutkan pembicaraan mereka. dan si perempuan, tetap merokok tanpa dosa.

"Sudahlah Sakura. Kita akan cepat keluar dari sini, habiskan saja makananmu!"

"Aku benci perokok tidak tahu diri semacam itu! tidakkah mereka sadar, tidak hanya diri mereka yang terbunuh, tapi juga orang di sekelilingnya!" aku kembali mengeraskan volume suaraku. Dan tidak sedikitpun berusaha untuk menjaga agar tidak terdengar oleh mereka. Mungkin wajahku telah memerah sekarang. Dengan urat-urat yang menyembul di leherku, karena sungguh, emosi sungguh mudah melahapku bulat-bulat.

"Kalian memiliki masalah?"

Aku menoleh dan perempuan yang tadi kini berdiri menantang di hadapanku, dia menghisap rokoknya lalu dengan sengaja menghembuskan asapnya tepat di depan wajahku. Sial.

"Eh, tidak. maafkan sikap temanku ini, nona."

Aku membelalakan mataku ke arah Naruto, bersiap melemparkan pisau ini menembus langsung di tenggorokannya hingga dia tidak bisa berbicara lagi.

"Jaga mulut gembelnya!" katanya singkat lalu berjalan dengan pongah membelakangiku.

"Pelacur!" dia berhenti, lalu berbalik dan melangkah cepat ke arahku.

"Bisa diulangi sekali lagi?"

"Aku hanya berharap pelacur sepertimu cepat mati dengan alasan apapun."

Dia mengangkat kedua alisnya. Ekspresi itu, menantangku dengan cara yang begitu arogan. Kulihat wajahnya memerah, oleh amarah? Oh. Aku sangat senang telah berhasil membuatnya jengkel! Kemudian dia tersenyum sinis dan memandangku dengan cara yang sangat... menyebalkan.

"Tuhan tidak memiliki hak untuk membuatku mati. Dan apa yang membuat seorang gembel sepertimu memiliki hak itu?" Dia kembali menghembuskan asap rokok itu tepat di hadapan wajahku. Aku bergidik mendengar suara yang begitu rendah dan dingin, membuatku terperangkap sejenak dalam mata birunya yang tengah menatapku dalam. "Pastikan kau membayar makanan di tempat ini. Dan sadarilah kau tidak dalam posisi untuk mengkonfrontasiku, atau bahkan hanya berbicara denganku. Harga dirimu bagiku tidak lebih dari sebatang rokok ini." Dia kembali tersenyum.

Setiap kata yang diucapkannya dengan begitu tenang, tanpa emosi yang begitu berarti, membuatku begitu terperangah mendapati betapa mudahnya dia mengubah ekspresi wajah itu. Dia tidak tenggelam dalam amarahnya, dia mengendalikannya, dan kini dia mengendalikanku.

Sial.

Harga diriku tidak lebih dari sebatang rokok itu? Oh yeah.

Aku menarik rokok itu dari mulutnya membuatnya terkejut sebelum melemparnya dan menginjaknya dengan sepatuku yang telah kusam. Hal yang mendadak itu kurasa membuatnya tidak lagi dapat mengendalikan amarahnya, dia segera mengangkat tangannya, sebelum seseorang menginterupsi.

Sayang sekali..

"Ino, Ino, sudahlah." Kulihat seorang lelaki berambut hitam berwajah pucat menghampiri lalu menahan tubuhnya. "Begini saja, siapa namamu?"

"Sakura." Jawabku singkat.

"Aku akan membayar makananmu, semuanya. Dan kau hanya perlu diam, jangan mengganggu kami."

"Apa kau pikir aku mengganggu kalian agar ditraktir? Aku hanya benci dengan tata krama gadis ini! di restoran ini sudah di jelaskan untuk tidak merokok."

"Oh ayolah! apa salahnya dengan rokokku, Sasuke?" gadis itu memeluk manja si lelaki berambut hitam.

"Nona, kau lihat sendiri, tidak ada seorang pelayanpun yang menegur kami bukan?" Ujar pria itu. Dan sungguh, melihat wajahnya yang tanpa kehidupan (aku hanya berharap dia bukan vampir atau sejenisnya, sungguh, pucatnya begitu mengerikan!) jauh lebih menyebalkan daripada melihat gadis sialan di sisinya.

Aku menarik baju seorang pelayan yang lewat di hadapan kami.

"Dia merokok, bukankah ada aturan dilarang merokok di sini?"

Dia malah terlihat kikuk dan serba salah. "Sebetulnya peraturan itu.."

"Apa? Untuk formalitas? Otak udang! Panggil manager mu sekarang juga!"

Gadis itu menghela nafasnya, "Sungguh, kau akan menyesalinya."

"Kita lihat saja." Ujarku melihat pelayan itu menghampiri kami bersama dengan seorang pria paruh baya yang kuduga merupakan manager dari restoran ini.

"Apa yang bisa kubantu?"

"Bukankah seharusnya kau menjaga kenyamanan pengunjung lain di restoran mahal ini?" tanyaku padanya, masih dengan sorot mata (yang kuharap) tetap terlihat agresif dan menantang. "Dan rokoknya sama sekali tidak membuat pengunjung lain merasa nyaman."

Manajer tadi menoleh ke arah gadis berambut pirang yang masih bergeming di tempatnya. "Nona Ino.."

Oh.. dia mengenalnya juga?

"Maafkan aku atas ketidaknyamanan makan malamu kali ini."

Apa?

Bukankah dia seharusnya meminta maaf padaku? Yang benar saja?!

"Hey!" aku menghardik manajer (yang juga) sialan itu.

"Tapi kuharap kau tidak keberatan untuk mematikan rokokmu, karena kami tidak memperkenankan pengunjung untuk merokok di dalam sini, demi kenyamanan seluruh pelanggan. Kumohon kau tidak menyulitkannya."

"Tentu saja.." ujarnya, seolah kejadian ini tidak lagi menarik baginya. Dan, hey, rokoknya sudah berada di bawah kakiku sekarang. "..aku sudah tidak memiliki rokok itu." Dia mengangkat kedua tangannya menunjukan gestur yang begitu mengesalkan.

Aku menggerutu kesal melihat adegan tidak adil di hadapanku ini. "Dan nona, maafkan kami juga untuk ketidaknyamanan makan malam anda di tempat ini." Pria itu tersenyum kepadaku. "Dua botol anggur terbaik restoran ini, gratis untuk dua meja ini sebagai permintaan maaf dari kami."

Sebotol anggur gratis?

Yeah, kurasa itu cukup untuk meredakan amarahku atas ketidak adilan signifikan ini.

"Oke." Aku mengangkat daguku setinggi mungkin, berusaha menunjukan sisa harga diri yang kumiliki untuk sebotol anggur ini.

Gadis itu tersenyum sinis. "Tentu saja, harga dirimu hanya seharga botol anggur itu."

Aku mengabaikan ucapannya dan menganggap masalah ini selesai di detik ini. "Jika kita bertemu lagi, gadis gembel, aku tidak akan melepaskanmu dengan mudah." Ujarnya kemudian.

Dan menurutnya aku takut?!

Oke, aku hanya sedikit takut jika ternyata dia seorang putri dari yakuza mengerikan. Atau (jika intonasi tenang dan kendali emosi yang mengerikan itu merupakan salah satu indikasi) ternyata dia adalah seorang pembunuh berdarah dingin yang akan menguntitku setelah ini.

Aku hanya akan berdoa nanti malam. Semoga kita memang tidak akan pernah bertemu lagi. Atau, sungguh, semoga dia segera mati karena kanker paru-paru. Atau tertabrak bus besar. Atau apa saja.

Aku akan berdoa untuk itu.

OooooooO

Siang yang terik ditemani secangkir kebisingan lalu lintas, sesendok traffic jam, dan setuang kesibukan, membuat hariku begitu indah. Dan. Menyebalkan. Aku benci setiap hari yang kujalani sepanjang hidupku, di timbuni kemiskinan dan kesibukan, namun tak kunjung merasakan hasil. Ugh!

Aku kembali beraksi hari ini, dengan sepeda motor bututku mengantarkan pizza dari jalan ke jalan, berharap mendapatkan tips untuk setidaknya menambah beberapa persen kemakmuran hidup. Namun, ayolah. sebanyak apa sih tips yang mungkin didapat oleh pengantar pizza sepertiku ini? dengar-dengar sih, bekerja sebagai bell boy hotel lebih mewah, dapat makan gratis setiap hari, dan tips seminggunya bisa sama dengan gajiku sebulan.

Tapi kan, syarat untuk bisa bekerja di sebuah hotel berbintang, aku harus mempunyai ijazah universitas sebagai sarjana perhotelan. Uang dari mana aku untuk kuliah?

Pikir boleh pikir, aku malah tidak konsentrasi di jalanan, dan sepeda motorku sedikit oleng. Untung aku cepat mengendalikannya dan kembali pada posisi stabil. Kalau sampai motor ini jatuh dan pizzanya hancur, habislah hidupku.

Aku melewati lorong-lorong gelap, biasanya kalau melewati jalan ini, aku bisa lebih cepat sampai ke tengah kota. Ada seorang pelanggan yang sedang menunggu pizza buah dan 5 pelanggan lainnya, pizza-pizza itu bertumpukan di jok belakang motorku. Kulajukan motor itu dengan sangat perlahan, ada tong-tong sampah berbau busuk dan gelandangan yang tertidur di pinggiran jalan. Masih beruntung sih, aku tidak seperti mereka. minimal, aku bisa makan secara layak dan tidur di sebuah kontrakan petak yang kecil.

Tiba-tiba ada seorang pria berbaju kumal mendorong motorku hingga terjatuh, aku termenung menatap wajah gembelnya yang di kotori tanah dan debu. Jeez, sudah berapa hari sih orang ini ga mandi? Dia tampak mengobrak-abrik motorku yang kini terbaring tak berdaya di atas tanah becek. Sial, habislah sudah. "Perampok! Ah! Habislah pekerjaanku kalau begini!" teriaku setengah curhat.

Alih-alih bersimpati padaku, dia malah mengancam. "Apa perduliku hah? Kubunuh kau jika banyak bicara." Katanya sambil menodongkan sebilah pisau. Mulutku kini terkunci rapat.

Pria itu lalu pergi mengambil sejumlah uang yang tidak seberapa. "Ah dasar miskin kau! Ya sudahlah, kuambil segini saja, masih untung kau ga kubunuh!"

"Sudah tahu miskin, masih di rampok juga." Cibirku kesal.

Lihatlah sekarang, motor yang tergeletak. Memang sih kerusakannya tidak seberapa, uang yang diambil pun juga bukan jumlah yang besar untuk membuatku nangis tersedu-sedu. Tapi pizza pelanggan-pelangganku ini hancur lebur dan rusak. Bahkan aku sendiri juga tidak mau memakannya! Apalagi orang yang membayar? Sebagian pizzanya telah keluar dari dalam kotak dan berantakan.

Ah matilah aku harus mencari pekerjaan lagi.

OoooooO

"6 pelanggan kita yang berharga menelpon puluhan kali ke kantor!"

Aduh, aku kan sudah minta maaf sekitar umm.. sekitar puluhan kali.

"Aku di rampok, Paman Gai." Aku sedikit mengangkat wajah dan memperhatikan parasnya yang eye catching dengan rambut bob dan bulu mata yang tebal. Kalau saja dia bukan pengalir dana di rekeningku dan sekarang dia sepertinya ingin berhenti memberi gaji, pasti sudah kutertawakan dia sampai pingsan.

"Dan kau sudah mengucapkan itu untuk ke tujuh kalinya!"

"Lalu? Masa sih, kau ga memiliki rasa simpati sedikitpun?"

"Simpati katamu? Apa kau pikir kerugian yang kudapatkan selama kau bekerja di sini bukanlah wujud rasa simpatiku untukmu? Tiga kali memukul pelanggan, tujuh kali salah membawa pesanan, dan dua kali kau merusak motorku!"

Memang sih. tapi kan itu semua ketidak sengajaan semata.

"Kau dipecat!"

OooooooO

Aku mengernyit ketika kakiku melangkah di atas tangga kayu yang reyot dan berderit dengan suara yang sungguh mengganggu. Sinar matahari terik di luar sana membuat seluruh tubuhku basah oleh keringat.

Sungguh, musim panas di Tokyo yang begitu padat hanya membuat emosiku terasa begitu meningkat. Aku membuka pintu kayu yang sederhana, sebelum kembali menaiki tangga menuju kamar apartemenku. Yang aku tidak tahu lagi apakah masih menjadi kamar apartemenku jika aku tidak lagi berhasil mendapat penghasilan untuk membayar harga sewanya.

Naruto menyeringai ketika melihatku muncul dari balik pintu itu dengan secangkir teh di genggamannya.

"Aku pulang.." ujarku, tidak dengan antusiasme yang biasanya.

"Hey, ada apa dengan wajahmu itu, Sakura?"

Aku menatapnya dengan mata sayu. "Kau ingin tahu kejutan terbaru dalam hidupku?" aku terdiam sejenak, memberi efek dramatis. Yang kurasa tidak berhasil. Apa hal dramatis dari 'Aku dipecat lagi' untuk yang kesekian kalinya? Kurasa Naruto sudah terbiasa dengan berita semacam itu. "Aku dipecat lagi."

"Ouch. Apa ada yang terluka?"

Aku menyipitkan kedua mataku mendengar pertanyaan itu, mengambil sebelah sepatuku untuk segera melempar kepalanya yang tidak berotak itu. "Apa ini terlihat seperti lelucon, huh?" ujarku seraya melemparkan tasku ke atas tempat tidur dan menghempaskan tubuhku ke atasnya. Naruto menyesap cangkir teh di genggamannya sebelum menghampiriku.

"Hey, jadi bagaimana?"

"Entahlah." Aku mengangkat bahu dan memejamkan mata. "Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku bisa tetap tinggal di sini jika tidak memiliki penghasilan." Aku menatap nanar ke langit-langit, kipas angin sederhana yang berputar perlahan hanya menghasilkan angin sejuk yang tidak seberapa. Karena jika aku mengaturnya berputar terlalu kencang dia akan berbunyi dengan mengerikan, dan kurasa aku masih terlalu muda untuk mati tertindih kipas angin sebesar itu.

Naruto menghela nafas. "Aku bisa membantumu selama beberapa waktu hingga kau mendapat pekerjaan, Sakura." Ujarnya dengan ekspresi yang selalu terlihat sama. Seolah dia bersedia melakukan apa saja untukku. Apa saja.

Dan kurasa dia selalu melakukannya. Tetap di sisiku dalam keadaan apapun. Sungguh, ketika kau hidup sebatang kara tanpa seorangpun keluarga dan saat dunia tidak berputar pada poros yang kau inginkan, Naruto akan menjadi orang yang sangat berharga dalam hidupmu.

"Dan bagaimana kau membiayai hidupmu, huh?"

Dia hanya mengangkat bahu. "Kita akan menemukan cara."

Aku bangkit dari tempat tidurku mendekatinya.

Aku tahu ini sangat tidak seperti 'aku', tapi entah mengapa, pemecatan untuk kesekian kalinya dalam hidupku membuatku sulit mencari kembali secercah harapan. Mungkin rasa lelah, atau mungkin ini saatnya aku menyerah, tapi hanya ada satu hal yang ingin kulakukan pada saat ini. Menyandarkan bahuku pada seseorang, dan Naruto selalu menjadi tempat itu.

Aku memeluknya. Membiarkan irama nafas kami yang teratur berhembus bersamaan, tubuhnya terasa hangat dan menyenangkan. Naruto menenggelamkan wajahnya di rambutku, sebelum menghembuskan nafasnya, seolah dia telah pulang ke rumah. Mengeratkan kedua tangannya di tubuhku (masih dengan cangkir itu tentunya).

"Kau akan menemukan gadis yang baik suatu saat, Naruto." Aku tertawa kecil di dalam pelukannya. "..dan gadis itu akan menjadi gadis yang sangat beruntung karena mendapatkanmu."

Naruto tertawa bersamaku, ketika kurasakan air mata membasahi wajahku. "Jika aku bisa menemukan gadis lain yang lebih menyebalkan darimu, dia akan menjadi gadis beruntung itu." Ujarnya dalam di telingaku.

Sesuatu yang selalu dia ucapkan. Sesuatu yang selalu kuhindari.

Sesuatu yang selalu menyimpan makna, makna yang begitu takut untuk kumengerti.

OooooooO

"tiga ribu delapan ratus yen, nona."

Aku bergeming menatap seluruh barang belanjaanku yang tergeletak begitu saja di atas meja kasir, di dalam kantung-kantung plastik besar yang tidak yakin sanggup kubawa dengan kedua tanganku. Aku menatap wajah kasir yang masih tersenyum itu menunggu uang yang seharusnya kukeluarkan detik ini.

Seharusnya aku memperhitungkan jumlah seluruh belanjaan ini sebelum membawannya ke kasir, dan kembali mengingatkan diriku bahwa aku tidak memiliki penghasilan lagi. Aku bahkan tidak lagi memiliki uang sejumlah itu!

"Umnh.." aku bergumam ketika perlahan wajahku mulai memerah oleh rasa malu. "...bisakah, aku mengembalikan beberapa barang belanjaanku?"

Kasir itu mengerutkan alisnya, sebelum kulihat wajahnya berubah muram. "Kau yakin?"

"Umn, ya."

Sakura menundukan wajahnya, sebelum terlihat tangan seseorang menaruh beberapa lembar uang di hadapannya. "Biar aku yang membayarnya."

Pernahkah kau berada dalam posisiku?

Maksudku ketika kau terjebak dalam rasa malu karena tidak memiliki cukup uang untuk membayar belanjaanmu, dan tiba-tiba saja sebuah tangan menyerahkan beberapa lembar uang di hadapanmu. Aku bahkan sempat melihat tangan itu seperti penyelamat hidupku, dan bercahaya! Oke aku berlebihan. Tapi tetap saja, dia menyelamatkanku!

Aku mengangkat wajahku dan menatap wajah dengan senyuman idiot itu. Hampir membuatku teringat oleh wajah Naruto yang akan selalu menyeringai penuh harapan, seperti... di setiap waktu. Kupikir dia tidak bisa memberikan jenis senyuman lain selain dengan wajah idiot itu. Atau wajahnya memang idiot. Dan begitu juga dengan bocah lelaki di hadapanku ini, well, sedikit tampan dan memesona jika aku mau mengakuinya.

Dia berambut merah dan memiliki mata cokelat (atau merah?) yang bercahaya. Masih dengan seringaian di wajah itu, dia mengulurkan tangannya. "Siapa namamu?"

Aku menyambut uluran tangan itu, meski aku sangat ingin mengolok rambutnya yang merah menyala. Maksudku, siapa yang mau memiliki rambut mencolok seperti itu? Tentu saja, dia telah membayar seluruh belanjaanku hari ini, dan itu akan menjadi sangat tidak pantas. Ya, kan?

"Haruno Sakura." Ujarku singkat.

"Ini kembalianmu, terima kasih telah berbelanja dan silahkan datang kembali." Kasir tadi menginterupsi perkenalan kami, sebelum bocah itu mengambil uangnya, dan berjalan bersamaku keluar dari dalam supermarket itu.

Aku mengerutkan wajahku berusaha berpikir keras. "Kenapa kau membantuku, tadi?"

Bocah tadi terlihat berpikir sejenak. "Karena kau cantik?"

"Bukan alasan yang bagus, nak." Ujarku muram.

"Hey! Aku sudah dewasa! Jangan panggil aku seperti itu!" Sasori membawa salah satu kantung belanja di tanganku, kurasa untuk membantuku, dan bukan mencurinya. Dia membayar semua lagipula. "Aku Sasori ngomong-ngomong. Dan sungguh menurutku kau sangat cantik."

"Dan menurutku kau memiliki senyuman yang super idiot."

Sasori mengerutkan keningnya mendengar perkataanku. Membuatku ingin tertawa melihat ekspresi wajahnya yang begitu.. idiot tentu saja. "Oke, anggap saja aku tidak mendengar itu. Aku akan mentraktirmu kopi, bagaimana?"

Aku hanya mengangkat bahuku. Kupikir aku tidak memiliki hal menarik lain untuk dilakukan siang ini. Selain merenungi nasib burukku tentu saja.

OoooooO

"Kau tahu pada umur berapa aku belajar menyetir mobilku sendiri? Mobilku sendiri?! Yang sudah kumiliki sejak aku berumur lima tahun! Dan aku tidak pernah bisa menyentuhnya! Aku bahkan kehilangan keperjakaanku lebih dulu daripada merasakan mengendarai mobil pribadiku itu!"

Aku membelalakan mataku menatap Sasori yang hampir menjatuhkan cangkir kopinya karena bercerita dengan gestur tubuh yang sungguh teatrikal dan aktif itu. Sungguh, dia jauh lebih dramatis daripada manga konyol yang pernah kubaca.

"Engh.." aku berdeham. "...okay..." seharusnya aku merespon! Seharusnya aku merespon! Tapi aku bahkan tidak mendengar hampir sebagian besar kisah dramatis mengharukan tentangnya yang tidak dapat menyetir mobilnya sendiri. "...dan.. umur berapa tepatnya kau kehilangan keperjakaanmu?"

Tembakan yang bagus. Setidaknya kau bertanya sesuatu, Sakura. Pffft. Jangan biarkan dia tahu kau hanya melamun sedari tadi.

Sasori merenung sejenak berusaha mengingat jawaban untuk pertanyaan itu. "Tiga belas tahun? Entahlah." Dia menyesap cangkir kopinya sebelum matanya kembali bercahaya. Oke.. sudah tujuh kali dia menyesap cangkir kopi itu, dan hingga detik ini, ceritanya masih belum berakhir. Kopi itu, seperti iklan. Tujuh kali iklan, dan ceritanya masih berlanjut. Karena matanya akan selalu bercahaya, dan berbinar-binar ketika dia hendak bercerita. "..Nii-san tidak pernah membiarkanku menyentuh Aurora-chan." Dia menghela nafas.

Kini aku yang mengerutkan kening. "Aurora-chan?"

"Nama mobilku itu tentu saja." Sasori tersenyum—tetap terlihat idiot—bangga atas kisah mengharukannya tentang 'Aurora'.

"Kau aneh, terima kasih telah membayar belanjaanku tadi, dan aku harus pulang!"

Aku mengucapkan tiga kalimat itu secara cepat dan segera membawa kantung belanjaanku. Dua detik lagi aku disini bersamanya, dan mendengarkan cerita-cerita konyolnya, aku akan gila, atau menjadi idiot sepertinya.

"Hey, hey!" Sasori menarikku hingga aku berhenti. "...aku sudah membantumu, minimal temani aku sejenak, Sakura-san." Wajahnya terlihat merenggut. Membuatku menghela nafas dan kembali duduk di hadapannya.

"Dengar, kau ingin tahu pendapatku? Ada jauh lebih banyak hal penting lain untuk kau pikirkan selain kisah mengharukan akan 'kau yang tidak bisa mengendarai Aurora karena Nii-san melarangmu'." Ujarku dengan nada yang mengejek.

"Aku tahu.." Sasori berujar santai dan kembali tersenyum. "...aku tahu kau memiliki kisah yang lebih penting, untuk itulah kita di sini."

"Dan maksudmu adalah?"

"Apa kau miskin?"

"Hey! Bisakah kau sedikit lebih sensitif pada orang lain?!" Sasori tetap terdiam menungguku menumpahkan semuanya. "Aku baru saja dipecat dari pekerjaanku. Dan aku tidak memiliki uang."

"Kau memiliki keluarga?" tanyanya dengan konsentrasi penuh, sebelum dia kembali tersenyum. "...atau pacar?"

"Tidak, dan tidak."

Dia menganggukan kepalanya. "Aku bisa jadi pacarmu. Dan sekedar informasi, aku kaya."

Oh yang benar saja. "Tidak, terima kasih. Jika kau menawarkanku pekerjaan sebagai lintah penghisap kekayaanmu, tidak."

"Gadis bermoral rupanya."

"Oh tidak juga. Aku hanya tidak membayangkan akan tahan bersamamu dan seluruh drama hidupmu, dan kau tahu... meladeni tingkah lakumu yang manja dan selalu suka mengeluh. Tidak. Mungkin aku akan setuju jika pria lain yang bertanya."

"Hey! Berhenti menghinaku!" ujarnya muram. "Kurasa aku bisa membantumu mendapatkan pekerjaan." Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Selembar kartu nama, dan menyerahkannya padaku. "Dia model ternama, dan sedang mencari asisten pribadinya. Kupikir kau harus mencoba kesempatan ini."

Aku menghela nafas, merasakan tidak ada lagi harapan untukku. "Apa aku terlihat begitu mengerti tentang dunia modelling di matamu?" ujarku seraya menunjuk seluruh tubuhku dengan kedua tangan.

"Kau tidak perlu mengerti dunia itu untuk bisa bekerja menjadi asistennya, Sakura-san. Lagipula kau bisa belajar."

"Apa yang terjadi dengan asisten lamanya?"

"Terbunuh?"

"Apa?!" aku membelalakan mataku membayangkan seorang model psikopat yang menyimpan sebilah pisau di balik gaun cantiknya. Oh tidak.. tidak... aku tidak akan mati secepat itu. Tidak.

"Hey. Tentu saja bukan dia yang membunuh! Asisten itu terbunuh oleh kekasihnya sendiri di suatu malam, begitu mendadak hingga gadis ini kerepotan mencari asisten baru. Kau harus mencobanya! Dan dia menawarkan angka yang fantastis. Tentu saja. Dia model internasional."

Aku menatap kartu nama hitam dengan ukiran nama berwarna perak tertera di atasnya. Alamatnya terpatri jelas, dan aku begitu mengenal tempat itu, karena banyak dari pekerjaan lamaku membuatku mengelilingi seluruh kota. Menggenggamnya erat, seolah ini akan menjadi langkah baru bagiku, bagi hidupku. "Kau yakin?"

"Tanpa keraguan. Percayalah padaku." Sasori menggenggam tanganku, membuatku mengernyit mengingat kita baru berkenalan beberapa jam yang lalu, dan jika perlu kuingatkan. Dia. Aneh. Dan idiot. "Hmmn, aku memiliki firasat kita akan menjadi teman yang baik. Ngomong-ngomong.." dia mengecek jam di pergelangan tangannya. "...aku harus pergi sekarang. Hey, jika kau ingin menjadi pacarku, tanganku sangat terbuka. Lagipula, aku tampan, kaya, dan mapan." Dia mengangkat bahunya dengan gaya yang begitu arogan, sungguh membuatku ingin melemparkan cangkir kopi ini tepat ke arah wajahnya.

Namun aku hanya tersenyum saat melihatnya bangkit dan mengulurkan tangan. "Senang berkenalan denganmu, Sakura-san."

"Senang berkenalan denganmu juga. Hey.." aku mengangkat kartu nama itu. "...terima kasih untuk ini."

Dia tersenyum kembali, hanya kali ini aku dapat melihat kharisma dalam senyuman itu. Kedewasaan yang terpancar di matanya. Kehangatan yang menyamankan hatiku, bahwa dia akan berjasa besar dalam hidupku. Mungkin aku akan mengingatnya, namanya, atau setiap kalimat menyebalkannya hari ini.

OooooO

Kakiku mendadak lemas melihat gedung pencakar langit yang luar biasa tingginya, rasa-rasanya puncak gedung itu tidak akan terlihat olehku jika aku tidak mendongak nyaris terjengkang kebelakang seperti ini, awan seperti terbelah dua di tembus olehnya. Beberapa orang berlalu lalang melewati tangga besar di depan gedung besar itu. Beberapa tampil dengan busana eksekutif yang rapih. Aku bahkan dapat menghirup aroma yang sama dari orang-orang seperti itu.

Dan sebagian besar lainnya merupakan gadis-gadis dengan rambut panjang, tubuh yang kurus, dan gaya berpakaian yang.. seksi? Modis? Entahlah.

Atau seperti gadis yang tengah berjalan di hadapanku ini.

Tunggu.

Tidak..

Ouch. Itu adalah pria. Pria yang sangat cantik. Ohkay, semoga aku tidak menjadi gila ketika memasuki gedung besar aneh ini.

Aku berjalan perlahan dengan tas di sisiku, jeans kusam, dan sepatuku yang sudah tidak lagi sama dengan bentuk seharusnya. Hey, aku berusaha, oke? Ini pakaian terbaikku sejauh yang aku tahu.

Seorang petugas menghampiriku, dia bertubuh besar dengan suara mengerikan, yang sangat kontras dengan penampilannya. Suaranya meninggi tatkala dia berbicara, membuatku berusaha keras untuk menahan tawaku.

"Ada yang bisa kubantu, nona?"

Aku mengeluarkan kartu nama yang kudapatkan kemarin pagi, dan menyerahkannya pada petugas itu. Dia menatapnya sejenak, sebelum kembali menatapku dengan penuh curiga. "Bisakah aku masuk, sekarang?"

"Tentu saja, silahkan menemui resepsionis di lobby utama. Kuharap dia dapat membantu." Petugas tadi tersenyum. Dimana kurasa seharusnya dia tidak perlu tersenyum, aku tahu senyuman munafik yang menyebalkan seperti itu. "Tunggu.." ujarnya saat aku hendak berjalan masuk. "...apa kau hendak mengantarkan.. makanan?"

Aku menyipitkan kedua mataku. "Tidak? Aku mencari pekerjaan."

Aish. Menyebalkan sekali.

Aku memasuki lobi besar dengan satu pot tanaman besar di tengah-tengah ruangannya. Arsitektur. Kau tahu, kadang orang bertingkah dengan sungguh aneh, kupikir tanaman hanya berlaku untuk ruang terbuka. Tapi tentu saja, orang kaya melakukan segala hal yang berbeda dan diluar dari kata lumrah.

Sepatuku berdecit ketika berjalan di atas lantai marmer yang berkilauan, bahkan memantulkan refleksi wajahku saat aku menunduk. Beberapa orang yang berjalan melewatiku menatap dengan kening yang berkerut. Orang-orang itu tidak dapat menghentikanku tentu saja. Tidak ada yang bisa menghentikanku.

Kau pikir aku pemberani, dan pantang menyerah?

Kalau begitu cobalah jadi aku, tidak lagi memiliki uang untuk membeli makanan dan membayar sewa. Tidak memiliki keluarga, dan terancam menjadi gelandangan yang juga tidak memiliki rumah. Jepang tidak bisa mentolerir gelandangan yang akan mengotori kota indah mereka. Mungkin aku akan terbunuh, atau bergabung dengan kesatuan militer. Pfft. Coba jadi aku, dan kau akan melakukan hal yang sama.

"Selamat siang, nona. Apa yang bisa kubantu untukmu?"

"Umn.." aku memberi resepsionis itu kartu nama di tanganku. "...bisakah kau mempertemukanku dengannya?"

Dia menatapku dengan raut wajah simpatik. "Maafkan aku, tapi kurasa dia sedang sangat sibuk saat ini."

"Bukankah dia model?"

"Emn, ya, tentu saja." Ujarnya, masih berusaha bersikap manis padaku. "Kau tahu, pekerjaan model. Sesi foto dapat memakan waktu seharian, aku tidak tahu kapan dia akan mendatangi kantor. Atau mungkin dia tidak akan datang sama sekali."

"Aku akan menunggu." Ujarku tetap bersikeras.

Resepsionis tadi tersenyum, namun menghela nafasnya. Jadi bisakah kau membayangkannya? Betapa munafik ekspresi wajahnya itu? Dia sama sekali tidak bersikap sopan kepadaku. Dia merendahkanku. Dan tidak apa, karena aku tidak dalam posisi untuk melawannya kali ini.

"Baiklah. Silahkan menunggu di sana." Dia menunjuk ke arah sofa yang terlihat nyaman di lobi ini. Minimal, sofa akan menjadi satu-satunya benda yang tidak mengintimidasiku di menit-menit ini.

OooooooO

Aku terkejut oleh keriuhan suara manusia yang berdengung di telingaku. Membuka mataku dengan begitu mendadak, menggenggam tasku dengan erat dan menoleh ke sekelilingku secara refleks. Aku mendapati beberapa orang tengah memandangku dengan aneh. Dan baru kusadari, bahwa aku telah tertidur sedari tadi. Aku mencari jam di sekitarku dan mendapati bahwa aku telah menunggu selama empat jam di tempat ini, namun tidak ada tanda-tanda model itu telah datang.

Ehm, ya. Seperti resepsionis itu akan memberitahuku saja jika dia datang. Beberapa orang-orang berpenampilan aneh itu masih menatapku dengan pandangan mengejek. Aku menatap mereka tajam, hampir seperti menantang mereka. Mungkin jika aku tidak dalam posisi begitu membutuhkan pekerjaan, aku akan segera menyerang gadis-gadis make-up mengerikan itu, dan menjambak rambut mereka. Satu, persatu.

"Tidak pernah melihat manusia biasa sebelumnya, kalian makhluk-makhluk aneh?" ujarku ketus. Membuat mereka mengalihkan pandangan mereka dan berjalan menjauh.

Aku berjalan kembali ke arah resepsionis itu yang terlihat tengah membereskan kertas-kertas yang berserakan di meja.

"Hey, dimana model itu?"

"Belum datang." Ujarnya tanpa menatapku.

"Aku tahu kau bohong padaku! Aku menunggu empat jam di sini, dan itu sangat membuang waktuku!" aku memukul meja kayu resepsionis itu dengan keras hingga menarik perhatian orang-orang di sekitarku.

"Bersikap yang sopan atau aku akan memanggil petugas keamanan untukmu. Dan model-model ini tidak akan memiliki sedikitpun waktu untukmu."

"Aku benar-benar membutuhkan pekerjaan!"

"Dan menurutmu aku perduli?" ujarnya lagi.

"Tidakkah tempat ini mengajarimu untuk sedikit menghargai orang lain?"

"Tempat ini mengajariku untuk mengabaikan orang-orang menyedihkan sepertimu!"

"Hey.." seorang wanita menginterupsi pembicaraan panas kami. Untunglah, mungkin sedikit lagi, emosiku tidak lagi terbendung dan aku akan menghantamnya dengan sesuatu. Pot besar itu. Mungkin.

"Tsunade-san." Resepsionis itu segera menundukan wajahnya. Membuatku menoleh menatap seorang wanita berusia matang berambut pirang, dengan sorot mata yang tajam dan postur tubuh yang begitu indah. Dia berjalan mantap menghampiri kami.

"Ada apa ini?"

"Ah.. Gadis ini.. dia ingin.."

"Aku mencari pekerjaan. Dan seseorang bernama Sasori memberiku kartu nama ini kemarin." Aku menunjukan kartu nama yang kudapatkan kemarin padanya.

"Ah.." Tsunade menatap kartu nama itu sejenak sebelum kembali menatap wajahku tajam. Seperti tengah mencari sesuatu. Dan sorot matanya sedikit menakutkanku, penuh penilaian dan terasa begitu dingin. "Yuka-san. Apa dia tidak ada di tempat hari ini?"

"Sebenarnya.. dia berada di ruangannya."

"Sial! Aku tahu kau membohongiku!" aku kembali memukul meja itu dengan penuh amarah. Resepsionis sialan!

"Siapa namamu?" Tsunade kembali menatapku.

"Sakura. Haruno Sakura."

"Sakura, apa kau seorang model?"

Aku mengerutkan keningku mendengar pertanyaan itu. Aku menundukan wajahku dan menilai pakaianku hari ini. Mungkin ini pakaian terbaikku, tapi aku bisa menilai pakaianku tidak lebih dari gelandangan atau rampok jalanan. Atau mungkin aku lebih memesona daripada yang kukira.

Fokus.

"Tidak. Aku sedang mencari pekerjaan sebagai asisten model."

"Aku akan mengantarmu."

"Ah.. Tsunade-san, kupikir dia tidak bisa berada di sini."

Tsunade menatap resepsionis itu dengan tajam sebelum berujar dingin. "Dan apa kau sedang memerintahku, Yuka-san?"

"Tidak.."

Rasakan! Aku tertawa dalam hati melihat wajah ketakutannya. Meski aku sama sekali tidak tahu siapa Tsunade di hadapanku ini.

"Kau bekerja di balik meja ini. Lakukan pekerjaanmu dengan baik, aku yang mengambil keputusan, menolak atau menerima siapapun untuk masuk. Termasuk memecatmu. Itu keputusanku. Mengerti?"

"Mengerti."

Yeaaaahhhhhhh!

"Ikuti aku, Sakura-san."

OoooooO

Kakiku terasa canggung melangkah di atas karpet merah marun yang tergelar di sepanjang koridor dengan pencahayaan temaram ini. Tsunade berjalan dengan mantap di depanku meski dengan heels sepatu yang sangat tinggi. Dia terlihat begitu anggun dan penuh percaya diri.

Kami melewati puluhan pintu yang terlihat sama. Pintu kayu dengan ukiran-ukiran yang senada dengan tema ruangan ini. Dia tidak berbicara sepatah katapun selama berjalan bersamaku, hanya sesekali menoleh kebelakang untuk memastikan aku masih berjalan di belakangnya, hingga kami berhenti di depan sebuah pintu dengan ukiran nama yang terlihat begitu elegan dan rapih.

Tsunade mengetuk pintu itu beberapa kali sebelum membukanya. Dan mendapati syal melilit kakimu ketika melangkah masuk. Atau bra dengan berbagai warna yang tergeletak begitu saja, rasanya seperti mengikuti jejak permen menuju dunia fantasi! Hanya saja bra itu menjadi pengganti permen-permen kecilnya. Aku berjalan dengan sangat hati-hati, berjaga jika aku malah terperangkap berbagai jenis pakaian dalam ini dan menghancurkan segalanya.

"Tunggu di sini."

Akhirnya setelah beberapa menit menjengahkan bersamanya, dia berbicara padaku. Aku melayangkan senyum kecil yang kurasa sangat manis. Namun tidak begitu baginya, dia hanya terlihat muak sebelum berjalan menjauh. Memasuki pintu lainnya dalam ruangan ini. Aku melihat poster-poster besar yang terpajang di seluruh dinding. Poster-poster dalam frame yang terlihat begitu artistik. Ini keren!

Dan tentu saja. Bra dengan berbagai bentuk itu. Kurasa aku tidak perlu menjelaskannya. Ya, kan?

"...aku memiliki perasaan yang bagus tentangnya..."

Samar-samar kudengar percakapan mereka dari balik pintu itu. Bukan aku berniat untuk tidak sopan mendengar percakapan mereka, tentu saja. Hanya saja kudengar suara Tsunade meninggi, entah dalam situasi apapun mereka tengah berbicara. Aku hanya berharap Sasori tidak melemparku ke tangan model psikopat yang telah tertekan oleh begitu suram hidupnya. Semoga. Sungguh. Ini mulai menakutkan.

Semoga dia bukan vampir. Atau siluman ikan hiu. Yang akan menghisap darahku di malam hari. Semoga.

Ini membuatku kembali berdoa, sebelum pintu itu terbuka.

"Baiklah, Sakura."

Aku mengangkat wajahku. Menatap wajah Tsunade yang tetap dingin, dengan seseorang di sisinya, dan ketika aku mengalihkan pandanganku...

Oh tidak.

"Oh tidak.."

"Kita bertemu lagi, Sakura-chan."

Kini, aku hanya berharap memiliki mesin waktu untuk kembali ke masa lalu.

To be continue...