By Tetsuya Ran

Rated : M

Pairing : AkaKuro

Genre : Gore, Romance , Fantasy

Disclaimers : Kuroko no basuke bukan punya saya. Saya hanya meminjam karakter dan menistai mereka wahahaha *ketawa jahat* . Tapi yang pasti dan tidak bisa dibantah adalah fic. ini milik saya.

Warnings : Bloody, Violence, Absurd , Typo(s) , etc

Happy Reading

.

.

.

Escape

'TAP TAP TAP'

Suara langkah kaki yang menggema di sepanjang lorong bawah tanah penyimpanan senjata kepolisian terdengar beserta deru nafas yang memburu.

"Dia disini! Orang sinting itu kembali!" Seorang anggota kepolisian berteriak histeris, memperingatkan pada seluruh teman-temannya.

Namun tak ada yang menyahut. Telinganya hanya menangkap suara cicitan tikus-tikus di lorong.

Kakinya kembali melangkah, menyisir lorong panjang itu dan berhenti ketika melihat beberapa organ manusia tercecer di hadapannya. Tangan kanan nya mengacungkan pistol. Kewaspadaannya meningkat.

Sosoknya begitu terlihat tegar ketika melihat pemandangan tak senonoh itu. Tapi ia juga tidak bisa memungkiri rasa takut yang menyelimutinya. Walaupun ia adalah sosok terkuat di kepolisian, tapi yang ia hadapi ini benar-benar berbeda dari kasus-kasus yang biasa ia tangani.

Ia kembali maju pistolnya masih teracung ke depan dan tangan kirinya masih membawa senter.

Lorong bawah tanah ini mulanya adalah tempat penyiksaan pada zaman penjajahan kolonial Belanda, dan sekarang digunakan untuk tempat penyimpanan senjata kepolisian. Atau lebih tepatnya senjata yang disita oleh kepolisian dari para narapidana. Walau begitu, lorong ini gelap gulita

Bukan karena tidak ada orang yang mau memasangi lampu, tapi karena setiap ruangan tersebut dipasangi lampu, lampu itu tak akan bisa menyala lebih dari 24 jam dan esoknya selalu ditemukan pecah. Tak ada yang bisa menjelaskan kejadian aneh itu. Dan akhirnya tempat ini dibiarkan tak memiliki penerangan.

'KRINCING'

Seperti suara rantai yang diseret. Mendengar suara janggal Kepala Kepolisian berjalan mendekati suara.

Dan suara itu membawanya kehadapan salah sebuah sel yang ada di dalamnya. Diatasnya terdapat tulisan yang sudah usang '2301' . Pria tegap itu memprediksi bawah itu adalah nomor tahanan yang dulunya ditahan di dalam sel itu.

Ia menyorot senternya ke dalam sel. Sel itu memiliki sebuah papan besi yang kemungkinan digunakan untuk tidur dengan map kuning usang di atasnya. Ia menautkan kedua alisnya dan berjalan maju.

Keraguan semakin menyelimutinya saat kakinya berada tepat di hadapan pintu sel itu. Namun rasa ingin tahunya membawanya masuk ke dalam sel itu.

Pistolnya ia masukkan kedalam kantong jasnya dan ia mulai membuka map usang tersebut.

'Kawahara K. – 2301' Tulisan itu terdapat di sampul map yang kini sedang dibawanya.

Matanya memandang serentet tulisan yang berjajar rapi di atas kertas lusuh di dalam map itu tak percaya.

Serentet tulisan yang sudah agak memudar itu memaparkan tindak kejahatan yang dilakukan tahanan 2301 ini. 66 Kasus kejahatan dari tingkat ringan sampai tinggi. Dan sudah pasti pria bernama Kawahara ini di vonis dengan pasal berlapis.

Hembusan angin ringan terasa di punggung tangannya yang berada tepat di samping tembok yang menggulung dan memasukkan map itu kedalam kantong jasnya.

Dia mengusap tembok tua itu sejenak dan agak menekannya. Sesaat sesudahnya tembok itu memunculkan retakan-retakan yang lebih banyak.

Pria itu memukul tembok dengan tangannya dan tembok itu runtuh membentuk sebuah lubang yang menghubungkan sel itu dengan ruangan lain.

Ia melangkahkan kakinya masuk kedalam ruangan itu.

Matanya terbelalak. Dia melihat tujuh temannya yang awalnya menemaninya masuk ke lorong ini sebelum akhirnya berpencar tengah tergantung di ruangan ini dengan banyak mayat yang sudah membusuk tergeletak dengan kondisi yang mengenaskan.

Ia menutup mulut dan hidungnya dengan tangannya. Tetapi bau busuk itu tetap dapat menyeruak masuk ke dalam penciumannya. Jantungnya masih berdegup tidak karuan, tanpa ia sadari matanya mengeluarkan cairan kesedihannya. Ia berjalan mendekat ke mayat ketujuh teman dekatnya itu.

"Maafkan aku.. Ini semua salahku" Ia berkata disela isak tangisnya. Tangisan yang sudah lama tidak pernah ia tunjukkan.

Bahkan rasanya ia sudah agak lupa bagaimana caranya menangis. Tapi kini tangisan itu terdengar, menggema di lorong tua itu.

"Aku, aku pasti akan membalas semuanya pada orang yang telah melakukan ini pada kalian" Dendamnya telah terselip di kata-katanya yang penuh amarah.

Ia mengusap matanya , mengambil telepon genggamnya yang ternyata sedang kehilangan sinyal.

Ia mendecih pelan dan kembali memasukkan telepon genggamnya ke dalam kantong celananya, kemudian ia keluar dari ruangan penuh mayat itu dan kembali mengeluarkan handphone nya.

Ternyata ia mendapatkan satu bar sinyal disitu. Jarinya dengan lincah menekan nomor panggilan menuju kantor polisi, kantornya.

Lama tak mendapat jawaban, pria itu menggeram jengkel. Kemudian ia mencoba menelepon lagi.

"Halo. Dengan kepolisian, ada yang dapat saya bantu?" Raut wajahnya berubah menjadi agak lega.

"Hei, bodoh. Disini Kasamatsu, kau tidak mengenalku ha? " Pria itu menjawab dengan ketus.

"Kasamatsu? Maaf tapi saya baru mendengar nama itu sekali ini.." Suara di seberang sana menjawab dengan sabar dan sopan.

"Tch..Kau pasti anak baru" Pria itu kembali menyahut.

"Ah..I, iya..Tapi bisakah saya tahu siapa anda dan apa keperluan apa?" Suaranya menyiratkan sedikit ketakutan.

"Tch..Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan siapa aku dan seharusnya kau itu tahu siapa aku, dasar bocah sialan. Dan aku minta kirimkan 5 unit mobil polisi dengan 1 ambulan ke lo-

"Arghhh!" Penjelasan seorang pria bernama Kasamatsu itu terputus dan terganti dengan teriakan kesakitan ketika seorang pemuda berkulit seperti porselen bersurai merah menusuk lengan yang tadinya ia gunakan untuk menggenggam handphone nya, membuat handphone nya jatuh.

"Seharusnya kau tak usah banyak cakap di telepon, opsir" Suara bariton pun terdengar.

"Kau...Kau pasti yang telah argghhhh!" Kalimatnya lagi-lagi harus terpenggal karena tusukan di pria kepolisian itu terjatuh sambil memegangi dadanya.

"Shit uhuk apa yang uhuk kau mau?" Sambil terbatuk-batuk Kasamatsu bertanya dengan sinis pada pemuda dihadapannya.

"Halo, Kasamatsu-san..Halo" Suara di seberang telepon terdengar khawatir.

"Hei, cepatlah da-" Kalimat Kasamatsu terhenti seketika saat pemuda berambut hitam itu meletakkan kakinya di atas kepala Kasamatsu dan menekannya kuat-kuat.

'Krak'

Suara retakan tengkorak itu terdengar ketika pemuda berwajah datar itu menendang kepala yang ada tepat di bawah kakinya dengan sangat keras.

Dan setelahnya pemuda itu mengambil handphone sang opsir yang tergeletak di lantai.

"Halo" Ucapnya dengan suara bariton yang khas.

"Maaf..Tapi ini kelihatannya bukan Kasamatsu-san" Suara di telepon itu terdengar penuh kecurigaan.

"Memang bukan. Karena Pria yang kau sebut dengan nama Kasamatsu itu sudah mati, bersama ketujuh temannya" Sahut pemuda itu dengan nada datar. Tetapi kegelapan tidak bisa menutupi seringaiannya.

"Apa? Anda siapa?"

'Tut tut tut'

Bukannya menjawab pemuda itu malah memutus panggilan telepon itu. Dan melempar handphone itu ke arah opsir Kasamatsu Yukio yang telah bersimbah darah.

"Hah..Tidak asyik rasanya kalau mayat ini cuma memiliki luka tusukan" Pemuda itu kemudian menghampiri lemari kecil yang ada di dalam sel tua dan mengambil parang berukuran sedang.

"Haha.. Rasanya sudah lama aku tidak bersenang-senang, padahal baru sekitar setengah jam yang lalu aku memperindah tubuh ketujuh korbanku" Pemuda itu menghampiri tubuh Kasamatsu yang tergeletak lalu menancapkan parang itu di punggungnya, menyobek punggung itu dari atas sampai ke bawah.

Dia memasukkan tangannya ke dalam sayatan yang dibuatnya itu. Tangannya mencari-cari sesuatu. Dan yang dicarinya adalah tulang ia menemukannya, ia menariknya keluar dari tubuhnya.

Belum puas dengan itu. Ia mengambil parang yang masih tertancap dengan manis di punggung korbannya, lalu menancapkannya di tengkoraknya. Mengoyak tengkorak itu, sehingga ia bisa dengan jelas melihat otak korbannya itu.

"Hmm..Otakmu tidak buruk juga, hahaha. Jadi yang mana cerebrum yang mana cerebellum?" Dia mengeluarkan otak itu dan memasukkannya ke dalam toples yang baru saja ia keluarkan dari tas punggungnya lalu memasukkannya lagi ke tasnya.

"Baiklah..Cukup untuk hari ini.." Pemuda bermanik heterokrom merah-emas itu berjalan menuju wastafel yang ada di dalam sel dan membasuh tangan serta wajahnya dengan air. Lalu meninggalkan jasnya yang berlumuran darah di atas wastafel.

Langkah-langkah kecilnya menuntun pemuda itu keluar dari lorong tua yang merekam semua kejadian keji yang telah ia lakukan.

.

.

.

Lampu jalan yang temaram menghiasi jalanan kota yang tampak sepi di tengah malam yang dingin seperti ini.

Distrik yang dikenal dengan sebutan Angry Wind ini terlihat begitu indah dengan adanya salju yang menyelimutinya. Seperti sebutannya, setiap malam angin selalu berhembus kencang, menurunkan suhu setiap detiknya. Bahkan badai bukanlah hal yang jarang terjadi di distrik ini.

Tapi suhu yang dingin ini tidak mengurungkan niat seorang pemuda berwajah manis berambut biru muda yang sedang menyusuri jalanan kota dengan tubuh yang berbalutkan seragam SMP yang tipis tanpa ada pakaian penunjang lainnya.

Sekilas dia memang nampak seperti pemuda pada umumnya. Namun lebam-lebam di wajahnya membuat orang-orang disekitarnya tidak menilai demikian.

Akashi Tetsuya , itulah nama pemuda berandal satu ini.

Dia berjalan memasuki sebuah pusat perbelanjaan dengan cuek. Tidak memperdulikan bagaimana orang-orang disekitarnya memandangnya dengan heran. Bahkan beberapa dari mereka juga tengah berbisik-bisik mengenainya dan dia pun juga dia mengacuhkannya dan berjalan menuju lorong yang menyediakan obat-obatan.

Dia berjalan menuju SPG yang sedang menata obat-obatan di rak sepanjang lorong itu.

"Ano.. Tuan, apa ada yang bisa saya bantu?" Tanya SPG itu takut-takut.

"Provigil" Jawabnya singkat.

"Maaf?" Kelihatannya SPG itu tidak menangkap dengan jelas keinginan pemuda berandal ini.

"Aku minta provigil" Tetsuya mengulangi permintaannya.

"Oh iya, ini" SPG itu menyerahkan satu botol kecil pada Tetsuya.

"Terimakasih" Ucap Tetsuya membuat si SPG melongo tidak percaya. Ternyata pemuda berandal yang sering dibicarakan oleh orang-orang tidaklah seburuk anggapan mereka.

Tetsuya kembali melangkahkan kakinya menuju kasir dan meletakkan barang yang hendak dibelinya di meja kasir.

"Permisi, apakah anda yakin akan membelinya?" Petugas kasir itu sedikit bingung dengan barang yang dibeli Tetsuya.

"Apa maksudmu?" Tanya Tetsuya ketus

"Obat ini bukan sembarang obat, Tuan" Petugas kasir itu ternyata benar-benar cari mati dengan membuat masalah dengan Tetsuya. Bukan karena kata-kata yang dilontarkannya. Tapi nada bicaranya yang angkuh dan sok menggurui membuat pemuda bersurai biru langit itu tersulut emosi.

"Cih, dengar ya brengsek. Barang ini berada di rak dan itu berarti barang ini dapat dibeli" Ucapnya kasar sambil melemparkan beberapa uang dihadapan petugas kasir itu.

"Tapi untuk membelinya dibutuhkan resep dokter" Petugas kasir itu masih saja berkelit sambil memunguti lembaran uang yang baru saja di lempar Tetsuya.

Tetsuya yang habis kesabaran pun menggebrak meja kasir dengan keras, membuat semua mata tertuju pada mereka.

"Setahuku ini adalah supermarket" Tetsuya merendahkan nada bicaranya. Mencoba meredam amarahnya.

"Orang buta pun tahu itu" Semua orang mendelik tidak percaya mendengar perkataan petugas kasir itu. Dia benar-benar ingin mati.

"Kau" Tetsuya mendesis sambil meremas ujung seragamnya. Tidak mungkin ia membuat keributan disini. Bisa-bisa orang itu menyiksanya lagi atau bahkan membunuhnya.

"Seharusnya berandal sepertimu tidak belanja di tempat elit seperti ini. Kau hanya mengotori tempat ini, tahu?" Petugas kasir itu berkata dengan nada meremehkan sambil memberi penekanan di kata terakhir.

"Tch..Memangnya kenapa kalau aku berandal?" Lirih pemuda itu ,hendak pergi meninggalkan kasir.

'BUAGH'

Seorang pemuda berseragam SMA tiba-tiba memukul pipi petugas kasir keras sampai petugas kasir itu terhempas menabrak mesin kasirnya.

"Sebaiknya kau jaga bicaramu, orang miskin" Mata pemuda itu menatap petugas kasir nyalang.

Semua orang berteriak ketakutan dan berhamburan keluar.

"Ayo kita pergi" Pemuda itu mengambil botol provigil yang tadinya akan dibeli Tetsuya lalu menarik tangan Tetsuya, mengajaknya keluar dari gedung supermarket itu.

Tetsuya hanya menurut sambil mengikuti pemuda itu. Pemuda yang tidak asing baginya. Akashi Seijuurou, nama pemuda bersurai crimson itu, kakaknya.

"Masih suka mengonsumsi pil-pil ini,hm?" Pemuda itu berkata lembut sambil menimang-nimang botol kecil ditangannya.

"Bukan urusanmu" Sahut Tetsuya ketus sambil menyambar botol provigil yang ada di genggaman kakaknya.

"Kau seharusnya sedikit belajar" Sang kakak menatap matanya sambil mengelus bekas lebam yang membiru di pipinya.

"Kau mau mengataiku bodoh?" Mata pemuda berandal itu menatap tajam kakaknya.

"Aku tidak bilang begitu" Sang kakak tersenyum jahil sambil mengangkat kedua bahunya.

"Cih,Seijuurou-kun brengsek" Pemuda itu memacu kakinya mendahului sang kakak yang masih tersenyum.

"Terimakasih" Pemuda itu tersenyum tulus sambil menggenggam tangan kanan adiknya dengan tangan kirinya.

"Apa yang kau lakukan?!" Dan tentunya perlakuannya itu membuat sang adik mencak-mencak tidak sang kakak malah tertawa sambil menatap adiknya gemas.

"Lepaskan tangan kotormu!Banyak virus, kuman dan bakteri! " Tetsuya berteriak lebih kencang lagi sambil mencoba melepaskan tangannya dengan mencakar tangan kakaknya itu.

"Ah!Dasar sok Clean Freak" Kata Seijuurou sambil mengusap-usap tangannya yang sakit akibat cakaran adiknya.

Tapi Tetsuya tidak menanggapi perkataan kakaknya dan tetap diam dengan pandangan kosong.

"Besok aku akan berangkat ke distrik sebelah untuk mengikuti Olimpiade Biologi" Pemuda itu masih nyerocos sampai akhirnya menyadari kejanggalan adiknya.

"Apa ada sesuatu?" Tanyanya lembut pada pemuda yang 3 tahun lebih muda darinya tanpa disadari mereka sudah berada di depan bangunan mewah yang merupakan rumah mereka

"Tidak" Kata Tetsuya sambil memandang jijik bangunan yang ada dihadapannya.

Bohong. Ya, bahkan pemuda itu tahu adiknya kini tengah berbohong padanya. Dia tahu benar kalau adiknya sedang ketakutan. Tapi dia menarik adiknya untuk mendekati ruangan itu sampai kini mereka ada di depan pintu.

"Ayo" Pemuda bermanik merah itu tersenyum dan mulai mengetuk pintu.

'TOK TOK TOK'

Beberapa saat setelah mengetuk, pintu rumah itupun terbuka dan menampilkan sosok wanita berumur 30an yang sedang memakai jas laboratorium dengan wajah muntab.

Tapi kedua orang itu tidak menghiraukan wanita yang notabene adalah ibunya itu dan langsung melengang masuk bersama adiknya.

"Dari mana saja kalian?" Tanya wanita itu sinis sambil berkacak pinggang.

"Cuma keluar sebentar kok,Bu" Seijuurou menjawab sambil tersenyum pada ibunya.

"Dan apa-apaan mukamu itu?" Tanya sang ibu pada anak bungsunya yang memalingkan wajahnya ketika dia menatapnya.

"Ah, tadi dia jatuh saat menyeberang jalan jadinya-"

"Ibu tidak bertanya padamu" Wanita itu langsung memutus perkataan anak sulung kesayangannya karena malas mendengarkan alasan anaknya. Alasan yang dibuat untuk melindungi adiknya.

"Aku berkelahi" Jawab Tetsuya sambil menunduk dan mengepalkan tangannya.

"Berani-beraninya kau!" Dengan kasar, ibu dua anak itu menarik tangan anak bungsunya dan memasukkannya ke laboratorium bawah tanahnya lalu mengunci ruangan itu.

"Hei! Apa-apaan kau bu?! Jangan berani-beraninya melukai Tetsuya!" Seijuurou yang tidak terima langsung menghampiri ibunya dan mencoba mengambil kunci laboratorium tempat ibunya bereksperimen.

"Masuk ke kamarmu, belajar dan bersiap untuk besok!" Wanita itu memerintah layaknya diktator.

Seijuurou tidak memperdulikan perintah malah berdiri sambil menatap ibunya penuh emosi.

"Kau pikir kau siapa bisa mengaturku?!" Dia berteriak dihadapan ibunya. Membuat ibunya megerjapkan matanya, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Si-siapa yang mengajarimu membentak ibumu?" Ibu itu bertanya dengan tergagap. Nada suaranya pun merendah.

"Kau! Bukan, Monster bernama Akashi Yukino lah yang mengajarinya padaku" Seijuurou menjawab dengan memandang ibunya penuh kebencian.

"Apa?" Ibunya terperangah tak percaya. Anak yang selama ini dibangga-banggakan olehnya sedang menatapnya penuh kebencian dan memanggilnya dengan namanya,bukan dengan panggilan 'ibu'. Terlebih lagi bocah berambut crimson itu mengimbuhkan kata 'monster, di depan namanya

"Dan soal besok.. Kalau kau mengharapkan aku akan datang, kau pasti bermimpi!" Kata pemuda itu sadis lalu dia pergi melewati ibunya dan berjalan dengan angkuh menuju kamarnya lalu menguncinya. Percuma saja mencoba melawan ibunya, ia belum bisa menang saat ini. Jadi ia akan menyusun strategi dulu untuk melawan ibunya dan membebaskan Tetsuya-nya.

"Ini semua.. Gara-gara anak sial itu!" Wanita berambut coklat itu geram lalu membuka laboratoriumnya dan melihat anak bungsunya sedang meringkuk di dalam kegelapan laboratorium.

Ia menekan tombol lampu sehingga ruangan itu menjadi terang. Kini dia bisa melihat dengan jelas raut wajah sendu anaknya.

"Anak sial" desisnya sambil berjalan menuju pemuda itu.

Seorang wanita bernama Yukino itu menjambak rambut halus anak bungsunya dan tanpa belas kasihan, wanita itu menampar anaknya berkali-kali.

Tetsuya tidak melawan dan menerima semua tamparan ibunya. Perih memang, tapi dia tahan. Matanya hanya menatap kosong ke arah ibunya, dia tidak menangis. Atau bahkan, dia sudah melupakan caranya menangis.

Tetsuya memang seorang berandal. Namun, bekas luka yang ada di tubuhnya sebagian besar adalah luka yang dibuat oleh ibunya ketika menyiksanya seperti saat ini, bukan karena berkelahi.

Wanita yang terlihat seperti orang gila itu mengambil borgol di atas meja kerjanya dan memasangkannya pada Tetsuya.

"Ho..Kau lebih penurut" Ibu itu memasukkan paksa anaknya ke dalam ruangan jeruji besi di sudut laboratorium. Alih-alih melawan, Tetsuya malah mengikuti kemauan ibunya dengan pasrah dan mendudukkan dirinya di lantai ruangan mirip sel penjara yang kotor dengan bekas darah di sana sini.

Yukino mengambil sebuah alat suntik dari tasnya dan botol kecil berisi cairan berwarna hijau kira-kira 5 ml.

"Ibumu seorang ilmuwan hebat" Yukino tersenyum dan menusukkan jarum suntiknya pada botol itu, lalu menyedot cairan hijau misterius itu.

Senyumnya tak kunjung pudar, bahkan senyumannya malah semakin mengembang. Dia melihat alat suntiknya yang berisi cairan berwarna hijau dengan pandangan takjub.

"Ibu menghabiskan 5 tahun penelitian untuk ini" Ucap Yukino setengah berbisik. Matanya mencuri pandang ke arah anak lelakinya yang meringkuk di balik jeruji buatannya itu.

Ia berjalan mendekati Tetsuya. Lalu bersimpuh di hadapannya dan mengelus pipi pucat penuh lebam sang Akashi bungsu.

"Wajahmu, selalu mengingatkanku pada laki-laki bajingan itu" Kata-kata sarkastik itu meluncur dari mulut seorang ilmuwan yang dikenal memiliki sopan santun tinggi.

"Dan karena itu aku selalu ingin membunuhmu" Ucapnya sadis. Kilatan di matanya menunjukkan emosinya saat ini.

'PLAK'

Tiba-tiba Yukino menampar pipi yang baru saja di elusnya dengan sangat keras sampai menimbulkan cap tangan berwarna merah.

"Kau anak sial" Tanpa ba bi bu Yukino langsung menghujamkan jarum suntiknya ke leher anaknya sendiri.

Tidak peduli kalau perbuatannya itu bisa menyebabkan pendarahan dia mulai menginjeksi seluruh cairan hijau itu ke dalam tubuh anaknya dan setelah selesai dia mencabut alat suntiknya.

Darah pun langsung mengucur deras. Mengalir dari leher Tetsuya. Tapi Tetsuya tak bergeming dan hanya menatap nanar ibunya. 'Kenapa kau lakukan ini padaku?' mungkin itu kata yang tersirat dari tatapan Tetsuya.

Melihat Tetsuya yang sudah sangat lemah , Yukino melepas borgol di tangan anaknya.

"Untunglah aku sedang baik hari ini"

Ibunya memandangnya bengis lalu berkata.

"Sebaiknya kau cepat tidur. Kalau kau tidak tidur, bagaimana obat itu mau bereaksi" Ucapnya acuh tak acuh dan meninggal kan Tetsuya setelah dia mengunci ruangan besi itu, menyisakan Tetsuya di ruangan itu sendirian.

"Uhuk" Darah segar ikut keluar ketika dirinya terbatuk. Darah yang terbuang dari tubuhnya sudah sangat banyak. Padangannya mulai mengabur dan suhu tubuhnya juga mendingin.

Ingin sekali rasanya dia tertidur. Sampai tiba-tiba perkataan ibunya terngiang di kepalanya. Tidak! Dia tidak boleh tidur! Tetsuya menggelengkan kepalanya. Tangannya yang sudah bebas dari borgol meraih botol provigil yang baru saja dibelinya dari saku seragamnya.

Dengan susah payah dia membuka botol itu dan menelan 2 tablet stimulan itu. Paling tidak dia tidak akan tidur malam ini.

Tetsuya merebahkan tubuhnya di lantai. Mencoba mengumpulkan energinya.

Tangannya yang penuh luka merogoh saku yang ada di celana nya, mencari selembar kertas lusuh. Kertas berwarna yang manampilkan foto dirinya bersama kakaknya serta foto ibunya. Kertas itu adalah gabungan dari dua buah foto yang berbeda.

Impiannya yang paling sederhana. Ia ingin ibunya mau menerimanya.

Tetsuya meremas bajunya.

'Kenapa? Kenapa sangat sulit untuk menerimaku bu?' Air matanya sudah menggenang di pelupuk mata

'Sebenci itukah kau pada diriku?'

"Uhuk" Tetsuya kembali memuntahkan darah.

'Kenapa dunia tidak adil?'

Dan malam yang menyiksa itu pun Tetsuya lalui dengan merintih kesakitan , menangis serta bertanya-tanya kenapa dunia begitu kejam padanya. Ketahuilah nak, bukan dunia yang kejam, tapi ibumu.

.

.

Matahari sudah terbit di ufuk timur. Secercah cahaya masuk melalui ventilasi kecil di dekat sel nya.

Tetsuya bangkit dari posisi telentangnya. Semalaman Tetsuya tidak tidur, efek dari obat yang diminumnya.

Ia melihat tangannya yang sudah membiru. Kuku-kuku jarinya sudah menghitam.

Ah, Cairan apa yang ibunya masukkan kedalam tubuhnya semalam? Entahlah, ia tak tahu dan tak ingin peduli. Tetsuya berdiri , dan rasa sakit langsung menyerang dada bagian kirinya.

"Arggh" Jantungnya terasa seperti diremas, sakit sekali.

"Uhuk" Lagi-lagi ia memuntahkan darah. Namun ada yang aneh, darah itu berkumpul di hadapan Tetsuya dan membentuk sebuah bola yang melayang di udara.

"Apa ini?" Tetsuya menyentuh bola itu lalu menggenggamnya. Seperti sebutir kelereng.

"Tetsuya" Sebuah suara halus menyusup memasuki sistem pendengaran Tetsuya.

"Si-siapa? " Tetsuya menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi ia tak menemukan siapa pun.

Bola yang ada di genggaman Tetsuya memancarkan cahaya merah yang redup. Tetsuya pun segera melempar bola itu ke sembarang arah.

"Apa itu barusan?" Tanyanya bingung. Tapi ia tak ambil pusing, dan tiba-tiba ia teringat dengan kertas lusuh miliknya. Ia pun mencarinya di setiap sudut selnya, tapi tidak ada. Benda itu seperti hilang ditelan bumi.

Ia merogoh sakunya, tetapi benda itu juga tidak di sana.

"Kemana kertas itu?" Tetsuya mengerang frustasi.

Sebuah tangan pucat terulur di hadapannya dengan membawa selembar kertas lusuh yang di cari-cari olehnya sejak tadi.

"Ah, terimakasih" Ucap Tetsuya sambil mengambil kertas kesayangannya dari tangan pucat itu lalu memandangi kertas lusuh itu. Ah ternyata masih sama, tidak ada yang Tetsuyamenahan napas seketika. Tunggu dulu, bukannya tadi dia sendirian? Lantas tangan pucat itu, milik siapa? Ia mendongak dan matanya mebulat ketika melihat sosok yang ada di hadapannya sedang tersenyum penuh kemenangan.

"Hai, diriku yang lemah"

"Apa yang kau- Arggghhhhhhhhhhhhhhhhh!" Tetsuya menjerit sejadi-jadinya ketika merasakan denyutan hebat di dadanya, sosok yang berada di hadapannya berubah menjadi sebuah bola merah yang sedang mendesak masuk ke bibirnya.

"Mpphhh" Tetsuya berusaha untuk tidak membiarkan bola itu masuk ke dalam mulutnya.

"Arghhhh" Dan bola itu langsung melesat masuk ke dalam mulut Tetsuya ketika Tetsuya kembali menjerit kesakitan.

Beberapa detik setelahnya, tubuh Tetsuya terasa sangat berat dan akhirnya ambruk di lantai yang kotor penuh dengan darah yang sudah mengering.

'Ceklek'

"Sialan kau anak sial! Mengganggu tidurku saja!" Yukino memasuki laboratorium nya dan mendapati anak bungsu yang paling dibencinya sedang tergeletak di selnya.

"Setelah berteriak seperti itu beraninya kau tidur heh, sialan" Yukino mendekati Tetsuya lalu menendang Tetsuya , tapi belum sempat ia menendang anaknya, tangan pucat Tetsuya berhasil menarik kakinya hingga ia terjatuh.

"Ashh, Berani sekali ka-" Mata Yukino membulat ketika melihat anak bungsunya yang kini terlihat sangat menakutkan. Pandangannya yang menusuk dengan mata sebelah kanannya berwarna emas sedangkan mata sebelah kirinya masih berwarna biru.

"Ho, jadi yang sudah melukai Tetsuya selama ini adalah kau? " Senyum sadis terlukis di wajah manis anak bungsunya.

"Kau siapa?" Yukino bertanya dengan takut sambil merangkak mundur.

" Entahlah, aku juga tidak mengerti" Tetsuya mengangkat bahunya.

"Tapi yang jelas aku akan membunuh semua orang yang sudah melukai Tetsuya dan Seijuurou. "

Yukino berdiri dan berjalan dengan tertatih-tatih menuju pintu keluar.

'JLEB'

"Arghh!"

Beberapa buah pisau oprasi sudah tertancap dengan manis di punggung Yukino. Membuat Yukino rubuh saat itu juga.

"Ah, kau tahu? Sebenarnya aku sangat ingin membunuhmu dengan tanganku sendiri, tapi aku sadar kalau aku sampai melakukan itu, Tetsuya akan menjadi buronan. Jadi, aku akan membiarkanmu mati di sini. Hahaha. Sayounara, Okasan " Ucap Tetsuya dengan penekanan di kata 'Okasan' sambil melangkah keluar dan mengunci pintu laboratorium.

Tetsuya langsung jatuh terduduk setelah ia mengunci pintu laboratorium. Tatapannya kosong dan warna mata sebelah kanannya perlahan kembali menjadi biru seperti semula.

Ia mengerjapkan matanya beberapa kali , mencoba memfokuskan pandangannya. Lalu ia memandangi sekitarnya dengan padangan heran dan bingung.

"Kenapa aku bisa ada di sini?"

To Be Continued

Maafkan daku kalau fic. ini agak sulit dimengerti ehehehe.

Sebenarnya ini adalah cerita yang Ran buat untuk temen Ran. Tapi tiba-tiba Ran kepengen mengubah fic. ini menjadi akakuro version.

Dan Taraaa! Jadilah fic yang absurd nya minta ampun iniii :D

Semoga saja Ran diberi inspirasi oleh Tuhan untuk melanjutkan fic. ini TwT

Bagi Reader yang kurang mengerti atau ada yang kurang jelas tentang fic ini bisa tanya langsung ke Ran :D

Gomenasai! Dan arigatou sudah mau mampir :)

Seperti yang dikatakan author pada umumnya MIND TO REVIEW?

Sampai jumpaaaa :3