The Eye Collector (Prolog)
"Keindahanmu membuatku ingin memilikinya."
By Rakshapurwa
Rate : M, Parody-Suspense
Warning : AU, Terdapat kalimat yang menyayat hati, menjijikan dan frontal, Scene kekerasan pada wanita, Hint shounen-ai, dan Kemungkinan karakter OOC.
Disclaimer: Kuroko no Basket milik Fujimaki Tadatoshi
'Cerita ini dibuat hanya untuk menyalurkan imajinasi semata.'
.
AKASHI Seijurou, tak pernah berpikir bahwa bekerja sebagai detektif ternyata cukup melelahkan. Baru beberapa minggu menjadi asiten seorang detektif swasta—yang lumayan terkenal—di pinggiran Kota Kyoto, sudah cukup menyerap tenaganya. Tak hanya tubuh yang letih—dikarenakan bergadang adalah kegiatan rutin yang dialaminya—pikirannya pun terkena imbas. Memikirkan berbagai kemungkinan yang berguna dalam memecahkan suatu kasus sukses membuatnya meminum Aspirin setiap malam. Akashi memijit keningnya. Ini adalah pilihan yang ia ambil sendiri. Sudah terlambat untuk menyesali semuanya. Lagipula percuma ia lulusan jurusan kriminologi dari universitas ternama, kalau seperti ini saja sudah mengeluh.
"Kukira kau sudah pulang?" Sebuah pertanyaan membuyarkan lamunan Akashi. Siapa lagi yang repot-repot mengecek ruang kerjanya kalau bukan atasannya sendiri, Nijimura Shuuzo. Akashi dengan laki-laki itu terpaut 15 tahun, tapi entah mengapa penampilan Nijimura tetap saja masih begitu menarik. Banyak klien perempuan yang berakhir jatuh hati dengan pesona si duda berusia 40 tahun itu. Sebenarnya tak hanya tampang saja yang menarik dari diri Nijimura. Otak yang dia punya lumayan terisi dengan segala informasi yang dibutuhkan dalam penyelidikan. Selain rajin membaca, pengalaman yang Nijimura miliki juga lumayan segudang. Akashi harus belajar darinya.
"Masih ada laporan kasus-kasusmu yang harus kuselesaikan," Akashi mengangkat bahu. "Sepertinya aku akan lembur malam ini." Menjadi asisten dektektif memang memiliki banyak tugas , tapi untuk yang ini tentunya semua berkat ulah Nijimura. Ia terlalu malas untuk membuat laporan kepada kepolisisan pusat. Mau tidak mau Akashi menawarkan diri untuk membantu Nijimura. Meski dalam hati sebenarnya ia juga enggan melakukan hal itu, mengingat banyak kasus—belum dilaporkan—yang telah Nijimura pecahkan sebelum Akashi menjadi asistennya. Akashi sempat berpikir, jangan-jangan ini adalah modus pembulli-an pada anggota baru.
"Tak perlu serajin itu," Nijimura berjalan mendekat dengan dua kaleng minuman dingin tergenggam di tangannya. "Santai saja, para polisi itu bisa menunggu laporan-laporan itu. Bir?" Akashi menggeleng. Bukan karena dia belum legal meminum cairan memabukkan itu, tetapi Akashi memang tidak begitu menyukainya. Rasa asam dan bau yang menyengat bukanlah favoritnya.
"Sudah kuduga kau akan menolak." Sekaleng cola Nijimura letakan di atas meja kerja Akashi. Sebenarnya Nijimura tahu Akashi akan menolak bir yang ia bawa, jadi ia membawa cola sebagai gantinya. Darimana Nijimura tahu Akashi tak menyulai bir? Tentu saja Nijimura telah membaca seluruh informasi tentang Akashi.
"Terima kasih."
Suara ketikan kembali terdengar, Akashi sudah kembali larut dalam pekerjaannya. Selain pintar, Akashi merupakan pemuda yang begitu terampil dalam melaksanakan tugas. Pintar, terampil, berkharisma, dan jangan lupa dia juga tampan. Heran saja sampai saat ini belum ada yang berhasil menarik perhatiannya. Menurut informasi yang Nijimura dapatkan, Akashi pernah menjalani sebuah hubungan yang lumayan serius dengan seorang wanita. Namun sayang wanita itu meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Sepertinya karena hal itu Akashi trauma, dan belum mau untuk memulai suatu hubungan.
"Aku tidak bisa melihatmu, tapi aku merasa kau memperhatikanku," Akashi berkata tanpa menoleh sedikit pun dari laptopnya. "Jujur saja itu membuatku tidak nyaman." Nijimura langsung mendengus tak suka. Apa salahnya mengamati asisten barunya? Niimura butuh informasi tambahan agar ia dapat beradaptasi terhadap kehadiran Akashi di kantornya. Jujur saja selama ini Nijimura selalu bekerja sendirian. Baginya mendapat seorang asisten serasa ruang bebasnya berkurang separuh. "Aku tidak perlu keluhanmu. Aku hanya ingin mempelajarimu, itu saja." Nijimura kembali meneguk cola yang mulai tak dingin lagi. "Aku bukan kelinci percobaan," Akashi membalas, kini menghadap Nijimura dengan raut wajah menunjukan rasa tak suka.
Nijimura memilih tak menanggapi—Akashi mendecak kesal—buku yang baru saja ia beli lebih menarik untuk diperhatikan sekarang. Hanya sebentar, dan Nijimura sudah larut dalam dunianya. Kata-kata yang tertulis bagai mantra penenang hati, Nijimura pasti akan berdiam dalam waktu yang lama di sana. Mungkin ia juga bermaksud menunggu Akashi menyelesaikan laporannya? Bisa saja.
"Kalau sambil tiduran matamu bisa rusak,"ucap Akashi lalu kembali melanjutkan kerjanya. Lagipula Nijimura sekarang sudah tak mengganggu, pikirannya bisa fokus kembali. Deretan-deretan tulisan berantakan pada sebuah note kecil milik Nijimura, sempat menghambat Akashi dalam me-reka ulang kasus yang laki-laki itu tangani. Tak sesuai kronologis, begitu memusingkan. Untung saja tulisan Nijimura tidak sejelek temannya Midorima. Heran kenapa dokter selalu memiliki tulisan tak berbentuk begitu.
Kali ini Akashi tengah membuat laporan tentang kasus pembunuhan seorang wanita muda. Korban ditemukan dalam keadaan tak berbusana—di dalam mobilnya—dengan luka tusuk tepat di daerah dada. Tak ada tanda paksaan, sepertinya sang pelaku orang yang korban kenal. Bisa dengan mudah menumpang di dalam mobil si korban. Kasus yang satu ini tidak terlalu sulit, tersangka adalah kekasih korban. Motif hanya karena pertengkarang sepasang kekasih saja—tersangka menuduh korban selingkuh dan BUM pembunuhan terjadi. "Aku tidak mengerti kenapa orang bisa dengan mudahnya membunuh orang lain?" Akashi bergumam kepada dirinya sendiri. "Mungkin karena mereka berpikir seperti binatang," jawab Nijimura seraya meletakan buku yang ia baca. Ia tampak tengah merenggangkan otot-ototnya yang sedikit kaku.
"Binatang? Kenapa kau berpikir begitu?"
Nijimura menyeringai, "coba saja kau simpulkan sendiri." Berdiri dan berjalan mendekati Akashi, Nijimura seakan menanti jawaban yang akan terlontar dari mulut asistennya itu.
Binatang? Makhluk yang memiliki kemampuan otak di bawah manusia. Semua tindakan berdasarkan insting saja. Makan, tidur, buang air, dan kawin adalah rutinitas yang biasa makhluk-makhluk itu kerjakan. Bagian mana yang menunjukan sisi pembunuh manusia? Ah—cara mereka untuk mendapat apa yang mereka mau terkadang begitu keji, saling membunuh sesamanya saja sering mereka lakukan. Seperti saat berebut makanan ataupun lawan jenisnya. Semua karena insting, mereka tak dapat mengontrol emosi mereka. Seperti manusia yang terkadang tak dapat mengontrol nafsu bejadnya. Mungkin itu jawabannya—entahlah Akashi tak tahu apakah jawaban yang ia pikirkan itu benar. Dia bukanlah psikolog, tak dapat mengartikan alasan tiap perilaku yang manusia lakukan.
"Kuanggap kau sudah memikirkan jawab itu di otakmu," Nijimura menepuk kepala Akashi, tak kencang namun cukup kerasa. "Kurasa cukup untuk hari ini, kau harus mengistirahatkan diri," Nijimura berujar seraya menarik Akashi untuk berdiri. "Kau tak mau'kan tampak kusut jika besok kita kedatangan klien?" dan menyeretnya keluar ruangan.
"Sepertinya kau benar," Akashi tersenyum singkat. "Kalau begitu aku undur diri, sampai besok Nijimura-san." Mereka berdua kini sudah berada di luar kantor, dengan mantel hangat terpasang di tubuh mereka. Hari ini udara malam agak dingin, kalau gegabah sedikit bisa-bisa mereka akan terserang masuk angin. Rasanya akan sangat aneh kalau pria tinggi dengan badan tegap seperti Nijimura masuk angin hanya karena berjalan santai di malam hari. "Ya, kau berhati-hatilah. Meski aku yakin kau pasti bisa menjaga dirimu sendiri," ujar Nijimura dengan seringai di bibirnya. "Aku mantan atlet judo profesional," Akashi melirik seakan memamerkan diri. "Tapi terima kasih sudah mengkhawatirkanku."
"Tak masalah."
Mereka pun pamit, saling melempar salam perpisahan. Kebetulan rumah mereka tak searah, jadi tak bisa saling mengisi kesunyian dengan percakapan ringan. Akashi memasukkan kedua tangan ke dalam saku mantelnya. Tapi mengobrol? Dengan Nijimura? Apa yang bisa mereka bicarakan berdua? Hobi? Pfft—mereka bukan pasangan kencan buta, untuk apa membicarakan hobi. Sejauh ini selain kasus, rasanya tak ada hal lain yang mereka bicarakan. Mungkin Akashi harus membaca buku cara-mencari-topik-pembicaraan-yang-menarik. Bukan ide buruk, mengingat dirinya memang tidak pandai dalam berbasa-basi.
.
TBC
.
Hai, Ini adalah fic pertama saya dengan genre ini ^ ^)/
Terima kasih untuk semua yang sudah mau membaca fic ini dan maaf kalau ceritanya mengecewakan *bows* Dan err—saya sebenarnya kurang pede, maaf kalau ceritanya rada aneh dan tidak masuk akal *bows*
Sekian dari saya, Rakshapurwa undur diri dulu ' ')/
