kimionjung ©2018

Spring May for Spring Boys


Dedicated to our Sodu Visual, Bae Jinyoung's Birthday


.

[Bae Jinyoung x Park Jihoon]

WANNAONE

.

I own nothing, but the story is mine.

.

OLIVANDIES COOKIES

.


Awan masih kelabu. Ranting pohon penuh dedaunan warna hijau cerah itu masih saja berembun. Padahal hujan sudah lewat satu jam yang lalu. Kini hanya tersisa rintik kecilnya saja. Hujan di penghujung musim semi ini datang untuk menyambut kedatangan sang musim panas.

Payung warna merah muda mencolok itu berjalan membelah jalanan kota. Mengikuti jejak kaki Park Jihoon yang berjalan dari kantornya, menuju ke toko kue seberang jalan, bernama Olivandies Cookies. Enaknya, hujan seperti ini meminum cappucino panas dan kue brownies hangat. Maka dari itu ia keluar membelinya, lalu kembali ke kantornya, melanjutkan pekerjaannya.

Bersenandung pelan, ia melihat sekitarnya. Orang-orang berlalu lalang seperti biasa. Dengan payung dan jaket berwarna-warni. Tak jauh bedanya dengan ia yang memakai payung pink dan hoodie warna oranye menyala.

Ia hampir sampai di toko yang ia tuju. Dan pandangannya masih menatap orang-orang yang sibuk dengan dunianya sendiri. Sampai akhirnya perhatiannya tertuju pada seseorang yang duduk sendirian di balkon depan toko Olivandies Cookies. Pakaiannya yang serba hitam begitu mencolok untuk Jihoon, seperti baru melayat dari rumah orang. Tapi ketika Jihoon menatap wajahnya, tubuhnya langsung membeku. Apakah musim dingin baru saja datang? Kenapa ia merasa ada es yang mengguyur tubuh dan otaknya? Karena kini, ia sulit bergerak ataupun berpikir.

Bae Jinyoung ada disini.

Mantan kekasihnya ada disini.

Di Olivandies Cookies.

Berdeham sekilas, Jihoon mencoba mengambil kesadarannya kembali. Otaknya berteriak untuk balik kanan, bubar jalan! Cari toko lain saja!

Tapi hatinya tidak. Ia ingin mendekat lalu menyapa mantan kekasihnya dari 4 tahun yang lalu itu. Wajah Jinyoung terlihat sendu dari sini. Dia menatap kosong ke depan, dan tidak melakukan apapun. Ia memesan secangkir kopi, yang terletak tepat di depan wajahnya sendiri, tapi Jihoon yakin Jinyoung belum menyentuhnya sama sekali.

Dan otak dikalahkan oleh sang hati nurani. Jihoon maju, berjalan menuju toko Olivandies dan memasukinya. Ia meletakan payung pinknya di rak payung dan mendorong pintu kaca. Bunyi gemerincing menyapanya, sekaligus sang pelayan tinggi menghampiri. Tapi Jihoon mengangguk sebentar, dan menunjuk orang yang duduk di balkon yang tak jauh dari pintu.

"Aku ada janji dengannya. Dan tolong datangi kami setelah satu jam, ya." Sang pelayan mengangguk, mengerti akan intruksi Jihoon dan mundur. Kini lelaki cantik itu masuk, memutar jalan sedikit dan akhirnya sampai di pintu kaca yang terhubung dengan balkon toko yang berbentuk setengah lingkaran. Disana hanya ada satu meja dan dua kursi, satu diduduki Jinyoung tentunya. Sejenak ia menghirup nafas sebentar, kemudian mendorong pintu sepelan mungkin. Tak ingin Jinyoung terusik.

Tapi dasarnya Jinyoung memang acuh orangnya, mau Jihoon buka pintu dengan cara ditendang sampai pecah pun, tak akan membuat Jinyoung menoleh. Jinyoung masih diam, sibuk dengan pikiran dan dunianya sendiri.

Satu, berdeham untuk memberitahukan keberadaan.

"Ekhem."

Tak ada perubahan. Jinyoung masih diam.

Dua, tepuk punggungnya.

"Anu..." Jihoon menepuk bahu Jinyoung pelan. Berhasil karena Jinyoung terperanjat. Tapi bukannya menoleh, Jinyoung malah meraih topi di sampingnya lalu memakainya. Ransel hitamnya ia tarik, menaikan masker dan beranjak berdiri.

"Aku tahu aku terlalu lama disini, sebaiknya aku pergi seka-"

"-jihoon?" Suara Jinyoung serak.

"Jinyoung.. apa kau pikir aku pelayan?" Tanya Jihoon agak tersinggung. Perlahan Jinyoung menatap pelayan di dalam kemudian beralih kepada sang alumni hati.

"Maaf, aku tak tahu." Ucapnya bersalah. Tapi Jihoon tidak mendengar. Ia memutari meja bundar kecil itu, kemudian duduk berhadapan dengannya.

"Duduklah, Jinyoung." Seperti anjing jinak yang terlatih, Jinyoung mengikuti perintah Jihoon untuk duduk kembali.

"Lama tidak bertemu." Lanjutnya. Mau itu Jihoon atau Jinyoung, keduanya tersenyum.

"Ya, lama tidak jumpa, Jihoon."


Sejam dihabiskan untuk diam. Setelah sang pelayan datang dan menanyakan pesanan Jihoon, sampai kembali membawa cappucino dan brownies, keduanya masih diam. Di sisi Jihoon yang bingung mencari bahan obrolan, dan Jinyoung yang masih belum percaya di depannya ini benar Park Jihoon atau hanya ilusi belaka. Hanya tercium bau cappucino hangat dan segarnya hujan diantara mereka. Atmosfir dingin dari gerimis pun, tak seberapa dinginnya dengan atmosfir Jihoon-Jinyoung kali ini.

"Eum, bagaimana kabarmu?" Tanya Jihoon akhirnya. Ia memilih untuk yang pertama membuka suara.

Butuh beberapa detik, akhirnya Jinyoung menjawab. "Aku baik."

"Tapi wajahmu tidak. Kau terlihat sedang memikirkan sesuatu yang berat." Jinyoung langsung menaikan arah pandangnya dan menatap Jihoon. Ya, lelaki manis ini sangat mengenal dirinya luar dalam.

"Yah, sedikit masalah menurutku." Jawab Jinyoung, memutar otak untuk mengelak.

"Masalah apa? Lensa kameramu pecah karena terjatuh dari tebing?"

"Ye?" Jinyoung terkejut dengan pertanyaan mendadak Jihoon.

"Atau kau mencuci kameramu lagi di mesin cuci? Hahaha." Tawa Jihoon ringan. Jinyoung kembali menunduk dengan sudut bibir berkedut. Tawa Jihoon adalah suara terindah yang selalu ia ingin dengarkan.

"Menjadi fotografer professional memang tak mudah, kan." Ucap Jihoon setelah tawanya mereda, kemudian menyesap cappucinonya sebelum dingin. Ia melirik Jinyoung yang wajahnya agak memerah yang kembali menatap meja. Dasar, ia memang pemalu akut.

Bae Jinyoung, adalah seorang fotografer. Ini adalah pekerjaan yang sangat ia inginkan dari dulu. Ia begitu menyukai seni fotografi dari sewaktu ia diberi kamera kodak usang dari kakeknya. Kini ia bekerja sebagai fotografer professional dan bergabung dengan tim National Geographic. Ia sudah bepergian ke Afrika, Brazil, bahkan ke Antartika untuk pekerjaannya. Dan begitu mengejutkan ia ada di Korea, di Seoul, minum kopi di Olivandies Cookies.

"Bagaimana dengan kabarmu, Jihoon?" Tanya Jinyoung balik. Gerakan Jihoon yang hendak memotong browniesnya langsung terhenti.

"Aku.. baik. Sebagai seorang editor, aku baik. Masalahku hanya virus komputer, flashdisk hilang atau berkas deadline robek dimakan anjingku." Jawab Jihoon agak gugup. Melihatnya mendadak salah tingkah, cukup membuat Jinyoung tersenyum manis. Padahal ia orang yang pelit senyum.

"Baguslah, dengan begitu aku tahu kita sudah bahagia dengan jalan masing-masing."

DEG DEG!

Pernyataan Jinyoung barusan benar-benar memukul keras perut Jihoon. Tepat di ulu hati, membuatnya langsung mulas dan mual. Perkataan ringan super lurusnya barusan mengingatkan Jihoon akan perpisahaan mereka yang masih terasa sakit hingga sekarang. Masih terasa baru, bak baru kemarin sore mereka putus.

==0==

.

Bae Jinyoung adalah adik kelas Jihoon di PD101 High School. Ia langsung melejit dikarenakan visualnya yang berbeda dari kebanyakan orang. Tinggi, tampan dan wajahnya sangat kecil. Jihoon pikir, jika Jinyoung memakai masker wajah, sepertinya ujungnya harus digunting dulu agar pas dengan wajah kecilnya. Rambutnya hitam, dengan belah tengah. Tapi kepalanya selalu menunduk. Jika pun mendongak, matanya akan berkedip dua kali dalam satu detik. Lucu sekali. Sangat menggemaskan, membuat Jihoon makin penasaran dan ingin mengenal lebih dekat.

Lama kelamaan mereka dekat dikarenakan mereka masuk club yang sama. Gamers club. Tak menyangka jika Jinyoung itu gamers, seperti halnya dia. Mereka sering bermain bersama dan ikut turnamen pertandingan game bersama, walau tidak menang juga.

Akhirnya dekat, saling jatuh cinta dan.. berkencan. Percaya atau tidak, cerita bersatunya mereka sangat konyol dan jauh dari kesan romantis. Di sore hari dimana mereka sedang berada di warnet dekat sekolah, Jinyoung membuat taruhan.

"Kita buat taruhan agar lebih menegangkan. Jika Jihoon sunbae menang, aku akan ikuti apa maumu. Tapi jika aku menang, Jihoon sunbae harus berpacaran denganku."

Jihoon super kaget dengan isi taruhan Jinyoung, tapi melihat kesungguhan di wajahnya yang memerah, akhirnya Jihoon turuti saja.

Mereka bermain game, satu lawan satu. Dan DAANG! Jinyoung kalah. Artinya taruhannya untuk membuat Jihoon sunbae menjadi pacarnya pupus sudah. Tapi Jihoon tersenyum, ia tidak mengejek atau mengolok-olok Jinyoung. Karena sebenarnya ia memiliki perasaan yang sama dengan lelaki berkepala kecil itu. Bahkan jauh sebelum Jinyoung mengenal Jihoon di club gamers.

"Yak! Sebagai lelaki kau harus memegang perkataanmu!" Seru Jihoon, mencoba membuat Jinyoung bernyawa lagi dari keterpurukannya. Malu karena kalah, malu karena ditolak secara tidak langsung.

"Oke, baiklah. Apa permintaan Jihoon sunbae?"

"Bae Jinyoung, jadilah pacarku!"

Begitulah singkatnya mereka bersatu. Padahal Jihoon tak perlu repot-repot menang jika akhirannya meminta Jinyoung jadi pacarnya. Tapi berbeda, setidaknya itu menurut Jihoon. Karena ia setahun lebih tua, maka ia harus memberikan satu langkah lebih awal. Ia yang harus pertama mengajaknya kencan, ya kan?

Hari demi hari berlalu, mereka makin lengket satu sama lain. Jemput pagi, makan bersama, antar pulang, lalu weekend dihabiskan bersama untuk main game atau berjalan-jalan. Mereka layaknya pasangan yang dimabuk cinta di awal langkah suatu hubungan.

Kencan paling berkesan adalah dimana mereka kembali taruhan untuk memenangkan boneka di mesin pengait. Jinyoung sudah habiskan separuh kantung koinnya, dan tetap belum mendapat boneka. Ketika ia melirik Jihoon, lelaki itu bagai menumpahkan isi mesin ke lantai yang kini ia pijaki. Jihoon memenangkan bonekanya setiap kali ia masukan koin. Lelaki manis itu dengan polos menoleh pada Jinyoung.

"Belum dapat, eh?"

Dan semangat juang Jinyoung naik dengan drastis. Wajahnya memerah dan ia menatap nyalang pengait, bagai mengirimkan sinyal telepati -KAU HARUS MENDAPATKAN SATU BONEKA ATAU KAU KU BAKAR SEKARANG JUGA!

Well, keberuntungan tak selalu berpihak pada Jinyoung yang malang. Ia kehabisan koin dan malu pada Jihoon yang menang banyak. Kini mereka duduk berselonjor di sisi mesin, meratapi kemalangan si kepala kecil.

"Kalau kau mau aku-"

"Tak usah." Jawab Jinyoung cepat. Ia tahu kalau Jihoon sedang berempati dan berniat memberikan bonekanya secara gratis. Tapi bukan itu poinnya. Ia ingin menang. Sekali saja. Ia ingin mengalahkan pacar cantiknya ini.

"Kalau begitu, ini ambil koin ku saja. Sana mainkan." Dengan sedikit memaksa, Jihoon memberikan Jinyoung koinnya, menyelipkannya satu buah di telapak tangannya. Malas protes, Jinyoung berdiri dan memasukan koin. Menggerakan pengaitnya dan memencet asal.

"Lihat kan, Jihoon hyung. Aku tak bi- MWOYAA?!" Jinyoung memekik. Ia melompat dan segera menarik bonekanya dari tempat dimana boneka yang berhasil diambil keluar. Dengan bangga ia memamerkannya pada Jihoon. Boneka Jigglypuff pink yang sedang marah.

"Lihat hyung, aku berhasil!"

"Haha, uri Jinyoungie jjang!" Puji Jihoon. Jinyoung kembali mengamati boneka pertamanya yang ia bisa menangi itu, dan menatap Jihoon. Jigglypuff dan pacarnya ini terlihat mirip satu sama lain.

"Nah, ku berikan pacarku boneka yang aku menangi dari mesin sialan ini." Senyum Jinyoung. Ia menyodorkan Jigglypuff itu kepada Jihoon. Si manis berambut coklat itu terdiam. Menatap Jinyoung kebingungan. Dia hanya dapat itu satu-satunya, dan dia berikan itu padaku yang sudah dapat puluhan boneka Pokemon?

Jihoon tersenyum, menerima boneka Jigglypuff dengan sedikit bersemu. "Wah, terimakasih Jinyoungie. Apa kau mau boneka juga? Ku pilihkan ini untukmu." Jihoon berbalik dan memberikan Jinyoung boneka Poliwag biru. Si kepala kecil langsung menukikan alisnya tajam. Merasa tidak mengerti.

"Apa kau sedang mengejekku?"

"Jika ejekan bahwa Poliwag ini mirip denganmu, ya benar!" Kekeh Jihoon. "Ambil ini, anggap saja kau mengadopsi anak. Ini anakmu, tahu." Tambahnya kesal.

Mendengar kata 'anak', Jinyoung hanya bisa tersenyum. Senyum menggoda. "Anak ya? Kalau begitu kau ibunya."

"Hah? Aku ayah, tentu saja!"

"Lalu ibunya?"

"Ya tentu kau, Jinyoungie."

"Tapi lebih pantas kau menjadi ibu, Jihoon hyung."

"Aku lebih manly darimu."

"Manly yang sangat Pinky."

"Yah!"

"Jigglypuff itu adiknya atau kakaknya Poliwag?"

"Kakak. Dan namanya jadi Jihoonlypuff."

"Yang jadi kakak lebih baik Poliwag, eh bukan. Namanya Baeliwag. Dia lebih manly"

"Jihoonlypuff juga manly, kok."

.

==0==

.

Setahun, dua tahun. Akhirnya Jihoon lulus dari PD101 High School. Ia berniat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dengan memilih jurusan jurnalistik di Korea University. Dia memiliki ketertarikan dengan buku, suka mengoreksi kesalahan orang lain, dan menambahkan sesuatu agar terlihat sempurna. Benar cocok dengannya, kan?

Hubungannya dengan Jinyoung pun masih baik-baik saja, walau ada bentrok jadwal mengenai kehidupan mahasiswa dan siswa menengah atas, itu sudah biasa.

Setahun kemudian, Jinyoung pun lulus dan melanjutkan ke universitas yang berbeda dengan Jihoon dengan jurusan fotografi, mengikuti minatnya. Jihoon pernah berpikir kalau Jinyoung kelewat tampan hanya untuk berdiri di belakang kamera. Harusnya ia yang dipotret, bukan memotret.

Setahun kembali berlalu. Jadwal mereka makin padat dan bertentangan satu sama lain. Dimana Jihoon ada waktu, Jinyoung pergi ke luar kota. Dimana Jinyoung ada waktu, Jihoon kelelahan dan tertidur bersama tumpukan buku referensinya. Tak pernah ada waktu. Hingga dimana semuanya sudah mencapai batasnya, mereka tidak bisa berjalan bersama lagi.

"Ku pikir, kita sudah tidak bisa bersama lagi." Ini suara Jihoon, berbicara di seberang sana, melalui sambungan telefon. Dan bodohnya Jinyoung, ia kehilangan ponselnya di gunung. Jadi ia menghubungi Jihoon lewat telfon umum. Tapi malah ini yang ia dapatkan. Pernyataan untuk tidak bisa bersama lagi, alias putus hubungan.

Dengan suara bergetar, Jinyoung menjawab "K-kenapa tiba-tiba?"

"Eum.. kau tahu, profesi kita sangat bertolak belakang. Aku tak yakin sebuah hubungan masih bisa berjalan atau tidak. Kita menjalani long distance relationship hampir satu tahun dan sangat menyiksa. Memang benar kita sudah bersama 4 tahun lamanya, tapi aku tidak ingin kita menyakiti satu sama lain lebih lama lagi." Ucap Jihoon dengan nada sendu. LDR apanya, pacarnya ini memang ada di depan matanya, tapi terasa sulit untuk digenggam saja. Dan Jinyoung paham, bahwa Jihoon butuh keberanian yang kuat untuk mengucapkan itu semua.

Walau ia terus menahan genangan air matanya, nyatanya Jinyoung sedikit terisak. Lidahnya kaku, mulutnya terasa pahit. Ia malas bicara, sangat tidak mau sekali berbicara pada Jihoon atau siapapun.

"Baiklah, jika itu maumu."

"Bukan untukku, tapi untuk kebaikanmu juga. Ku pikir... kini semuanya sudah berubah, Bae."

"Tapi aku tidak akan pernah berubah. Masih tetap mencintaimu."

"Aku juga sama."

"Kau tahu, aku hampir diterkam beruang ketika menyelamatkan Baeliwag yang mencuat dari tasku ketika berada di pedalaman Kalimantan. Tapi aku berhasil selamat. Begitu juga dengan anak kita." Ucap Jinyoung melantur. Entah kenapa ia ingin sekali bercerita tentang itu.

"Oh ya? Aku senang Baeliwag selamat. Jaga dia, rawat sampai besar. Disini pun aku akan, hiks-hiks.. aku akan merawat Jihoonlypuff." Jihoon menangis di ujung suara sana. Terdengar konyol memang, merawat benda mati yang tak akan pernah besar, adalah suatu kemustahilan. Seperti hubungan mereka yang mustahil bersama. Dan Jinyoung pikir, Jihoon akan memintanya membuang semua benda kenangan mereka. Tapi tidak, dia memintanya untuk merawatnya.

"Aku ingin putus denganmu secara baik-baik, Bae." Jinyoung memejamkan matanya. Mencermati suara Jihoon yang entah memanggilnya Bae, atau marga depannya saja. Menyimpannya dalam memori paling pentingnya.

"Ya, kita putus secara baik-baik." Setuju Jinyoung akhirnya.

"Jaga dirimu, Bae Jinyoung."

"Kau juga, Park Jihoon."

Keheningan melanda. Tak ada suara yang menjawab. Jinyoung pikir Jihoon sudah mematikan sambungan, atau pria itu meninggalkan ponselnya.

"Semoga kita bisa bahagia dengan jalan masing-masing."

TUUT TUUT. Jinyoung memutus panggilannya. Tubuhnya merosot ke tanah, dan ia menangis kencang. Tak peduli jika ada pejalan kaki yang lewat, ia akan tetap disana. Meraung keras, sampai rasa sakit ini hilang.

Diputuskan ketika masih sayang-sayangnya.

...

..

.

Jihoon tipikal orang yang suka berada di dalam ruangan. Matahari adalah musuh terbesarnya, jika terpapar sedikit maka kulitnya kemerahan, bukan menjadi gelap. Mencintai buku dan game, kadang jika harus olahraga itu pun di dalam gym. Ia akan keluar ruangan jika itu diperlukan. Sangat menyukai keteraturan dari bangun pagi sampai tidur lagi.

Berbeda dengan Jinyoung. Ia tipikal orang yang suka berpetualang dan menyukai tantangan. Ia suka mendaki dan memotret fajar. Atau menyelam di laut kepulauan Raja Ampat dan memotret sekumpulan ikan barakuda yang ajaibnya sedang lewat. Ia anak yang sangat outdoor, itulah mengapa kulit Jinyoung sangat eksotis gelapnya. Ia bebas dan lepas dari peraturan. Sangat bertentangan dengan seorang Park Jihoon.

Maka dimana Jihoon menuntut sesuatu darinya, Jinyoung tak yakin bisa memberinya apa-apa. Ia begitu banyak kekurangan, dan Jihoon memiliki semua kelebihan. Akankah ia pantas untuknya?

Daripada memaksakan kehendak, lebih baik ia lepaskan. Jihoon mungkin akan lebih bahagia dengan orang lain. Orang yang cocok dan sejalan dengannya. Tidak sepertinya yang mandi saja kalau itu ingat.

.

==0==

"Omong-omong, kenapa kau ada di Korea? Kau sudah kembali dari tugas lapanganmu?" Tanya Jihoon akhirnya. Memecah lamunan Jinyoung mengenai flashback hubungan mereka yang indah kemudian kandas.

"Aku ada urusan." Singkat, padat dan tidak jelas, ciri khas seorang Bae Jinyoung. Jihoon ingin bertanya lebih detail, tapi tidak ingin terlihat begitu penasaran.

"Oh okey." Pandangan Jihoon jatuh pada cangkir kopi Jinyoung yang masih penuh dan sudah dingin.

"Kau berada di sini dari jam berapa? Kopimu sudah dingin dan tidak tersentuh sama sekali." Ucap Jihoon pelan. Jinyoung pun baru menyadari kalau dia memesan kopi tadi.

"Eh? Aku disini sejak jam 10 pagi. Dan aku tak ingat memesan ini, haha. Bodohnya aku." Tawa Jinyoung canggung. Ia meraih kopinya, kemudian meminumnya. Mengerenyit sedikit ketika sadar rasanya tak terlalu enak jika sudah tidak panas. Dan demi jenggot Jihoon yang tak pernah tumbuh, ini sudah jam 4 sore! Pantas saja Jinyoung merasa akan diusir ketika ia didatangi seseorang yang dikiranya pelayan.

Ketika Jinyoung meneguk kopinya, Jihoon beralih memperhatikan punggung tangan Jinyoung. Disana ada bekas cakar yang cukup panjang. Dipikir-pikir, penampilan Jinyoung sangat aneh. Ia memakai jaket bomber hitam, celana longgar hitam, topi hitam, masker hitam, ransel hitam. The Real Deep Dark is Here. Apa pria ini pembunuh bayaran? Atau apa? Kenapa serba hitam?

"Jinyoung, tanganmu?" Mengacuhkan pikiran melencengnya, Jihoon lebih suka menanyakan kabar tangan tercakar Jinyoung.

"Oh ini? Ku dapatkan luka cakar ini ketika memotret cheetah yang mengejarku sampai ke atas pohon di Afrika. Ia meraih kameraku, aku berusaha mengambilnya kembali. Dan yah, tercakar. Cukup dalam, tapi aku sangat beruntung karena tidak diamputasi." Jinyoung memandang punggung tangan kirinya dengan penuh kekaguman. Berbeda dengan Jihoon yang mengerenyit ngeri. Diamputasi di tangan kiri, yang terbayang di benak Jihoon adalah rasa kasihan pada pengantin masa depan Jinyoung yang tidak bisa memakaikannya cincin kawin di jari manis kiri, ya kan? Diterkam beruang di Kalimantan, dicakar cheetah di Afrika. Lalu apa lagi?

"Kau yakin pekerjaanmu itu aman?" Ceplos Jihoon.

Untuk sejenak Jinyoung terdiam, hatinya sedikit tertohok. "Aman, selagi kita tahu caranya. Kau tahu, orang yang berjalan pun akan kecelakaan jika ia tidak memperhatikan jalan-"

"Bukan, bukan maksudku mengkritik pekerjaanmu, Bae. Hanya saja-"

"Tunggu, kau barusan memanggilku apa?" Jinyoung memicingkan matanya. Dan Jihoon langsung mengatupkan mulutnya, salah bicara! Sudah kebiasaan dia menyebutnya Bae sih.

"Eumm.. kopi itu. Aku biasa melihat kau memposting banyak latte art di instagrammu." Ucap Jihoon mengalihkan pembicaraan. Dan Jinyoung turuti saja, ia memandang kopinya sebentar.

"Ya, kadang sih."

"Latte art paling cantik menurutmu yang mana?"

"Yang di Italia, mereka punya latte artist yang sangat professional. Karyanya begitu cantik. Jika ada kesempatan, aku ingin mengajakmu kesana, haha." Canda Jinyoung. Berbeda dengan Jihoon, si lelaki manis itu merona. Kenapa Jinyoung ingin mengajaknya kesana? Ia jadi berharap lebih, kan.

"Mengenai instagram, ku lihat kau memposting selfie sedang berada di Jepang dengan seseorang ya?" Kini giliran Jinyoung yang bertanya. Wajah Jihoon yang memerah, kini mendadak putih pucat. Seseorang ya.

"Ah itu.. dia Woojin." Ucap Jihoon sangat pelan, bagai jika dikeraskan sedikit maka hati Jinyoung pecah. Dan memang, hati Jinyoung retak. Makin retak lagi ketika melihat Jihoon seakan salah tingkah, gugup ketika ditanya ke ranah pribadi.

"Pacar?"

"Eum.."

"Suami?"

"Hah?"

Wajah Jihoon memerah, sampai ke telinga. Disitulah Jinyoung tahu, dia tak seharusnya bertanya karena hatinya makin saja berdarah-darah.

"Wah, benar-benar! Tebakanku tepat!" Tawa Jinyoung canggung. Dalam hati ia meringis. Sialan, siapapun itu yang bernama Woojin. Dia berhasil menarik Jihoon menjauh dari zona nyamannya, dan secara ajaib menariknya ke Jepang. Padahal Jihoon tak akan pernah mau meninggalkan Korea, atau kamarnya sekalipun.

"Yah.. mantanku ini akhirnya mendapatkan tambatan hati. Aku turut senang." Senyum Jinyoung. Bohong! Ia seorang pembohong! Karena dihatinya kini, ia merutuki dan menyumpahi si Woojin itu agar cepat mati dan pergi ke neraka! Tapi ia tak bisa mengatakannya pada Jihoon secara terang-terangan, kan.

"Dan kau..?" Tanya Jihoon hati-hati. Memperhatikan ekspresi Jinyoung yang mengeras, entah karena apa. Mata mereka bertatapan. Mata tajam hitam Jinyoung, bertemu dengan mata coklat indah Jihoon. Dan Jinyoung meringis, merasakan keinginan yang begitu besarnya ingin kembali memiliki Park Jihoon. Tapi ia tak bisa se-egois itu, lelaki di depannya ini sudah menjadi milik orang.

"Aku... belum pernah menyukai siapapun sejak putus darimu."

"Y-ye?" Pekik Jihoon kaget. Jinyoung bahkan sampai terlonjak dengan pekikan Jihoon. Apakah si manis itu terkejut ketika tahu Jinyoung belum bisa move on? Ia puas melihatnya masih terpuruk dengan cinta pertamanya? Ia senang? Sampai memekik seperti itu?

"B-bagaimana dengan Daehwi?" Tanya Jihoon ketika ia berhasil menguasai diri. Kebahagiaan membuncah di dadanya. Ia senang saja, Jinyoung belum memiliki pacar. Yang artinya, ia belum bisa berpaling dari Jihoon.

"Daehwi itu milik Samuel, sudah berapa kali ku katakan? Bahkan akhir tahun ini mereka akan menikah."

"Jinjja?!" Pekikan kedua terdengar. Jihoon gampang kagetan sekarang.

"Mana mungkin aku berbohong. Daehwi bagai adik kandungku."

"Lalu Minhyun sunbae?"

Sejenak Jinyoung terdiam. Kenapa menanyakan dia? Jinyoung memang dekat dengan Minhyun hyung, tapi tidak ke dalam ranah percintaan.

"Dia bagai ayahku." Jawab Jinyoung pendek. Jihoon kembali ke mode diamnya.

Satu kesimpulan yang ia dapat, Jinyoung single.

==0==

.

Dan entah bagaimana caranya, kenangan di hari pertama mereka officially end terputar balik di kepala coklat si cantik Park.

Jihoon waktu itu langsung menjauhkan ponselnya, ia tak ingin Jinyoung mendengar isakan pilunya ketika ia meminta mengakhiri hubungan. Lalu kemudian suara dalam yang sangat ia kenal terdengar lagi.

"Semoga kita bisa bahagia dengan jalan masing-masing."

TUUT TUUT. Jihoon langsung melempar ponselnya ke sudut ruangan lalu meringkuk di lantai. Kata maaf terus mengalir di bibirnya. Merasa bersalah karena hubungan mereka yang dimana Jihoon menginginkan lebih banyak waktu bersama, tapi jatuhnya malah semakin tidak karuan. Ketika ia sudah kesulitan bernafas, Jihoon pun bangkit. Memasuki kamar mandinya, menyalakan shower dan kembali meneruskan tangisannya.

Jinyoung adalah cinta pertamanya yang sangat berharga. Ia tak percaya akhirnya mereka menemui sebuah akhir cerita.

Hari berikutnya, Jihoon menghabiskan waktunya dengan menonton film drama-komedi. Tapi itu tidak membantu sama sekali. Ketika ia melihat seorang tentara lewat di film tersebut, pikiran itu langsung melayang masuk ke otaknya. Ia berlari keluar kamar lalu menuruni tangga, mendobrak dapur dan berteriak pada Ibunya, "Eomma, aku ingin pergi wajib militer sekarang juga!"

Jihoon akhirnya melakukan apa yang ia inginkan. Dia mengambil cuti dari perkuliahannya dan menjalani wajib militer. Ia sebenarnya hanya ingin menyibukan diri, membuat tubuh dan otaknya lelah, agar kemudian melupakan Bae Jinyoung begitu saja. Ia pun tak mau menemui lelaki tampan berwajah kecil itu lagi. Sekecil mungkin kesempatan, ia tak mau bertemu ia di jalan atau dimana pun. Maka dari itu ia pergi ke sini.

Berbeda cerita dengan Jinyoung, ia masih menjalani kehidupan berat perkuliahannya, walau ia datang ke kelas seperti mayat yang baru dihidupkan. Tubuhnya bergerak, tapi tidak untuk nyawanya. Ia memaksakan tubuhnya melakukan segala hal. Dari menghabiskan waktu pagi harinya untuk belajar dan malam harinya untuk bermain game. Tanpa tidur dan tanpa makan sama sekali. Ibunya sudah memarahi Jinyoung dengan berbagai cara memaksanya untuk makan, tapi tidak satu pun yang berhasil. Hingga akhirnya hari ke tujuh Jinyoung begadang, ia drop dan pingsan. Langsung saja Ibunya menelfon ambulans dan pemuda Bae itu dipaksa dirawat di rumah sakit.

.

Keduanya masih mencintai satu sama lain. Jauh di lubuk hati yang paling dalam, masih tertulis nama masing-masing. Hanya saja mereka tidak menemukan cara untuk memperbaiki keadaan. Putus ternyata bukan jalan yang benar. Karena mereka berdua kini lebih tersiksa daripada sebelumnya.

.

Jinyoung berusaha untuk hidup kembali setelah sekian lama mendekap di rumah sakit. Minhyun sunbae, salah satu kakak tingkatnya yang cukup dekat, tak ada lelahnya terus menjenguknya di kamar rawat. Begitu juga Daehwi dan pacarnya, Samuel. Mereka datang hanya untuk membuat gaduh ruangan. Jinyoung tak bisa ingat kenapa bisa berteman dengan mereka. Tapi, cukup dengan kehadiran mereka saja, Jinyoung merasa cukup pulih untuk berjalan lagi.

Hari demi hari berlalu. Jinyoung bergabung dengan tim National Geographic dan tak pernah menginjakan kakinya lagi ke Korea. Ia akan pulang jika ibunya sudah mengancam mencoret nama Bae Jinyoung dari daftar keluarga.

Kehidupan Jihoon pun terus berlanjut. Setelah keluar dari wajib militer, ia melanjutkan studinya dan mendapat pekerjaan di media cetak ternama di Korea. Ia menjadi lebih pendiam dari biasanya. Tapi itu malah menambah daya tariknya. Jihoon melejit dengan image cute tapi cool-nya. Dari senior sampai junior, semua menggilainya.

Semua mendaftar giliran, ingin menjadi pacar Jihoon mau itu perempuan atau laki-laki. Dan bodohnya si Park, dia malah menerima semua pernyataan cinta. Terima disana terima disini, sehari saja dia bisa berpacaran sekaligus lima orang. Kemudian kelima orang itu saling labrak lalu jambak-jambakan. Pada akhirnya Jihoon dipukul dan mereka bersamaan meneriakan kata "KITA PUTUS!"

Semua pukulan, jambakan, tamparan dari para mantan yang ia tak ingat siapa saja, itu tidak lebih dari sapuan angin lalu. Rasa sakitnya tidak ada apa-apanya dengan rasa sakit ketika ia berpisah dengan Bae Jinyoung-nya.

Mantannya yang terakhir adalah Park Woojin. Dia adalah penyanyi asal Korea yang debut di Jepang. Ketika media agensi Jihoon mewawancarainya, Woojin jatuh cinta pada pandangan pertama dan memintanya berpacaran. Yang mengambil foto selfie berdua dengan latar belakang bunga sakura itu Woojin. Dan yang memasukannya ke akun instagram Jihoon adalah Woojin. Sialan memang, ia lupa menghapusnya. Entah cenderung tidak peduli atau memang tidak penting, jadi terlupakan begitu saja. Eh tahu-tahu sudah di-love oleh Bae Jinyoung. Tapi hubungan Jihoon dengan idol Jepang itu memang tidak berjalan baik. Jihoon sangat acuh kepada Woojin, setelah dua minggu lelah dengannya, akhirnya Woojin memutuskan Jihoon.

Woojin masih lebih baik dari yang lainnya, yang memutuskannya lewat pesan. Tidak seperti mantannya yang mendemonya secara bar-bar. Memang perasaan tidak bisa dipaksakan. Berhubungan dengan siapa, tapi hati dan tubuh masih milik siapa. Itu karena pikiran Park Jihoon masih tentang si kepala kecil yang sedang berkelana entah ke ujung negeri mana.

Dan Jihoon sangat merindukannya.

.

==0==

"Jihoon, aku sudah menimbang-nimbang. Apa aku harus memberitahukan ini padamu atau tidak." Ucap Jinyoung tiba-tiba. Lamunan Jihoon langsung buyar, kembali fokus kepada lelaki berparas tampan serba hitam di depannya.

"Kenapa? Katakan saja."

Sejenak Jinyoung menarik nafas dalam. "Mulai saat ini aku akan tinggal di Korea. Aku akan meninggalkan National Geographic dan membangun solo karirku dengan membuat brand jasa fotografi atas namaku sendiri. Yah, walau itu berarti aku harus berusaha dari nol lagi, tapi aku akan disini." Di sampingmu di Korea, lanjut batin Jinyoung. Terlihat wajah Jihoon berubah perlahan, dari biasa saja menjadi sangat senang. Matanya melengkung cantik dan bibir merah itu tersenyum lebar. Senang akhirnya Jinyoung tidak berkelana lagi dan berencana menetap disini.

"B-benarkah? Wah, itu berita yang sangat bagus."

"Begitulah. Aku juga harus memutihkan kulitku yang gelap ini." Candanya. Jihoon tertawa, baru menyadari kulit Jinyoung sangatlah gelap. Jika dilihat lebih detail lagi, kini Jinyoung memotong rambutnya sangat pendek. Tapi itu terlihat lebih fresh dan dewasa. Di sisi lain Jinyoung juga ikut menertawakan lelucon kulitnya, tapi perlahan senyum itu memudar. Jihoon memiringkan kepalanya, menunggu Jinyoung yang sepertinya akan mengatakan sesuatu lagi.

"Ada apa, Jinyoung?"

Butuh waktu dua menit untuk Jinyoung membuka mulutnya. Ia terlihat sangat gugup. Jari-jarinya saling tertaut, dan ia menggigit bibirnya kelu. Tanpa sadar Jihoon pun menggigit bibirnya juga.

Perlahan Jinyoung meraih zipper jaket bombernya. Ia turunkan sampai bawah dan membukanya lebar. Seragam loreng hijau langsung terlihat ketika Jinyoung melepas penuh jaketnya. Jihoon langsung terbelalak dan menatap Jinyoung bingung.

Ini.. ini tidak seperti yang ia pikirkan, kan? Ia pikir Jinyoung sedang cosplay karakter Yoo Sijin, atau siapa saja bukan? Tapi bagaimana pun juga, seragam Jinyoung benar-benar seperti tentara Korea Selatan biasanya.

"A-apa yang kau-"

"Aku berniat mengikuti wajib militer. Sebenarnya itu alasan utamaku kembali ke Korea."

DEG DEG!

Jihoon menegang. Tangannya terkepal dan menatap Jinyoung nyalang. Baru satu jam ia melihat Jinyoung, kini lelaki itu hendak pergi lagi?

"Aku sudah melakukan semua tes dan pelatihan. Dan aku cukup tangguh untuk membuat orang-orang itu menjadikanku Sersan di divisiku. Kenapa tidak sekalian jadi Kapten saja ya, haha." Tawa garing Jinyoung. Ia seharusnya senang memberitakan hal bagus itu kepada Jihoon. Tapi wajahnya sangat sendu. Kesedihan datang berkali lipat, ketika sadar tugas Sersan cukup berat dan itu membuatnya akan susah untuk melakukan apapun di dunia luar. Apalagi jika dia mempromosikan diri menjadi Kapten. Bahkan untuk liburan pun sepertinya tidak ada waktu. Jinyoung merasa sangat lemah secara mental, dibanding fisik kuat yang setingkat Sersan.

"B-bukankah itu bagus? Kau hebat, Bae Jinyoung. Kau bisa jadi Kapten!" Semangat Jihoon. Ia memberikan senyum terbaiknya, berharap Jinyoung terhibur.

"Terimakasih." Lemas Jinyoung. Kembali ia menundukan kepalanya.

Tiba-tiba hujan turun deras menggantikan rintik kecil gerimis yang berselang. Jinyoung melirik Jihoon, terlihat bahu lebar itu bergetar. Tunggu, apa ia kedinginan?

Dengan santainya Jinyoung berdiri, menyelimutkan jaket bomber hitamnya ke punggung Jihoon, dan kembali duduk. Jihoon yang sadar akan perlakuan gentle itu, malah menundukan kepalanya lebih bawah.

"Pakailah jaketku, itu akan membuatmu lebih hangat." Tapi bukan jawaban yang terdengar, melainkan sebuah isakan kecil. Jihoon menangis!

"Hiks... hiks, Jinyoung bodoh.. hiks."

"T-tunggu, kau menangis?" Sudah 4 tahun berlalu, ini pertama kalinya ia melihat Jihoon menangis lagi. Dan karena itu juga kini ia bingung, harus bertindak bagaimana jika mantan menangis di depan mata?!

Jihoon mengusap matanya dan mendongak. Menatap Jinyoung dengan pandangan kesal yang masih sembab. Beraninya kau hadir di depanku, dan kemudian pergi lagi Bae Jinyoung, batinnya.

"Kapan kau pergi?"

"Eum.. lusa. Besok aku harus berpamitan kepada ibuku dulu."

"L-lusa?" Jihoon tampak berpikir, kemudian menatap Jinyoung kaget.

"Lusa itu tanggal 10 Mei. Ulangtahunmu kan." Ucap Jihoon yang mulai pulih dari isakannya. Jinyoung tersenyum, senang karena lelaki manis itu masih mengingat tanggal lahirnya.

"Ya, aku sengaja memilih tanggal itu."

"Heol. Hadiah ulangtahunmu yang sekarang adalah dimarahi habis-habisan oleh seniormu. Rasakan itu."

"Ya, itu lebih baik."

"Kenapa? Sudah menemukan hal yang lebih menyakitkan daripada dimarahi senior?"

Diputuskan olehmu, jawab Jinyoung. Tapi jawaban itu tidak terucap tentunya. Ia beralih memamerkan luka cakaran di tangannya.

"Ini contohnya." Dan Jihoon berdecih, Jinyoung selalu punya jawaban untuk mengelak.

Melihat luka cakar itu, kini pandangannya merambat ke jam tangan yang ada di tangan kirinya. Sudah hampir jam 6, ia akan ketinggalan bus yang akan mengantarkannya menuju rumah orangtuanya.

"Anu.. Park Jihoon. Aku harus pergi." Wajah Jihoon langsung menyendu. Ia menatap Jinyoung tidak terima kemudian menunduk lagi. Mengacuhkan Jinyoung yang kini menukar topi hitamnya, menjadi topi loreng hijau khas militer. Ada lencana disana, lencana Sersan. Tingkat yang mustahil diraih untuk anak yang baru menjalani pelatihan dasar. Setelah memakai topi, masker hitam, ransel hitam, dengan seragam militer pendek selengan dan celana lapangannya, Jinyoung kembali menghadap sang alumni hati yang masih ada di hatinya sampai kini.

"Dengar, Jihoon. Aku pikir ini agak berlebihan. Tapi..." Jihoon mendongak, menatap Jinyoung.

"Maukah kau menungguku?"

"Ye?"

"Ah.. ini memang agak berlebihan kan? Kau mana mungkin mau." Jinyoung bersiap berbalik pergi, tapi Jihoon bangkit mengcengkram tangan Jinyoung. Menghadapkannya, membuat mereka kini bertatapan.

"Aku akan menunggumu, tentu."

"Benarkah?"

"Ya." Jutaan kembang api bagai meletus di dada Bae Jinyoung yang selama ini hanya terisi hujan badai saja. Rasanya begitu bahagia mendengar Jihoon mau menunggunya.

"A-aku senang. Sangat senang jika ada orang yang menungguku. Itu membuat diriku merasa lebih berarti." Ucap Jinyoung malu-malu.

Tiba-tiba Jihoon melemparkan dirinya ke dekapan Jinyoung. Ia menerjangnya, memeluk leher si pemuda Bae dengan sangat erat.

"Cepatlah pergi, dengan begitu kau akan lebih cepat kembali. Ingatlah aku selalu menunggumu." Pesan Jihoon di telinganya. Dan Jinyoung balas memeluk. Membenamkan hidungnya di perpotongan leher Jihoon. Kembali menyapa tempat favoritnya yang sudah lama tidak ia jamah.

"Terimakasih, Jihoon." Ia ingin melupakan fakta bahwa Jihoon sudah ada yang punya, si sialan Woojin itu kan. Kini, detik ini, yang ia tahu, di dunia ini hanya ada dia dan Jihoon seorang.

Setelah 10 detik mereka berpelukan, dengan enggan Jihoon melepasnya. Jinyoung terlihat tak terima, masih ingin merasakan kehangatan Jihoon.

"Bisakah kita berpelukan lagi?"

"Tidak, nanti kau telat. Dan di luar masih hujan, kau tak apa?"

"Halte dekat dari sini, tinggal lari saja."

"Baiklah kalau begitu."

Jinyoung berbalik, menuju pintu kaca dan membukanya. Berjalan memutar dan akhirnya sampai di pintu masuk. Ia berancang-ancang untuk berlari menembus hujan jika saja suara Jihoon tidak menginterupsinya. Berteriak keras dari balkon luar ke pintu masuk.

"Jinyoungie, kau tampak sangat tampan dengan seragam itu." Membulatkan matanya, Jinyoung kaget dengan pujian mendadak barusan.

"Dan nomorku masih yang dulu." Jihoon tersenyum penuh arti. Berharap Jinyoung mengerti akan kode barusan. Dan si pemuda Bae pun menganggukan kepalanya. Memberinya senyum perpisahan.

"Ya. Sampai jumpa lagi, Park Jihoon!"

"Fighting, Bae Jinyoung!"


Jam 8 pagi, sudah waktunya para wali melepaskan para siswa prajurit yang harus segera memasuki lapangan khusus untuk apel bersama. Di sudut sana, ada Bae Jinyoung yang menggendong tas beratnya dan jaket tebal hitamnya. Sang ayah menepuk bahunya, mencoba menguatkan. Dan sang ibu tak henti-hentinya menangis. Terharu karena anaknya sudah besar, sedih karena harus ditinggal untuk beberapa waktu lamanya.

"Eomma sudahlah. Bahkan aku pernah lebih lama meninggalkan rumah, enam bulan di Alaska. Jika ditambahkan beberapa petualanganku, dua tahun disini belum ada apa-apanya~" Tutur Jinyoung manja, mencoba menghibur sang ibunda.

"Ini berbeda. Anakku disana akan dilatih sangat keras. Kau yakin kau kuat?"

"Eommaa~ aku ini Sersan muda, aku sangat kuat." Jawab Jinyoung dengan sedikit aegyo. Dan berhasil, itu membuat ibunya sedikit tersenyum.

"Baiklah baiklah, pergilah sayang." Sang ibu mengecup kedua pipi Jinyoung.

"Kau bisa, nak." Kini sang ayah memberikan pelukannya.

Dan Jinyoung melirik orang yang berdiri di sisi kanan ayahnya, ialah Hwang Minhyun. Ia berdiri dan tersenyum sangat kebapakan. Oh lihatlah sudut matanya pun berair. Benar-benar seperti ahjussi tua.

"Sini peluk hyung, Jinyoungku." Dan tanpa bisa menolak, Jinyoung mendekat dan memeluk Minhyun.

"Aku tak percaya kau akhirnya berani mendaftar wajib militer. Ku pikir kau selama ini kabur dari tugas itu."

"Yah!" Jinyoung protes. "Itu tidak benar. Tugas lapanganku yang menuntutku selalu di luar Korea."

Hwang Minhyun hanya tersenyum, ia hanya menggoda Jinyoung sedikit, bukan benar menuduh yang tidak-tidak.

"Daehwi dan Samuel masih di California, mereka tak bisa datang."

"Tak apa, aku tahu."

Dan Minhyun pun mengangguk. Mempersilahkan Jinyoung untuk segera menghadiri apel bersama.

"Aku pergi sekarang."

Dan Bae Jinyoung berjalan mundur, meninggalkan kedua orangtuanya dan Minhyun yang terus melambaikan tangannya. Ia senang, ada orang yang menyemangatinya. Tapi hatinya mengharapkan satu orang lagi. Ia yang kemarin lusa bertemu di cafe Olivandies dan menghidupkan lagi api kehidupan yang bernama harapan.

Apa Jihoon tahu aku pergi pukul 8 pagi?

Apa Jihoon tahu camp dimana Jinyoung ditugaskan?

Apa Jihoon akan datang?

Pikiran itu terus mengelilingi otaknya. Matanya nyalang memandang sekitar, berharap menemukan seseorang. Tapi tidak ada. Hanya sekumpulan siswa prajurit yang sedang memberikan salam perpisahan.

Ketika Jinyoung berjalan lemas menuju gerbang, ia melihat spanduk besar yang ia tak sadari mengapa terpasang disana. Spanduk putih besar, dan ada gambar prajurit kecil dengan wajah dirinya yang sengaja dibesarkan. Karikatur tertara yang lucu. Dengan di sampingnya tulisan penuh warna berbunyi,

"FIGHTING BAE JINYOUNG! AKU AKAN SELALU MENUNGGUMU!"

Senyum merekah di wajah Jinyoung. Ia tahu siapa tepatnya orang yang membuat spanduk konyol itu.

Dan disitulah ia hadir. Park Jihoon keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan keluar dari balik spanduk besar buatannya.

"Bagaimana? Keren tidak? Aku menghabiskan waktu dua jam membuatnya."

Jinyoung tak bisa berhenti tersenyum. Ia begitu bahagia dan rasanya ingin memeluk Jihoon lagi. Tapi tak bisa, kalau ia peluk, maka ia tak bisa melepaskannya dan melupakan tugasnya menjadi seorang prajurit di camp militer.

Jihoon memakai setelan manis hari ini. Sweater kebesaran pink soft, dengan jeans navy yang terlihat kasual tapi sangat cocok untuknya. Jangan lupakan jaket bomber hitam yang disampirkan di bahunya, tak lain adalah jaket Jinyoung yang kemarin lusa.

Balik si manis Park tersenyum lebar, menatap Jinyoung yang gagah dengan seragam militer lengkap. Ia juga menelisik potongan rambut Jinyoung yang jauh lebih pendek terlihat dibalik topi loreng hijaunya.

"Keren sekali, aku sangat terharu. Terimakasih, Jihoon."

Sebelum Jihoon sempat menjawab, terdengar peluit keras memanggil dari lapangan. Jinyoung benar-benar harus pergi atau dia akan mendapat hukuman.

"Ah, aku harus pergi."

Jihoon terlonjak. Segera ia menunjuk tulisan kecil yang sulit dibaca di sisi kanan spanduk.

"Jinyoung, baca ini dulu." Pinta Jihoon. Sedikit gusar, ia pun mengalah dan mendekat untuk membaca lebih jelas tulisan itu.

Tanpa sadar ia membacanya dengan suara agak lantang. "Aku single."

Kedua alis Jinyoung menukik. Ia menatap bingung Jihoon dengan kepala miring tak mengerti.

"Maksudmu?"

"Aku tak punya pacar, Jinyoung. Itu informasi yang cukup penting untuk kau tahu, menurutku." Jelas Jihoon dengan suara yang makin pelan di akhir kalimat. Jinyoung membulatkan manik hitamnya, terkejut.

"T-tapi Woojin itu?"

"Kemarin kau salah paham. Aku dan dia sudah putus. Dia mantanku yang ke.. sekitar lah. Aku lupa hehe.."

"Heol, kau benar-benar sangat menikmati mendapat pacar banyak, huh?"

"Daripada kau yang tidak bisa berpaling dariku?"

"Eh?" Jinyoung terkejut. Memang benar, tapi tak usah dijelaskan, kan?

Tiba-tiba si manis maju, ia berjinjit sedikit kemudian mengecup sebelah pipi Jinyoung. Prajurit Bae langsung membulatkan matanya, kaget akan 'hadiah' yang sangat tidak terduga. Rasa kesalnya karena disindir keras tadi langsung lenyap. Berbanding dengan Jihoon yang memandangnya tanpa dosa.

"Jadi?" Tanya Jihoon.

"Jadi, apa?" Tanya balik Jinyoung.

"Jadi apa?"

"Jadi apa apanya?" Jinyoung kini balik mengerjai Jihoon.

"Jadi kau harus segera pergi bodoh, Komandan sudah akan memasuki lapangan!" Usir Jihoon keras. Ia menendang bokong Jinyoung kemudian tertawa melihat si kepala kecil itu terbirit masuk lapangan. Benar-benar ya, bocah satu itu.

Di sisi lain, Jinyoung tersenyum senang. Jihoon ada disini, menyemangatinya, ditambah fakta kalau dia tidak memiliki pacar.

Lalu, apalagi yang bisa menyemangatinya untuk segera melewati hari-hari sebagai Sersan Prajurit selain dukungan dan kecupan singkat dari Park Jihoon?

.

FIN.

.


FANFIC INI DIPERSEMBAHKAN UNTUK SI KEPALA KECIL KITA YANG LAGI ULANGTAHUN, BAE JINYOUNG!

Umur kamu sekarang berapa nak? Masih kerasa 6 tahunan ya, wkwk.

Maafin karena telat sehari utk merayakan ultahnya Baejin. Ku harap ini tidak cringe dan mengecewakan.

SELAMAT ULANG TAHUN BAE!

.

PS: BANYAKIN MOMENT WINKDEEP ON-AIR LAGI YAAAA!