'Selamat atas diterimanya Huang Renjun di Universitas Lorraine, Perancis.'
Itu adalah kalimat pertama yang Renjun baca dengan setengah sadar setelah membuka grup angkatan di salah satu aplikasi chat-nya diikuti dengan ucapan selamat dari teman-temannya. Tidak hanya itu, semua aplikasi chat yang ia punya penuh dengan personal messages dari teman-temannya. Bahkan pesan-pesan itu juga datang dari teman-teman seangkatan yang tidak pernah bertukar pesan dengan Renjun. Renjun tersenyum kecil saat membaca pesan dari teman-temannya. Ia tidak menyangka bahwa info itu akan menyebar dengan cepat, apalagi ketua prodi sendiri yang mengumumkannya di grup angkatan. Renjun beranjak dari kasurnya dan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Menyerah untuk tidur lagi.
"Sudah bangun? Bukannya Renjun bilang mau puas-puasin tidur siang?" Tanya mama Renjun yang terkejut melihat anaknya tiba-tiba berada di dapur. Beliau ingat betul kalau Renjun sudah mewanti-wantinya untuk tidak mengganggu tidur siangnya. Alasannya simpel, sebagai reward karena sudah menjadi satu-satunya mahasiswa fakultas bahasa yang diterima untuk exchange ke Universitas Lorraine, Perancis.
"Hp Renjun bunyi terus, kebangun deh."
"Bukannya sekarang ada teknologi namanya 'silent mode', ya?"
"Iya, Renjun lupa." Jawabnya singkat.
"Apa teman-temanmu mengirimi kamu pesan?"
"Iya, mereka mengucapkan selamat untukku." Renjun menyudahi acara minumnya dan menoleh pada mamanya yang tengah sibuk melipat pangsit-pangsit yang sebelumnya telah diisi dengan adonan ayam.
"Mama membuat dimsum?"
"Seperti yang kamu lihat."
"Kenapa tidak minta bantuan Renjun?" Anak itu kemudian mengambil beberapa lembar pangsit dan menggeser mangkuk berisi adonan ke tengah. Mencuci tangannya sebelum memulai kegiatan membuat dimsum bersama mamanya.
"Bukannya kamu sudah mewanti-wanti mama agar tidak mengganggu tidur siangmu?" Mama Huang menyindir dengan nadanya yang halus.
"Ya mama tidak bilang dari awal, sih..."
Mama Huang hanya tersenyum melihat anaknya yang tengah cemberut di hadapannya. Beliau tahu bahwa membuat dimsum adalah cara yang unik untuk mendapatkan atensi Huang Renjun. Anak itu suka sekali membantu mamanya membuat dimsum karena sembari membuat dimsum, Renjun dan mamanya akan berbicara banyak hal.
"Di Perancis nanti, Renjun mungkin tidak punya kesempatan untuk membuat dimsum." Cicit Renjun sembari meletakkan adonan ke dalam pangsit.
Mama Huang terkekeh pelan mendengar cicitan Renjun. Putranya tidak pernah berubah dari tahun ke tahun, menggemaskan jika sedang merajuk. "Nak, mungkin nanti kamu bisa mengajak keluarga barumu disana untuk membuat dimsum."
"Hmm, tapi tidak akan se-asyik saat bersama mama." Renjun mengerucutkan bibirnya manja, air mata berkumpul di pelupuk matanya dan bisa jatuh kapan saja. Pikiran bahwa bulan depan ia akan segera meninggalkan Korea termasuk keluarganya untuk pergi ke Perancis, telah menyakiti hatinya. Renjun itu sangat sensitif apalagi jika menyangkut mamanya. Oleh karena itu, tangan mama Huang terjulur untuk meraih puncak kepala anaknya dan mengelusnya. Berharap bahwa itu dapat menenangkan hati dan pikiran anaknya.
"Hei, jangan menangis begitu. Mama akan sering-sering menghubungimu bersama papa dan Ningning pastinya. Kamu tidak perlu khawatir, satu bulan bukanlah waktu yang lama, sayang." Mama Huang menenangkan dengan senyum keibuannya. Jika boleh jujur, sebenarnya beliau mengatakan hal itu pada dirinya sendiri. Renjun tidak terbiasa jauh darinya dan hal itu tentu membuat beliau khawatir. Namun, mama Huang harus tetap tenang supaya tidak membebani Renjun.
"Jangan bersedih, ok?"
Renjun mengangguk lemah sambil mengusap air mata di pipinya. Persis seperti anak kecil yang sedang berusaha untuk berhenti menangis.
Mama Huang kembali duduk setelah menepuk pelan pipi Renjun dan melanjutkan kegiatannya membuat dimsum. "Ngomong-ngomong, kamu sudah tahu siapa keluargamu nanti disana?"
"Belum." Renjun menggeleng lemah. "Kurasa kami akan diberitahu saat disana."
Mama Huang menghembuskan nafasnya pelan, sangat pelan hingga Renjun tidak menyadarinya. Kekhawatirannya muncul kembali, namun beberapa detik kemudian beliau meyakinkan dirinya sendiri bahwa segalanya pasti baik-baik saja.
"Ya, mama harap kamu mendapatkan keluarga yang baik."
Enchanté
"Aku pulang."
Tidak ada jawaban. Biasanya, akan terdengar sahutan dari dapur atau darimana pun itu. Pintunya tidaklah dikunci, ia yakin ibunya sedang di rumah.
"Bu?"
Anak laki-laki itu berjalan memasuki rumahnya. Ia merasa ada yang sedikit berbeda dengan rumahnya, tapi apakah itu? Anak laki-laki itu mengalihkan pandangannya pada meja nakas berwarna putih yang terjajar dengan meja nakas ruang tamu. Otaknya segera memproses dengan cepat bahwa ibunya mungkin baru saja membeli meja nakas baru. Tapi, untuk apa?
BUGH
Suara debuman keras mengalihkan atensi anak laki-laki itu dari meja nakas misterius yang ada di ruang tamu. "Bu?" Anak itu segera berlari menuju lantai dua dan menemukan ibunya sedang berada di kamar tamu dengan buku-buku yang berceceran di di lantai.
"Apa yang ibu lakukan disana?"
"Oh— Salut! Kau sudah pulang, Jisung?"
"Ya dan apa yang ibu lakukan disini?" Jisung berjalan mendekati ibunya yang sedang mengumpulkan buku-buku yang berjatuhan tersebut, lalu membantunya.
"Ibu sedang merapikan kamar ini."
"Memangnya akan ada tamu?" Jisung mengerutkan dahinya.
"Ya, bulan depan— oh, merci beaucoup ma garçon. Bisakah kau meletakkan mereka di lemari juga?" Wanita itu meminta dengan logat perancisnya yang terdengar sangat khas. Jisung mengangguk, namun tidak langsung meletakkan buku-buku itu di lemari melainkan mengamati sampul dan mencium aroma buku-buku itu. 'Apakah ini baru?'
Jisung juga melihat sekitar kamar yang terlihat sangat rapi, bersih dan berbeda. Ia dibuat bertanya-tanya, kira-kira siapa tamu yang berhasil membuat ibunya seniat ini untuk mempersiapkan kamarnya?
"Fini!" Sang ibu menepuk-nepukkan kedua tangannya dan bermaksud untuk lanjut merapikan barang lainnya.
"Bu, memangnya siapa tamu yang akan datang ke rumah kita?" Tanya Jisung penasaran.
"Mahasiswa dari Universitas Kyunghee." Jawab sang ibu santai.
"Apa?— Tapi, untuk apa dia datang ke rumah kita?" Jisung segera meletakkan buku-buku itu di lemari yang dimaksudkan oleh ibunya kemudian membuntuti wanita paruh baya tersebut.
"Oh iya, ibu lupa memberitahumu. Jadi, rumah kita akan dijadikan salah satu tempat tinggal untuk mahasiswa pertukaran pelajar Korea."
"APA?!" Mata Jisung yang sipit itu melebar mendengar jawaban enteng ibunya.
"Tapi, bu. Bukankah seharusnya rumah yang digunakan untuk menampung mahasiswa pertukaran pelajar itu adalah rumah mereka yang tidak mempunyai anak atau setidaknya hanya mempunyai satu anak di keluarganya?"
Sang ibu terkekeh mendengar pertanyaan tanpa jeda yang keluar dari mulut anaknya itu. "Dulunya begitu, tapi sekarang sudah berbeda."
"Apa? Mana bisa begitu?"
"Kau pasti sudah sangat familiar dengan hal ini, bahwa perumahan kita adalah yang paling dekat dengan kampus. Masalahnya adalah rumah para keluarga yang dulunya sering dipakai untuk menampung anak pertukaran pelajar, berangsur sedikit karena ada yang pindah dan ada juga yang sudah tidak menerima lagi. Rumah yang akan ditinggali oleh mahasiswa pertukaran pelajar seharusnya ada 6, sedangkan jumlah mahasiswa ada 13. Setiap rumah akan mendapatkan dua mahasiswa, namun satu mahasiswa yang tersisa terpaksa tinggal sendiri di rumah warga yang mau menerimanya. Untuk urusan ini, pihak yang bersangkutan memperbolehkan siapa saja yang mau menyediakan tempatnya untuk mahasiswa tersebut dan diberi kebebasan dari syarat yang ada. Jadi, ibu mendaftarkan rumah kita untuk ditinggali oleh mahasiswa tersebut." Jelas sang ibu panjang lebar dengan senyum bangganya di akhir kalimat.
"Lagipula, dia tidak akan merasa kesepian karena tidak ada teman yang sebaya dengannya. Ada kau dan juga kakakmu."
Jisung melongo, masih tidak percaya dengan keputusan ibunya. Jika saja ibunya hanya memiliki Jisung sebagai anak, mungkin itu tidak terlalu menjadi masalah. Jisung memang tidak terlalu menyukai keberadaan orang asing di rumahnya, tapi ia hanya perlu menghindar, kan? Lagipula, Jisung itu anak SMA. Banyak alasan untuk menghindari orang asing di rumahnya. Tapi, yang jadi masalah adalah kakaknya. Jisung tahu betul bahwa kakaknya sangat-amat-tidak menyukai ada orang asing di rumahnya dan ibunya telah membuat keputusan secara sepihak dengan mendaftarkan rumah mereka pada lembaga pertukaran pelajar? Super! Kakaknya akan segera menjadi sosok yang paling menyebalkan di rumahnya.
"Itu akan menjadi masalah besar bagi Jeno." Jisung bergumam lirih hampir tidak tertangkap oleh indera pendengaran ibunya.
"Apa?"
Jisung membuang nafasnya kasar sebelum melanjutkan berbicara. "Aku tahu niat ibu baik, tapi bagaimana dengan Jeno?"
"Jisung, sudah ibu peringatkan berapa kali untuk memanggil kakakmu dengan sebutan 'kak' dan jangan hanya nama!—dan apa masalahnya dengan Jeno?" Sang ibu mulai merasa sedikit tidak nyaman dengan respon yang Jisung berikan.
"Ibu tahu kan, Jen— maksudku, kak Jeno tidak menyukai kehadiran orang asing di rumah kita?". Wanita paruh baya berkewarganegaraan Perancis itu mulai menangkap maksud anaknya, tapi ia berusaha untuk tetap tenang karena ia harus meyakinkan anak-anaknya bahwa segalanya akan baik-baik saja.
"Ya, ibu tahu."
"Tapi, bukan berarti ibu harus membiarkan kakakmu seperti itu terus. Ia juga harus belajar menerima kehadiran orang lain dalam hidupnya."
Jisung mendesah pelan, "Ça va ētre chaud!"
"En effet, tapi ibu yakin bahwa setelah ini ia akan sedikit lebih terbuka."
"Maksud ibu?" Jisung mengangkat sebelah alisnya.
"Ya, setelah kedatangan mahasiswa Kyunghee itu, ibu yakin kakakmu secara perlahan akan menerima kehadirannya dan itu juga berlaku untukmu. Dia akan memberikan warna di rumah ini." Wanita cantik itu tersenyum lebar sembari merentangkan kedua lengannya dan berputar-putar.
"Pfffttt"
"Kenapa ibu seyakin itu? Ibu ini cenayan, ya?" Jisung tertawa mencibir.
"Kau meremehkan ibu? Baiklah, tunggu saja sampai kau dan kakakmu merasakannya sendiri. Attends tu verras." Sang ibu melipat kedua lengannya di depan dada membuat gestur setegas mungkin.
"Ça n'a pas de sens."
Ibu dan Jisung menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Jeno dengan wajahnya yang datar tengah bersandar pada kusen pintu dengan melipat kedua lengannya di dada. "Itu tidak akan pernah terjadi padaku. Sekali orang asing, tetaplah orang asing dan sampai kapanpun begitu."
Setelah menyatakan ketidaksukaannya, Jeno beranjak dari sana diikuti dengan debuman keras pintu kamarnya.
"C'est sérieux, aku serius dengan ucapanku jika Jeno tidak akan menyukai ini."
"Ne t'inquiète pas, mungkin tidak untuk saat ini tapi kita tidak pernah tahu kan apa yang akan terjadi?" Ibu menoleh pada Jisung dengan seringaian penuh arti di wajahnya. Jisung tidak mengerti dengan ke-random an ibunya yang tidak hanya sekali ini terjadi, tapi berkali-kali. Bagaimanapun juga yang perlu Jisung lakukan saat ini hanya tinggal menunggu waktunya dan menyusun rencana untuk kabur dari rumah jika tamu itu datang.
-Le Dictionnaire-
Salut: Hi
Merci beaucoup: thank you so much
Fini: done!
Super: Great!
Ça va ētre chaud: it will be tough.
En effet: indeed
Attends tu verras: wait and see
Ça n'a pas de sens: it doesn't make a sense.
C'est sérieux: i mean it.
Ne t'inquiète pas: don't worry.
À suivre (tbc)
