Angin musim panas manyapa helaian rambutku. Membuatnya menari-nari dengan riang. Di bawah pohon nan rimbun, aku berbaring santai. Pandanganku tertutup rapat oleh kelopak mataku. Aku mencoba menikmati kedamaian dunia ini.

Saat aku mencoba untuk membuka mata, aku hanya melihat pohon yang sedang melindungiku dari pancaran sinar matahari. Saat aku mengalihkan perhatianku ke arah kanan, sebuah pemandangan yang tak kalah indahnya dengan lukisan pelangiku saat aku TK tertangkap oleh pandangaanku.

Si pemilik manik topaz namun sebenarnya pemilik birthstone pearl, memiliki surai pirang itu berjalan menuju pintu gerbang. Meskipun ia laki-laki, ia begitu sempurna di pengelihatanku.

Sejak saat itu, untuk pertama kalinya aku jatuh hati di tempat yang salah.

.

.

.

"Kise-kun, kau belum mengikuti satu club pun?", tanyaku kepada orang yang berada di sampingku. Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah masing-masing.

"Belum ssu. Aku tidak tahu ingin mengikuti club apa. Belum ada club yang mampu menarik perhatianku ssu. Kalau Kurokocchi?", si pirang itu balik bertanya.

"Aku sudah mengikuti klub musik. Apa kau tertarik dengan musik?"

"Musik ya? Aku sama sekali tidak berbakat dalam musik ssu."

"Begitu ya. Kise-kun, bagaimana kalau kita makan dulu? Aku lapar."

"Kau lapar atau kau sedang ingin vanilla milkshake?", ah dia terkekeh.

"Kebetulan aku juga lapar, jadi beli keduanya saja."

"Baiklah ssu~", ia mengelus surai skyblue ku singkat.

Sesuai rencana yang baru saja kami bicarakan, kami mampir ke Maji burger sebelum pulang ke rumah.

Aku dengan Kise-kun, sudah hampir empat bulan kami menjalani 'hubungan' damai ini. Aku sangat merindukannya. Mengingat ia kerja part time sebagai model. Kegiatan pemotretan yang begitu padat cukup menyita waktu kami untuk berdua.

Ini adalah pertama kalinya aku pulang bersama Kise-kun lagi setelah lima hari kami tak bisa pulang bersama.

"Kise-kun, boleh aku menginap di tempatmu malam ini? Aku sedang tidak nyaman di rumah.", ucapku kembali memulai pembicaraan.

"Aku mengerti ssu. Pintu apartmenku selalu terbuka untuk Kurokocchi ku~", ucapnya dengan riang dan lembut. Aku sangat suka gaya bicara Kise-kun yang seperti ini.

.

.

.

"Tadaima...", ucapku seraya membuka pintu.

Tak ada jawaban.

Padahal aku tidak tinggal sendiri di rumah ini. Di rumah ini, berpenghuni tiga orang termasuk diriku. Anehnya, aku sudah terlalu terbiasa dengan hal ini.

Aku segera melangkahkan kakiku ke kamar. Segera aku mengemasi barang-barang ku. Setelah selesai kamar. Aku sempatkan menengok saudara tiriku yang kamarnya tepat di samping kamarku.

"Ogiwara-kun, aku ingin menginap di rumah teman. Tolong beritahu Okaasan.", ucapku sambil membuka pintunya tanpa memasuki kamarnya.

Namun, saudaraku yang bernama Ogiwara itu hanya diam saja. Dia asyik dengan tugas sekolahnya. Ia tak menghiraukanku sama sekali.

Aku pun juga tak ambil pusing. Aku segera menutup pintu kamarnya dan melanjutkan langkahku menuju pintu keluar.

.

.

.

"Kise-kun...", ucapku sambil mengetuk pintu apartmen yang ditempati Kise-kun.

Tak perlu lama menunggu, Kise-kun langsung membukakan pintu dan mempersilahkan aku masuk.

"Kurokocchi~ aku kira kau akan lama. Ayo masuk udara malam kan selalu dingin."

Aku segera masuk dan menempatkan diriku di sofa yang berada di ruang tengah. Kise-kun pergi ke dapur untuk membuatkan ku minuman hangat. Tiga menit kemudian, Kise-kun kembali dengan secangkir susu hangat.

"Ini Kurokocchi~", ia kembali mengelus surai skyblue ku. "Kau kedinginan ssu."

Aku menyesap sedikit susu hangat itu sebelum membalas pembicaraannya. "Tapi di sini sudah hangat."

Lalu Kise-kun melingkarkan tangannya di leherku, Kise-kun memelukku. "Kalau seperti ini akan lebih hangat bukan?"

Aku mengelus tangan Kise-kun. "Ini sangat nyaman, Kise-kun."

"Kau tidak ingin menulis lagu lagi?"

"Aku.. masih suka menulisnya kok. Tapi, aku tak bisa memainkannya."

"Ya, aku mengerti ssu~", Kise-kun menguap dengan lebarnya. "Aku sudah ngantuk ssu.. ayo kita tidur."

Kise-kun melepaskan pelukannya dan beranjak dari sofa menuju kamarnya. Aku ikut beranjak, tak lupa aku mencuci cangkir yang baru saja aku pakai. Setelah itu, aku pergi ke kamar menyusul Kise-kun.

.

.

.

Aku masih membuka mataku. Ku lirik jam dinding, waktu menunjukkan pukul satu pagi. Jujur aku tak bisa menutup mataku untuk beristirahat sebentar. Aku selalu merasakan akan ada hal buruk yang akan terjadi. Aku terus membulak balik tubuhku ke kanan dan ke kiri.

"Kurokocchi... kenapa kau belum tidur ssu?", sepertinya Kise-kun terganggu oleh ku.

"Maaf, Kise-kun. Aku tidak bisa tidur.", aku menghadap ke punggung Kise-kun. Aku menarik bajunya pelan.

Mungkin Kise-kun merasakan apa yang aku lakukan, ia segera membalikkan badannya dan membawaku ke dalam pelukannya.

"Kenapa tidak bisa?", tanyanya sambil mengusap belakang kepalaku.

"Aku juga tidak mengerti. Rasanya akan ada hal buruk yang datang."

"Itu semua tidak akan terjadi ssu. Tenanglah."

"Aku juga, merindukan ayahku.", entah mengapa air mataku tak bisa ditahan. Ia mengalir begitu saja dan membasahi baju Kise-kun.

Kise-kun yang sedaritadi masih memejamkan matanya, langsung membuka matanya. "Kau menangis?"

Aku langsung melepas pelukan Kise-kun dan cepat-cepat menghapus air mataku. "Aku tidak menangis kok."

"Aku sudah pernah bilang, kan? Kau sudah punya aku sekarang. Kau tidak sendirian lagi."

"Aku mengerti, Kise-kun.", kenapa air mataku tak ingin berhenti?

"Sudahlah. Tak ada yang perlu kau tangisi.", Kise-kun kembali memelukku.

Aku membalas pelukan Kise-kun. Ku akui, aku hanya memiliki Kise-kun saat ini. Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi.

Meskipun aku memiliki ibu tiri dan saudara tiri, tapi aku tak merasa memiliki mereka. Aku selalu sendirian sebelum aku bertemu dengan Kise-kun. Mulai hari ini dan seterusnya aku akan selalu bersama Kise-kun.

.

.

.

Musim semi kembali datang. Hari ini adalah hari pertamaku di tahun kedua SMP.

Sangat tak disangka saat aku melihat daftar pembagian kelas, aku sekelas dengan Kise-kun. Aku ingin merasakan rasanya sekelas dengan kekasih sendiri.

Aku langsung menghampiri Kise-kun saat melihatnya baru memasuki pintu gerbang sekolah. "Kise-kun~"

"Kurokocchi~"

"Kise-kun, aku punya kabar bagus. Kita sekelas tahun ini.", ucapku begitu riang.

"Benarkah? Wah senangnya bisa satu kelas dengan Kurokocchi~ aku pasti duduk di dekatmu ssu~"

Aku dan Kise-kun pun langsung menuju kelas baru bersama. Di sana banyak juga fansnya Kise-kun. Sebenarnya aku agak risih jika Kise-kun di kelilingi oleh para perempuan. Tapi Kise-kun bilang aku tidak perlu khawatir. Ya aku selalu mempercayai Kise-kun, aku tak berprasangka buruk.

.

.

.

Suatu hari, saat pulang sekolah aku sedang menunggu Kise-kun di depan pintu gerbang. Kise-kun tak kunjung muncul di hadapanku. Padahal ia hanya ingin pergi ke toilet kenapa lama sekali?

Semenit kemudian, akhirnya Kise-kun muncul. Wajahnya begitu sangat senang. Ada apa?

"Kurokocchi~ aku sudah tahu club apa yang akan ku ikuti!", ucapnya sambil berlari ke arahku.

"Club? Club apa?"

"Basket."

"Sugoi na, Kise-kun. Tim basket Teiko kan tim basket SMP terkuat.", aku pun ikut senang mendengarnya.

Kise-kun tersenyum begitu lebar. "Iya. Aku baru tahu permainan basket itu sangat menakjubkan. Aku melihat orang melompat tinggi sekali untuk melakukan dunk!", ucapnya panjang lebar dengan semangatnya sambil sedikit memperagakan tokoh 'orang' dalam pembicaraannya.

"Semoga saja kau sukses di club basket, Kise-kun. ", ucapku ikut senang.

"Un! Aku akan berusaha agar aku bisa masuk menjadi tim reguler ssu!"

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Sepertinya Kise-kun benar-benar tertarik dengan basket. Jika Kise-kun senang, tentu saja aku juga ikut senang.

"Kise-kun, sebaiknya kita cepat pulang sebelum gelap.", ajakku saat melihat langit yang semakin lama semakin meredup.

Kise-kun hanya mengangguk. Sedaritadi senyumannya belum luput dari wajah tampannya. Ia semakin sempurna saja saat tersenyum.

Kami mulai berjalan menuju rumah masing-masing.

.

.

.

"Tadaima..." ucapku hendak memasuki rumah.

Hening.

Seperti biasa tak ada yang menjawab kepulanganku. Lagi pula aku memang tidak akan pernah disambut.

Aku berjalan menuju tangga, saat aku melewati ruang tengah, samar-samar aku mendengar dua orang sedang berbicara dengan serius. Aku segera mendekat dan menguping apa yang sedang mereka bicarakan.

Aku mengintip sedikit ke dalam. Aku melihat ibu tiriku sedang berbicara dengan Ogiwara-kun. Suasananya terasa tegang. Apa yang mereka bicarakan?

"Ogiwara, apa yang kau bicarakan hah?" Tanya ibuku dengan nada tidak percaya.

"Ibu masih tidak mendengarkan juga? Aku terkena leukimia. Aku tidak bohong.", lalu Ogiwara-kun menjawab dengan sangat pasti.

"Hasil tes itu pasti bukan milikmu!", ibuku pun terdengar tak bisa menerima apa yang baru saja dikatakan Ogiwara-kun.

"Bagaiman bisa itu bukan milikku? Di sana tertera namaku dengan sangat jelas! Ibu ingin melihat hasil tesnya?" Tawar Ogiwara-kun dengan nada tinggi.

"Tidak. Sudah cukup. Ibu tidak ingin dengar lagi."

"Ibu, kau harus mendengarkan aku! Aku harus melakukan pengobatan rutin!"

"Lantas, dari mana ibu bisa mendapat biaya untuk membayar pengobatanmu, Ogiwara?" Ibu terdengar sangat putus asa.

"Itu dia masalahnya. Mengapa aku harus jujur kepada ibu. Aku tidak punya biaya untuk itu."

"Ibu juga jujur, Ogiwara. Ibu tidak bisa membiayainya." Ibupun kecewa dengan dirinya sendiri.

Aku hanya terpaku bersembunyi di balik dinding yang memisahkan ruang tengah dengan tempat aku berada. Aku mendengar jelas percakapan mereka.

Mereka membiacarakan tentang Ogiwara-kun yang divonis mengidap leukimia. Aku tidak percaya. Sejak kapan Ogiwara-kun mengidap penyakit seperti itu? Itu pasti sudah mendiami tubuhnya dalam waktu yang lama. Tapi kenapa baru sekarang terdeteksi?

"Seandainya ayah Kuroko masih hidup, dia pasti akan membiayai semua pengobatanmu." Terdengar lagi pembicaraan dari ruang tengah.

'Ayahku...?' Aku bertanya-tanya dalam hati. Apa maksudnya? Kenapa ibu membawa-bawa ayahku dalam hal seperti ini.

"Percuma kau bicara seperti itu, bu. Ayah sudah tiada. Jagalah bicaramu. Kalau si Kuroko sampai tahu bahwa kita hanya memanfaatkan ayahnya saja, bisa kacau." Ogiwara-kun berucap kembali. Demi apapun, aku tidak mengerti dengan arah pembicaraan mereka. Kenapa sekarang namaku terseret ke topik mereka? Apa maksudnya hanya memanfaatkan?

Keterlaluan. Aku tak bisa menahan air mataku lagi. Aku menangis terisak pelan. Aku tidak peduli jika mereka tahu aku sedang menguping pembicaraan mereka. Sumpah luka sayatan belum ada apa-apanya dengan rasa sakit yang ku rasakan saat ini.

Aku langsung melangkah secepat mungkin menuju kamarku. Di sana aku langsung membaringkan tubuhku dan kembali terisak. Kenapa dunia tidak baik lagi seperti dulu? Aku membutuhkan seseorang.

Cepat-cepat aku mencari ponselku dan menghubungi Kise-kun. Tak perlu waktu lama untuk menunggu Kise-kun mengangkat teleponnya.

"Halo?" Terdengar suara Kise-kun dari seberang sana.

"Kise-kun..." ucapku memanggil namanya sambil terisak.

"Kurokocchi? Hei, kau menangis? Ada apa?" Terdengar Kise-kun mulai khawatir.

"Aku ingin bicara. Bisakah aku ke apartmen mu sekarang?"

"Tentu. Datanglah, aku tunggu."

Sambunganpun diputus olehku. Aku langsung beranjak dari posisiku semula. Aku langsung menuju keluar, melangkah ke apartmen Kise-kun.

.

.

.

Aku mengetuk pintu itu perlahan. Semenit kemudian, si empunya pun keluar dengan wajah khawatir.

"Kurokocchi, ada apa?" Tanyanya begitu terburu-buru.

"Kita bisa... membicarakannya di dalam, kan?"

"Ah, iya. Ayo masuk, Kurokocchi."

Kise-kun menuntunku masuk ke dalam apartmennya. Ia membawaku duduk di sofa ruang tengah. Air mataku kembali berlinang dan membuat Kise-kun semakin khawatir sekaligus penasaran.

"Ada apa, Kurokocchi? Ceritakan saja." Ucapnya seraya mengelus punggungku, berniat menenangkanku.

"Ogiwara-kun... dia sakit..." aku kembali terisak.

"Sakit? Sakit apa?"

"Leukimia..."

Aku melihat wajah terkejut Kise-kun. Ia sama tidak percayanya denganku saat mendengar nama penyakitnya.

"Dia bukan sakit lagi, Kurokocchi. Itu terlalu mematikan untuk dibilang sakit."

"Aku tahu! Ogiwara-kun harus menjalani pengobatan, tapi ibu tak punya biaya sebanyak itu untuk pengobatannya. Aku harus bagaimana?"

"Kau tidak harus memedulikannya, kan? Mereka saja tidak peduli padamu." Ucapnya berusaha menenangkan ku.

"Tidak bisa. Ayah memberiku pesan untuk menjaga mereka. Aku tidak mungkin tidak memedulikannya."

"Tapi aku tidak ingin melihatmu menderita lagi, Kurokocchi!" Kise-kun membentakku. Aku tersentak kaget.

"Ki-Kise-kun..."

"Sudah cukup, Kurokocchi. Aku tidak ingin melihatmu seperti ini lagi. Tolong jangan buat aku khwatir lagi." Kise-kun menundukkan kepalanya dan memelukku lembut.

Perlahan aku membalas pelukannya. Aku menyandarkan

kepalaku di dada bidangnya. Di sinilah tempat terhangat yang pernah aku rasakan. Aku menangis puas dalam pelukannya.

"Nee... jangan menangis lagi ssu.." ucapnya kembali menenagkanku.

Aku langsung menghapus air mataku. "Ha'i..."

"Kau ingin minum sesuatu?"

"Tidak perlu. Aku hanya menginginkan ini." Aku mengeratkan pelukanku.

Kise-kun hanya tersenyum tipis dan balas memelukku.

.

.

.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mencari kerja part time untuk membantu membiayai pengobatan Ogiwara-kun.

Untungnya, tidak sulit mencari pekerjaan part time. Aku mendapat pekerjaan sebagai pemain piano di sebuah restoran. Kebetulan saat aku melamar, si pemilik restoran sedang berada di sana.

Pemilik restoran itu adalah seorang nenek-nenek. Ia hidup sebatang kara, namun ia berhasil sukses mengembangkan restoran ini. Ia tidak memiliki suami dan anak. Apalagi cucu. Seluruh pegawai yang bekerja di restorannya, sudah ia akui sebagai anaknya sendiri. Maka dari itu, ia berusaha agar pegawainya selalu nyaman bekerja di sini.

Ia begitu terperangah saat mendengar alasanku mengapa aku mengambil kerja part time. Dan tak lupa ia mendoakan Ogiwara-kun agar cepat sembuh. Meskipun kemungkinannya belum diketahui.

Aku pun juga ikut senang bisa menjadi pemain piano di reatorannya. Karena sudah lama sekali aku tidak bermain piano. Aku cukup pandai bermain piano, begitu sih kata ayahku.

Ayahku juga seorang pianis. Ia adalah pianis terkenal sekaligus seorang decomposser. Aku belajar piano dengannya sejak aku masih kecil.

Aku pernah memenangkan kompetisi piano internasional saat usiaku tujuh tahun. Aku masih memiliki fotonya saat aku menang. Aku berfoto dengan ayahku sambil memegang medali emas. Foto itu selalu ku bawa kemanapun aku pergi, termasuk ke sekolah.

Namun saat aku duduk di bangku SD, tepatnya kelas 4, ayahku meninggal dunia karena sakit keras. Ia berpesan padaku untuk selalu menjaga ibu tiri dan saudara tiriku. Karena ayah adalah orang yang paling aku cintai, akupun menurutinya. Meskipun apa yang aku lakukan ini tidak mendapat balasan yang setimpal.

Ayahku menikah dengan ibu tiriku setahun sebelum ia meninggal. Ayah dan ibu tiriku adalah seorang janda dan duda beranak satu.

Selama setahun itu, hubunganku dengan ibu dan saudara tiriku sangat baik. Kami bagaikan keluarga bahagia. Namun, setelah ayahku meninggal semuanya berubah. Ibu dan Ogiwara-kun tak pernah berbicara lagi denganku. Aku juga sempat bertanya-tanya mengapa mereka seperti itu.

Tapi aku tak ambil pusing. Aku hanya melaksanakan amanat yang diberikan oleh ayahku.

Saat aku termenung memikirkan masa lalu ku yang begitu menyakitkan, sesorang berlari menghampiriku. Dari kejauhan aku tak bisa melihat dengan jelas siapa dia. Tapi saat semakin mendekat,

"Kurokocchi~" ah ternyata itu Kise-kun.

"Kise-kun, sedang apa kau di sini?" Tanyaku sambil melihatinya yang masih mengatur nafas.

"Aku sedang ada pemotretan di dekat sini. Aku ingin membeli minum ssu. Kurokocchi sendiri sedang apa di sini?" Ia balik bertanya. Ya memang janggal sih, tiba-tiba aku berkeliaran di tengah kota sendirian. Itu bukanlah hobiku.

"Aku habis mencari kerja part time. Dan aku mendapatkan pekerjaan yang sangat menyenangkan." Jawabku sambil tersenyum lebar.

"Benarkah? Apa itu?" Seketika Kise-kun semangat ingin mengetahuinya. Ah ia memang selalu begitu.

"Aku akan bermain piano di restoran sana." Aku menunjuk restoran yang memang tak begitu jauh dari tempat kami berdiri.

"Restoran?" Kise-kun mengikuti arah telunjukku. "Ah! Aku tahu restoran itu. Itu restoran Eropa ssu! Terkadang manajer ku suka mengajakku makan di sana di waktu-waktu tertentu." Ia semakin senang saja.

"Begitukah? Berarti jika waktunya tepat kita bisa bertemu di sana ya." Aku tersenyum kecil.

"Un! Ah Kurokocchi, kebetulan kita bertemu di sini, bagaimana kalau kita minum-minum dulu ssu. Aku juga kangen denganmu." Ucapnya sedikit malu-malu.

Perlahan tapi pasti, darah mengalir ke wajahku, memberikan efek merona pada wajahku. "Baiklah, akan aku temani."

"Ayo ssu~" Kise-kun langsung menggandeng tanganku dan membawaku ke café terdekat.

Di café, kami memilih tempat strategis yaitu dipojokan. Ini semua demi Kise-kun tidak terlihat oleh publik. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika para perempuan menyerbu Kise-kun di tempat seperti ini.

"Kurokocchi ingin pesan apa ssu? Pasti vanilla milkshake." Ucapnya seakan ia tahu segalanya tentang aku.

"Kau selalu tahu itu, Kise-kun. Dan kau pasti ingin signature chocolate." Ucapku juga tahu segalanya tentang Kise-kun.

"Tentu kau selalu mengingatnya." Kise-kun tersenyum manis, meskipun ia sedang mengenakan kacamata hitam yang kemungkinan kemanisannya tak akan terlalu nampak.

Kise-kun segera memanggil pelayan dan memesan pesanan kami berdua.

Hanya butuh waktu lima menit untuk membuat dua pesanan kami. Sungguh hebat.

Kami hanya minum-minum sambil mengobrol ceria layaknya orang pacaran.

Aku sangat senang dengan Kise-kun yang seperti ini. Ia masih mau meluangkan waktunya untukku, meskipun ia dalam jadwal padat.

Setelah puas mengobrol dan menghabiskan waktu 'bersama' kami memutuskan untuk kembali ke tempat masing-masing. Aku pulang ke rumah dan Kise-kun kembali melakukan pemotretan. Aku berniat ingin menjemputnya setelah ia selesai, namun ia menolak karena takut merepotkan padahal aku tidak kerepotan sama sekali.

Aku mulai berpisah dengan Kise-kun. Dan Kise-kun menyempatkan diri untuk mencium keningku. Dan aku kembali berjalan menuju rumah dengan wajah merona.

.

.

.

Hari-hari berat namun indah ini, sudah hampir sepuluh bulan ku lalui bersama Kise-kun.

Setiap hari, Kise-kun selalu sibuk dengan kerja part time dan latihan basketnya yang begitu ketat. Sedangkan aku setiap malam sibuk dengan kerja part time ku.

Kise-kun juga pernah bilang, karena latihan basket yang begitu ketat ia mengurangi jadwal modelingnya. Singkatnya ia lebih memilih kegiatan klub untuk saat ini.

Tak terasa sebentar lagi Kise-kun akan berulang tahun yang ke 14. Aku tidak sabar ingin memberinya kejutan. Aku berencana ingin membuatkannya kue ulang tahun, tapi sepertinya aku tidak punya waktu untuk itu.

Saat aku sedang berfantasi, "Kurokocchi~" Kise-kun melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku pun langsung tersadar.

"Eh? Kise-kun, ada apa?"

"Kenapa kau melamun serius sekali ssu? Apa yang sedang kau pikirkan? Padahal baru hari ini lagi kita bisa pulang bersama setelah hampir seminggu kita tidak pulang bersama." Ucapnya agak kecewa.

"Ah, tidak apa. Kau lupa ya besok hari apa?"

"Besok? Hari jumat ssu. Memangnya ada apa dengan hari jumat?"

Aku kembali berpikir dan aku baru ingat besok aku ingin memberikan kejutan selamat ulang tahun untuk Kise-kun. "Ya memang besok hari jumat. Kau tahu? Ada tugas sejarah yang harus dikumpulkan." Ucapku asal saja. Padahal besok tak ada pelajaran sejarah.

"Oh ya? Aku belum mengerjakannya ssu! Apa tugasnya sulit?" Dan ia sangat percaya dengan perkataanku.

"Coba kau lihat saja sesampainya di rumah." Ucapku datar.

"Baiklah, sampai rumah akan segera aku kerjakan." Aku langsung menahan tawa.

Kise-kun menyadarinya, ia melihatiku yang sedang mati-matian menahan tawa. "Ada apa, Kurokocchi?"

Aku langsung bersikap seperti biasa kembali. "Tidak ada apa-apa kok. Cepat pulang dan cepat kerjakan tugasmu." Aku langsung berbelok saat ditikungan. Sepertinya Kise-kun juga bingung kenapa tiba-tiba aku berbelok. Namun ia tak menghiraukannya.

Aku segera berjalan secepat mungkin menuju restoran di mana aku bekerja part time.

Sanpai di sana, kebetulan nenek si empu restoran sedang ada di sana. Aku berniat meminta tolong untuk menyuruh salah satu chef membuatkan kue ulang tahun berukuran sedang untuk Kise-kun. Dan untungnya nenek menyetujuinya. Aku senang sekali. Aku berniat untuk memberikan Kise-kun kejutan saat ia latihan esok pagi.

Kise-kun pasti akan senang sekali.

.

.

.

Esok pagi,

"Otanjoubi omedetou, Kise-kun~" ucapku di depan pintu yang dibuka oleh Kise-kun.

"Ku-Kurokocchi! Kenapa kau bisa ada di sini?" Tentu saja ia terkejut. Aku sudah berada di gym first string club basket Teiko jam setengah enam pagi. Untungnya hanya ada aku dan Kise-kun.

"Aku ingin memberi mu kejutan."

"Hah? Tapi seharusnya aku latihan pagi ini. Kenapa gym sepi sekali ssu!" Ucapnya kaget sambil celingak celinguk melihat gym yang begitu sepi.

"Aomine-kun bilang hari ini tak ada latihan pagi. Jadi aku gunakan kesempatan ini untuk membuatkan kejutan untukmu."

Kise-kun tersenyum lembut ke arahku. "Arigatou, Kurokocchi~"

"Kau belum meniup lilinnya." Ucapku datar sambil melihati lilin kue yang masih menyala.

"Oh iya! Baiklah… harapanku, aku ingin selalu bersama Kurokocchi selamanya." Lalu ia meniup lilinnya.

"Ayo kita makan kuenya." Ucapku tiba-tiba dan si empu manic topaz pun melebarkan matanya.

"Ya ampun Kurokocchi, ini masih terlalu pagi untuk makan cake. Tidak baik untuk kesehatan ssu."

"Kalau begitu kita, kita bisa memakannya saat istirahay." Aku tersenyum kecil.

"Arigatou ya, Kurokocchi~ maaf jika merepotkanmu. Oh ya ngomong-ngomong kau mengenal Aominecchi?"

"Tentu saja aku mengenalnya. Dia teman sekelasku saat kelas satu. Dab siapa yang tidak mengenal dia? Wajahnya pernah muncul di Koran."

"Ah benar juga ssu. Dia juga 'hampir' terkenal sepertiku ssu~" Kise-kun berlagak keren ala model.

"Aku akan selalu ingat bahwa kau yang paling terkenal, Kise-kun." Ucapku datar.

"Tentu saja ssu~"

Aku mengemas kembali kue yang akan aku berikan kepada Kise-kun. "Oh ya Kurokocchi, hadiah ulang tahunnya masih kurang ssu…" Tiba-tiba ia berucap.

"Apa yang kurang?"

Aku melihatnya memberi tanda untuk aku mendekat. Aku mendekatinya. Ia langsung merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tinggi tubuhku, lalu mencium bibirku dengan sangat lembut. Sekali lagi ia berkata,

"Arigatou, Kurokocchi…" Dengan suara yang sangat lembut.

Lagi-lagi efek merona menyelubungi wajahku. "Kise-kun… kalau ada yang melihatnya bagaimana?" Ucapku malu-malu.

"Baiklah ssu~" Lalu Kise-kun menarik hidungku gemas.

"Ittai…"

.

.

.

Pada jam istirahat makan siang, seperti yang aku bilang, aku dan Kise-kun pergi ke halaman belakang sekolah untuk menyantap kue ulang tahunnya.

Dalam perjalanan kami menuju halaman, seseorang bersurai scarket dengan manic ruby datang kepada Kise-kun. Aku pun bertanya-tanya dalam benak.

"Akashicchi~ ada apa ssu?" Tanya Kise-kun begitu girang.

"Otanjoubi omedetou." Ucap orang itu dengan wajah yang lebih datar lagi, namun aura mengintimidasinya begitu kuat.

"Eh? Terima kasih ssu!" Kise-kun pun semakin senang mendapat ucapan dari orang ini. Siapa orang ini? Postur tubuhnya tak beda jauh denganku.

"Nanti sore jangan lupa latihan. Jika tidak, lihat saja akibatnya." Lalu si scarlet itu pergi begitu saja. Astaga demikian siapa orang itu?

Kise-kun tampak melambaikan tangan kepada si scarlet tanpa peduli bahwa dirinya sama sekali tidak dihiraukan.

"Kise-kun, siapa dia? Temanmu?" Tanyaku tiba-tiba cukup mengejutkan Kise-kun.

"Kau tidak kenal dia?" Tanya Kise-kun heran karena aku tidak mengenalnya.

"Tidak." Ucapku sambil menggeleng pelan.

"Ya ampun, Kurokocchi! Dia itu kapten tim basket Teiko ssu! Hampir semua orang mengenalnya dan kau tidak mengenalnya?!" Ucapnya begitu tidak percaya bahwa aku tidak mengenalnya.

"Berarti... dia lebih tenar darimu kah?" Tanyaku polos.

"Ah tentu saja tetap lebih terkenal aku ssu~" jawabnya begitu percaya diri.

Aku hanya menghela nafas dan kembali melangkah menuju halaman belakang.

Sampai di sana tanpa basa-basi kami langsung memakan bekal masing-masing. Dan tak lupa kami memakan kue yang sudah aku bawakan. Sambil tertawa karena Kise-kun menceritakan berbagai hal yang tak terduga di club basketnya.

Hingga bel tanda masuk memanggil. Kami segera membereskan tempat bekal dan berbagai barang yang berserakan. Lalu bergegas menuju kelas.

.

.

.

Suatu malam yang tenang, kebetulan malam ini malam minggu. Aku sedang bekerja di restoran. Sebentar lagi waktu tampilku akan dimulai.

Tepat pukul tujuh malam, waktu tampilku mulai. Aku memainkan beberapa lagu dengan piano. Beberapa di antaranya adalah lagu ciptaan ku sendiri.

Setelah permainan pianoku selesai, ada beberapa orang yang memberikan tepuk tangan untuk ku. Nenek si empu restoran pun sangat memuji permainan piano ku. Aku bersyukur jika nenek sangat menyukainya.

Aku berniat ingin mengganti pakaianku dengan pakaian biasa, melihat sekarang aku mengenakan tuxedo hitam. Tiba-tiba seseorang memanggil namaku dari kejauhan. Aku langsung mengalihkan perhatian ku ke sumber suara. Aku melihat Kise-kun sedang melambaikan tangannya padaku. Aku pun langsung menghampiri meja yang sedang ia tempati. Sepertinya ia sedang bersama manajernya.

"Kise-kun, sedang makan malam?" Tanyaku pada Kise-kun.

"Um tentu saja ssu. Duduklah kau boleh makan malam di sini juga. Aku yang bayar." Ucap Kise-kun sambil menepuk bantalan kursi kosong yang ada di dekatnya.

"Tidak usah repot-repot, Kise-kun. Sebentar lagi aku juga akan makan malam." Tentu aku menolak.

"Tidak apa ssu~ ayolah." Kise-kun menarik tanganku. Dengan satu tarikan aku duduk di kursi dekatnya.

"Arigatou, Kise-kun. Kau bersama manajermu?"

"Tadinya sih iya. Tapi aku mengusirnya."

"Eh? Kenapa?" Aku sedikit terkejut.

"Habis.. aku ingin berduaan dengan Kurokocchi.."

Perlahan tapi pasti wajahku akan merona lagi.

"Haha~" ia tertawa. "Maaf ya tadi siang aku tidak bisa keluar denganmu. Jadwal semakin padat di hari libur ssu.."

"Iya. Aku mengerti. Tidak apa kok."

"Kurokocchi, mau pesan apa?"

"Aku ingin apa ya? Aku tidak tahu. Aku tidak pernah makan di restoran Eropa sebelumnya."

"Hmm.. kalau begitu akan aku pesankan menu favoritku saja ssu." Lalu Kise-kun langsung memanggil pelayan untuk menulis pesanannya.

Aku baru tahu, kalau memesan makanan di restora Eropa begitu lama. Tapi setelah makanannya datang, satu piring hanya terisi setengahnya saja. Aku pun bertanya-tanya dan Kise-kun menjawab, ini baru makanan pembukanya saja. Aku hanya mengatakan 'O' dan mulai menyantapnya. Rasanya enak sekali. Sayangnya hanya sedikit. Dan kami terus melanjutkan ritual makan malam kami dari makanan pembuka hingga penutup. Dan ini cukup mengenyangkan. Aku jadi mengerti kenapa porsi di setiap makanan kecil sekali.

Setelah makan, Kise-kun mengajakku untuk menginap di rumahnya. Dan kami melaluinya dengan hal-hal indah.

.

.

.

Sudah beberapa minggu ini, aku dan Kise-kun jarang sekali pulang bersama.

Kise-kun sudah berhasil masuk tim reguler club basket SMP Teiko. Pelatihannya pun semakin ketat saja. Aku jadi semakin tidak punya waktu berdua dengan Kise-kun.

Waktuku memang tak terlalu padat seperti Kise-kun, tapi setiap aku ingin mengajak Kise-kun pergi, ia selalu tidak bisa. Alasannya bisa latihan basket ataupun kegiatan modeling.

Aku sangat kasihan dengan Kise-kun. Aku takut ia jatuh sakit. Yang namanya kekuatan manusia pasti ada batasnya. Tidak mungkin ia bisa beraktivitas setiap saat.

Berjalan sambil memikirkan sesuatu, tak terasa aku sudah sampai di halaman belakang untuk makan siang bersama Kise-kun.

"Kurokocchi, kenapa kau melamun ssu?" Tanya Kise-kun sangat mengejutkan ku.

"Ah, maaf Kise-kun. Aku sedang tidak fokus." Ucapku memastikan semuanya baik-baik saja.

"Jangan-jangan jadwal kerja part time mu mulai padat ya? Kau terlihat kelelahan." Kise-kun mengkhawatirkanku?

"Ah, tidak kok. Sama sekali tidak ada perubahan jadwal. Wajahku memang selalu begini, bukan?"

Di detik berikutnya, kami mulai membuka bekal masing-masing dan menyantapnya. Entah kenapa, hari ini aku begitu tidak fokus dalam melakukan berbagai hal.

Saat makan ada saja sesuatu yang aku pikirkan. Aku selalu ingin bertanya, kapan aku bisa berdua dengan Kise-kun? Apa Kise-kun baik-baik saja? Dan ada satu hal yang lebih penting lagi. Dua minggu lagi satu tahun hari jadi ku dengan Kise-kun. Aku sangat berharap Kise-kun akan meluangkan waktunya untuk merayakan hari spesial itu.

"Ano, Kise-kun. Sebentar lagi kan satu tahun hari jadi kita." Ucapku tiba-tiba dan cukup membuat Kise-kun hampir tersedak.

"Benarkah? Wah aku tidak menyangka kita sudah hampir setahun bersama!" Ucapnya begitu girang.

"Aku ingin merayakannya dengan Kise-kun. Apa kau ada waktu?"

"Jika urusannya soal itu, akan aku luangkan waktuku ssu! Tenang saja!" Kise-kun tersenyum lebar.

"Arigatou, Kise-kun." Akupun ikut tersenyum mendengarnya.

.

.

.

Seminggu berikutnya, aku merasa ada yang aneh dengan Kise-kun. Padahal, di hari-hari sebelumnya Kise-kun masih selalu makan siang denganku. Tapi sekarang, ia selalu bilang aku ada urusan ini dan itu.

Aku tak ingin curiga, aku masih mempercayainya. Namun sikapnya inilah yang membuatku merasa dihindari. Ada apa denganku? Apa aku berubah? Apa aku sudah mulai membosankan.

Hingga akhirnya hari itu datang. Hari di mana duniaku semakin menggelap.

Aku sudah tak kuat dengan sikap Kise-kun yang semakin lama semakin mencurigakan. Hingga suatu hari aku ingin menungguinya sampai ia selesai latihan basket. Tapi yang aku dapatkan,

"Maaf, Kurokocchi. Pertandingan semi final sebentar lagi. Aku tidak bisa membuang-buang waktu. Kau tahu kan kalau aku ini anggota tim reguler? Aku mohon pengertiannya darimu." Ucap Kise-kun dengan nada begitu menyesal.

"Baiklah. Aku mengerti. Mungkin kita bisa bersama lagi setelah pertandingannya selesai." Aku berusaha untuk tersenyum.

"Sebenarnya-" Kise-kun berucap, namun ragu melanjutkan.

"Ada apa?" Tanyaku penasaran.

"Sebenarnya... kita sudah tidak bersama lagi. Aku terlalu sibuk dengan kegiatan basket ini. Dan aku tidak bisa meninggalkannya. Aku sangat minta maaf, Kurokocchi. Hubungan kita, sampai sini saja."

Aku terdiam seribu bahasa. Lidahku kelu. Tubuhku tak bisa bergerak. Suasana menjadi canggung seketika. Kise-kun pun juga tak tahu harus berbuat apa. Kesunyian mengelilingi kami hampir lima menit.

"Kuro-"

"Iie. Tidak apa. Aku sangat mengerti. Semoga kau sukses, Kise-kun. Aku menyayangimu."

Aku segera membalikkan badan dan pergi sejauh mungkin dari Kise-kun. Aku bukanlah satu-satunya miliknya semata. Aku hanya orang biasa yang pernah dekat dengannya. Dan dia bukanlah orang yang aku miliki.

.

.

.

Sejak kejadian itu, aku hampir tak pernah bicara dengan Kise-kun lagi. Yang semula aku duduk di sampingnya saat di kelas, aku pindah ke bangku paling belakang. Aku kembali menyendiri.

Belum selesai urusan ku dengan perasaanku, kejadian yang tak berkenan pun kembali terjadi di depan mataku.

Saat aku ingin menyantap bekal di halaman belakang, aku melihat Kise-kun sedang berciuman dengan seorang laki-laki. Laki-laki bersurai scarlet dengan manik ruby. Ah aku kenal orang itu. Siapa Kise-kun memanggilnya? Akashicchi? Itu namanya kalau tidak salah.

Aku mengerti sekarang. Jadi maksud Kise-kun tidak bisa bersamaku lagi adalah 'aku ingin bersama orang lain'.

.

.

.

To be continued.


Bertemu lagi dengan saya!

ini karya ketiga saya di fandom kurobas

ya berharap aja fic yang ini lebih baik dari yang sebelumnya pernah rilis

Welcome untuk first reader! mohon reviewnya ya

Arigatou gozaimasu!

Sampai bertemu di chapter berikutnya (itu juga kalo responnya bagus, engga deng)

Ja~