Iris kecoklatan itu terus tertuju padanya. Menatap sosok itu untuk kesekian kalinya dengan intens, seolah apa yang sekarang terpantul dalam iris kecoklatan itu adalah objek terindahnya.
Hei sampai kapan kau hanya menatapnya seperti itu?
Fairy Tail © Hiro Mashima
.
.
.
Arisu D. Nightray Present
" Feelings "
Main Character: Jellal Fernandes and Erza Scarlet.
Warning: Two Shots, AU, OOC and Typo(s)
...
"Jellal," tubuhnya menegang tatkala indra pendengarnya menangkap suara itu. Sebuah suara yang menurutnya lebih indah dari orkestra manapun, sebuah suara yang membuatnya candu. Dan kini suara itu menyebut namanya, membuat laki-laki berambut biru itu tersenyum secara tak sadar.
"Ada apa, Erza?" laki-laki itu—Jellal Fernandes menoleh, dimana entitas gadis bersurai merah berdiri tepat di belakangnya. Di tangannya terdapat beberapa lembaran kertas.
"Hari ini sensei tidak masuk. Dia menyuruhku untuk mengumpulkan tugas yang diberikannya kemarin." gadis ber-name tag Erza Scarlet itu mengulurkan sebelah tangannya yang menganggur, hendak menagih tugas yang diberikan sensei kemarin. Segera Jellal memberinya lembaran tugas yang membuatnya harus begadang semalaman hanya untuk mengerjakannya.
Tanpa perlu berbasa-basi Erza meninggalkan tempatnya. Sesekali suara angkuhnya terdengar menegur beberapa murid laki-laki yang sempat membuat kekacauan di kelas.
Erza Scarlet, sebuah nama yang tidak asing di Fairy Academy. Dia merupakan murid terpintar di sekolah ini, dimana nilainya selalu mendekati sempurna dalam semua mata pelajaran. Terlebih lagi, dia menjabat sebagai Ketua Osis dan juga Ketua Kelas, benar-benar sebuah keberadaan tanpa cacat.
Hanya saja, Erza merupakan gadis yang lemah dalam percintaan, setidaknya begitulah rumor yang beredar tentangnya. Sikapnya yang jauh dari kata feminim membuat setiap laki-laki memilih untuk melarikan diri darinya daripada memujanya seperti layaknya primadona sekolah.
Ah tidak semuanya. Lain hal dengan makhluk yang satu ini, Jellal Fernandes. Daripada bergidik akan kepribadian garang Erza Scarlet, ia lebih memilih untuk menyukai kepribadian unik itu.
Lagi-lagi iris kecoklatannya hanya mengamati punggung tegap itu dari kejauhan. Jellal menghela nafas berat. Kalau harus jujur, hampir dua tahun ini Jellal mencuri pandang pada ketua kelasnya itu. Padahal, dia sendiri masuk dalam kategori orang yang populer di sekolah dan memiliki penggemar tentunya, tetapi dia malah mengabaikan segala rentetan pujian dari para penggemarnya dan lebih memilih untuk mengamati setiap gelagat dari Erza.
Hanya mengamati, huh? Yeah, karena ketahuilah Jellal Fernandes berbeda dari penampilan luarnya. Walau wajah seperti seorang playboy tapi dia tidak pernah sekalipun menjalin hubungan dengan orang lain. Bahkan, menyatakan cinta pun tidak pernah. Karena itulah seorang Jellal Fernandes lebih memilih untuk mencintai dalam diam. Walau terkadang dia sendiri merasa malu tatkala kakak laki-lakinya, Siegrain menertawai sifat pengecutnya itu.
"Jellal,"
Deg. Jellal bergidik saat suara indah itu lagi-lagi menyebut namanya, apalagi ketika sosok Erza berdiri tepat di hadapannya, walau dengan wajah datar.
"Bagaimana kalau kita mengerjakan tugas kelompok kita sepulang sekolah nanti?"
Jellal mengerjap. Ohiya sekarang dia ingat kalau lusa lalu sensei sempat membagi tugas kelompok, dan entah karena takdir atau hanya kebetulan belaka Jellal mendapat kelompok yang sama dengan Erza. Dalam hati Jellal tidak pernah berhenti untuk bersyukur akan hal itu.
"Oke, Erza."
Skip Time.
Seperti yang dijanjikan hari ini sepulang sekolah Jellal dan Erza akan mengerjakan tugas kelompok mereka. Di ruang perpustakaan yang mulai sepi, Jellal menunggu kedatang Erza karena gadis itu harus menghadiri rapat Osis yang rutin diadakan setiap pulang sekolah.
Ditemani oleh beberapa tumbukan buku yang mulai usang, Jellal dengan setianya menunggu kedatangan perempuan bermarga Scarlet itu. Sesekali iris matanya melirik pada jam dinding yang terus mengusik keheningan disetiap detiknya, tidak lupa berkas-berkas cahaya senja di ufuk barat yang memaksa masuk melalui jendela yang tidak tutupi korden. Sekarang pemuda itu mulai melenguh karena bosan, hampir satu jam dia berdiam diri di tempat ini. Benar kata orang, cinta itu benar-benar butuh pengorbanan, khususnya kesabaran.
Terdengar derap langkah mendekati ruangan yang ukurannya cukup besar itu. Tidak perlu menebak karena Jellal tahu siapa yang akan datang. Dan benar saja, sosok Erza Scarlet sekarang tertangkap oleh iris kecoklatannya. Air muka gadis itu sedikit berbeda, sepertinya dia terlalu lelah.
"Maaf terlambat," Erza menarik kursi dan duduk di hadapan Jellal, membuat pemuda itu terpaksa meneguk ludah karena berpikir cemas; apa bisa dia berkonsentarsi sementara Erza berada di hadapannya dengan bulir-bulir keringat yang melewati wajah tirusnya? Benar-benar cobaan untuk seorang laki-laki tulen seperti dirinya.
"Tidak apa. Ohiya, kurasa kau membutuhkan ini." Iris Erza melebar tatkala sebuah sapu tangan disodorkan ke padanya. Sesekali gadis itu mengerjap, dan yang hanya dia dapati adalah laki-laki bersurai biru tersenyum padanya dengan sebuah sapu tangan di tangannya.
"Untukku?" gadis itu terlihat tidak percaya. Laki-laki bermarga Fernandes itu mengangguk mengiyakan, "Err… terima kasih, Jellal."
Dan tanpa Jellal sadari, gadis di depannya menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah samar.
…
Hari ini adalah hari yang ditunggu oleh banyak murid SMA, hari kelulusan. Seperti halnya di Fairy Academy; sepanjang mata memandang hanya bulir air mata yang berderai tak kunjung henti, mengingat ini adalah hari terakhir mereka saling bertegur sapa dan setelah itu mereka akan menyusuri hidup mereka masing-masing. Tak tahu kapan mereka akan bertemu kembali.
Di antara banyaknya murid saat itu, terlihat seorang pemuda bersurai biru dengan seragam sekolahnya yang penuh akan tanda tangan dari teman dekatnya, Jellal Fernandes. Pemuda itu terlihat sibuk, sebab beberapa kali ia mendapat panggilan dari murid yang ingin di seragam mereka juga tersemat tanda tangan Jellal, khususnya murid perempuan. Tentunya Jellal meladeninya, mengingat ini adalah hari terakhir dia menginjakkan kaki di Fairy Academy.
Ah… hari terakhir. Berarti setelah ini dia tidak akan bertemu dengan gadis itu lagi?
Apa sampai detik ini juga Jellal Fernandes tetap menjadi laki-laki pengecut?
Iris kecoklatannya melebar saat melihat entitas gadis itu. Ya, gadis itu Erza Scarlet. Gadis yang diliriknya dua tahun terakhir, gadis berparas tegas yang membuatnya buta untuk melihat siapapun, gadis dengan entitasnya yang sempurna tanpa cacat.
Jellal meneguk saliva. Apa semua hanya akan berakhir seperti ini? Setelah ini mereka tidak akan bertemu lagi, dan mungkin saja Erza bertemu dengan laki-laki pujaannya di luar sana ketika ia meninggalkan Fairy Academy tanpa tahu sedikitpun kalau Jellal menaruh rasa padanya dalam dua tahun ini.
Sekarang Jellal benar-benar menghardik sisi pengecutnya itu. Oh ayolah dia adalah laki-laki, ditolak oleh seorang gadis tidak akan membuatnya kehilangan akal sehat dan bunuh diri nantinya. Yeah, mungkin hanya sebatas patah hati yang membuatnya harus mengalami masa sulit dalam beberapa waktu.
Jadi apa yang akan dilakukannya…?
"Jellal," nyawa Jellal nyaris keluar ketika mendengar suara penuh ketegasan itu memanggil namanya. Nafas laki-laki itu tertahan tatkala sosok Erza berdiri di hadapannya, tersenyum dengan tidak normalnya. Tidak, tidak. Bukannya Erza tidak pernah tersenyum hanya saja gadis itu sekarang tersenyum lembut, sangat berbeda dengan senyumannya selama ini.
Untuk beberapa saat Jellal dibuat tertegun akan senyuman itu. Bertambah lagi nilai plus Erza untuknya.
"Bisa ikut aku? Hanya sebentar." pinta Erza. Terlihat gadis-gadis yang tadi sempat meminta tanda tangan Jellal mendelik tak suka. Jellal sendiri tidak menjawab tetapi laki-laki itu mengangguk paham, membuat gadis scarlet itu tersenyum lega.
"Ada apa Erza?" tanya Jellal to the point saat mereka telah sampai di halaman belakang sekolah. Tempat ini bisa dibilang sepi karena tidak terawat, tetapi bagi Erza Scarlet sendiri tempat ini adalah penentu segalanya. Ah lebih tepatnya tempat ini akan menjadi saksi bisu atas apa yang terjadi setelah ini.
Erza merogoh blazernya, dikeluarkannya sebuah sapu tangan yang cukup familiar dimata Jellal. Itu adalah sapu tangan yang sempat diberikan Jellal sewaktu mereka mengerjakan tugas bersama di perpustakaan, Erza masih ingat betul akan hal itu. Dia ingat bagaimana Jellal memberikannya perhatian saat itu, bagaimana rasa panas yang menjalar di wajahnya ketika menerima sapu tangan itu dan bagaimana detak jantungnya bekerja dua kali lipat tiap kali berhadapan dengan laki-laki bermarga Fernandes itu.
"Aku hanya ingin mengembalikan ini," Jellal menerima sapu tangan itu kembali dengan isi kepala yang bercampur aduk. Walaupun sejak tadi dia berada di depan Erza tapi ketahuilah kalau isi kepala Jellal terus berdebat. "Dan aku harap setelah ini kau tidak membenciku."
Jellal dibuat tercengang. Sekarang atensinya tertuju pada gadis di hadapannya yang tengah mengalihkan matanya dengan garis merah samar di pipi. Dengan mata yang terus menuntut pertanyaan akan ucapan Erza tadi, suara bariton Jellal terdengar, "Apa ada yang salah, Erza?"
Erza masih dengan pandangan yang dialihkan entitas di depannya, "Ada yang ingin kukatakan. Kau tahu, sejak kejadian di perpustakaan itu aku tidak berhenti memikirkanmu, aku merasa aneh tiap kali bertemu denganmu. Kau mengerti maksudku, 'kan?" sekarang rona merah yang samar itu kian kentara. Sedangkan Jellal? Tak usah ditanya, laki-laki itu tertegun atas apa yang didengarnya barusan. Jellal tidak cukup bebal untuk menafsirkan apa yang baru saja dijelaskan Erza karena dia sendiri selalu merasakannya tiap kali dia bertemu dengan gadis itu.
Itu berarti Erza memiliki perasaan yang sama dengannya, bukan?
Merasa tidak mendapatkan respon, Erza lantas mendesah berat. Dia mengibas rambut merahnya, kembali pada sosok tegasnya. Tidak ada lagi semburat merah di pipinya, walau tidak bisa dipungkiri hatinya berkata lain.
"Aku tidak meminta jawaban darimu. Aku hanya mengatakan apa yang aku rasakan saja, maaf mengganggu waktumu—"
Suara Erza kian tercekat dan kembali perasaan hangat mengalir hingga membuat kedua pipinya memerah saat Jellal menangkupkan kedua tangannya di sana, di pipi berisinya. Ia meringis tatkala Jellal memberi cubitan gemas pada benda kenyal itu.
"Maaf," gumam Jellal yang kini mengelus lembut pipi dari gadis di depannya. Erza menengadah, perasaannya mulai tak enak begitu mendengar kata maaf, walau dia sendiri bisa menangkap senyuman terpantri di wajah Jellal. Apa dia akan ditolak? Erza bisa menerimanya. Bukannya itu adalah resiko yang harus diterima? Terlebih lagi dia tahu kalau caranya mengungkapkan perasaannya berbeda dengan gadis lainnya. "maaf karena telah membuatmu menunggu."
"Eh?"
"Harusnya aku yang mengatakannya, bukan kau. Ah tidak, lebih tepatnya harusnya aku mengatakannya sejak dulu, bukan dihari perpisahan seperti ini." Jellal tersenyum melihat gadis di hadapannya yang mulai gelisah. Tuhan sungguh baik padanya, memberikannya kesempatan untuk menyentuh gadis itu, mengamati kesempurnaan dari kontur wajah Erza Scarlet yang selama ini hanya ditatapnya dari kejauhan. Tapi kenapa harus disaat seperti ini? Disaat waktunya tidaklah banyak.
"Akupun sama. Bahkan aku menghabiskan waktu lebih lama untuk menyukaimu," Jellal tertawa gemas. Tangannya kini mengacak rambut scarlet Erza, membuat semburat merah terlihat di wajah Erza. Namun semakin lama suara Jellal meredup, "Sayang sekali, tapi kita harus berpisah di sini."
Tentu sangat berat bila harus mengucapkan perpisahan pada orang yang cintai.
…
Iris itu menatap kosong pada layar handphonenya. Perasaannya campur aduk mengingat hari ini adalah kepergian orang itu. Ingin rasanya dia menahan kepergiannya tetapi dia sendiri tahu kalau tindakannya itu terlalu gegabah dan sama saja dengan menghambat masa depan laki-laki itu.
Ia menarik nafas berat. Gadis itu, Erza Scarlet memeluk tubuhnya. Jejak-jejak air mata masih membekas di pipinya. Sesekali Erza menatap nanar pada e-mail dari salah seorang temannya mengenai orang itu.
From Lucy Heartfilia.
Kau bertanya soal Jellal? Kudengar hari ini dia ke Paris untuk melanjutkan kuliahnya. Hebat sekali anak itu -_-
Mau tak mau ia harus tersenyum walau diiringi dengan air mata. Setidaknya dia tahu kalau laki-laki bernama Jellal itu memiliki perasaan yang sama dengannya, dengan kata lain cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Perasaannya jelas terbalas, tapi kenapa hatinya merasakan sesak? Sesekali Erza menepuk dadanya saat merasakan nyeri di sana. Ternyata benar kata orang, perasaanmu terbalas tidak menjamin kau akan bahagia. Nyatanya sekarang ini Erza Scarlet merutuk kebodohannya yang tidak sempat mengucapkan selamat tinggal. Persetan dengan pengakuan cintanya, seandainya dia tahu kalau hari itu adalah hari terakhir Jellal di Jepang, dia akan mengucapkan selamat tinggal dengan benar.
Dan hari itu tanpa sadar Erza jatuh tertidur setelah lelah menangis.
TBC
Published : 06/03/2015
Words : 1.860
