"Bersenang-senang lah disini, Naruto-kun. Sewa lah beberapa wanita. Tenang saja. Namamu takkan tercemar." Ujar si pria paruh baya itu menyakinkan.
"Hehh? Jangan seenaknya begitu. Aku tidak suka tempat ini!" Kataku memprotes.
Jiraiya tidak menjawab. Ia hanya terkekeh sembari terus berangsur pergi. Meninggalkanku di bar ini seorang diri. Bar yang terletak di pojok ruangan. Meskipun terletak dipojok. Musik keras masih saja memekakan telingaku. Tidak cukup sampai disitu. Lampu kelap-kelip pun membuat mataku pusing.
"Ada yang bisa kubantu tuan?" Sahut seorang wanita disampingku dengan nada lembut.
Aku mendesah malas. "Tidak nona, terima kasih." Tolakku halus.
Tapi rupanya wanita ini tidak menyerah begitu saja, "Kau tidak mau menyia-nyiakan malam yang indah ini 'kan tuan? Ayolah kita sedikit bersenang-senang." Rayu si wanita dengan manja. Ia mulai berani melingkari lenganku.
Aku memutar bola mata sambil memainkan gelas yang tak berisi. "Cih, aku tidak seperti domba-domba disini nona. Yang mudah ditipu oleh serigala macam kalian." Kataku sakartis.
Perlahan-lahan, wanita itu mulai melonggarkan tangannya. Semuanya terasa hening untuk beberapa detik ke depan. Meskipun musik masih mendengungkan suara kerasnya. Tapi atmosfer di sekitarku seperti sunyi.
"Tolong segelas wine!"
Mendengar suara lantang wanita itu di tengah kesunyian, sontak membuatku meliriknya dengan ekor mata. Aku terbelalak lebar saat melihat sosoknya. Sosoknya itu membuatku mengilas balik tentang memori yang sudah lama kukubur. Wanita itu… memiliki…
Rambut merah?
Merasa diperhatikan, gadis itu tersenyum sambil berkata, "Dari pakaianmu, aku tahu kau bukan orang biasa. Tapi toh, orang sepertimu pada akhirnya berkunjung kesini juga." Katanya yang menyentakanku dari lamunan.
Aku berdecih. "Cih jangan salah sangka, nona. Aku kemari hanya untuk menemani guruku. Tidak lebih."
"Begitukah? Kalau begitu aku salah." Ucap wanita itu tenang sembari meneguk winenya.
Setelahnya wanita itu kembali berkata sambil mengulurkan tangannya, "Perkenalkan namaku, Sara."
"Namikaze Naruto." Balasku dengan menyambut uluran tangannya.
"Kau benar-benar pria baik, tuan. Bagaimana sebagai ucapan selamatku atas perkenalan kita, aku memberimu segelas wine?"
"Kurasa itu tidak per-"
"Maaf tuan, tapi aku tidak menerima penolakan apapun." Potongnya cepat.
Aku menghela napas singkat sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan. Ternyata wanita ini tipe wanita keras kepala.
Sara yang terlonjak senang, dengan lantang memesan pesanan untuk ku. Sesekali ia menoleh untuk sekedar melempar senyum padaku. Entah mengapa di kala itu, hatiku terasa hangat. Kuakui ia memang memiliki paras cantik. Tapi harus kutegaskan, perkerjaannya menodai kecantikan gadis itu.
"Ini untukmu."
'
'
Secercah cahaya remang-remang berwarna kemerahan menyambut iris sapphireku yang baru terbuka. Aku yang baru tersadar langsung mengerjap-ngerjapkan mataku sekilas untuk menghilangkan pandangan kabur. Berniat beranjak dari posisiku, namun aku kembali mengurungkan niatan tersebut ketika menyadari aku tak punya cukup tenaga untuk itu.
'Sial!' Umpatku dalam hati. Decakan kesal pun ikut meluncur dari sudut bibirku. Aku terus merutuki keadaanku yang tak terbalut sehelai benangpun dibalik selimut putih ini.
Bagaimana bisa aku tertipu bajingan itu? Padahal tekadku sudah kumantapkan untuk tidak 'menyentuh' atau 'disentuh' oleh siapapun. Tapi sial! Wanita itu membodohiku dengan penampilannya. Membuatku tidak bisa berpikir jernah serta menghindar dari segala macam tipuan.
Cih tidak sepantasnya aku menyebutnya seorang wanita. Dia tidak tercipta dari kaum hawa yang suci. Dia kotor, penipu, dan patut kusebut sebagai bajingan.
'Tidak berguna!'
Tak mau membuang buang waktu lebih lama disini. Aku mengedarkan pandanganku. Mencari keberadaan ponselku yang sekarang tergeletak entah dimana. Hatiku mulai kesal tatkala tidak menemukan benda itu dimanapun. Jangan-jangan bajingan itu merampasnya. Aku langsung mengacak-ngacak rambut kuning jabrik ku dengan frustasi.
Secara tidak sengaja mataku menangkap dompet coklatku diatas meja kecil yang letaknya tak jauh dari ranjang tempatku terbaring. Mengumpulkan sisa tenaga yang tersisa. Aku bergerak menghampiri meja tersebut. Berjalan dengan langkah tertatih.
Tanganku dengan kasar menyambar dompetku. Memperhatikan isinya dengan penuh ketelitian. Aku harus memastikan jumlah uang yang diambil wanita itu.
Aku membelalakan mataku, bersamaan dengan pandanganku yang melihat ponselku terletak diatas meja yang sama dengan dompetku.
Dengan penuh perasaan berdebar aku menoleh kebelakang. Tepatnya kearah ranjang yang sempat kusinggahi. Pandanganku terpaku pada bercak-bercak merah disana.
Disaat itu, tenagaku yang mulanya habis tak tersisa. Kembali terisi penuh.
Red Sparkle
Angst and Romance
NaruSara
Jantungku tiada hentinya berdebar-debar , membuatku mempercepat langkahku. Suara sepatu pantofelku itu menyebabkan suara menggema keseluruh penghujung koridor. Membuat setiap pasang mata menoleh kearahku dengan pandangan heran. Aku yang tak ingin mengubrisnya hanya mempercepat tempo langkahku.
Bersamaan dengan alunan musik keras yang langsung menyapa indra pendengaranku. Aku membuka pintu yang menjadi penghubung antara mail hall dari sebuah club malam dengan lorong yang menuju kamar-kamar penuh nista itu.
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh sudut ruangan. Pemandangan penuh dosa langsung tersuguhkan padaku saat penari-penari tanpa busana tengah meliuk-liukan tubuhnya diatas panggung dengan sangat erotis. Membuat dada para penari itu terpental-pental. Jangan harap bisa terhindar dari pemandangan seperti itu di sudut yang lain. Karena di setiap pojokan ruangan pun terdapat pasangan-pasangan yang sedang melakukan hal yang tidak sepantasnya. Namun di tengah keadaan seperti itu, aku sama sekali tidak tertarik untuk melakukan hal serupa. Perhatianku hanya terpusat pada sebuah bar yang terletak di belakang ruangan.
Setibanya di sebuah bar sekaligus tempat sang mucikari singgah itu. Aku langsung menggebrak meja bar tersebut dengan kasar. Spontan sang mucikari yang tengah menghitung keuntungannya berserta bartender yang berada di tempat terlonjak kaget. Begitu pula dengan orang-orang disekelilingku. Mereka menatapku keheranan sekaligus marah. Aku tahu, tidak seharusnya menjadi pusat perhatian disini jika ingin nyawaku selamat. Tapi aku sama sekali tidak peduli.
"Dimana wanita itu!?" Geramku penuh amarah.
"Wanita mana!? Lancang sekali kau tuan berbuat seenaknya di tempatku!" Jawab sang mucikari dengan sengit. Ia beranjak dari kursi kebesarannya dan mendekatkan wajahnya padaku. Bisa kurasakan nafas memburu mucikari itu.
"Ck, Tentu saja wanita berambut merah yang telah berhasil menggodaku!" Balasku sekenanya. Aku menelusupkan sebelah tanganku ke saku mantel yang kukenakan. Mengenggam erat sebuah pistol kesayanganku yang tersimpan dibalik mantel kala melihat para penjaga mulai menghampiriku.
Sedetik kemudian sang mucikari tertawa lantang, "Hahaha! Ternyata kau salah satu pelangganku. Baiklah aku sedang berbaik hati. Kau mabuk tuan. Lebih baik kau pulang sekarang dan kembali esok hari untuk menikmati wanita merahmu itu."
Mendengarnya gigiku langsung bergemelutukan menahan kesal. Tentu saja aku tidak terima dengan pelecehan itu. Tanpa aba-aba lagi. Aku langsung mengacungkan pistolku kearahnya. Disaat bersamaan, aku menunjukan kartu identitasku sebagai detektif. Cih, inilah bagian favoritku. Apalagi ketika mendengar jeritan ketakutan dari pengunjung maupun pelayan disini ketika aku mengeluarkan benda itu dari tempatnya. Aku suka sensasi ini.
"Ah maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku, Namikaze Naruto. Dan tolong aku tidak suka dipermainkan tuan. Kau hanya perlu menjelaskan dimana wanita itu berada. Dan aku akan membiarkan tempat ini tetap menjalankan bisnisnya." Sinisku dingin. Aku menyeringai lebar saat para penjaga tidak lagi berani menghampiriku.
"Ww-wow, tenang tuan. Aku hanya bercanda. Bisa kau jelaskan lebih rinci tentang ciri-ciri wanita itu? Atau kau ingat namanya?" Ujar sang mucikari dengan wajah pucat pasi. Membuatku melebarkan seringaian yang terbentuk oleh bibirku.
"Sara."
"Bb-baiklah baiklah! Akan kuantarkan ke tempat dimana dia berada sekarang. Tapi kau harus menurunkan senjatamu!" Pinta sang mucikari memelas.
Aku memutar bola mataku malas. Kuputuskan untuk menuruti kemauan lelaki berbadan subur itu. Toh mereka takkan berani melukaiku. Jika itu dilakukan. Maka bisa kubayangkan tempat ini akan hangus oleh kepolisian dalam waktu beberapa jam ke depan saja.
"Ikuti aku." Titah sang mucikari yang menyadarkanku dari lamunan.
Aku mengekori langkahnya yang memasuki ruangan khusus dibalik bar, penerangan minim membuatku sulit melihat keadaan sekitarku. Tapi bisa kurasakan orang-orang disekitarku menyingkir setiap aku mendekat kearah mereka. Mereka bergidik ketakutan. Bahkan sang mucikari pun melangkah dengan langkah getir. Sementara aku? Aku hanya menyeringai menikmati perlakuan ini.
Sesampainya kami di depan sebuah pintu bermotif bunga-bunga. Kami berhenti melangkah. Sang mucikari mengisyaratkanku untuk membuka pintu itu sendiri.
Memutar knop pintu dengan perlahan. Sebuah lampu remang berwarna senada dengan kamar yang kusinggahi beberapa menit lalu langsung menerpa iris sapphireku. Darisana menyembul sesosok wanita berambut merah tengah memeluk lututnya sendiri dengan air mata yang mengalir deras membasahi pipinya.
Pintu tersebut mengeluarkan suara berdecit. Membuat si wanita mengangkat wajah ayunya. Ia menyeka air matanya secepat mungkin. Tak lama setelah ia selesai melakukannya, ia membeliakan matanya lebar saat menangkap sosokku yang berdiri di ambang pintu.
"Ba-bagaimana bi.." Sebenarnya kata-kata Sara masih berlanjut. Namun terpaksa harus ia telan bulat-bulat kala ia juga melihat majikannya berdiri di belakangku. Ia langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Sang mucikari menghela nafas sebentar sebelum akhirnya ia mengangkat suara, "Dia seseorang dari kepolisian. Aku tak bisa berbuat apapun untuk menahannya." Jelasnya singkat. Aku hanya berdecih menanggapi perkataan lelaki itu.
Tak mau membuang waktu, aku akhirnya ikut angkat bicara. "Kau tidak mengambil bayaranmu nona. Kurasa itu sangat tidak adil ketika mengetahui ini adalah pertama kalinya bagimu melakukan hal itu." Tandasku seraya mengambil beberapa langkah ke depan.
"A-apa? Kau tidak mengambil bayaranmu, Saa-chan?" Tanya sang mucikari menimpali perkataanku. Mulutnya menganga tidak percaya atas apa yang baru saja dikatakan olehku.
Sontak aku mendelik tajam kearah mucikari itu yang seenaknya ikut berbicara. Sebuah gertakan yang sekedar membuat mulut kotor pria itu kembali terbungkam
Aku memerintahkannya untuk menunggu di luar ruangan sambil melakukan suatu hal untuk ku. Sementara aku menutup pintu untuk membuat pembicaraan kami menjadi sebuah privasi yang tak pantas di dengar siapapun.
"Kenapa kau melakukan semua ini kalau bukan karena uang, heh?" Tanyaku sakarstis.
Sara tak lekas menjawab. Ia menekukan kembali kepalanya. Membenamkannya diatas kedua lututnya. Barulah beberapa saat kemudian dia menjawab dengan nada ketus yang berpadu dengan isakan tangisnya. "Bukan urusanmu!"
Menempatkan bokongku ditepian ranjang. Aku menatap wajahnya yang terbenam. Aroma cherry yang memabukan langsung menguar kuat darisini. Tubuh wanita ini benar-benar wangi. "Itu menjadi urusanku karena kau telah melakukan semua ini padaku."
Tertohok. Sara mencongkakan kepalanya sambil menarik napas dalam-dalam. Ia tersenyum mengejek. "Lantas kau mau meminta ganti rugi dariku? Tak ku sangka ternyata orang kaya sepertimu menjadi rentenir."
Aku tertegun dengan perkataannya. Untuk ukuran orang biasa sepertinya. Dia punya nyali besar untuk berkata demikian pada orang sepertiku. Wanita seperti ini tak pernah kujumpai sebelumnya. Biasanya para wanita akan berebut kasih cinta padaku setelah mengetahui identitas ku sebenarnnya. Tapi wanita ini? Justru mencampakanku ketika tahu pria yang ditidurinya adalah seorang detektif terkemuka.
"Aku hanya penasaran padamu." Ucapku pelan. Rasa-rasanya aku ingin menyentuh puncak kepala wanita itu lalu membawanya kepelukanku. Wanita itu terlihat sangat rapuh dan lemah. Sorot matanya pun sayu. Membuat pria manapun ingin memakannya.
"Penasaran? Jelaskan apa yang membuatmu penasaran denganku. Atau sebenarnya kau hanya ingin memaksaku untuk menerima uangmu?"
Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Ketika hendak membalasnya, tiba-tiba suara decitan pintu terbuka membuat kami menoleh kearah sumber suara. Sang mucikari yang lebih dahulu permisi. Menyodorkan padaku secarik kertas berisi identitas lengkap Sara berserta latar belakang mengapa ia bisa berada di tempat seperti ini. Sesuai dengan apa yang kupinta.
Aku menyeringai membaca setiap kalimat yang tertera di kertas tersebut. Tak perlu berlama-lama membaca seluruh isi dari kertas itu. Aku sudah bisa menerka inti dari keseluruhannya tanpa perlu membacanya sepenuhnya.
Rasanya seluruh nadiku menjadi panas setelah membacanya. Jantungku pun semakin gencar memompakan darahnya. Semua itu menimbulkan sensasi aneh yang baru kali ini kurasakan.
Inikah rasanya first sight love?
"Aku hanya penasaran. Apa kau akan menolak jika aku memintamu untuk menikah denganku."
"Apa!? Kau gila! Dunia kita terlalu berb…-hmph!"
Entah apa yang tengah kulakukan sekarang. Ini sama sekali tidak bermoral. Sekalipun aku sedang berada di tempat tidak bermoral. Rasa-rasanya masih tetap ganjil bagiku yang terbiasa menjaga imageku dimanapun aku berada. Tapi wanita ini seperti membentuk pribadiku yang baru. Membuatku lepas kendali, membuatku mencium seorang wanita yang baru beberapa jam lalu kukenal. Menyentuh langit-langit mulut wanita itu. Merasakan lembutnya lidah Sara yang enggan bergerak. Tak lupa menahan belakang kepalanya agar tidak terlepas dari ciumanku. Meskipun ini bukan kali pertama bagiku. Tapi sungguh ini lah pertama kalinya bagiku untuk memutuskan sendiri mencium seseorang.
"Mmhh…" Desah Sara disela-sela ciuman kami. Tangan mungilnya mendorong-dorong bahuku.
Tanpa ia sadari. Dalam ciumanku, Aku memberinya sebutir obat yang ia berikan padaku sebelumnya. Kutemukan itu diatas kasur. Aku menyeringai saat mengetahui rencanaku berjalan mulus tanpa cacat sedikitpun.
Melepas ciumanku. Nafas kami terengah-engah. Mencari pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku masih mempertahankan seringaianku. Sementara Sara tertunduk lemas. Helai-helai rambutnya yang berjatuhan menutupi sebagian wajah cantiknya. Tanganku yang gemas akhirnya memutuskan untuk menyemati helai-helai rambut merah itu.
"Kauuh… Brenghshek!" Bisik Sara bergetar. Ia hendak melayangkan tamparannya. Namun aku lebih gesit menangkap tangannya. Kau tahu? Akan sangat memalukan jika seorang detektif tidak bisa menangkis perlawanan seorang wanita.
"Sudah kuduga. Kau bukanlah seorang pelacur. Bahkan kau ingin menamparku yang hanya menciummu. Manis sekali." Ucapku terkesan.
"Tidak! A-aku. Ahh.."
Rupanya Sara mulai bereaksi dengan obat bius yang kuberi. Terbukti ketika ia mulai tertidur. Cih, rupanya begitu caranya membawaku ke kamar itu dan memperkosaku?
Aku menarik sudut bibirku untuk membentuk sebuah senyum lembut. Aku tidak peduli apa ini terlalu cepat atau tidak. Tapi aku benar-benar ingin menikahi wanita ini. Sudah terlalu lama ia menderita. Kini saatnya ia menjalani hidupnya dengan bahagia.
Bersamaku.
Meraih kembali kertas yang diberikan sang mucikari. Aku kembali membacanya dengan penuh pandangan iba.
" Sara, yatim piatu. Terlibat kontrak kerja di Club Malam Akatsuki akibat pelunasan hutangnya tak kunjung dibayar. " Gumamku tanpa sadar.
"Tuan, jadi bagaimana?" Sahut sang mucikari yang segera masuk setelah mengetahui situasi di dalam ruangan. Aku memalingkan pandanganku kearahnya.
"Aku beli wanita ini dengan harga penuh."'
'
'
'
Cahaya mentari bersinar cerah menyinari paginya kota Tokyo. Cahayanya yang terang bergerak cepat menghapus pekatnya sang malam. Tak ketinggalan, cahayanya pun menerobos masuk ke sebuah rumah megah milik pewaris tunggal Namikaze. Menyelinap masuk ke dalam kamar sang pemilik rumah melalui celah gorden.
Sang pemilik terlelap lunglai diatas ranjang king sizenya. Dia tidak lagi sendiri, ada seorang wanita dalam dekapannya. Itu membuat suasana sekitar kamarnya menjadi sedikit menghangat.
'
Aku membuka kelopak mataku perlahan kala mataku terkena cahaya matahari. Memperlihatkan permata sapphireku dibalik kelopak mataku. Senyum kepuasan tercetak saat menyadari sesosok wanita masih setia berada dalam dekapanku. Ada sekelebat perasaan bangga ketika menyadari hal itu.
Mengerangi tubuhku yang terkujur kaku. Aku melepas pelukanku guna merenggangkan tubuhku. Ah pagi ini terasa lebih berbeda dari sebelumnya. Atmosfer kamarku terasa hangat. Tak kusangka, membawa wanita yang sejak kemarin malam kucintai ternyata membawa perubahan signifikan terhadap suasana kamar ini.
Sayup-sayup aku mendengar lenguhan kecil yang dikumandangkan Sara. Secara reflek aku menoleh kearahnya. Wanita itu tengah bergerak-gerak mencari posisi nyaman. Itu membuatku melengkungkan sebuah senyum. Aku melempar tubuhku ke sampingnya. Berbaring sembari mengendus aroma cherry dari helai rambutnya.
Aksi ku itu ternyata membuat tidur si wanita sedikit terusik. Sara memang berhenti bergerak. Namun kelopak matanya mulai terbuka. Menampilkan iris kelabu indahnya. Ada sedikit perasaan bersalah menyadari ia harus terbangun karena terganggu olehku.
Bisa kulihat Sara menggerenyitkan dahinya hingga berlipat-lipat. Ia nampak kaget. Aku bisa memaklumi hal itu. Tempat ini pasti lah asing baginya. Aku yang menatapnya dari belakang terkikik geli menanggapi hal itu.
Mendengar suara tawaku. Sara terlonjak kaget. Ia menoleh dengan tatapan horror. "A-apa yang kau lakukan disini?" Tanyanya tergagap.
"Hmm, aku sedang beristirahat di ruanganku. Apa itu salah?" jawabku enteng tanpa memudarkan senyumanku. Sementara Sara nampak mengap-mengap. Mulutnya terlalu kelu untuk berbicara lagi.
Sadar bahwa Sara takkan mampu menyuarakan mulutnya lagi. Aku melanjutkan, "Hufh… Aku sudah melepaskanmu dari club malam itu, kau bebas sekarang, disini." Kataku sambil menghela napas panjang. Sedangkan lawan bicaraku menatapku dengan pandangan yang sulit dimengerti.
Plak!
Aku membulatkan mataku dengan sempurna. Pipiku terasa seperti terbakar. Wanita itu baru saja menamparku. Tak pernah terbesit sedikitpun olehku ia akan berbuat demikian. Seharusnya ia mengucapkan kata terima kasih karena aku telah membantunya bebas darisana. Tapi apa yang baru saja ia beri? Sebuah tamparan?
"Kau tak berhak mencampuri urusanku!" Ujar Sara menggeram.
Tak bergeming. Aku tetap diam dengan posisiku. Mulutku tak sanggup mengatakan sepatah kata apapun lagi untuk membalas. Seperti lupa bagaimana caranya berbicara. Ketika kepalaku sedikit terangkat. Kulihat air mata mulai merembas dari pelupuk mata Sara. Mulutnya bergetar menahan isak tangis lolos dari bibir ranumnya. Ada apa sebenarnya?
"Kau, ada urusan apa denganku?" Tanyanya dengan anda bergetar. Setelah jeda beberapa detik, ia menambahkan. "Kau ingin memanfaatkanku soal apa?"
Aku menegakkan kepalaku. "Apa maksudmu! Aku tidak ingin memanfaatkanmu." Tegasku penuh penekanan.
"Bohong!" Bentak Sara dengan nada serupa.
Aku menghela napas pendek dan memejamkan mataku sekilas, berusaha meredam emosiku. Ketika ia berniat beranjak dari tempatnya. Dengan cepat aku mengenggam tangannya, menahannya untuk pergi dari tempatnya. Ia bergerak-gerak memberontak serta memukul-mukul pundak ku sekuat tenaga.
Aku yang sudah habis kesabaran, Akhirnya meneriakinya, "Sebenarnya apa masalahmu? Aku mencoba untuk membantumu! Kau sudah mengorbankan kesucianmu di malam itu. Tapi tak sepeserpun kau mengambil uangku. Jadi untuk apa kau melakukan hal itu, hah!"
"Maaf tuan, aku tidak butuh bantuanmu. Dan kau tidak perlu tahu soal itu." Desis Sara.
Amarahku sudah berada di puncaknya. Aku tak kuasa lagi untuk tidak melepaskannya.
Menarik lengan Sara dengan satu hentakan keras. Aku melempar tubuhnya kembali ke atas ranjang. Ia memekik sempurna sebelum akhirnya ia memberontak untuk melepaskan diri. Tapi bagaimana pun tenaga wanita takkan mampu menyaingi tenaga seorang pria. Aku lebih dulu mengunci pergerakannya dan membuat perlawanannya sama sekali tidak berarti.
Sadar situasinya mulai terkendali. Aku menindih tubuh ringkih itu. Nafasku memburu melihat manik keabuan itu memancarkan tatapan menantang. Hasratku semakin menggebu saja ketika secara tidak sengaja sapphireku melihat betapa seksinya bibir Sara. Itu membakar seluruh tubuhku dengan hasrat. Lagi, aku memajukan kepalaku untuk mengecap bibir marun itu.
Awalnya ia sama sekali tidak merespon sekalipun aku melumat setiap sudut di bibirnya. Barulah ketika aku mengigit bagian bawah dari bibirnya itu, ia membuka mulutnya untuk merintih. Kesempatan itu kugunakan untuk melesakan lidahku masuk ke dalam rongga mulut Sara. Mengobrak-ngabrik seluruh isi mulut Sara di dalamnya.
Sadar pasokan oksigen yang kami miliki semakin menipis. Aku melepas ciuman kami. Bisa kulihat benang saliva masih menghubungkan kedua mulut kami. Itu terlihat sangat seksi di mataku.
Sambil terus tersengal, aku mencoba untuk melukiskan sebuah senyuman. Tak lupa untuk melepas cengkraman tanganku yang mengikat kedua tangan Sara. Dadanya yang naik turun akibat kekurangan oksigen itu nampak seksi di mataku. Tapi hasratku harus terkubur saat mendengar kembali isak tangis Sara.
"Maaf telah melukaimu. Tapi sungguh. Aku benar-benar ingin kita menikah, Sara-chan." Sahutku pelan.
Sara tidak langsung menjawab. Ia memalingkan pandangannya kelain arah. Wajahnya yang semerah tomat menjadi pertanda ia marah dan sedih. Aku jadi sangat yakin ia belum pernah terjamah oleh siapapun jika dicium saja membuatnya sangat terpukul.
"K-kenapa?" Tanyanya di sela-sela isak tangis wanita itu tanpa memusatkan perhatiaannya padaku. Matanya tertuju pada sebuah jendela berukuran raksasa yang gordennya masih tertutup.
"Entahlah, instingku berkata aku harus segera menikahimu." Jawabku seraya mengambil posisi berbaring di sebelah wanita itu. Menopang kan kepalaku diatas kedua tangan dan menatap lurus langit-langit kamar.
Kali ini, ia mencoba menoleh kearahku. Mempertemukan pandangan kami. Itu membuatku melebarkan senyumanku saat ia berhasil melakukannya.
"Jadi menurutmu bagaimana?"
Sara menggeleng lemah, " Kau terlalu naïf tuan. Bagaimana seorang kaya raya sepertimu mau menikahi pel-"
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Aku sudah mengunci mulutnya lebih dulu dengan mulutku. Tak berlangsung lama sebab aku hanya berniat memberinya sebuah kecupan singkat. Lalu kemudian mulutku berpindah tempat ke pipinya. Menyapu garis air mata disana.
"Keluarkan aku darisini, kumohon…" pinta gadis itu lirih. Tatapannya nanar.
Aku menghela napas singkat. "Lalu kemana kau akan pergi? Kembali ke club malam itu, hm?"
"…"
"Kurasa lebih baik kau tinggal disini untuk sementara waktu sebelum kau bisa memutuskan sendiri kemana kau akan tinggal." Aku kembali mengulaskan sebuah senyum sebelum akhirnya aku beranjak meninggalkannya di kamar itu.
'
'
'
Aku melangkah gontai diatas lantai kayu teras rumahku. Rasa lelahku akibat pekerjaan mendadak hilang saat tiba-tiba kupingku mendengar isak tangis seseorang disekitar sini. Aku menunda semua kegiatan, yang seharusnya kulakukan lebih dulu ketika baru pulang kantor.
"Hiks..Hiks..Hiks.."
"Sara-chan…" Panggilku lirih.
Orang yang kusebut namanya langsung menegang. Keterkejutan jelas terpancar dari matanya yang langsung terbuka lebar. Ia dengan cepat menyeka air matanya tanpa menoleh kearahku.
"Kau sudah pulang?" Tanyanya dengan nada lemah.
"Ya." Jawabku singkat. Aku mengambil posisi duduk di samping wanita itu. Menatap bulan di atas langit gelap.
"Kau kenapa?"
"…"
Tak ada jawaban apapun dari mulut bibir Sara, ia hanya terdiam mengamati gerak kakinya yang melayang.
Aku menghela nafas. Sara masih belum bisa membuka dirinya. Selama seminggu lebih ia disini. Ia lebih banyak menghabiskan waktu luangnya untuk merenung sendiri di kamar. Dan ya, ia enggan mengantakan sepatah kata apapun.
"Hah… Di saat seperti ini aku selalu berharap, bisa mengetahui apa yang selalu menjadi beban pikiranmu." Kataku mendesah.
Kali ini Sara bergeming, "Sampai kapan kau membiarkanku tinggal disini? Sampai kapan kau berlagak sok baik? Katakan Namikaze-san, jawab aku!"
Aku mengangkat sebelah alisku, jelas terkejut dengan perkataannya, "Apa maksudmu?"
"Kau… Aku tahu kau merencanakan sesuatu untuk membuatku menderita. Jangan memasang kedok layaknya kau tidak pernah punya pemikiran seperti itu."
Sara menarik nafas sejenak sebelum ia kembali berkata, "Dan jika tiba saatnya. Kau akan mengusirku atau bahkan kau meminta bayaran dariku. Apa aku benar Naruto-kun?" Ucapnya dengan penekanan pada suffix kun.
Tidak ada lagi rentetan kata untuk membalas ucapan Sara. Sebuah perkataan takkan bisa mewakili balasanku. Satu pelukan hangatlah jawabanku.
"Cukup, jangan berkata apapun lagi." Bisik ku tepat di telinga Sara.
"Namikaze-san…"
Butir-butir air mata mulai tumpah dan membasahi pundak ku. Sara menangis tersedu.
"Aku memang ingin memanfaatkanmu. Aku ingin memanfaatkan Rahim mu untuk melahirkan anak-anak ku. Aku juga punya rencana untukmu. Tentang sebuah pernikahan yang bahagia. Aku sama sekali tidak mempunyai niat buruk apapun, Sara-chan. Percayalah padaku." Jelasku panjang lebar.
"Tapi kenapa harus aku yang kau pilih?" Ucapnya dengan parau.
"Kau mirip dengan ibuku, Namikaze Kushina. Awalnya aku berpikir kau adalah renkarnasi darinya. Dia telah meninggal lima tahun lalu di sebuah kecelakaan."
Sara yang semula terdiam. Mulai bergerak membalas pelukanku. Tangan mungilnya menyentuh punggungku. Membuatku mengeratkan dekapanku dan menciumi leher jenjangnya.
"Jadi apa jawabanmu? Tentang pernikahan kita."
Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Yes, I do."
TBC or END?
Keep or delete minna?
Review
V
V
V
