「 "Human and sex are my best survival tools."

—Allen Klein 」

.

.

.


Prologue.

Aku tidak menangis.

Bahkan ketika mereka menghujamku berkali-kali aku tidak sudi mengeluarkan air mata. Aku memaksakan tubuhku untuk selalu bertahan bagaimanapun caranya. Bagaimanapun sakitnya.

Aku tidak pernah menghitung lagi sudah berapa kali—berapa lama sudah melakukannya, membiarkan tubuhku digerayangi tanpa ada satupun privasi yang tersisa. Bahkan aku tidak sudi mengingat siapa saja yang sudah berhasil menembusnya.

Sakit. Rasanya sakit sekali.

Tapi aku tetap tidak mau menangis.

Karena ini jalan yang kupilih agar aku tetap hidup bahkan menghidupi. Di usiaku yang belum genap empat belas, aku bahkan sudah diberi beban yang belum selayaknya kutanggung. Jujur, aku tersiksa. Aku mengutuk takdir.

Aku menyalahkan yang Kuasa.

"Ahnn… Hayato, enak sekali… aku ingin masuk lebih dalam."

Ujung bibirku dipaksa naik saat nama kecilku disebut. Selama ini hanya keluarga dekat yang memanggilku begitu, bahkan untuk memanggil nama keluargaku saja teman-temanku masih ragu.

Aku tidak paham apa yang salah sampai-sampai aku selalu merasa tersingkir—seakan sendirian tanpa siapapun peduli. Padahal aku tidak melakukan apapun yang merugikan mereka. Aku hanya tidak memiliki ayah, kebebasan, juga uang selayaknya anak-anak sebaya.

"Lakukan saja," jawabku tercekat, berharap apa yang sedang dilakukan pria berumur yang menemaniku berhasil melupakan apa yang terjadi hari ini, hari kemarin, dan hari-hari sebelumnya. Mendistraksiku dari kenyataan hidup yang menyebalkan.

"Chh—" aku menggigit bibir. Mencicipi darahku sendiri saat merasakan adanya benda asing memaksa masuk. Menggesek bagian dalam tubuhku terus menerus sampai berhasil memuntahkan lendir kental yang seakan tak kunjung puas memenuhi perutku.

Sementara dalam hati aku mencoba tertawa. Mengelabui pemikiranku sendiri kalau semuanya akan baik-baik saja. Bahwa semua akan berakhir sesuai rencana.

Sampai di titik aku bertemu air mata.


Pelangi Biru
(because money says it…)

Inazuma Eleven GO Galaxy (c) Level-5
A/N: Ditulis oleh author apa adanya tanpa memperhatikan diksi dan atribut literasi lainnya.

Warning: Matatagi centric, placed before FFIV2 senbatsu.
Self hurt | Depression | Drugs | Abuse | Twist | Rape and underage sex.

You've been warned!

.
by Ratu Obeng (id: 1658345)

.

.

.


Masih merasa dunia ini indah? Coba pikir lagi.

Suatu saat kau akan mengalami hal yang sama sepertiku, terperosok dalam dunia orang dewasa yang kekal dan mustahil keluar bagaimanapun hebatnya kau meronta. Bedanya, aku terlalu dini terperangkap di dalamnya.

Aku mengutuk semuanya namun tetap kujalani. Aku menyalahkan semuanya namun tetap menghayati. Tapi perlu kau ketahui, aku bukan seorang masokis.

Namaku Matatagi hayato. Dilihat dari manapun aku hanyalah anak laki-laki dengan fisik seadanya. Kemampuan otakku juga tidak luar biasa. Tidak ada yang istimewa pada diriku, kecuali ketrampilan untuk bisa berlari dengan cepat. Menyadari talenta ini, kuputuskan mengikuti klub atletik di sekolahku yang sekarang, SMP Kaiou.

Benar, aku masih duduk di bangku menengah. Tapi lihatlah, di sini tempatku sekarang—menjadi objek kegiatan malam bersama pria-pria paruh baya dengan apa yang mereka sebut 'bermain' dan konotasi hal yang 'menyenangkan'. Aku bahkan sudah tenggelam di dalam pekerjaan ini sebelum memasuki masa adolensi. Bagiku selama mereka bisa mengeluarkan lembaran berharga dari dalam dompet mereka aku tidak keberatan melakukannya.

Kau boleh mengataiku pelacur atau apa saja. Tapi ini cara tercepat mengoleksi uang demi ibuku yang sakit-sakitan dan hampir setiap minggu harus dirawat karena kelelahan bekerja juga demi dua adik yang sangat kusayangi—yang harus tetap hidup karena sudah terlanjur terlahir ke dunia.

Kalau tidak ingat masih memiliki mereka, aku pasti sudah lama ingin mati.

Walau sudah cukup lama terjebak sehingga aku sudah tidak keberatan sama sekali dengan apa yang kuperbuat, bukan berarti aku menikmatinya. Bahkan sudah lama aku merasa jijik pada diriku sendiri. Pada ketidakberdayaanku yang akhirnya tetap membiarkan mereka mengacak-acak dan menginvasi bagian tubuhku yang paling pribadi. Lebih tepatnya—aku sudah tidak peduli.

"Ini untuk hari ini…"

Kuterima lembar puluh ribuan mata uang yen yang menjadi tarifku selama ini. Menurutmu mahal? Tapi mereka tidak menghiraukannya. Aku memberikan sesuatu yang lebih berharga daripada beberapa helai tipis di tanganku, bahkan menurutku ini terlalu murah.

"—aku puas denganmu, akan kuhubungi lagi dalam waktu dekat." ucapnya dengan tatapan lapar dan haus nafsu. Aku ingin meludah tepat di wajahnya yang sudah mengoleksi banyak keriput.

Dengan inisiatif, kuraih mulut bau amis yang sedari tadi melumat permukaan kulitku. Sesuai dugaanku dia memang babi brengsek, kemaluannya kembali tegang hanya karena aku memberikan sentuhan kecil di area selangkangannya.

"Ahh, paman, sayang sekali hari ini harus berakhir. Padahal aku masih ingin bermain…" ucapku menggodanya. Kami berdua sama-sama tersenyum seakan bertukar telepati penuh arti. Baginya klimaks dan bagiku uang.

"Anak brengsek, kau yang membuatku begini…" dia menjumput suraiku untuk kesekian kalinya di hari yang sama, mengantar ujung bibirku lagi ke pucuk kemaluannya. Menyuruhku melahap semuanya hingga dia puas. Lalu memasukiku lagi, lagi dan lagi.

Hingga lembaran yang ada di tanganku bertambah dua kali lipat.


.

.

.

"Kak Hayatooo!"

Panggilan itu berhasil menuang setetes emosi pada air mukaku. Kuterbitkan senyum lepas pada makhluk kecil yang sekarang melompat—memelukku.

"Hayoo, Shun! Kenapa masih di luar? Sudah buat PR?" walau pekerjaan rumah seorang murid SD tingkat awal sangat menyenangkan, aku tetap harus memastikan mereka menyelesaikan semuanya. Senyumku semakin mengembang saat adik bungsuku mengangguk.

"Kak Yuuta membantuku. Semua sudah selesai!"

Kuacak sedikit rambutnya yang model serta warnanya sangat mirip sepertiku, sampai rasanya aku hampir lupa rasa sakit yang seharusnya masih bercokol di daerah pinggang ke bawah. Setidaknya masih ada secercah kebahagiaan dalam hidupku.

"Mana Yuuta? Kakak bawa makanan nih, kalian sudah makan belum?"

"Horeeee!" bola matanya berbinar melihat bungkusan yang sekarang kusodorkan. Wanginya membuat Shun hampir meneteskan air liur di sudut bibir, aku tertawa gemas.

Ada rintik hujan makin lebat menerpa kulit. Karena cuaca mulai tidak bersahabat, secepatnya kami memasuki mansion kecil di lantai dua yang tidak lebih dari tiga puluh meter persegi namun sangat cukup untuk ditempati oleh kami berempat. Meskipun ibu sekarang masih berada di rumah sakit, mansion itu tetap tidak terasa luas.

Seusai menata piring plastik di atas meja kayu usang beralaskan tatami lama, kami membagi makanan seadanya yang baru kubawa.

"Ayo yuuta, Shun, katupkan tangan kalian. Pejamkan mata dan ucapkan terima kasih."

Mereka melakukan apa yang kusuruh.

Ironisnya, sekalipun aku mengajari mereka untuk memanjatkan doa, aku pribadi sudah tidak percaya padaNya. Semenjak menapak di jalan hidup yang terkutuk, semakin lama aku terseret menjauh dari sosok Tuhan.

Lagipula selama ini Dia juga tidak pernah mendengarkanku seperti halnya orang lain, sehingga aku tidak akan berharap lagi padaNya.

Seandainya hanya ada satu doa yang kupanjatkan pun, aku ingin Dia mendengarkan doa adik-adikku supaya mereka tidak merasakan penderitaan yang sama denganku kini.

Melewati jendela, kulihat hujan di luar yang sempat menghujam tanah perlahan mereda. Menyisakan pemandangan cantik yang disebut pelangi; Spektrum tujuh warna yang selalu melengkapi dan tidak pernah dirajut terpisah.

Aku tidak menyukai pelangi yang mengejekku seakan segala bentuk kehidupan adalah adil dan seimbang. Kuberitahu hanya padamu, tidak ada yang adil di dunia ini. Takdir hanyalah sebuah omong kosong. Segala yang terjadi dalam hidupmu tidak pernah direncanakan, kau harus mengatur segalanya dalam dirimu sendiri. Dan kalau sudah berhasil, artinya kau telah sukses besar menginjak-injak manusia lainnya dalam pencapaian konsep keadilanmu.

Maaf kalau paradigmaku membuatmu kesal. Tapi selama masih bernapas di atas bumi, itu kenyataan yang harus kau hadapi.

Sekali lagi irisku menyapu senja dengan pelangi yang masih bertahta jauh di atas langit, memandangnya muak. Ini hanya pendapatku, tapi warna biru merusak segalanya di sana.

Ya,

Bagiku sebuah pelangi akan tampak sempurna tanpa warna biru.


To be continued...