Pairing: AkaFuri
Disclaimer: Kurobasu © Tadatoshi Fujimaki
Warning: Typo yang mungkin bertebaran, Yandere!Akashi, alur kurang jelas, dll.
Enjoy~~
.
.
.
Terjaga, dengan tangan terlipat yang dijadikan bantalan untuk kepalanya. Mimpi yang sama lagi. Dan orang yang sama. Di dalam kamar yang kosong, hanya sendiri. Sendirian tidak selalu menyenangkan, meski ia terlalu angkuh untuk mengakuinya. Sedikit banyak... yah, sedikit banyak ia merasa kesepian. Dan bukan berarti ia menyukai keramaian.
Bangkit berdiri, tubuhnya terasa pegal karena tidur dalam posisi yang kurang mengenakkan. Di sofa pula. Tak sengaja lengannya menyenggol sebuah cangkir bergambar singa hingga jatuh. Jatuh dan pecah.
Menghela napas, menggumamkan kata semacam "merepotkan", lalu membenahi pecahan cangkir tersebut.
Ketika sudah pecah seperti ini tak ada pilihan lain baginya selain untuk membuangnya. Namun bagaimana bisa ia membuangnya? Ini pemberian.
Membiarkan helaan napas berat kembali meluncur keluar dari mulutnya, ia membawa pecahan cangkir itu ke dadanya, memeluknya.
Ia sungguh bodoh, bukan?
"Kalau kau mau menunggu sebentar saja, kau akan melihatnya."
"...?"
Telunjuknya mengarah ke langit. Matahari terbenam.
"Maksudmu itu?"
Anggukan di beri sebagai jawaban, namun setelahnya ia tertawa. "Bercanda~"
Dan ia tidak mengerti mengapa kemudian ia di cium.
Ini bukan seperti ia jatuh cinta. Atau mungkin begitu nyatanya? Ia tidak tahu.
Sebuah suara bergema dalam kepalanya. Suara itu bicara cepat sekali. Ia tidak dapat menangkap apa yang di katakannya. Berulang kali mencoba menajamkan telinga dan fokus, namun percuma.
Ini melelahkan.
Begitu katanya pada diri sendiri.
Menghabiskan malam sendirian, kembali menghadapi mimpi yang sama. Mimpi aneh yang terus berulang seakan mencoba menerornya.
Dan yang sekarang ada di kamarnya sudah bukan menjadi mimpi lagi.
Mencengkeram dagunya dengan kasar, mencoba menulikan telinganya akan rintih kesakitan yang di cengkeram. "Siapa namaku?"
"A-Akashi-san..."
"Bagus kau mengingatnya."
Melepaskan cengkeramannya, membuat anak itu dapat bernapas lega untuk sesaat. Ia tidak mau melepaskan anak ini begitu saja. Ia menyukai sisi baik dan perhatian anak ini yang biasa ia tunjukkan pada semua orang tanpa terkecuali, dan ia mengutuki kenyataan ia tidak bisa menyimpan itu semua untuk dirinya sendiri.
Dalam diam, ia terkekeh.
Dia tidak cemburu.
Tidak mungkin. Perasaan bodoh itu tidak mungkin datang menghampirinya.
Menanyai dirinya sendiri, namun tetap tak menemukan jawaban. Ia tidak tahu perasaan apa ini dan ketidaktahuannya akan suatu hal membuatnya frustasi. Berusaha mengingat-ingat yang entah apa. Hari di mana terjadi pergantian musim dan kata-kata "sampai jumpa esok" terucap di barengi lambaian tangan. Di saat itu ia melihatnya. Anak itu. Dengan senyum terulas di bibirnya, menatapnya lama. Ia tak tahu harus berbuat apa, jadi ia mengabaikannya dan meneruskan jalannya.
Ia juga tak tahu mengapa ia bisa tersenyum selebar itu. Menyangkal kemungkinan ia merasa senang, ia melirik ke belakang, melewati bahu orang-orang, tatapannya hanya terpusat pada satu orang dan tidak bisa teralihkan.
Hari di mana bunga bermekaran, di mana dunia monokromatik ini nampak tidak terlalu membosankan lagi di matanya. Ia melihatnya lagi.
Dan hari itu adalah hari ini.
"Kau terlalu dekat dengan mereka, kau tahu?"
"...siapa yang kau maksud?"
Ia, Akashi, tak butuh bertanya lebih banyak untuk mendapatkan jawaban yang bahkan sudah ia ketahui dalam otaknya.
"Hei..." Membalikkan badannya, bermain-main dengan sampah kertas yang berserakan di lantai. "Mengapa aku tak bisa? ...Kouki?"
"...apa?" Ia masih menggunakan nada yang sama. Monoton.
"Mengapa aku tak bisa menyimpanmu untuk diriku sendiri?"
Mereka masih saling membelakangi. "Itu sebuah permintaan yang egois, Akashi-san." Saat ini Kouki tidak sedang dalam mood untuk memahami Akashi. Maksudnya, err- situasinya tidak pas. "Kau tahu kalau aku akan selalu menjadi milikku sendiri. Bukan milik keluargaku, teman-temanku, apalagi milikmu, Akashi-san."
Air mukanya mendadak berubah, seperti ada ikon bohlam bercahaya di samping kepalanya, ia menoleh ke arah Kouki dengan seringaian lebar yang seakan melintang di wajahnya.
"Bagaimana kalau aku melenyapkan mereka semua, huh?"
Dan, tidak. Ini tidak berdasarkan pada persepsi "jika aku tidak dapat memilikimu, maka tidak ada satu orangpun yang bisa." Duh. Itu quotes zaman kapan lagipula? Sudah basilah, sudah terlalu biasa juga.
"T-tidak... kau tidak boleh, Akashi-san."
"Mengapa?"
Kouki menunduk, tidak ingin menatap langsung ke mata Akashi. "K-kau terlihat seperti psikopat, Akashi-san."
Agaknya anak ini tak tahu kalau komentarnya tadi malah memperkeruh suasana. Nah, tapi... jangan salahkan dia. Wajahnya sampai pucat-pasi begitu, omong-omong.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku."
"A-aku tahu."
Sempat ada aksi memutar-mutar pisau di balik punggung, tanpa sepengetahuan pemuda berambut kecoklatan yang terlalu sibuk mengatasi rasa takutnya dengan cara meremas jari-jemari satu sama lain.
"Bercanda."
Kouki menghembuskan napas yang sedari tadi tanpa sadar di tahannya.
"Kurasa yang harus kulenyapkan adalah kau... Kouki."
Anak itu bahkan tak sempat berkedip. Sekonyong-konyong pisau lipat itu sudah menembus perutnya. Terlalu kaget, ia hanya bisa menatap sang pelaku yang menusuknya dengan pandangan terkejut. Tubuhnya merosot perlahan, dengan kedua tangan memegangi perutnya.
Tidak ada suara apapun yang dapat Akashi dengar selain deru napas Kouki dan napasnya. Napas anak itu terdengar begitu berat.
Berat dan tak beraturan.
Berjongkok sedikit, menyamakan posisinya dengan posisi Kouki yang saat ini sedang terduduk. Menjulurkan tangannya, menyeka keringat di pipi Kouki sekaligus mengusap pipi itu penuh sayang, yang entah apa maksudnya.
"Akashi-san..."
Kouki menariknya mendekat, kemudian menciumnya. Ini bukan ciuman pertamanya. Yah, ciuman pertamanya telah di rebut oleh orang yang sama dengan orang yang baru saja menciumnya ini. Menjilati sudut bibirnya yang terdapat sedikit noda darah, ia tersenyum.
Aneh.
Ciuman dengan rasa darah.
Hal itu malah membuatnya berdebar-debar, membuatnya bersemangat.
Ketagihan, Akashi mencium Kouki lagi. Menghisap bibir anak itu, menjelajahi seisi mulutnya, melakukannya berulang sampai ia puas. Lagi, lagi, dan lagi. Apakah ini yang para pecandu sebut dengan istilah "kecanduan"?
Entahlah.
Ia sudah tidak dapat berpikir dengan jernih.
"A-Aka- Akashi... s-san," dengan susah-payah, Kouki memanggil namanya.
"Hm?"
"K-kenapa?"
Mencuri kesempatan mencium bibir yang setengah terbuka itu, baru kemudian menjawab.
"Tidakkah menurutmu romantis mati di tangan orang yang kau cintai, Kouki?"
"Tapi..."
Sebuah tusukan tajam kembali di hujamkan ke perutnya, membuatnya tak sanggup menyelesaikan kata-katanya.
"Selamat tidur, Kouki."
The End
A/N: aduh ini saya buat apaan X""D btw fanfic ini hadiah dari saya buat ultah Akashi-sama~ coretmeskitelatseharisihcoret /tebar Kouki/ HBD AKASHI-SAMA KUTITIPKAN KOUKI PADAMU /ditampol
Btw, RnR? :""3
