A Nuri's Room House Production

Disclaimer: Masashi Kishimoto and Grimms

Presents

Another Snow White Story

Director: nurimut-chan

Starring: Haruno Sakura



Note

Rating: T

Genre: Drama, Romance

Warning: AU and OOC, maybe

Language: Indonesian

Pairing: …. (guess who?)

(….): Out of Story



Chapter 1: "My Father, My Step-Mother, and I!"

Pada zaman dahulu kala… eh, bukan!

Pada suatu hari ada seekor… "seekor"? Maksudnya!?

Di suatu kerajaan yang amat jauh, jauh, jauuuh, jauuuuuh, Far Far Away—bukan, itu Shrek, sayang!

Huft, susah untuk mengungkapkannya, terlalu sulit, dan riskan. Karena ini bukan cerita dongeng klasik, bukan pula kisah yang diawali dengan kalimat "Once upon a time…" atau pun diakhiri dengan kalimat "…and they lived happily ever after." Bukan tentang naga dan perang. Bukan tentang suatu keajaiban peri, malaikat, atau mantra-mantra aneh. Bukan sebuah dongeng yang pantas untuk diceritakan pada anak di bawah umur tiga tahun.

Ini sebuah dongeng realita. Dongeng yang ber-setting-kan 28 Desember 2009. Tidak ada istana, kereta kuda, gaun besar, pena bulu, sepatu kaca, dan seorang putri kerajaan. Yang ada hanyalah mansion mewah, mobil Porsche Carrera GT seharga $420.000, gaun tidur pink soft dengan jahitan rumit, pena La Modernista Diamonds dari Swiss, sandal rumah pink berkepala kucing, dan seorang putri bangsawan cantik berambut pink sebahu yang sedang tertidur di meja berukir besar dan setumpuk buku-buku di bawah kepalanya yang terkulai. Hingga pada scene berikutnya….

"Sakura," sebuah suara halus dan tegas memanggil nama gadis itu.

Bergeming.

"Haruno Sakura!" kata suara itu lebih keras.

Bergeming.

"SA-KU-RA!!"

Gadis itu terlonjak kaget dan berdiri dengan posisi siap sempurna.

"Oh, selamat pagi, Ibu," kata gadis yang bernama Sakura itu dengan nada datar.

Sakura menatap wajah cantik wanita yang berdiri di depannya itu. Wajah yang masih sangat cantik dan muda bila dibandingkan dengan usia sebenarnya yang sudah mencapai kepala tiga. Rambut pirang indahnya disanggul anggun dengan hiasan berlian di sekitarnya. Ia menggenggam sebuah kipas transparan. Dan kini mata wanita itu memandangi wajah Sakura dengan penuh tatapan menilai. 100? 90? 80? Bukan itu nilai yang dia beri. Bingo! 65 untuk Sakura.

"Kurasa kau terlalu sibuk belajar hingga melupakan ayahmu yang sudah sekarat itu, Sakura," kata wanita itu sambil membuka kipasnya.

"Ah, bukan begitu! Aku…" Sakura hendak menyanggah.

"Buktinya ini sudah jam enam dan kau melupakan jadwal minum obat ayahmu," potong wanita itu. Dia memutar tubuhnya dengan anggun dan berjalan sepanjang ruangan.

"Astaga," Sakura menepuk dahi kinclongnya dan hendak berlari ke luar ruangan, namun lagi-lagi dihentikan oleh suara itu lagi.

"Tidak perlu, Nona Muda! Aku sudah mengaturnya."

Langkah Sakura terhenti, dia berbalik dan menatap wanita itu dengan ragu sebelum berkata, "Aku akan menjenguknya." Kemudian berlalu pergi.

~*'/(^-^)\'*~…

"Pagi, Ayah…" bisik Sakura lembut di dekat telinga ayahnya yang sedang terlelap di ranjang besar. Pria di sampingnya itu beringsut pelan sebelum membuka mata birunya. Sakura mengelus rambut kuning ayahnya.

"Ternyata putriku yang tersayang," kata ayahnya parau. Dia tersenyum.

"Maafkan aku, Ayah. Semalam aku harus mengerjakan soal yang banyak sekali jadi aku ketiduran dan… err, kesiangan." Sakura tersenyum masam.

"Ahahaa, tidak apa-apa, Sayangku. Jarang-jarang ada anak yang mau belajar di zaman sekarang ini. Kebanyakan online melulu, tidak sepertimu, Nak," jawab pria yang kurus karena sakit yang parah itu. Penyakit yang selalu menggerogoti kekuatan fisik seorang pendiri sebuah pertambangan emas terbesar di daerahnya.

"Apa yang harus aku kerjakan, Ayah?" tanya Sakura.

"Apa? Memangnya apa? Kau harus jadi putri sesungguhnya hari ini! Umurmu sekarang genap 16 tahun, bukan?"

Sakura terkesiap, dia menerawang jauh, jauh, jauuuh, jauuuuuh, Far Far Away ke kedalaman kamar ayahnya. Dia loading sejenak. Di dahi lebarnya sejenak muncul kalimat "please wait…"

"Aku ulang tahun ya? HUAHAHAHAHAAA!!!" tawanya meledak bak mengebom kota Hiroshima-Nagasaki.

"Hush, di sini kamu tuh jadi cewek yang anggun. Kalau ketawa cukup 'Hihihi' aja sambil ditutupin mulutnya!" nasihat ayah Sakura.

"Maaf…" Sakura menunduk.

"Ayah punya kado untukmu."

Sakura terkejut. Ia menaikkan alisnya.

"Ambil kotak biru yang di dekat lemari," kata ayahnya.

Sakura segera mengambil kotak besar itu dan membawanya ke samping ayahnya yang masih terbaring.

"Bukalah."

Sakura menuruti. Sebelumnya ia mengocok-kocoknya, mendengarkan kalau-kalau ada yang pecah. Lalu ia membuka tutup kotak itu pelan. 1 cm, 2 cm, 3 cm…

"Buruan, sebelum Ayah mati nih!"

SREEK!

"Gaun pesta!" Sakura memekik pelan, tercekat, tak percaya. Dia tengah menjereng (cucian?) gaun pesta yang tidak bisa dibilang indah, namun lebih dari kata indah. Elegan dan cantik. Sederhana, karena hanya memiliki satu warna, soft pink-putih. Namun kesan mewahnya tak ketinggalan karena pada bagian rok panjangnya dilapisi kain transparan yang bertaburan glitter berkilau.

"Buatan ibumu dahulu. Selamat ulang tahun, Putriku," kata ayahnya.

"Aku speechless…"

"Lha itu bisa bicara?"

"Istilahnya, Ayah!"

Mereka saling melempar senyum. Sakura melemparkan senyum, dilempar kembali oleh ayahnya, lalu dilempar lagi oleh Sakura yang kemudian dilempar balik oleh ayahnya dan….

Singkat cerita, Sakura menyimpan gaun itu di lemari dan bergegas pergi ke sekolah. Saat dia akan mengambil baju mandi di tempat tidurnya, tak sengaja ia memandangi foto ibunya. Sakura duduk di samping tempat tidur, mengambil foto itu, dan memandanginya dengan lembut. Jari telunjuk Sakura membelai gambar wajah seorang wanita cantik berambut merah yang berdiri dengan ayahnya. Wajah itu begitu lembut dan menenangkan hati Sakura. Itulah sebabnya Sakura sering bercerita dan menuangkan semua masalahnya dengan memandang wajah ibunya. Dan keduanya memeluk sesuatu, sesuatu yang dibungkus kain hangat. Sebuah bayi. Dirinya. Yang berambut pink. Merah dan kuning menjadi pink. Benar, pink… Campuran itu….

Tapi tunggu. Wanita berambut merah? Lalu siapa wanita berambut pirang yang dipanggil "Ibu" oleh Sakura?

~*'/(^-^)\'*~…

23 Desember 1993

Hujan salju turun dengan derasnya. Saat itu pula seorang wanita berambut merah sedang berada di sebuah dapur luas. Dia memakai celemek pink. Tangannya sibuk mengiris kubis kubis hijau. Sesekali dia mengusap perutnya yang besar seperti tempurung kura-kura. Karena tidak konsentrasi, dia tanpa sengaja mengiris jarinya. Tidak sampai putus sih, hanya saja luka itu cukup bagi jalan keluarnya darah.

"Ouch!" pekiknya. "Ah, teriakannya kurang lega, nih…. AUWWWW!"

Kontan hal ini mengagetkan orang-orang di sekitarnya. segera mereka merubungi wanita malang itu (kok mirip lalat "ngerubungi" bangkai ya?). Adegan selanjutnya adalah parade pasar burung.

"Ah, Nyonya Kushina!"

"Ya ampun!"

"Oh my goat!"

"Astaganagabonarjadiduabelas!"

"Okelahkalobegitu."

"KYAAAAAA!"

"Cipirili"

Wanita berambut merah itu meringis pelan dan berkata," Tidak apa-apa. Hanya luka, kok. Please deh, jangan lebay~~…"

Lalu salah seorang pembantunya membalut luka itu dengan sangat hati-hati. Setelah selesai, dia kembali duduk di bawah dengan yang lainnya, mengitari tempat duduk Nyonya Kushina seakan minta didongengi.

"Terima kasih Konan," kata Nyonya Kushina sambil tersenyum lembut. Yang disebut namanya hanya menunduk dan menoba menyembunyikan semburat merah di pipinya.

"Inggih, Ndoro Ayu Kushina," balas Konan.

"Ehm, Dik Konan ini lho, cantik kalau lagi malu gitu…" bisik salah seorang pembantu laki-laki yang duduk di sampingnya,

"Ah, Kang Mas Pein! Bikin tambah malu aja…" Konan menutupi mulutnya dengan serbet bekas mengelap kaca, tak lupa memakai acara kedip-kedip mata.

"Eh, beneran lho, Nduk! Mbok jangan ditutupin gitu…" Pein menowel dagu Konan.

"Opo to Kang Mas Pein iki… Aku malu, ah…" Konan mencubit lengan Pein.

"Aduh, Nduk Ayu!"

"EHEMM!! Heh, pasangan mesum! Dengerin, Nyonya Besar mau cerita!" sebuah suara cempreng mengganggu mereka. Ibiki si kacamata-cina.

"Kalian semua… " kata Kushina, "terima kasih. Kalian selama ini sudah sangat baik dan sabar mengurus keluarga kami. Dan aku harap kesetiaan kalian tidak memudar saat seorang anggota keluarga lagi datang ke tengah-tengah kita."

"Tentu saja tidak, Nyonya!" sahut salah seorang pembantu yang langsung diiyakan oleh yang lainnya.

"Hmm… Terima kasih!" Kushina terseyum. Dia kembali mengelus perutnya. "Dan putri di rahimku ini…. Aku berharap kelak ia tumbuh menjadi seorang gadis yang baik hati."

"Amiin!" seru seluruh pelayan. Tangan Kushina menunjuk dagunya, matnya menyipit seakan sedang berpikir. Tiba-tiba ia menjentikkan jari lentiknya dan berseru,

"Ah, bagaimana kalau seandainya saja dia memiliki kulit seputih salju di luar sana, bibir semerah darahku, mata sehijau kubis yang baru saja aku potong, dan rambut berwarna pink seperti celemek ini?"

Semua pelayan terdiam. 10 menit berikutnya….

"Ahahaha! Itu sempurna, Nyonya!"

"Dia pasti cantik sekali!"

"Seperti pelangi!"

"Iya, iya… Dia pasti sering di dapur."

"Okelahkalobegitu."

"Cipirili."

"Hahahaaa… Terima kasih pelayan-pelayanku yang baik hati, tidak sombong, dan rajin sikat gigi!" Kushina menerawang ke langit-langit dapur. "Hmm, sudah tidak sabar."

"Berapa lama lagi, Nyonya?" tanya salah seorang pembantu.

"Menurut dokter keluarga, kira-kira lima hari lagi. Tanggal 28 Desember, itu…."

28 Desember 2009

"…ibumu pergi ke surga."

Sakura menitikkan air mata hangatnya saat mengenang di mana saat dia bertanya pada ayahnya tentang keberadaan ibunya. Saat itu dia berumur delapan tahun, menyakitkan saat mengetahui hal ini. Ibunya meninggal di saat ia lahir.

Lama ayahnya membujang (kutunggu bujangmuuu!! *dijejelin kaos kaki Kushina*). Sampai saat Sakura berumur 15 tahun barulah ia menikah lagi. Itu pun karena mendapat bujukan dari kakek-nenek Sakura yang merupakan orang tua Namikaze Minato, ayah Sakura. Ia menikah dengan seorang wanita pegawai perusahaan swasta, Tsunade.

Tsunade wanita yang cantik, itu yang Sakura pikirkan saat pertama bertemu. Baik hati saat ia dan ayahnya dalam rangka pendekatan. Dan ramah saat mereka bertunangan. Namun berubah 180 derajat saat mereka sudah menikah.

Setelah pernikahan itu, hidup Sakura terasa aneh. Secara kasat mata, Tsunade terlihat menguasai rumahnya. Keanehan lain secara mendadak, ayah Sakura jatuh sakit. Sakitnya pun cukup parah hingga ia tak bisa mengurus perusahaannya lagi dan akhirnya perusahaan itu dibeli paksa oleh sebuah perusahaan besar lain, yang merupakan rival Namikaze Minato. Tapi jangan salah, Minato punya surat kepemilikan wilayah-wilayah lain yang akan selalu memberikannya pemasukan yang lebih dari kata lebih.

"Ibu, doakan Sakura dan ayah bahagia, ya! Tapi tidak pada tante girang itu. Dia… Ah, aku tidak boleh bicara seperti ini."

Sakura segera mengambil baju mandinya dan menghilang di kamar mandinya. Tidak sampai setengah jam, Sakura sudah keluar dari kamarnya dan berlari kecil ke halaman depan rumah, menuju mobil Porsche Carrera GT-nya yang sudah dipersiapkan oleh tukang lap mobil, Orochimaru.

"Terima kasih, Mr. Orochimaru!" seru Sakura sambil menyelinap masuk mobil. Orochimaru hanya terdiam. Tatapan dinginnya ia tujukan pada ban mobil itu. Lama ia mengamati sampai mobil itu di gerbang. Entahlah apa maksudnya.

~*'/(^-^)\'*~…

"Dari sini, kalian bisa tarik garis ke sini. Lalu bisa kalian hitung, sinus alpha perbeta. Buat perpanjangan garis di sini…" seorang wanita dengan tanda pengenal bernama Yuhi Kurenai berdiri di depan kelas sambil sibuk membuat suatu pola garis-garis di white board di kelas Fisika hari itu. Ruangan yang diisi anak-anak kelas sebelas ini sekilas nampak sepi, namun sepi yang mencurigakan. Semuanya tertidur kecuali satu-dua orang yang masih terjaga.

Salah satunya Sakura. Dia sibuk mencatat dan sesekali memperhatikan wajah gurunya. Tidak seperti teman-teman perempuan lainnya yang tasnya penuh dengan jimat seperti lipstik, bedak, sisir, dan lainnya; Sakura serius dalam belajar karena janji pada ayahnya, janji dia akan jadi anak baik dan pintar.

Hingga bel usai berdering, yang merupakan malaikat penyelamat anak-anak, Sakura segera membereskan barang-barangnya dan berjalan ke luar kelas menuju koridor penuh jajaran loker. Ia sibuk mengemasi buku-bukunya dan menyelipkan beberapa lembar kertas ke lipatan kertas lain di lokernya. Sejenak ia memandang foto ibunya yang ia tempelkan di dalam. Setelah tersenyum kecil, ia menutup lokernya. Betapa terkejutnya ia saat menutup pintu loker, ada sesuatu di baliknya. Sebuah kado mungil tepat di dekat wajah Sakura.

"Kau tak lupa pada ulang tahunmu, kan?" sebuah kepala muncul dari balik kado.

Sakura menutup mulutnya dengan tangannya dan berkata pelan, "Gaara."

Laki-laki di depannya tersenyum. Ia memajukan sedikit badannya, mendekatkan wajahnya di depan wajah Sakura dan mengangkat kotak berpita merah itu di antara hidung mereka.

"Untukmu. Selamat ulang tahun."

Sakura menerimanya dengan tersenyum kecil. Ia menimbang-nimbang kotak itu, menatap curiga. Lalu melirik wajah Gaara, mencoba menebak apa isi pikirannya.

"Apa lagi kali ini? Lebih kecil dari biasanya," kata Sakura seraya memutar-mutar kotak itu di tangannya.

"Bukalah," pinta Gaara. Ia membenarkan posisi tas hitamnya yang ia bawa asal-asalan di bahunya. Salah satu tangannya ia masukkan di saku jaket cokelatnya.

"Uhm, well, kau terlalu sering memberiku hadiah." Sakura membuka ikatan pita itu. Gaara menatap wajah Sakura dalam, menunggu reaksi darinya.

Dapat.

Ia melihat Sakura kembali menutup bibir mungilnya dengan salah satu tangannya. Matanya menatap tak percaya pada isi kotak itu. Pandangannya beralih pada sosok tinggi di depannya.

"Ini terlalu… Wow!" Sakura menggelengkan kepalanya cepat. "Indah…"

Gaara menghembuskan napas panjang. Ia mengambil benda di dalamnya dan menariknya keluar.

"Kalung The Great Mogul, bahkan belum bisa menyamaimu," ucap Gaara. Ia berjalan ke belakang Sakura, menyibakkan rambut pinknya, dan memakaikannya di leher Sakura.

"Terima kasih," bisik Sakura. Tangannya menyentuh liontin ….

"Aku tahu ini saat dan tempat yang tidak sopan. Di sekolahan. Hahaa, lucu!" Gaara memandangi Sakura yang masih terkesima olehnya. Mata Gaara melembut.

"Kalau pun aku mengajakmu candle light dinner," lanjut Gaara, "aku tahu kau pasti akan menolaknya."

Sakura mendongak cepat dan berkata, "Gaara, bukannya aku—"

"Dan pasti menggunakan alasan bahwa ibu tirimu itu menyuruhmu untuk tidak kemana-mana dan tetap diam di kamar teratas."

"Tapi itu memang be—"

"Dan berkata 'kapan-kapan, OK?'"

"Dengakan aku!" teriak Sakura membuat anak-anak lain yang lewat menoleh ke arah mereka. Sedangkan Gaara hanya tersenyum simpul dan mengamati kejengkelan gadis di depannya itu.

"Maaf kalau selama ini aku selalu menolak ajakanmu. Tapi alasan yang aku gunakan itu benar-benar benar," jelas Sakura tegas.

Seperti tak mengindahkan penjelasan Sakura, Gaara memutar bola matanya dan menggelengkan kepala. Saat berikutnya, Gaara sudah menggandeng tangan Sakura dan berjalan.

"Daftar belanjaan hari ini, Nona?" singgung Gaara. Sakura tertawa tertahan.

"Minyak tanah," jawab Sakura untuk menyebut kata "parfum."

~*'/(^-^)\'*~…

Mobil Sakura terparkir di depan sebuah toko khusus parfum. Pesanan ibu tiri Sakura hari ini : Parfum Bulgari's Bulgari Pour Femme. Gaara membukakan pintu mobil untuk Sakura lalu berjalan menuju tempat kemudi. Dia menyalakan mesinnya lalu memutar mobil, melesat ke jalanan.

"Aku pernah berpikir," kata Gaara membuka percakapan, "sampai kapan kau mau disuruh-suruh seperti ini."

"Hmm, bagaimana pun juga statusnya adalah ibuku. Dan sebagai seorang anak, harus menuruti apa kata ibu."

"Tapi dia—"

"Perhatikan saja jalanmu, Tuan Muda," kata Sakura. Dia terkikik pelan. "Aku baik-baik saja."

~*'/(^-^)\'*~…

Tsunade berjalan pelan menuju meja kecil di samping ranjang besar. Di ranjang itu tertidur pulas Namikaze Minato. Tsunade menatapnya mengejek. Kemudian tatapannya beralih ke arah obat-obatan di meja itu. Ia mengambil salah satunya.

"Tidak salah aku membelimu dengan harga mahal," kata Tsunade menatap obat pil putih di tangannya. "Tapi efeknya terlalu lamban."

TOK TOK TOK!

Tsunade menoleh ke arah pintu. Berdirilah sesosok berjas hitam dengan kaca mata bulat dan beberapa lembar kertas di tangannya. Sesekali ia membetulkan letak kaca matanya.

"Siang Nyonya Tsunade," sapa pria itu.

"Siang, Kabuto. Langsung saja, bagaimana hasilnya?" tanya Tsunade cepat.

"Ternyata Tuan Minato sudah membuat suratnya."

"Apa?" Tsunade memekik pelan. Sekilas matanya menatap sosok yang sedang berbaring itu. "Jadi…? Lalu dimana surat itu?"

"Itu masalahnya," jawab Kabuto. Ia membetulkan kembali letak kaca matanya. "Saya sudah mencoba menanyakannya, jawabannya ada pada Tuan Minato sendiri."

"Umph, sialan!" Tsunade mengumpat. "Batas waktu?"

"Sampai Nona Sakura berumur 17 tahun."

Mata Tsunade berkilat. Kabuto meliriknya dari sudut kaca matanya.

"Anak itu…!" Tsunade berjalan resah. Tiba-tiba langkahnya terhenti.

"Jika belum sampai tenggat waktu mereka kusingkirkan, tak ada yang tahu bukan? Maka semua kepemilikan jatuh padaku…"

"Kecuali surat asli ditemukan," potong Kabuto yang bisa membaca niat busuk wanita itu. "Maka habislah semuanya."

Tsunade menoleh cepat, menusuk Kabuto dengan tatapannya.

"Oleh sebab itu aku mendatangkanmu ke sini, untuk mencari dan membakar surat itu!"

Kabuto terdiam. Dia menaikkan kaca matanya lalu membungkuk dalam.

"Saya permisi dulu, Nyonya Tsunade."

"Tunggu, aku ingin obat yang lebih cepat daripada yang ini. Katakan pada Shizune."

~*'/(^-^)\'*~…

Sakura menaiki tangga dua-dua dengan cepat. Ia tak ingin ibu barunya marah lagi karena keterlambatannya. Bagaimana tidak? Gaara selalu memaksanya untuk makan siang dahulu bersama.

Dia berjalan cepat menuju kamar ayahnya dan tanpa mengetuk ia menerobos masuk. Mendengar langkah kaki dan panggilan yang tiba-tiba, Tsunade yang tengah berpikir keras tergagap dan menatap Sakura dengan marah. Melihat hal ini, Sakura segera angkat bicara,

"Maaf aku pulang terlambat, tadi aku harus mengerjakan sesuatu di sekolah." Tidak mungkin kan Sakura akan mengatakan "Aku makan siang bersama Gaara"? Yang ada hanyalah penjagaan jadwal pulang lebih ketat.

"Eh, oh… Ti-tidak bisakah kau mengetuk pintu dulu sebelum masuk, Sakura? Mana sopan santunmu? Apa kau tidak pernah diajarkan? Atau ibumu sama sepertimu?"

Sakura tersentak. Tapi segera ia memendam perasaan yang hendak meledak tadi. Ia menyerahkan bungkusan kain kepada Tsunade.

"Pesananmu, Ibu."

Tsunade memungutnya cepat dan berkata, "Kau boleh pergi sekarang."

Tsunade menatap parfum mahal itu dengan tatapan yang bercampur aduk. Pikirannya masih melayang pada urusan nyawanya sendiri. Akhirnya, dia melemparkan parfum seharga jutaan itu ke tempat sampah di pojokan ruangan.

~*'/(^-^)\'*~…

"HAPPY BIRTHDAY!!" koor terdengar keras di dalam kamar Sakura. Beberapa bertepuk tangan dan yang lainnya sibuk ber-prikitiw ria.

"Terima kasih kalian semua…!" seru Sakura tak percaya pada apa yang dilihatnya saat ia memasuki kamar. Tumpukan kado besar di ranjangnya dan pembantu-pembantu setianya menyambutnya dengan meriah.

"Kami berharap Nona Sakura menyukainya!" kata Anko, tukang bersih-bersih debu.

"Tentu saja! Aku suka dan terlebih lagi…. Aku sayang kalian semua!" Sakura berteriak kegirangan. "Tapi kalian tidak perlu memberikan kado sebanyak ini. Ini terlalu berlebihan, kan?"

"Ya nggak lah, Non Sakura," Konan menimpali. "Ini semua karena kita tresno sama panjenengan."

"Kalian semua benar-benar baik. Berperlukaaan….."

"Nona Sakura!! Hosh, hosh…"

Semua menoleh ke arah pintu kamar. Melihat siapa yang baru masuk. Ternyata "The Ultimate One" Lee si tukang bersih toilet (*digapluk jumpsuit ijo*). Tapi saat melihat raut wajah serius Lee, semua terdiam.

"Nona Sakura… A-Ayah Nona… Hosh, hosh…"

Sejurus kemudian, Sakura sudah berdiri dan berlari menuju kamar ayahnya.

~*'/(^-^)\'*~…


Mnyohohoho....

Introducing, my second fiction.

Tapi koook, OOC-nya kental banget ya? Belum lagi chapter 1 aja panjangnya naujubilee....

Ini fic terinspirasi sama film "A Cinderella Story" dan "Another Cinderella Story". Alurnya ngikutin Grimm aja deh, tapi ceritanya punyaku aseli, original 100%, mnyohohohoho....!

Soal pairing.... Tebak aja dulu. Belum mau aku cantumin! Mnyohohohoho.... Oia, di next chapter kayaknya aku butuh pendapat en bantuan deh dari para senpai-senpai yang cantik en ca'em-ca'em ini (ngerayunya kurang puoll... ya?)

WOKEH! Wanna R-E-V-I-E-W?