Disclaimer: Kuroko no Basuke belongs to Fujimaki Tadatoshi

Author sama sekali tidak mengambil keuntungan dari fic ini :)

warn: genderbent Kuroko in past

fic ini rencananya mau dibuat oneshot tapi karena terlalu panjang akhirnya dipotong jadi twoshot. Genderbent di sini di masa lalu, tapi endingnya tetap shounen-ai


-KnB-


Malam itu bukan malam biasa di sebuah mansion besar di sudut kota Kyoto yang sekilas terlihat tak berpenghuni. Tidak, mansion itu memiliki penghuni tapi sangat jarang dari penghuninya yang pernah terlihat keluar saat siang hari, mereka lebih memilih kegelapan malam untuk melakukan aktivitas karena mereka bukan manusia. Semula para penghuni mansion ini mengira malam ini pun akan terlewati tanpa hal baru tapi mereka salah, malam ini setelah sekian lama penghuni yang tertidur lama akhirnya membuka mata. Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan hal ini akan terjadi bahkan para penghuni mansion tetap membuat kegaduhan yang sama tiap malam saat mereka akan memulai kegiatan. Dimulai dari pemuda berkulit tan menuruni tangga sambil menguap.

"Midorima, ohayou." Sapanya pada pemuda yang duduk di sofa di lantai bawah.

Bukannya sebuah balasan, tatapan marah justru diberikan. "Aomine, kurasa sudah kuingatkan 'aku tidak peduli apa yang kau lakukan dengan Kise tapi pastikan jangan berisik!' Kami juga butuh istirahat." Geramnya kesal setelah dibuat kurang tidur akibat suara yang 'diperdengarkan' dari kamar Aomine sepanjang pagi.

Bukan merasa bersalah, cengiran lebar justru ditunjukkan Aomine. "Maaf tapi aku tidak bisa melewatkan 'sarapan' yang menggiurkan."

Pisau perak yang berkilat di atas piring buah sepertinya akan lebih indah jika dilemparkan ke arah Aomine tapi Midorima mengurungkan niatnya. Pertama, dia masih menghargai Aomine sebagai rekannya meski terkadang sikap Aomine membuatnya kesal setengah mati, kedua, dia tidak mau mendengar ocehan Kise tanpa henti jika menyakiti pasangannya, dan alasan sesungguhnya kenapa dia bertahan berada di mansion yang sama dengan Aomine selama ini karena semua penghuni mansion ini terikat oleh sebuah perjanjian yang membuat mereka secara tidak langsung 'terpenjara' di tempat ini hingga 'pemegang kontrak' melepas perjanjian. Hanya saja saat ini 'pemegang kontrak' dalam kondisi tidak bisa melakukan apa pun.

Atau itu yang mereka kira, hingga angin kencang berhembus tak wajar hingga menggetarkan seluruh kaca. Enam penghuni mansion serempak menghentikan kegiatan mereka. Semuanya merasakan hal yang sama, energi yang selama ini tertidur sekarang meluap hingga terasa jelas.

Di kamar lantai teratas yang hampir tak pernah diinjak oleh siapa pun, sosok yang sudah lama tertidur di sana terbangun. Mata heterokromia merah-emasnya menatap langit-langit kamar yang gelap. Dia hanya menatap tanpa bergerak sama sekali seakan masih tertidur selama beberapa menit hingga mulutnya terbuka mengucapkan satu kata, "Tsuyuri."


16 tahun kemudian...

Pemuda berambut langit biru cerah hanya bisa menghabiskan waktunya berada di salah satu kamar rumah sakit sambil membaca buku padahal cuaca begitu cerah di luar. Dari jendela kamar, di bawah dia bisa melihat sekelompok pasien rumah sakit yang memiliki kondisi lebih baik darinya tengah bermain basket di lapangan yang disediakan pihak rumah sakit. Dia juga ingin merasakan udara luar, bukan hanya dari jendela, tapi dia tahu tidak mungkin jika kondisinya tidak membaik. Dia bosan, buku di tangannya baru saja dia selesaikan dan tidak ada buku baru yang bisa dia baca. Seharusnya dia membawa lebih dari dua buku sebelum menjalani rawat inap.

Dia akhirnya memilih untuk mengambil tidur sejenak sebelum pemeriksaan sore. Bermalas-malasan memang bukan hal yang senang dia lakukan tapi demi kesembuhan tidur lebih banyak dari biasanya apalagi dalam perawatan tidak akan jadi masalah.

"Tsuyuri..."

"Kuroko-kun, Kuroko-kun." Seorang perawat membangunkannya, mengeluarkannya dari mimpi yang semakin sering dia lihat. "Tidur nyenyak? Biar kuperiksa kondisimu sebentar setelah itu kau bisa beristirahat lagi."

Kuroko mengangguk singkat, dia memang tidak merasa terganggu ada yang membangunkan tidurnya tapi waktunya tidak tepat, sedikit lagi dia bisa melihat wajah orang yang sering muncul dalam mimpinya. Mungkin tidak tepat jika dikatakan mimpi, mimpi tidak akan pernah sama, tapi yang dia lihat di dalam mimpinya selalu pemandangan yang sama, suasana kota Kyoto tempo dulu, suara-suara yang sama, dan seseorang yang memanggilnya 'Tsuyuri'. Itu bukan namanya, Tsuyuri nama perempuan, sementara dia Kuroko Tetsuya, seorang laki-laki.

Sejak ulang tahunnya ke lima belas Kuroko mulai mendapat mimpi aneh ini. Pertama hanya gambaran buram seperti melihat dari dalam kabut pekat tapi semakin sering dia mendapat mimpi semakin jelas gambaran yang dia lihat. Jalanan kota, daerah pinggiran sungai, dan yang paling sering dia lihat, gereja besar yang terbengkalai. Selain pemandangan itu ada suara yang selalu muncul dalam tiap mimpi, pertama suara itu tanpa wujud, dan belakangan ini dia mulai bisa melihat pemilik suara itu meski selalu ada yang menghalangi melihat wajahnya. Yang Kuroko tahu orang itu memiliki rambut merah bagaikan api.

"Kau bisa istirahat lagi Kuroko-kun." Ucap perawat itu setelah merapikan stetoskop dan alat pengukur nadi ke dalam tas, selesai memeriksa kondisi Kuroko.

"Bagaimana kondisiku?"

"Untuk itu sebaiknya menunggu dokter, Kuroko-kun." Perawat itu tersenyum tapi Kuroko tahu makna tersirat di balik jawaban yang ada. Kondisinya tidak mengalami perubahan atau bahkan memburuk. Batuk yang tidak kunjung mereda salah satu tandanya.

Tubercolosis, jika saja dideteksi sejak awal kondisinya tidak perlu turun sampai separah ini, tapi Kuroko tidak ingin merepotkan orangtuanya hanya karena sakit yang sempat dia anggap batuk biasa. Sampai saat mereka menikmati makan malam dan darah keluar di sela-sela batuknya. Makan malam yang tenang berubah panik dan esok harinya hasil pemeriksaan dokter semakin menambah kesedihan di keluarga Kuroko, tapi hal pertama yang Kuroko minta bukan mengobatinya melainkan memeriksa kondiri orangtua dan neneknya apakah mereka tertular atau tidak, dan Kuroko bisa merasa tenang karena mereka negatif dari bakteri TBC.

Sekarang nasi sudah menjadi bubur, yang bisa Kuroko lakukan sekarang hanya beristirahat di rumah sakit sampai penyakitnya sembuh. TBC memang tidak semenakutkan seperti di jaman dulu sampai penderitanya mendapat pengasingan total, sekarang dengan obat dan teknologi yang ada penyakit ini bisa disembuhkan, tapi tetap mematikan yang perlu jangka waktu penyembuhan lama. Tunggu, kenapa mendadak dia menyinggung 'masa lalu', ah...pasti karena mimpi anehnya.

Mendadak Kuroko merasa ada sepasang mata yang mengamatinya dengan tajam berasal dari pintu kamarnya. Diarahkannya cepat pandangannya ke sana tapi dilhatnya tidak ada siapa pun, hanya dokter dan perawat yang melewati ruangannya. Dia mengangkat bahu, menyimpulkan ini hanya perasaannya.

Tapi tanpa Kuroko ketahui, memang ada seseorang yang tadi berdiri di depan pintunya tapi orang itu segera pergi sesaat sebelum Kuroko menoleh. Dengan celana bahan hitam dan kemeja putih yang dua kancing atasnya terbuka dia terlihat seperti penjenguk normal, parasnya ditambah mata heterokromia yang unik memang banyak membuat perawat jatuh hati pada pandangan pertama tapi dia tak menghiraukan semua itu, yang di kepalanya hanya pemuda yang tadi diamatinya.

"Tidak akan kubiarkan kau menghilang lagi, Tsuyuri." Bisiknya diikuti sebuah senyum tipis.


"Pindah ke Kyoto?" Kuroko mengulangi hal yang baru saja dikatakan ibunya. Ibunya baru saja mengatakan kalau perawatannya akan dipindahkan ke Kyoto karena dokter penanggung jawabnya dipindah tugaskan ke salah satu rumah sakit di Kyoto dan entah kenapa dokternya merasa enggan memindahkan Kuroko di bawah penanganan dokter lain. "Apa tidak terlalu jauh? Biaya juga."

"Rumah sakit tempatmu di Kyoto tidak mahal, sama seperti di sini. Okaasan bisa menginap di rumah saudara jika menjengukmu. Dokter yang menanganimu salah satu dokter terbaik, sayang jika tidak ditangani olehnya." Bujuk ibunya.

Kuroko paham keinginan ibunya, demi kesembuhannya juga, tapi sampai harus pindah ke Kyoto, kota yang tidak pernah dia singgahi sebelumnya, bagaimanapun juga keraguan akan muncul. Seorang diri di tempat asing pasti akan membuat siapa pun takut pada awalnya tapi Kuroko juga diajarkan agar tidak menjadi laki-laki penakut dan berani mengambil keputusan.

"Kalau Tetsu tidak ingin okaasan bisa mengerti."

"Tidak." Ucap Kuroko cepat. "Aku mau dipindah, tentu saja kalau okaasan dan otousan setuju."

Senyum senang terkembang di bibir ibu Kuroko. Mereka memang harus terpisah beberapa waktu, tapi demi kesembuhan putranya, sedikit jarak bukan masalah.

"Ano, okaasan tahu seseorang bernama Tsuyuri?" Tanya Kuroko yang mulai penasaran dengan nama yang selalu muncul di mimpinya.

Ibu Kuroko terlihat berpikir, nama itu tak terdengar asing tapi sudah lama sekali dia dengar. "Tsuyuri...rasanya nenek pernah menyebut nama itu tapi okaasan lupa. Nanti okaasan tanyakan lagi. Kenapa menanyakannya?"

"Tidak, hanya saja nama itu beberapa kali muncul di mimpi. Kupikir ada anggota keluarga yang memiliki nama itu."

"Nanti okaasan beritahu kalau nenek tahu sesuatu. Sekarang kembali istirahat, kalau semua berkas selesai akhir minggu ini kau akan pindah ke Kyoto."

Kuroko mengangguk dan menarik selimutnya seraya membaringkan badan. Tak butuh waktu lama sampai mimpi mendatanginya lagi. Kali ini dia mendapati dirinya berada di dalam gereja tua yang sudah entah berapa kali dia lihat di dalam mimpi, tak ada orang lain di dekatnya. Kuroko merasa dia tengah menunggu seseorang, bukan, orang yang berada di dalam mimpinyalah yang menunggu. Tak lama dia mendengar suara kepak sayap dan sayup-sayup suara yang memanggil 'Tsuyuri'. Sebuah bulu hitam jatuh di depannya dan hal terakhir dia lihat sebelum mimpinya lenyap adalah sepasang sayap hitam yang sangat indah, menakutkan tapi indah.

"Siapa?" Guman Kuroko saat mimpinya mulai pudar dan dia tidur tanpa mimpi segera menyelimutinya.

Kyoto...

"Kau terlihat senang, Akashi." Komentar Midorima, mengalihkan perhatiannya sejenak dari buku yang tengah dibacanya saat pemuda yang terlihat mengamati Kuroko di rumah sakit masuk ke dalam ruangan. "Perkembangan bagus tentang pemuda pemilik darah Tsuyuri?"

"Aa..." Jawab Akashi singkat dan mengambil sebuah buku tua tebal bersampul hitam. "Dia akan berada di Kyoto tidak lama lagi." Memanipulasi dokter penanggung jawab Kuroko dan menyusun sebuah skenario agar memindahkan pemuda itu ke Kyoto bukan hal sulit bagi Akashi, semudah membalik telapak tangan. Licik? Bukan urusannya. Sudah lama dia tertidur dan menunggu untuk saat ini tiba.

Setelah mengambil buku yang dia cari, dia melangkah keluar kembali ke kamarnya. Dilihatnya di ruang tengah menuju tangga Aomine yang memangku pemuda pirang juga memberi ciuman di sepanjang leher pasangannya itu hingga desahan pelan keluar. Kilat nafsu muncul jelas pada mata biru Aomine, kegiatan semula hanya memberi 'tanda kepemilikan' sekarang meningkat saat sepasang taring tajam Aomine menghujam leher yang dipenuhi bercak merah itu.

"Aominecchi...kau baru saja makan kan..." Erang Kise.

"Tidak ada salahnya mengambil hidangan penutup." Balasnya dengan cengiran sebelum melanjutkan kegiatannya lagi.

"Pantas saja Shintarou selalu mengeluhkan kelakukanmu, Daiki. Aku tahu semua penghuni tempat ini memiliki pasangan, tapi saling bertukar darah di depan umum itu terlalu mengundang. Kau mau Ryouta diserang?" Sindir Akashi.

Ya, semua penghuni mansion besar ini memang memiliki fisik seperti manusia tapi apa yang di dalam mereka sama sekali bukan manusia, mereka hidup dengan darah. Kyuuketsuki atau lebih di kenal dengan nama lainnya, vampire. Monster penghisap darah manusia yang dianggap hanya dalam legenda, mereka sungguh ada, hidup di antara buruan mereka.

"Yang boleh menyentuh makananku hanya aku." Aomine mengeratkan tangannya yang melingkar di pundak Kise, menunjukkan dominasinya ditambah dengan geraman peringatan. Salah satu dari beberapa hal yang harus diingat tentang vampir, mereka sangat protektif pada pasangan mereka terutama pihak dominan pada submisif. Jika mereka merasa ada yang mengancam pasangan mereka, tak jarang cara kasar digunakan.

"Posesif seperti biasa." Akashi tertawa kecil. "Jangan ada yang membangunkanku." Peringatnya sambil menaiki tangga.

"Akashicchi masih belum pulih ya." Kise baru berani berbicara setelah mendengar suara pintu tertutup di kejauhan.

"Tentu saja, sejak terbangun dia menolak meminum darah segar, hanya dari kantong darah, apalagi dia berbeda dari kita dan kehilangan separuh sayapnya." Aomine menarik Kise mendekat dan membenamkan kepalanya di dada pemuda pirang itu. Mengingat saja sudah terasa sesak apalagi membayangkan dia berada di posisi yang sama dengan Akashi. Kadang Aomine berpikir apa karena strata Akashi di atas mereka apa yang harus dia jalani lebih berat atau Akashi sendiri yang memilih jalan tersusah. Yah...lagipula ada perumpamaan semakin susah kau menghadapi sesuatu, semakin manis hasil yang didapat, tapi dengan apa yang Akashi lakukan apa benar ada 'hasil yang manis'.


Dua hari sudah Kuroko menghabiskan perawatannya di rumah sakit di Kyoto. Baginya tidak ada yang spesial. Memang ada perbedaan dalam bangunan dan pemandangan yang dia lihat tapi kalau hanya bisa menikmatinya dari balik jendela apa gunanya, bahkan untuk berjalan-jalan di halaman rumah sakit saja dia belum diizinkan, paling tidak kali ini dia membawa novel dalam jumlah banyak.

Dia tahu jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, sewajarnya dia tertidur tapi yang ada dia masih terpaku pada novel di tangan yang sudah habis separuh. Suara yang menemaninya hanya suara serangga dan gorden yang terkibar angin sampai tanpa disadarinya seorang pemuda duduk di pinggiran jendela, menatapnya. Perlukah diingatkan jika Kuroko berada di lantai tiga.

"Buku yang menyenangkan?" Tanya tamu 'tak diundang' itu.

Kuroko nyaris melemparkan bukunya dalam kekagetan. Mendadak ada seseorang duduk di jendela tanpa tanda-tanda sebelumnya terlebih ini rumah sakit, Kuroko tidak percaya hantu tapi dalam kondisi seperti ini, apalagi yang harus dia pikirkan pertama kali.

"Siapa?" Tanya Kuroko yang berusaha tenang.

"Aku...hmm...katakan saja aku sudah menunggumu sejak lama, Tsuyuri."

Kuroko menyipitkan mata curiga. Suara pemuda ini mirip atau bahkan sama dengan suara yang selalu dia dengar di mimpinya ditambah memanggilnya 'Tsuyuri', ini jauh dari sebuah kebetulan. "Namaku Kuroko Tetsuya, bukan Tsuyuri. Siapa kau?" Dia mengulang pertanyaannya lagi.

"Tetsuya, jadi itu namamu sekarang. Ah, maaf ketidak sopananku, lagi-lagi aku membiarkanmu yang memberitahu nama terlebih dulu, namaku Akashi Seijuurou."

Akashi Seijuurou...Kuroko mengulang lagi nama itu di dalam kepalanya. Dia tidak pernah mendengar nama itu, tidak pernah sekalipun, tapi kenapa dadanya dihantam kuat penuh dengan rasa penyesalan seakan dia sudah melakukan sesuatu yang tidak bisa dimaafkan.

"Kenapa? Sakit, Tsuyuri?" Tanya Akashi saat Kuroko memegang erat bagian depan baju rumah sakitnya.

"Jangan memanggilku dengan nama perempuan." Protes Kuroko yang tetap mempertahankan ekspresi datarnya. "Kau siapa? Manusia normal tidak akan bisa duduk di pinggir jendela lantai tiga tanpa rasa takut." Hanya melihat mata Kuroko bisa tahu Akashi dipenuhi rasa percaya bahwa ketinggian seperti ini tidak akan menyakitinya bahkan lebih dari ini juga masih tidak masalah.

"Manusia." Guman Akashi diikuti tawa pelan. "Aku bukan manusia Tsuyu...maaf, Tetsuya." Diraihnya tangan Kuroko dan dibawa mendekat menuju bibirnya. Genggamannya terasa lembut tapi sebenarnya sangat kuat, tidak membiarkan Kuroko menarik tangannya. Diciumnya pergelangan tangan Kuroko sebelum sepasang taring memanjang yang terlihat jelas di bawah pantulan cahaya malam. Tidak memberikan kesempatan bagi Kuroko mencoba menarik tangannya kembali Akashi sudah merobek kulit pergelangan putih itu dengan taringnya.

Sakit memang tapi Kuroko sudah terbiasa dengan suntikan sekarang saja masih ada jarum infus menancap di lengannya yang lain, hanya saja bukan rasa sakit yang menjadi masalah melainkan pemuda asing yang tengah meminum darahnya. Siapa yang menduga kepindahannya ke Kyoto membuatnya bertemu dengan monster dalam legenda, vampir. Jemari tangannya yang bebas bergerak menuju tombol untuk memanggil perawat tapi dihentikan di detik terakhir. Gerak-gerik ini tentu tak luput dari mata Akashi.

"Kenapa tidak meminta pertolongan? Kau akan menekan tombol itu kan." Akashi melepas gigitannya tapi masih menjilat sisa darah yang menetes.

"Tidak akan ada yang percaya jika kukatakan ada vampir yang menyerangku." Balas Kuroko datar yang untuk sekilas memunculkan keterkejutkan di mata Akashi.

"Kau tidak takut? Aku bisa saja meminum semua darahmu."

"Tentu saja aku takut berhadapan dengan vampir tapi aku tidak merasakan niat membunuh darimu, kau tidak akan mengambil habis darahku." Ucap Kuroko penuh keyakinan yang kembali membuat Akashi terkejut dan tawa keluar pelan dari bibir sang vampir.

"Tidak kusangka selain darah kalian akan semirip ini. Sebagai ganti darahmu malam ini akan kuberi hadiah kecil." Akashi menggigit ibu jarinya sampai setitik darah mengalir keluar dan menyodorkannya ke bibir Kuroko. "Telan. Tenang saja, dosis sekecil ini tidak akan membahayakanmu." Perintahnya.

Kuroko tahu dia tidak diberi pilihan lain, mau tidak mau dia memasukkan sebagian kecil ibu jari Akashi ke dalam mulutnya dan meneguk darah yang keluar, tidak banyak memang mungkin hanya dua tiga tetes tapi rasa seperti metal langsung memenuhi mulutnya. Akashi menarik keluar jarinya sebelum Kuroko meminum lebih banyak dari yang sudah dia telan.

"Untuk apa menyuruhku meminumnya?" Tanya Kuroko bingung.

"Kau akan tahu nanti."

"Tu...tunggu..." Rasa kantuk hebat menyerang Kuroko walau sudah berusaha dia lawan dalam hitungan detik dia sudah tertidur di atas bantal. Novel yang tadi dibacanya sekarang tergeletak terbuka di atas tempat tidur. Akashi meraih novel itu, penasaran dengan apa yang tengah dibaca Kuroko. Dalam beberapa baris dia tahu novel ini mengambil lokasi Kyoto di awal jaman modernisasi. Akashi menutup novel itu, meletakkannya di sisi Kuroko.

"Seberapa jauh yang kau ingat." Guman Akashi. Dia memberi Kuroko tatapan terakhir sebelum berdiri dari tempat duduknya, bukannya terjatuh dari ketinggian lebih dari sepuluh meter tubuhnya justru melayang di udara.


"Izin ke kota, benarkah?" Tanya Kuroko tidak percaya pada perawat yang selesai memeriksa kondisinya siang hari.

"Iya. Kondisimu sangat baik hari ini jadi dokter memberimu izin untuk ke kota selama setengah hari. Banyak hal menarik di Kyoto." Perawat itu membenarkan.

Memang saat terbangun pagi tadi Kuroko merasa batuknya berkurang banyak, tubuhnya juga terasa segar, hal yang sudah lama tidak dia rasakan. Mungkin kesembuhannya akan lebih cepat perkiraan.

"Kurasa aku akan berjalan-jalan di dekat rumah sakit saja, okaasan sudah kembali ke Tokyo dan aku sendiri tidak terlalu hafal jalan di Kyoto." Memang disayangkan ibunya sudah kembali dua hari sebelumnya, tapi paling tidak meski hanya daerah sekitar rumah sakit dia bisa melihat-lihat kota Kyoto. Seulas senyum tidak bisa Kuroko sembunyikan.

"Hmm? Bukannya sepupu sudah datang menjemput?" Perawat itu menatap Kuroko heran yang dibalas Kuroko dengan ekspresi sama. Sepupu? Kuroko memang memiliki saudara di Kyoto tapi mereka belum memiliki anak, lalu siapa sepupu yang di maksud.

Pertanyaan ini segera dijawab saat pintu ruangannya terbuka. Kuroko terbelalak tak percaya siapa yang baru saja datang, vampir yang semalam menggigit lengannya sekarang berdiri di depan pintu sambil menyunggingkan senyum ramah, tapi Kuroko tahu itu hanya senyum palsu.

"Maaf mengganggu, aku membawakan baju ganti Tetsuya." Ucap Akashi, mengangkat tas ransel kecil di tangannya.

"Selamat bersenang-senang Kuroko-kun." Perawat itu undur diri dari ruangan, tak lupa melemparkan senyum pada Akashi.

"Dengan cara apa kau bisa menipu semua orang?" Tanya Kuroko datar tanpa menatap Akashi.

"Menipu? Yang kulakukan tidak serendah 'penipuan', Tetsuya. Secara gampang yang kulakukan adalah 'hipnotis' tapi tentu saja lebih kompleks dari sekedar memberi sugesti, yang kulakukan secara langsung memanipulasi ingatan mereka, bukan hanya 'penipuan' sederhana." Jelas Akashi, meletakkan tas ranselnya di atas tempat tidur Kuroko. "Ganti bajumu, kau hanya punya waktu sampai waktu pemeriksaan malam untuk berjalan-jalan dan meski aku bisa dengan mudah mengembalikanmu lewat jam yang ditentukan aku tidak mau memperburuk kondisimu."

"Jadi kondisiku membaik karena kau melakukan sesuatu?"

"Tidak banyak. Darah vampir dalam jumlah sedikit bisa menyembuhkan manusia tapi sayangnya tidak permanen."

"Dan dalam jumlah banyak?"

Seringai tipis tanda ancaman diberikan Akashi. "Kau tidak perlu tahu, Tetsuya. Sekarang, ganti bajumu atau harus kugantikan."

"Tidak perlu." Kata Kuroko cepat dan menyambar tas yang diberikan Akashi, dia tidak mau Akashi sampai menyadari rona merah tipis yang muncul tanpa diinginkan di pipinya. Sayangnya Kuroko melupakan penglihatan vampir sangat tajam.

Setelah mengganti baju rumah sakitnya dengan kemeja garis horizontal putih-biru, jaket bertudung biru muda, celana jeans, dan sepatu kets, Kuroko melangkahkan kaki di sudut kota Kyoto, tentu saja di bawah pengawasan Akashi yang selalu mengawasi tiap gerakannya. Semula mereka tak saling bicara, Kuroko bukan tipe yang banyak bicara sementara Akashi tidak menyukai hal yang berisik, meski membuat suasana canggung tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Itu berlangsung sampai Kuroko menyadari sesuatu. Pakaian yang dikenakan Akashi berupa kemeja cokelat dengan lengan dilipat mencapai siku, vest abu-abu yang sengaja tidak dikancingkan, celana bahan hitam, dia tidak melindungi dirinya dari sinar matahari.

"Ada apa Tetsuya?" Akashi tentu sadar Kuroko tengah menatapnya, mengamatinya. "Biar kutebak, kau heran kenapa aku bisa bertahan di bawah sinar matahari?" Ekpresi Kuroko yang berubah sedikit menjawab tidak langsung. "Manusia makhluk penakut tapi mereka tidak mau mengakuinya, karena itu mereka membuat makhluk yang superior dari mereka seolah memiliki banyak kelemahan, bayangan mereka terhadap vampir salah satunya. Mereka membuat kami seolah lemah dengan sinar matahari, perak, salib, sungguh menggelikan. Kami memang tidak menyukai sinar matahari karena terlalu menyilaukan dan membuat kami sedikit lelah tapi tidak cukup untuk membunuh."

"Jadi semua tidak benar. Bagaimana dengan pasak?" Kuroko mengambil kesimpulan. Dia pernah membaca buku yang berkaitan dengan vampir karena rasa penasaran dan Akashi tidak menyinggung cara terakhir membunuh vampir yang tertera di buku, tusuk jantung mereka dengan pasak.

"Biar kuperbaiki ucapanku tadi." Akashi memastikan hanya ada mereka berdua di jalan kecil yang mereka lalui sebelum mengambil pisau lipat dari saku celana. Kuroko sempat heran apa yang akan Akashi lakukan dengan pisau itu sampai dengan santainya Akashi melukai pergelangan tangannya.

"Akashi-kun!" Seru Kuroko panik tapi Akashi justru bersikap tenang, dibersihkannya darah di pergelangan dengan saputangan. Sedikit pun tidak ada bekas sayatan, mengingatkan Kuroko kembali pada luka tusukan taring yang sudah menghilang saat dia terbangun.

"Pisau ini terbuat dari perak murni." Jelas Akashi, menggunakan saputangan sama untuk membersihkan pisaunya. "Luka apa pun yang kami terima, dari bahan apa pun, akan sembuh dalam sekejab, kecuali pada satu tempat." Diarahkannya pisau itu tepat di atas jantung. "Kau bisa menghujamkan pasak dari kayu suci pada jantung vampir dan keesokan harinya vampir itu masih bisa bergerak dengan jantung yang pulih sempurna, tapi tusukkan perak hingga menembus jantung, vampir itu akan mati. Tidak perlu pasak, apa saja yang terbuat dari perak akan fatal jika menembus jantung kami." Akashi melipat kembali pisaunya sementara saputangan yang sudah berlumur darah dibakar dengan api yang muncul secara tiba-tiba.

"Ada tempat yang ingin kau kunjungi, Tetsuya? Aku bisa menunjukkanmu benteng tua tapi kurasa kau tidak berminat dengan itu." Akashi mengubah pembicaraan.

"Tempatmu tinggal." Jawab Kuroko cepat.

"Manusia, ingin melihat langsung sarang vampir? Tidak takut menjadi santapan kami?"

"Kalau itu terjadi berarti Akashi-kun lemah dan aku yakin Akashi-kun bahkan di kalangan vampir bukan golongan lemah." Ucap Kuroko dengan wajah tanpa ekspresi tapi nada meyakinkan, mungkin dia juga sedikit 'menantang' Akashi.

"Kau selalu di luar perkiraanku. Akan kutunjukkan tapi karena tempatnya jauh..." Dalam sekejab Kuroko sudah mendapati dirinya di dalam gendongan Akashi. "kita perlu jalan lain."

"A...Akashi-kun!" Protes Kuroko tapi tidak bisa berbuat apa-apa, kaki Akashi sudah tidak lagi menginjak tanah, mereka berada di udara sekarang. Kuroko benar-benar merasa tersindir dengan cara Akashi menggendongnya bak seorang tuan puteri, apa tidak cara lain untuk membawanya yang lebih tidak memalukan dari ini.

"Kau akan jatuh kalau terlalu banyak bergerak, Tetsuya." Akashi memperingatkan tapi dia juga menikmati ekspresi kesal yang diberikan Kuroko.

"Bagaimana kalau ternyata aku takut ketinggian atau mabuk udara."

"Kau tidak akan sedekat itu dengan jendela kalau takut ketinggian dan kau juga tidak mungkin mabuk udara karena selama penerbangan Tokyo-Kyoto kau baik-baik saja." Jawab Akashi penuh kepastian.

"Akashi-kun memang susah dihadapi."

"Terima kasih untuk pujiannya."

Kuroko tidak berbicara lagi setelah itu, membiarkan Akashi membawanya entah ke bagian Kyoto yang mana. Mengusir rasa bosan Kuroko mengarahkan pandangannya ke bawah, melewati atap-atap rumah dan gedung kota Kyoto. Jarak mereka tidak terlalu tinggi sehingga seharusnya mereka masih dapat dilihat jelas tapi tidak ada satu pun yang memperhatikan mereka, Kuroko beranggapan Akashi pasti melakukan sesuatu. Yah, dengan kemampuan manipulasi ingatan dan memunculkan api, Kuroko tidak akan kaget jika Akashi masih menyimpan kemampuan-kemampuan lain. Mendadak Kuroko diserang perasaan deja vu, dia merasa ini bukan pertama kalinya dia melihat pemandangan Kyoto dengan cara seperti ini tapi tidak mungkin, bertemu dengan Akashi saja baru kemarin. Apa ini ada hubungannya dengan 'Tsuyuri'.

"Akashi-kun, sewaktu pertama bertemu denganku kau memanggilku Tsuyuri, siapa dia? Nama itu juga sering muncul di mimpiku." Tanya Kuroko.

Akashi mengeratkan genggamannya dan sedikit tersentak, reaksi yang Kuroko yakin sebagai kaget. Jawaban yang tidak segera diberikan semakin membuat Kuroko menatap penasaran. Manik dwi warna Akashi tak fokus dan menatap jauh, ada yang tengah diingat vampir itu.

Suara jawaban akhirnya diberikan Akashi setelah puas mengenang masa lalunya. "Tsuyuri, dia seseorang yang sangat kukenal dulu. Manusia pertama yang tidak menjerit ketakutan melihatku dan justru menatapku dengan ekspresi datar. Manusia pertama yang mau mengajakku bicara tanpa merasa takut. Manusia pertama yang bisa menghadapi rekan-rekanku. Dia juga manusia yang berani menolakku bahkan...mengambil sesuatu dariku." Semula Akashi menjawab tenang hingga kalimat terakhir di mana intonasi suaranya menjadi lebih berat dan kosong akan emosi. Kuroko dibuat menggigil takut oleh perubahan mendadak ini. "Kita sudah sampai, Tetsuya."

Kuroko yang perhatiannya masih terfokus pada pembicaraan sempat bingung dengan yang dimaksud Akashi sampai dia sadar Akashi sudah menurunkannya. Mereka berdiri di depan sebuah mansion yang bisa membuat bulu kuduk merinding karena aura abnormal kuat yang mengelilinginya, tak diragukan lagi disinilah tempat para vampir tinggal. Dengan mata masih terpaku pada bangunan mansion, Kuroko menaiki tangga menuju pintu depan di mana Akashi sudah menunggunya.

"Selamat datang di tempat tinggalku, Tetsuya." Ucap Akashi sambil membukakan pintu, yang sempat Kuroko kira akan mengeluarkan derit menyeramkan seperti di film horor tapi ternyata tidak.

Interior mansion juga tidak semenakutkan bayangan awal Kuroko, sedikit redup karena tidak banyak cahaya matahari yang masuk tapi masih memungkinkan mata Kuroko untuk melihat. Gantungan lampu besar berhiaskan berlian, tangga yang dibentangkan karpet meran marun, interior berkelas gabungan timur dan barat, mansion ini jelas dirawat oleh para penghuninya.

"Kupikir siapa manusia yang berani masuk kemari, ternyata Tsuyu." Suara Aomine dari lantai dua membuat Kuroko sedikit terlonjak.

"Ah, Tsuyucchi. Bau darahnya memang sama." Lanjut Kise yang berdiri di sebelah Aomine.

Secara bersamaan dua pintu kamar terbuka diikuti empat pasang mata ikut menatap Kuroko dari lantai sama dengan lantai Aomine berdiri. Manusia normal akan berteriak ketakutan bahkan pingsan ditatap oleh enam pasang mata vampir tapi yang dilakukan Kuroko...

"Doumo, Kuroko Tetsuya desu." Dia justru membungkukkan badan selayaknya berkenalan dengan sesama manusia.

Keenam vampir itu terdiam menatap Kuroko yang dipecah oleh tawa keras Aomine, cukup membuat Akashi terganggu sampai melemparkan tatapan peringatan tapi Aomine tetap tidak diam hingga mereda sendiri. "Akashi, aku tidak meragukan lagi, dia benar-benar membawa darah Tsuyu." Ucapnya.

"Kau tidak perlu meragukanku Daiki, aku tidak mungkin bangun jika pembawa darah Tsuyuri tidak...!" Erang serak kesakitan mendadak dikeluarkan Akashi bersamaan dengan tangan kanannya memukul erat dinding sebagai penyangga sementara tangan kirinya mencengkeram bagian dadanya. Midorima yang pertama bertindak meloncat dari lantai dua dan dalam sekejab sudah menahan Akashi.

"Aomine! Bawa dia menjauh!"

Untuk kali ini Aomine tidak perlu membantah diperintah oleh Midorima. Sebagai yang paling cepat di antara mereka hampir tidak bisa diikuti bagaimana Aomine melompat dari lantai dua, menarik Kuroko, dan kembali. Semua dilakukan sesaat sebelum sebuah sayap hitam keluar dari balik punggung Akashi. Bagai gerak lamban, Kuroko melihat momen demi momen saat sayap itu muncul saat Aomine menariknya menjauh, dan bagaimana erang kesakitan yang semakin meninggi selama proses singkat itu.

"Sayap hitam." Ucap Kuroko.

"Tidak semua vampir memiliki sayap seperti Akashi." Aomine melepas pegangannya di pinggang Kuroko saat menarik manusia itu. "Penjelasannya memakan waktu dan sekarang bukan waktu untuk itu." Dia memberi isyarat agar Kuroko bersembunyi di belakangnya, menghalanginya dari mata Akashi yang menatap ke arah mereka. Mata berbeda warna itu seakan ingin menyerang Kuroko tapi setelah terpejam dan terbuka detik berikutnya kondisinya kembali normal.

Akashi menarik nafas cepat beberapa kali tanpa erang kesakitan terdengar lagi. Mendorong tangan Midorima, tanda dia sudah bisa berdiri normal, Akashi berjalan menaiki tangga, menghentikan langkahnya sebentar di lantai tempat Kuroko berada. Ditatapnya Kuroko dari sudut mata.

"Aku hanya butuh istirahat, akan kuantar pulang sebelum jam malam tapi sampai waktunya jangan membangunkanku."

Tidak ada suara terdengar sampai beberapa detik setelah Akashi menutup pintu kamarnya di lantai tiga, semua terlalu takut membuat suara yang bisa mengusik tidur Akashi.

"Tadi itu menakutkan." Kise mengeluarkan helaan lega. "Untung saja sekarang tidak ada yang rusak. Akashicchi semakin bisa mengendalikan diri, mungkin karena Tusyucchi di sini juga." Dia melempar senyum pada Kuroko.

Tapi Kuroko seakan tidak mendengar Kise, dia masih membayangkan apa yang sudah terjadi. Dia memiliki perasaan semua saling berkaitan tapi sama sekali tidak ada benang untuk menyambungkannya, dia kehilangan hal yang paling penting. "Apa yang terjadi? Apa penyebab sayapnya yang hanya satu karena Tsuyuri? Apa hubungan Tsuyuri denganku?"

Enam pasang mata vampir itu menatap Kuroko sebelum menatap saling menatap satu sama lain, melempar tugas siapa yang harus menjelaskan hal ini pada Kuroko dalam diam. Adegan saling lempar itu akhirnya berakhir saat lima pasang mata menatap Aomine. Aomine menoleh kanan-kiri, mencari orang lain tapi lima pasang mata itu jelas tertuju padanya, dia bahkan menunjuk dirinya sendiri yang serempak mendapat anggukan.

Aomine mengerang malas. Bukannya dia tidak tahu banyak, dia sangat tahu, tapi masalah sesungguhnya kalau dia memberi pemahaman salah dalam penjelasan, lehernya bisa dipatahkan Akashi. Baik, tadi itu hanya perumpamaan hiperbolis saja tapi intinya tetap saja dia dalam masalah besar dengan Akashi.

"Silahkan mengobrol, biar kubuatkan teh dulu." Ucap vampir berambut hitam yang menutupi mata kanannya.

"Murochin ikut." Sahut vampir bertubuh tinggi besar berambut ungu yang sibuk memakan snack.

Dan dengan berbagai alasan, Kise, Midorima, dan pasangan Midorima meninggalkan tempat itu, membiarkan Aomine menjelaskan sendiri yang semakin membuat emosi Aomine naik tapi tetap ditahan. Lihat saja nanti, akan dia buat yang lain membayarnya, terutama Kise.

"Tentang sayap Akashi tadi, sudah kukatakan tidak semua vampir memilikinya, hanya satu kelas saja yang memilikinya, kelas yang sangat langka. Akashi salah satu dari sedikit darah murni yang masih tersisa. Darah murni memiliki banyak kemampuan dan salah satunya melakukan perjanjian darah dengan kelas dibawahnya." Aomine mulai menjelaskan setelah mereka mengambil tempat duduk di sofa lantai dasar.

"Perjanjian darah?" Tanya Kuroko.

"Kemampuan darah murni untuk 'mengikat' vampir di kelas bawahnya dengan 'perintah' tertentu, dan tidak Tetsu, aku tahu kau akan menanyakan apa kami dipaksa." Tambah Aomine saat Kuroko baru menggerakkan bibirnya untuk bertanya.

"Akashi memang kejam dan kadang bisa dikategorikan 'memperbudak' tapi dia tidak benar-benar memperbudak kami. Perjanjian darah juga kami lakukan dengan keinginan kami sendiri, tanpa paksaan, dan isi perjanjian itu tidak terlalu memberatkan, hanya 'kami akan membantu Akashi hingga dia memperoleh yang dinginkan', itu saja. Efek perjanjian itu hanya membuat kami separuh 'terkurung' di sini, tidak bisa keluar dari Kyoto. Ah, sebagai informasi saja pasangan Murasakibara dan Midorima tidak terikat, mereka datang ke tempat ini setelah Akashi tertidur."

"Tertidur? Akashi-kun tidak berada kondisi normal kan."

Aomine segera mengiyakan. "Sayap darah murni berfungsi menyimpan energi mereka..."

"Karena kehilangan satu sayapnya kondisi Akashi-kun tidak stabil, itu yang terjadi?" Kuroko mengambil kesimpulan cepat dari semua yang sudah didengarnya.

"Aa...sejak dia kehilangan satu sayapnya hingga enam belas tahun lalu dia terus tertidur."

"Kenapa?"

Aomine yang ragu untuk menjawab menjadi tanda apa yang akan keluar dari mulutnya bukan jawaban menyenangkan, apalagi dari cara Aomine menatap Kuroko. Sebuah kata akhirnya diberikan Aomine. "Tsuyuri."


-KnB-


Terima kasih sudah mampir untuk baca fic ini ^^ part dua segera menyusul

buat yang nunggu Nanairo, gomen, gara-gara saia dua minggu ini malah sibuk marathon seri tokusatsu jadi 'agak' lamban progressnya *ambil langkah seribu*