Please read and enjoy:)
.
.
.
Seorang gadis kecil bersurai indigo tengah menapakkan kaki dengan gembira. Rasa ingin tahunya yang besar mendorong nalurinya untuk menyelediki setiap sudut ruangan dengan seksama.
Tanpa sengaja manik amethystnya menangkap sosok benda yang amat indah. Namun sayang, benda itu tak dapat dijangkau, terhalang oleh lapisan kaca dalam rak lemari.
Didorong oleh rasa ingin tahu yang begitu besar, gadis kecil itu akhirnya menjulurkan tangan mungilnya, berusaha menjajalkan segala usaha demi mendapatkan benda tersebut. Namun sekali lagi sayang, bukannya didapat benda itu malah tersenggol oleh pinggiran rak dan meluncur ke bawah dengan kecepatan penuh.
Praaanggg…
Manik amethystnya membulat, cairan hangat mulai merembes keluar dari sudut matanya ketika melihat 'sosok' yang amat sangat dikaguminya itu hancur berantakan.
"H-hiks… h-hiks.. Naru-nii … p-patungnya l-letak. Dia pecah," isak gadis kecil tersebut kepada anak laki-laki berambut pirang yang ada di sampingnya.
"Sssh, tenang Hinata… Kita bisa meminta kaa-chan dan tou-chan untuk membelikan kita patung porselen yang baru,"bujuk sang anak berambut pirang itu, berusaha menenangkan gadis kecil yang sudah berada dalam dekapannya sekarang.
"H-hiks… T-tapi… Dia p-pecah… Nanti H-hina… Hiks… d-dimalahin tou-chan s-sama kaa-chan." Gadis kecil itu merengek, sambil sesekali menunjuk patung porselen yang sudah hancur berantakan dengan tangan mungilnya.
"Enggak bakal… Itu bukan salah Hina. Dengar ya, patung porselen itu memang rapuh, karena itu harus dijaga baik-baik. Nanti nii-san janji bakalan beliin Hinata yang baru."
Mendengar ucapan nii-sannya itu sang gadis menghentikan tangisnya. Sorot matanya kembali terlihat berbinar, memancarkan pancaran gembira yang tadinya sempat sirna.
"B-benal?"
"Um." Bocah berambut pirang itu mengangguk, "asalkan Hinata janji mau menjaga boneka porselen pemberian nii-san dengan baik."
"A-aligato, nii-chan! Hinata sayang nii-chan!" ujar gadis kecil itu sambil mendaratkan bibir mungilnya ke pipi sang kakak. Cup.
"Nii-chan juga sayang Hina," balas bocah pirang itu sambil tersenyum. Senyum yang menyaratkan rasa cinta yang mendalam. Rasa cinta dalam artian hubungan kakak dan adik, tentunya.
Tetapi siapa yang menyangka jika perasaan 'sayang' tulus dan murni dari kakak adik tersebut memiliki potensi untuk berkembang lebih jauh, menjadi perasaan yang lebih rumit, misalnya?
.
.
.
"Kau tahu, Hinata? Kadang kita tak pernah menyadari betapa besar nilai seseorang bagi kita. Kenapa? Karena kau sudah terlalu terbiasa akan kehadirannya, tanpa menyadari betapa berharganya ia dalam kehidupanmu."
Porcelain Doll © Reika Ishida
Naruto © Masashi Kishimoto
Pair : NaruHina
Rate : T
Warn!: AU, Alur cepat, typo(s), slight SasuHina
Chapter one.
.
.
.
"Hinata, jangan bergerak!"
"H-ha'i! G-gomennasai," ucap gadis itu gugup. Dengan segera ia menegakkan posisi duduknya dan berusaha sekeras mungkin agar tidak bergerak, membiarkan Ino menghiasi wajahnya dengan leluasa.
Hinata Namikaze, nama gadis tersebut. Gadis bersurai indigo itu selalu meyakini bahwa dirinya hanyalah seorang manusia biasa ciptaan Kami-sama yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Sampai ia mulai menyadari adanya getaran kecil yang selalu muncul tiap kali gadis itu berada di samping Naruto. Kian hari getaran itu kian bertambah, dan akhirnya ia sadar bahwa dirinya telah jatuh cinta pada sosok pemuda berambut pirang itu. Tetapi, begitu menyadarinya, gadis itu sudah jatuh terlampau jauh dalam pesona sang kakak.
Well, perasaan ini salah, ia tahu. Namun seperti gadis biasa pada umumnya, Hinata juga ingin hidup bergembira dengan orang yang dicintainya—yang dalam hal ini adalah kakaknya sendiri. Tetapi lagi-lagi ia cukup sadar diri bahwa cinta sepihak ini tidak akan pernah terbalas. Walau dirinya selalu memohon terhadap Kami-sama, berharap mungkin saja akan ada hari dimana segala impiannya terwujud.
Namun gadis itu harus merelakan impiannya terbang bersama dengan angin begitu kejadian itu terjadi...
Impiannya harus kandas begitu sang ayah memutuskan untuk menunangkannya dengan Uchiha Sasuke, anak dari salah satu rekan kerjanya.
Hinata selalu berharap bahwa hal ini hanya sekedar mimpi buruk, dan pada suatu saat ia akan terbangun dalam kamarnya yang bernuansa violet. Tapi ia tahu bahwa tidak selamanya ia dapat menghindar dari kenyataan yang sudah terlanjur digariskan oleh Sang Pencipta. Ya, hari ini adalah hari di mana Hinata akan dipertemukan dengan tunangannya untuk yang pertama kali. Dan tentu saja ia harus tampil sebaik mungkin, agar tidak mempermalukan nama keluarga Namikaze.
"Selesai! Kau dapat membuka matamu, Hinata-chan!" kata Ino terdengar puas.
Perlahan-lahan gadis indigo itu membuka matanya, menampilkan sepasang manik amethyst yang terlihat sangat cantik dengan paduan eyeshadow berwarna ungu tipis di bagian atasnya. Kimono berwarna biru gelap yang dipakainya terlihat sangat pas dengan tubuhnya, ditambah dengan rambut hitamnya yang dikepang longgar dan diberi pita. Menambah kesan manis yang ada.
Gadis indigo itu—Hinata, mengerjapkan matanya beberapa kali. Benarkah gadis yang terlihat dalam kacanya itu pantulan dirinya? Hanya satu kata yang terngiang dalam pikirannya. Cantik.
"S-s-sugoi, ne." Hinata memandang bayangan dirinya yang ada dalam pantulan cermin dengan seksama, mengagumi bakat memake up yang dimiliki oleh sahabat berambut pirangnya itu.
"Nah, sekarang mari kita keluar. Mereka semua sudah menunggumu…" Ino tersenyum sambil membuka pintu kamar.
Dan Hinata hanya bisa tersenyum dan mengangguk lemah, lalu dengan langkah gontai mengikuti sahabatnya itu ke ruang tamu.
Wajah mungilnya ditundukkan kebawah, manik amethyst yang biasanya memancarkan sinar kehangatan itu kini menerawang kosong.
Ah, andai hari itu tidak pernah datang…
Flashback on.
"Sudah dua jam kau berkutat di dapur-ttebayo. Sebenarnya kau sedang apa sih?"
Gadis bersurai indigo yang dipanggil Hinata itu menghentikan pekerjaannya sejenak, memandang pemuda berambut pirang yang baru saja menanyainya.
"A-aah.. I-iya.. a-aku sedang m-mencoba m-membuat sushi d-dengan jenis baru," jawab Hinata sambil tersenyum.
Naruto mengerutkan kening. "Sushi jenis baru? Untuk apa? Menurutku sushi buatanmu selama ini sudah cukup enak, Hina-chan!" ujarnya kepada gadis bermanik amethyst yang sekarang sudah mulai merona akibat pujian yang diarahkan pemuda itu kepadanya.
"E-etto… t-tapi aku i-ingin mencoba me-mengisi sushi dengan isi y-yang baru, Naru-nii," ucap Hinata gugup.
"Begitu? Baiklah—aah, sushi buatan Hinata pasti enak-dattebayo! Aku tak sabar menunggu."
"U-um—"
Ceklek…
Ucapan Hinata yang belum selesai terputus, suara yang diciptakan oleh terbukanya pintu dapur itu sepertinya berhasil menginterupsi perbincangan kedua orang tersebut.
"Hatake-san? Sedang apa kau di sini?" Naruto terbelalak ketika melihat sosok berambut perak yang tak diduga-duga itu muncul dari balik pintu.
"Hn. Hinata, menurutku lebih baik kau segera bergegas pergi ke ruang kerja tou-sanmu. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan." Bukannya membalas pertanyaan Naruto, pemuda berambut perak tersebut malah memilih untuk membuka suara kepada sang gadis indigo.
Hinata yang mendengar namanya disebut sontak kaget.
"E-eh? A-aku? A-anoo… ada apa?" Ada rasa bingung dan gugup yang tersirat dalam nada suaranya. Kesalahan apa lagi yang sudah diperbuatnya sehingga tou-san memanggilnya?
"Entahlah… Tapi—" Kakashi memutuskan pembicaraannya, terlihat berusaha mengingat sesuatu. "Mungkin ini ada hubungannya dengan perjodohanmu."
"N-Nani?"
Flashback off.
Dan di sinilah ia sekarang. Dari luar, penampilannya mungkin tampak sempurna, namun sesempurna apapun penampilan kulit luarnya, hati gadis itu tetap merasakan satu perasaan yang sama. Hampa.
Aku diperlakukan bak boneka porselen di sini, didandani secantik mungkin hanya untuk dipajang dan dipamerkan…
.
.
.
Hinata POV
Aku menyeret kakiku pelan, sepelan mungkin ke arah ruang tamu. Hari ini adalah hari di mana aku akan dipertemukan dengan tunanganku untuk yang pertama kalinya. Uh, entah kenapa rasa takut mulai menyelubungi diriku. Sungguh aku ingin waktu berhenti saat ini juga. Oh Kami-sama, bukankah wajar jika aku merasa takut sekarang? Secara mental dan psikis kondisiku belum umurku masih delapan belas tahun, bayangkan saja.
Tanpa sadar, langkah kakiku telah membawaku ke ruang tamu. Namun aku hanya diam mematung, memandang enam insan yang sedang berbicara ria—um, mungkin lebih tepatnya lima. Karena ada satu orang pemuda berambut emo yang dari tadi tidak ikut menyumbangkan suaranya.
"Ah, Hinata. Akhirnya kau datang juga."
Perkataan tou-san sukses membuat semua mata yang ada ruang tamu melirik ke arahku.
Akhirnya aku hanya bisa diam sambil tersenyum gugup.
"Ayo, duduk Hinata. Kau terlihat seperti orang yang baru saja dijatuhi hukuman mati," dengus kaa-san sambil menggait lenganku ke sofa.
"A-aah.. G-gomen," ucapku pelan hampir seperti berbisik, lalu duduk di sebelah kaa-san. Dengan cepat kutundukkan kepalaku agar orang-orang tidak melihat wajahku yang sudah sangat memerah ini.
"Jadi kau Hinata?"
Aku mendongakkan kepalaku sedikit. Dari sudut mataku, dapat kulihat sosok wanita berambut raven yang sedang memandangku dengan tatapan hangat
"B-benar," jawabku sambil memandang wanita itu.
"Ah…" Wanita tersebut mengangguk kecil tanda mengerti. "Kalau begitu salam kenal, Hinata. Namaku Mikoto Uchiha." Mikoto melempar senyuman kecil kepada Hinata sambil mengulurkan tangannya.
"U-um…"Aku mengangguk pelan sambil membalas uluran tangannya.
"Hm, kurasa anak kita harus bersyukur karena mempunyai tunangan yang cantik seperti ini. Iya kan, Fugaku?" tanya Mikoto sambil menyikut pemuda yang ada di sampingnya dengan pelan.
"Kau berlebihan Mikoto, harusnya kami yang bersyukur karena diberikan menantu seorang Uchiha-ttebane," ucap Kaa-san tersenyum, sambil memandang ke arah-err—pemuda berambut emo yang dari tadi tidak berbicara sepatah kata pun. Kutebak, ia pasti orang yang bernama Sasuke itu.
Normal POV
Hinata memberanikan diri untuk mengarahkan iris amethyst-nya kepada pemuda berambut emo yang ada di depannya tersebut. Anehnya, raut wajah pemuda itu tetap datar. Apakah ia tidak merasa gugup sedikit pun?
Puas memandangi sang uchiha, pandangan sang gadis pun beralih pada pemuda berambut pirang yang sedang duduk di pojok ruangan. Nii-sannya. Hinata tak tahu pasti apa yang dipikirkan oleh Naru-nii. Gembirakah? Sedihkah?
Ekspresinya benar-benar sulit untuk ditebak. Apakah memang kakak laki-lakinya itu sama-sekali tidak peduli dengan pertunangannya ini?
Nyut.
Entah kenapa hati Hinata terasa perih saat memikirkan hal itu. Rasa takut mulai menyelubungi dirinya, takut akan kehilangan sosok sang kakak yang ia cintai.
"Kurasa baik Hinata maupun Sasuke sudah tahu alasan kenapa kita semua berkumpul di sini."
Perkataan tegas dari Minato membuat gadis indigo itu terbangun dari lamunannya. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya ke arah tou-sannya, takut orang lain menangkap basah dirinya yang sedang melamun.
Minato yang menyadari pergerakan yang tiba-tiba dari putri bungsunya itu hanya menggelengkan kepala, sebelum akhirnya ia melanjutkan pidatonya yang sempat terputus tadi, "Pertunangan ini bukan berasal dari keputusan sembarang semata, namun didasari oleh dasar yang kuat atas hubungan pertemanan yang sudah terjalin lumayan lama antara Namikaze dan Uchiha Corp."
"Kami memutuskan untuk mempererat hubungan itu dengan menjalinnya ke dalam hubungan kekeluargaan. Dan karena itu aku berharap kalian berdua tidak akan mengecewakan kami. Mengerti?"
Seketika hening. Tak ada yang berniat untuk membuka suara, baik Hinata maupun Sasuke. Masing-masing dari mereka lebih memilih untuk diam walaupun alasan keduanya berbeda. Yang satu diam karena bingung mau berbicara apa, sedangkan yang satu lagi diam—dengan memasang tampang tch-merepotkan—karena terlalu malas untuk sekedar membuka mulut.
Suasana masih diam, sampai pemuda berambut raven yang dari tadi tidak berbicara akhirnya ikut menyumbangkan suara.
"Ada lagi?" nada yang jelas terkesan acuh tak acuh terdengar.
Agak kaget dengan nada tak acuh yang keluar dari mulut sang Uchiha, Minato mengerjapkan mata. Namun akhirnya ia lebih memilih untuk menjawab pertanyaan Sasuke tadi.
"Yah, mungkin itu saja saja Sasuke," jawab Minato sambil menganggukkan kepala.
"Kalau begitu bolehkah aku keluar? Aku bosan di sini," balas Sasuke.
Pria beriris sapphire itu memandang Sasuke intens, kali ini bocah itu sudah jelas sudah berlaku sangat tidak sopan, namun sekali lagi ia lebih memilih untuk membiarkannya karena tak ingin memicu keributan.
"Sasuke, jaga uca—"
"Tidak apa-apa Fugaku," potong Minato sambil tersenyum samar, kemudian memandang ke arah Sasuke, "baiklah kau boleh keluar."
Tanpa menunggu lebih lama lagi, pemuda bungsu bermarga Uchiha itu langsung melangkah keluar.
"T-teme! Tunggu!" ucap Naruto melihat sahabat baiknya yang melengos begitu saja sambil ikut keluar dari situ.
Melihat keduanya yang sudah pergi, gadis itu—Hinata, akhirnya memutuskan untuk mengikuti jejak keduanya.
.
.
.
Hinata mengurung dirinya di kamar. Sudah dua jam semenjak pertemuan dengan tunangannya itu terjadi, dan percakapan antara kedua orang tuanya dengan orang tua si Uchiha masih berlangsung.
Gadis pemilik iris amethyst itu sekali lagi menundukkan kepalanya.
Ah, sebenarnya ada apa dengan dirinya? Entah kenapa bayangan Naru-nii tidak dapat hilang dalam pikirannya.
Berbagai gagasan muncul silih berganti dalam pikirannya.
Apakah Naru-nii memang tidak peduli padaku?
Atau ia malah merasa bahagia telah terlepas dari kewajiban menjaga imoutonya?
Mungkinkah ia—
"Hinata?"
Suara itu membuat sang gadis bersurai indigo langsung terlonjak. Masih dengan perasaan kaget, ia memandang ke arah pintu kamarnya.
"A-aah… N-naru-nii… K-kenapa kau bisa masuk ke sini?"
Sontak Naruto tersenyum geli melihat reaksi imoutonya yang kelihatan begitu kaget akan kehadirannya itu.
"Kau lupa mengunci pintu kamarmu, Hinata."
"S-souka."
Bodoh, kenapa ia bisa sangat teledor seperti itu?
"A-ano… Naru-nii sedang apa di sini?" tanya Hinata mengalihkan pembicaraan untuk menutupi rasa malunya.
"Hm?" Yang ditanya malah menaikkan alis, "tentu saja untuk mengucapimu selamat-ttebayo! tak kusangka kau bisa mendahuiku seperti ini."
"B-begitu." Gadis bersurai indigo itu mendongakkan wajahnya ke arah sang pemuda pirang yang baru saja membuka suara tersebut. Amethyst dan sapphire kembali bertemu untuk beberapa saat. Meskipun kontak mata itu hanya terjadi dalam hitungan detik yang dapat dibilang singkat, namun hal tersebut sudah cukup untuk meninggalkan bekas yang lumayan berarti dalam hati sang gadis berkulit pucat.
Nyut.
Kami-sama, sebenarnya ada apa dengan dirinya? Seharusnya ia senang karena Naru-nii mengucapkan selamat padanya kan?
Yaampun, Sadar Hinata! Tidak seharusnya kau menyimpan perasaan ini. Perasaan terhadap kakakmu sendiri.
Gadis itu kembali mengingatkan dirinya sendiri.
Tapi entah kenapa melihat pemuda sulung keluarga Namikaze itu menyunggingkan senyum lebar nan tulus, terlihat bahagia atas pertunangannya membuat hati Hinata menjadi…sakit?
"Um… a-aku…" Hinata menundukkan kepala. Memandang sang onii-san entah kenapa membuat hatinya terasa perih. Tanpa ia sadari, cairan hangat mulai merembes dari pinggiran matanya. Tuhan, sejak kapan Hinata menjelma menjadi gadis cengeng seperti ini?
"A-aku… aku pergi dulu!" Tanpa diberi aba-aba gadis itu langsung pergi meninggalkan sosok pemuda pirang yang masih bingung memandangi dirinya. Berlari kencang sambil berusaha menutupi rona merah yang mulai menghiasi wajahnya dengan mahkota indigo yang ikut berkibar seiring dengan langkah kakinya berjalan.
Ah, Baka.
.
.
.
Langit sudah mulai gelap. Dengan cepat Hinata menyapukan pandangannya ke sekeliling, berusaha untuk menerka di mana ia berada sekarang.
Jika ada penghargaan siapa wanita terbodoh se-Tokyo, pastilah ia orang yang akan mendapatkan penghargaan itu.
Sekali lagi, Hinata merutuki dirinya yang selalu bertingkah konyol tanpa memikirkan resikonya terlebih dahulu, gadis itu terlalu membiarkan perasaan menguasai dirinya—suatu hal yang memang tak pernah bisa dikontrolnya sejak dulu.
Kenapa ia harus menangis tiba-tiba? Kenapa ia harus minggat dari rumah hanya dengan alasan malu karena tertangkap basah menangis? Dan sikapnya yang paling bodoh dan yang paling gadis itu sesali sekarang, dari sekian banyak tempat yang ada di Tokyo, kenapa ia malah memilih untuk masuk ke dalam hutan yang ada di pinggir kota?
Sekarang matahari mulai terbenam, dan Hinata malah tersesat di dalam hutan tersebut. Oh satu lagi, ia juga tidak dapat menutup kemungkinan bahwa akan ada hewan buas yang mengincarnya—dan tidak akan ada yang dapat menolongnya saat kemungkinan itu terjadi.
Memikirkannya saja sudah dapat membuat bulu kuduk Hinata merinding.
"Hiks…" sambil menggigit bagian bibir bawahnya untuk menahan tangis, Hinata mulai memaksa kedua kakinya yang sudah cukup lelah itu untuk kembali berjalan.
Siapa saja tolong aku…
Siapa saja tolong aku…
Siapa saja tolong ak—
"Hinata-chan!"
Sontak Hinata langsung membalikkan badannya begitu mendengar namanya dipanggil. Gadis pemilik manik amethyst itu akhirnya bisa kembali menarik napas lega saat melihat sosok pemuda berambut pirang yang sangat ia kenali.
"N-naru-nii—hiks," Hinata langsung menyerbu pemuda tan itu dengan pelukan erat. Isakan-isakan tangis lega mulai terdengar dari mulut sang gadis bersurai indigo.
"Aku di sini Hina-chan, tenang... Kau sudah aman." Naruto mengusap pucuk kepala Hinata dengan lembut, berharap tindakannya itu dapat menenangkan gadis tersebut.
"A-aku t-takut…" ucap gadis itu setengah merengek.
"Aku di sini, tak ada yang perlu kau takutkan."
"A-ada hal y-yang selalu aku p-pikirkan, dan itu m-membuatku t-takut."
Pemuda berkulit tan itu hanya tersenyum sambil kembali mengeratkan pelukannya kepada imouto tercintanya.
"Takut tersesat di hutan? Kau tidak perlu takut lagi karena sekarang aku bersama—"
"B-bukan!"
Naruto sedikit terkejut saat kata-katanya dipotong oleh sang gadis bersurai indigo. Namun akhirnya ia lebih memilih untuk diam dan mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh Hinata.
Gadis bersurai indigo itu memandang Naruto dengan pandangan intens. Ia sudah bertekad akan melupakan perasaan ini terhadap kakaknya. Namun sebeum itu, setidaknya ia ingin agar perasaan itu tersampaikan kepada sang kakak.
"A-aku memang takut tersesat. T-tapi a-aku—" Hinata terdiam untuk beberapa saat. Sungguh, tenggorokannya terasa seperti tercekat.
"—ada hal lain yang lebih aku t-takutkan."
Perkataan itu sukses membuat Naruto kembali mengerutkan kening.
"Takut gelap?"
"B-bukan."
"Takut dimakan binatang buas?"
"B-bukan!"
Hinata menggelengkan kepala kuat-kuat.
Pemuda berambut pirang itu berusaha memutar otak, hal apalagi yang dapat membuat imouto-nya merasa ketakutan lebih dari pada hilang di tengah kegelapan dan dimakan binatang buas?
"Lalu apa?"
Bukannya menjawab, gadis bersurai indigo itu malah menundukkan kepalanya, hal itu tentu membuat kesabaran pemuda sulung keluarga Namikaze berkurang.
"Apa Hinata? Jangan membuatku penasaran seperti ini."
"A-aku…" Sepatah kata akhirnya berhasil keluar dari mulut gadis yang identik dengan aroma lavender itu.
"A-aku… takut... t-takut k-kehilangan Naru-nii!" Dengan sekali tarikan napas—walau gagap dan wajahnya merona hebat—akhirnya gadis itu berhasil menyelesaikan perkataannya. Tanpa ia sendiri sadari, cairan bening kembali menetes menghiasi wajahnya yang mungil itu.
Dan pernyataan ini jelas membuat kejutan besar bagi pemuda berkulit tan tersebut.
"K-kehilanganku? T-tapi k-kenapa?" Sepertinya Naruto sudah tertular oleh penyakit gagap Hinata, tapi—ah biarkanlah. Asal gadis itu dapat memperjelas maksud dari ucapannya tadi.
"H-habisnya…" Hinata melepaskan pelukan yang tercipta di antara mereka berdua sambil masih menundukkan kepalanya.
"H-habisnya N-naru-nii terlihat b-bahagia bahagia s-saja saat tahu a-aku ditunangkan d-dengan Uchiha-san. T-ternyata Naru-nii r-rela-rela saja m-melihatku d-diambil orang l-lain—"
"Tentu saja aku berbahagia jika melihat adikku berbahagia, Hinata." Naruto memotong perkataan Hinata dengan tidak sabar.
"B-bukan i-itu... E-etto…T-tetapi aku tidak b-bahagia—"
Ucapan yang keluar dari mulut Hinata membuat kening Naruto kembali berkerut untuk yang kedua kalinya. Hinata tidak bahagia? Mengapa?
"—a-aku t-tidak b-bahagia karena o-orang yang a-aku inginkan itu… uhm… itu… N-naru-nii."
Blushh…
Kali ini rona merah menghiasi wajah keduanya.
Hinata cepat-cepat menutup mulutnya dengan tangan miliknya, tak percaya bahwa ia berhasil mengucapkan kalimat memalukan itu. Namun ada perasaan lega dalam dirinya, seakan-akan beban yang ia pikul selama ini terlepas.
Naruto sendiri masih tercengang di tempatnya, terlalu shock mendengar kebenaran yang baru saja keluar dari bibir mungil adiknya itu. Namun akhirnya pemuda tan itu dapat kembali mengontrol diri dan mengambil alih suasana.
"H-hinata."
Hinata tersentak saat merasakan ada sebuah tangan besar yang memegang pipinya dan mulai menghapus air matanya secara perlahan.
Gadis bersurai indigo itu memejamkan matanya, terlalu takut melihat balasan yang akan diberikan nii-sannya terhadap perlakuannya itu.
Cup.
Nah kan, Naru-nii pasti marah sekarang, pasti ia—tunggu dulu, tadi apa? Cup?
Muka Hinata langsung memanas begitu dia menyadari bahwa ada suatu benda basah yang menempel di keningnya.
"E-etto… N-naru-nii?"
"Gomen Hinata, gomen. Aku juga takut kehilangan dirimu, Hinata." Pemuda berambut pirang itu kembali merengkuhkan tangannya pada pinggang sang gadis, menciptakan pelukan hangat yang tadi sempat terputus.
Hinata yang mendengar pernyataan sang onii-san hanya dapat diam tak bersuara.
"Aku takut, bahkan sangat takut. Tapi aku tahu aku tak boleh egois, aku tidak ingin menjadi penghalangmu untuk meraih kebahagiaan. Aku tahu perasaan ini tidak seharusnya terjadi, kau adikku. Karena itu aku berusaha menghilangkan perasaan ini. Tapi bukannya menghilang…"
Naruto meraih tangan Hinata dan menempatkan tangan halus itu tepat di atas dadanya.
"…perasaan itu malah semakin berkembang jauh lebih kuat dari pada sebelumnya."
Muka Hinata memanas, dengan telapak tangannya ia dapat merasakan bahwa jantung Narutoberdetak lebih cepat dari pada biasanya. Nii-sannya tidak berbohong.
"Hinata… aku…"
Ia dapat merasakan bahwa jarak antara wajahnya dan Naruto semakin menipis.
5 jengkal…
Apakah… ia dan Naru-nii akan... berciuman?
4 jengkal…
Tunggu dulu, ini tidak boleh terjadi.
3 jengkal…
Ah tapi, ia tidak dapat menahan gejolak perasaan ini lagi…
2 jengkal…
Tapi bagaimana jika Kami-sama marah?
1 jeng—
"Ekhem…"
Suara itu berhasil membuat kedua insan ini menghentikan aksinya.
"T-teme? S-sedang apa kau di sini-ttebayo?" tanya Naruto terlihat salah tingkah. Semburat merah mulai menghiasi wajahnya.
"Mengantar dia pulang," jawab Sasuke acuh sambil menolehkan pandangannya ke arah Hinata.
Blush…
Muka Hinata kembali merona hebat. Ia baru saja tertangkap basah sedang berci—ah, tidak, hampir berciuman dengan nii-sannya. Dan yang telah melihatnya itu tak lain dan tak bukan adalah tunangannya sendiri, yang baru saja berniat mengantarnya pulang! Kami-sama! Cabut saja nyawaku sekarang.
"Tentu saja disuruh oleh kaa-san dan tou-san. Jika tidak untuk apa aku berbuat hal semerepotkan ini. Mereka tidak tahu bahwa kau sempat hilang. Aku berkata pada mereka jika kau sedang pergi ke bukit bersama dengan nii-sanmu," dengus Sasuke sebal ke arah Hinata.
Hinata, yang mendapati tatapan tajam dari sang Uchiha hanya bisa menunduk pelan, rasa salah kembali memasuki dirinya.
"M-maaf…"
Percakapan itu membuat suasana menjadi tidak enak.
"B-bagaimana jika kita pulang-ttebayo? Kaa-san dan tou-san pasti akan curiga jika kita tak kunjung datang," ucap Naruto dengan nada yang dipaksakan riang, berusaha mencairkan suasana.
"U-um!" Gadis indigo itu mengangguk lalu mulai berjalan di samping Naruto, diikuti dengan gerakan sang bungsu Uchiha yang hanya mengangkat bahu.
Pemuda berambut pirang itu menghela napas, sebelum akhirnya membuka suara, "mungkin kita harus berbicara nanti, Sasuke."
.
.
.
Naruto menutup pintu. Kini dua orang pemuda itu berada dalam ruangan tertutup, berniat untuk membicarakan suatu hal yang dianggap cukup penting.
"T-teme…"
Pemuda berambut raven yang duduk di pojok ruangan itu mendongakkan dagunya.
"Hn?"
"M-maaf, tadi aku dan Hina—"
"Tidak perlu minta maaf. Aku tak peduli, lagipula aku tahu kau sudah mencintainya sejak dulu, dobe." Sasuke memotong ucapan Naruto cepat, masih dengan nada monotonnya yang terkesan acuh tak acuh.
Pemuda berambut pirang itu menelan ludah.
"Kau tahu Sasuke, sudah berbagai usaha kucoba untuk menghentikan perasaan ini. Tetapi tetap tidak bisa. Aku selalu memandangnya sebagai seorang wanita, bukan sebagai imoutoku. Mungkin karena ia bukan adik kandungku."
Sasuke menyeringai begitu mendengar pengakuan yang terucap dari mulut Naruto.
"Tou-san dan kaa-sanmu pasti kecewa jika mereka mengetahui hal ini, Naruto."
Pemuda tan itu mengerutkan keningnya, "aku tahu Sasuke. Aku juga merasa kecewa, kecewa pada diriku sendiri. Karena aku telah gagal menjadi seorang aniki yang baik, bahkan tidak dapat menahan nafsuku sendiri untuk tidak menciumnya. Ahh, aku benar-benar monster!" Naruto setengah berteriak, ia terlihat frustasi begitu menyadari hal yang hampir saja ia lakukan pada adik kecilnya itu.
"Tch, kau memang tidak pernah bisa mengontrol dirimu sendiri dengan baik sejak dulu, dobe," timpal pemuda berambut emo tersebut.
Naruto hanya meringis mendengar balasan Sasuke.
"Uh, kau yakin tak ada yang mencuri dengar perbincangan kita kan? Bisa gawat jika ada yang tahu tentang hal ini-ttebayo." Keringat dingin mulai mengucur dari sudut pelipis sang pemuda berambut pirang begitu memikirkan apa yang harus ia hadapi jika rahasia besar ini terbongkar.
"Ini sudah malam, instingku tidak merasakan apa-apa. Dan semoga saja benar."
Naruto menghela napas lega.
"Syukurlah kalau begitu."
Tetapi kau harus tahu, Naruto. Bahwa setajam apapun insting yang dimiliki oleh seorang Uchiha, insting itu juga bisa salah. Terbukti karena sekarang, tanpa kalian berdua sadari ada sosok gadis bersurai indigo dibalik pintu yang ikut mencuri dengar.
.
.
.
TBC.
A/N :
Hola minna-san! Kali ini Reika datang (lagi) dengan fic yang pastinya tidak kalah abal dari fic-fic Reika yang lainnya! #plak. \(_ _)/
Ah, aku gak tau di Tokyo ada hutan atau enggak! tapi karena Reika ini masih newbie, anggep aja ada lah ya:'3 /slap.
Oke, gomen karena udah menuhin archive fanfiksi naruto dengan tulisan-tulisan abalku. Tapi seriusan, tiba-tiba ide fic ini muncul begitu saja, dan karena itu aku tulis aja. Aku gak tahu fanfic ini udah layak publish atau belum, tapi dengan modal nekat akhirnya fanfic yang abal ini aku publish juga XD
Umm, ini fanfic NaruHina pertamaku, gak tau otakku lagi kesamber apa waktu itu. Tapi entah kenapa pengen aja buat fanfic dengan pair itu sehingga akhirnya terciptalah fanfic yang gajelas ini, jadi maaf juga kalo feelnya kurang kerasa, alurnya kecepetan, dan NaruHinanya kurang banyak. Tapi endingnya pasti NaruHina kok^_^
Dan karena ini fanfic NaruHina yang pertama, pasti masih banyak kekurangan yang terdapat dalam fic ini. Aku cuma berharap semoga para readers gak terganggu dengan kekurangan-kekurangan itu :')
Oh iya, ada typo gak? kalo ada tolong kasih tahu ya (/.\)
At last but not least, mind to review? aku sangat membutuhkan kritik dan saran saat ini untuk memperbaiki tulisanku:3
Sekian,
Reika Ishida.
