13 Juli 1999.
Bagi sebagian orang mungkin tanggal itu tidak berarti apa-apa. Namun tidak bagi dua sosok mungil yang sedang sibuk mengais sebuah lubang tempat persembunyian tepat di bawah sebuah pohon sakura yang tua. Sang anak perempuan yang berusia kira-kira 7 tahun terlihat begitu antusius melakukan kegiatannya tersebut walaupun sedikit raut heran masih bisa terbaca di matanya kalau kau melihatnya dengan teliti. Sementara rekannya seorang anak laki-laki yang usianya kira-kira satu tahun di atas gadis buble-gum mungil itu kelihatan berwajah datar dan cuek, namun jika kau melihatnya dengan teliti juga terdapat semacam aura semangat yang meledak-ledak yang terpancar dari kedua mata onyx-nya. Ekspresi langka yang bisa kau temukan pada bocah laki-laki berambut raven itu. Perpaduan dua ekspresi yang berlawanan namun menarik untuk diamati. Kedua bocah itu menunjukkan perasaannya dengan ekspresi alami masing-masing.
Setelah beberapa saat melakukan kegiatan melelahkan itu kedua bocah mungil itu mengeluarkan secarik kertas yang dari tadi tersembunyi di kantong mereka. Ah ralat, sang bocah buble-gum meletakkannya di tas mungil yang selalu dia bawa kemana pun dia pergi. Yakin pada apa yang ditulisnya, gadis itu mendongak menatap wajah rekannya yang juga sepertinya baru saja megecek secarik kertas yang dia pegang. Ya, gadis kecil itu memang harus mendongak jika ingin melihat anak laki-laki di sampingnya ini karena tingginya hanya sebatas bahu anak laki-laki itu.
"Hey, kau yakin dengan permainan ini?"
"Kau takut?"balas anak laki-laki di depannya itu seraya menyeringai.
Anak laki-laki itu mulai berjongkok untuk meletakkan secarik kertas yang dia masukkan pada sebuah botol kecil bekas air minumnya tadi. Tentunya dia mengeringkan terlebih dahulu botol itu agar kertas yang dia masukkan nantinya tidak basah. Setelah berhasil memasukkan gulungan kertas putih miliknya anak laki-laki itu mengulurkan tangan untuk meminta kertas putih milik gadis kecil di sampingnya. Terlihat gadis kecil di sampingnya masih ragu namun diberikannya juga kertas itu.
Setelah menerima kertas itu anak laki-laki dengan baju biru dongker berleher tinggi itu segera menyelesaikan kegiatannya, yaitu menimbun kembali lubang yang telah dia isi dengan botol berisi gulungan kertas tadi dengan tanah di sekitarnya. Puas melihat hasil karyanya anak laki-laki itu berdiri dari jongkoknya dan berbalik ke arah gadis kecil yang masih menatapnya dengan pandangan sangsi, bingung namun tertarik di saat bersamaan. Mata jade-nya yang besar mengerjap-ngerjap takjub menatap makhluk di depannya.
"Ini menarik sekali ayam-kun, tapi apa 13 tahun tidak terlalu lama? Saat itu umurku sudah 20 tahun dan kau 21 tahun. Bagaimana kalau aku sudah menikah dengan orang lain saat itu?" tanya gadis kecil itu dengan polosnya tanpa menyadari efek nama panggilan yang dia berikan pada anak laki-laki berambut biru dongker itu.
Secara ajaib empat siku muncul di dahi anak laki-laki itu ketika mendengar dirinya dipanggil dengan nama 'Ayam-kun'. Ayolah, apa tidak ada nama yang lebih bagus yang bisa gadis kecil itu berikan padanya? Dari sekian juta kata kenapa harus ayam yang dipilih oleh gadis buble-gum itu, ditambah sufiks –kun yang membuatnya justru terdengar lebih menggelikan itu.
"Ayam-kun?"
Lagi. Empat siku yang sudah hampir hilang dari dahi anak laki-laki itu kembali muncul berkat kata-kata ajaib barusan,
"Hn, memangnya kenapa kalau kau sudah menikah? Memangnya kau mau menikah denganku, eh?" jawabnya asal.
Tanpa anak laki-laki itu sadari semburat warna merah menjalar di pipi gadis buble-gum itu. Walaupun dia masih belum mengerti sepenuhnya apa itu menikah tapi dalam hatinya gadis kecil itu sudah memutuskan untuk bercita-cita menjadi pasangan pemuda itu dalam mengikrarkan janji sakral di gereja nanti kalau sudah besar.
"B-bukan begitu. Hanya saja…"
"Hanya saja apa?"
"Ti-tiga belas kan angka jelek. Kenapa tidak memilih angka lain saja sih yang bagus. Satu misalnya,"
Anak laki-laki itu hanya mennghela nafas bosan. Dipandangnya sepasang mata jade yang masih menatapnya sambil mengerjap-ngerjap takjub itu. Seolah-olah dirinya adalah sesuatu anugerah ajaib yang diturunkan Tuhan untuk gadis kecil itu,
"Kau ini cerewet sekali. Siapa bilang 13 itu angka jelek? Hanya gadis konyol sepertimu yang masih percaya tahayul seperti itu. Lagipula kalau kau menggantinya dengan angka 1 itu berarti 1 tahun dan berarti kita harus membukanya 1 tahun lagi, apa menariknya eh? Permainan ini akan jadi terlalu mudah dan membosankan,"jelasnya panjang lebar pada gadis kecil di depannya .
Mungkin ini adalah kalimat terpanjang yang pernah anak laki-laki itu katakan seumur hidupya. Biasanya dia adalah anak yang sangat irit bicara, bahkan pada orang di keluarganya sekali pun. Berada di samping gadis kecil dengan keingitahuan di atas rata-rata ini membuatnya harus mengeluarkan perbendaharaan kata ekstra lebih daripada biasanya.
"Ayam-kun,"
"Hn, jidat!" balas anak laki-laki itu dengan puas.
Kali ini terllihat empat siku yang tadi sempat mengunjungi dahi anak kecil itu berpindah ke dahi lebar si gadis kecil. Bibirnya megerucut tanda dia tidak suka dengan nama barunya itu.
"Jangan memanggilku begitu!"
"Dan jangan memanggilku ayam kalau begitu,"
"Tapi kan aku tidak tahu namamu,"
"Memangnya aku tahu namamu, eh? Kau hanya perlu menunggu sampai 13 tahun untuk tahu namaku, begitu juga denganku. Sederhana bukan?" kata anak laki-laki itu diiringi seringai khasnya.
'hanya dia bilang' sungut gadis kecil itu sebal. Bibirnya yang dari tadi memang sudah mngerucut sekarang tambah maju ditambah dengan pipinya yang dia gembungkan. Siapapun yang melihatnya pasti tidak tahan untuk mencubit pipi chubby-nya yang menggemaskan itu. Tak terkecuali anak laki-laki di depannya itu, hanya saja anak laki-laki ini sudah terlatih untuk menyembunyikan ekspresinya dengan muka stoic-nya itu,
"Bagaimana kalau sampai tempat ini tiba-tiba di pugar atau diapakan, aku.. aku kan… hiks," terlihat gadis kecil itu mulai terisak sambil menundukkan kepalanya.
Pemandangan yag paling tidak ingin anak laki-laki itu lihat saat ini. Dia paling benci dengan hal-hal yang berbau cengeng seperti airmata. Baginya hal itu buang-buang tenaga. Lagipula tidak ada masalah yang bisa diselesaikan dengan menangis bukan? Hanya saja entah kenapa kali ini anak laki-laki itu bukan benci pada airmata yang dikeluarkan gadis buble-gum di depannya ini. Untuk kali ini dia hanya tidak ingin gadis kecil itu menangis. Sederhana saja.
Ada yang salah? Entahlah. Anak laki-laki itu sendiri pun tidak menyadarinya.
Karena bingung dengan apa yang harus diperbuatnya ketika ada orang menangis, akhirnya anak kecil itu hanya menepuk-nepuk lembut kepala bermahkota pink itu. Perbuatannya itu membuat gadis kecil di depannya mendongak kembali ke arahnya. Menatapnya seolah-olah dialah yang membuat gadis kecil itu menangis. Walau pun secara tidak langsung memang iya,
"Kau itu cengeng sekali, aku tidak suka gadis cengeng!"
Mendengar hal itu gadis itu buru-buru menghapus airmatanya dengan syal yang terbalut di sekitar lehernya. Mata jade-nya kembali mengerjap-ngerjap pada objek di depannya seperti semula,
"Nah begitu bagus. Jadi kau tidak terlalu berisik, jidat!"
"Ugh! Lebih baik kau tidak usah memanggilku kalau nama itu yang kau gunakan,ayam-kun!"
'kau pikir aku rela nama bagusku diubah jadi ayam macam begitu!' rutuk anak laki-laki itu dalam hatinya.
"Lagipula tempat ini terlalu menyedihkan untuk dipugar," lanjut anak laki-laki itu tanpa terduga.
Memang benar apa yang dikatakan anak itu. Yang dimaksudnya menyedihkan bukanlah menyedihkan dalam artian yang sebenarnya, melainkan menyedihkan dalam artian sebaliknya. Tempat yang mereka gunakan untuk menimbun harta berharga mereka itu adalah sebuah pohon sakura tua yang terdapat di taman kota Konoha. Tempat itu memang sengaja dibangun oleh Hokage—semacam bupati kota kecil itu—sebagai tempat rekreasi sekaligus paru-paru kota. Jadilah banyak tanaman-tanaman hijau serta pohon-pohon tua besar yang memang sebelumnya sudah tumbuh disitu yang keberadaannya sudah dilindungi oleh pemerintah kota. Tempat itu tidak akan pernah dipugar paling tidak selama 20 tahun ke depan jadi tidak perlu khawatir tentang adanya hal-jal semacam penebangan pohon atau pun pembangunan gedung pencakar langit di daerah itu. Paling tidak itu menurut pemikiran analitis si kecil genius berambut raven itu.
"Kau harus belajar menahan rasa penasaranmu yang meluap-luap itu,"lanjutnya lagi tanpa diminta.
Sungguh, anak laki-laki itu jadi hobi berbicara hari ini.
"Tapi kau harus janji dulu padaku, ayam-kun!"
Anak laki-laki yang dipanggil ayam-kun itu menatap gadis kecil di depannya dengan tatapan apalagi-sekarang-yang-kau-inginkan-gadis-cerewet,
"Ayam-kun harus janji kita akan kesini 13 tahun lagi di tanggal yang sama dan waktu yang sama,janji?"
Gadis kecil itu mengulurkan jari kelingkingnya pada anak laki-laki yang hari ini telah menemaninya seharian itu. Dipandangnya mata onyx yang masih memandang bingung pada uluran jari kelingkingnya itu. Namun toh tak berapa lama kemudian sebuah jari kelingking yang lebih besar itu pun juga turut menyambutnya dan mengaitkannya dengan jari kelingking mungil gadis itu.
"Janji!"
Dan fragmen sore hari di taman kota Konoha tahun 1999 itu ditutup dengan perpisahan dua orang anak kecil yang tidak tahu namanya masing-masing itu. Mereka berpisah dengan satu janji yang sudah mereka ikatkan dalam hati, yang tanpa sadar akan menjadi tonggak sejarah dalam kehidupannya masing-masing.
Kita akan bertemu .. 13 tahun lagi, di tempat yang sama, waktu yang sama …
