"Sasuke, kita akhiri saja semua ini." Sasuke membeku di tempat. Minuman yang semula akan ia tegak kini menggantung di tangannya. Sasuke mengalihkan pandangan pada pria yang duduk tepat di hadapannya.
Alis pria berambut raven itu sedikit mengkerut, "Apa maksudmu?" Sasuke bertanya dengan nada tenang dan datarnya—walaupun hatinya kini mulai terasa sesak karenanya. Rasanya kini hatinya diremas-remas.
Neji menghela nafas panjang dan meminum cappuchino dengan khidmat, "Umur kita sudah hampir menginjak tiga puluh tahun. Aku ingin mempunyai anak dan keluarga seperti yang lainnya."
"..." Sasuke hanya diam. Tangannya yang tengah memegang gelas bergetar. Kepalanya sekarang terasa panas. Sasuke meminum kopi pahitnya dengan sekali tegakan.
Neji beranjak dari kursi dan membalikkan badannya, "Maafkan aku, Sasuke, tetapi... hubungan ini sejak awal memang sudah salah." Dengan begitu Neji berlalu pergi meninggalkan Sasuke.
Sasuke meremas gelas yang berada di genggaman tangannya. Kepalanya serasa mendidih. Amarahnya mulai memuncak, Ia melemparkan gelasnya ke lantai. Gelas tersebut pecah dan kopinya berhamburan membasahi lantai café.
Semua mata memandang heran dan mulai berbisik-bisik tentangnya. Ia mengepalkan tangannya sampai membuku-buku. Beberapa tetes darah keluar dari sela-sela kepalan tangan Sasuke.
Seakan frustasi, Sasuke membanting meja dan menendang kursi di sampingnya sampai patah. Berengsek! Berengsek! Berengsek! Sasuke mengutuk dalam hati. Ia membuka dompetnya dan mengeluarkan uang berjumlah tidak sedikit, lalu melemparkannya ke udara. Tanpa menunggu lama, Sasuke segera angkat kaki dari café tersebut.
Hatinya hancur. Hubungan yang telah dibina selama lima tahun kini lenyap karena alasan 'ingin memiliki anak dan keluarga'. Sasuke mendengus geli meratapi hidupnya. Matanya mulai terasa terbakar dan perih.
"Berakhir..."
Disclaimer :
Masashi Kishimoto
Story By.
Quiiny Riezhuka Sylvester
Pairing :
SasuFemNaru
Rate :
Mature
Genre :
Drama and Romance
Warn :
Gender Bender, Out of Character, Alternative Univers, Strong Language, Typos, Ide pasaran etc.
WAJIB DIBACA :
Ngomong-ngomong, ini fictterinspirasi dari fict milik AiForRish yang berjudul "Nanny For Sasuke" (hueee~~ ff-nya dihapus! *cry*) tapi tenang, tidak ada unsur plagiarism di fanfict Ryn :3
Dari segi jalan cerita juga sudah berbeda jauh. So, just read and you'll understand di mana letak kesamaannya. Kalo ada yang mirip-mirip dikit maafin lhaa~ :3
..~" Happy Reading "~..
Itachi menjambak rambutnya dengan frustasi. Suara musik yang keras tidak mampu menghilangkan rasa sakit di kepalanya. Sungguh, sikap Sasuke beberapa bulan terakhir ini benar-benar parah! Ya, semua ini terjadi sejak adik kecilnya itu berpisah dengan kekasihnya—Neji.
Bukannya tidak bersyukur, jika boleh jujur, Itachi sangat mengapresiasi sikap Neji yang mau berubah menuju ke arah yang lebih baik—putus dengan Sasuke. Namun, semua itu malah memperparah sikap dan kepribadian Sasuke.
Itachi sudah puluhan kali menyewa banyak wanita untuk menggoda sang Uchiha bungsu itu, tapi semuanya berakhir dengan wanita yang disewanya menangis karena kalimat-kalimat pedas yang terlontar dari mulut adiknya itu. Kini ia mulai putus asa...
Ia meremas rambutnya dengan gemas. Astaga Kami-sama, sebenarnya ia salah apa sehingga ia dihadiahi adik pecinta sesama jenis yang akut?
Itachi menegak minumannya dengan sekali tarikan nafas. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, ia sudah kehabisan akal saat ini. Rasanya ia ingin sekali terjun dari lantai tujuh puluh kantor Uchiha Corporation agar mampu menghilangkan frustasi di kelapanya yang sudah menjamur beberapa bulan ini! Tapi nampaknya itu bukan jalan yang terbaik.
Itachi menjambak rambutnya semakin keras, sekarang kepalanya terasa seakan mau pecah. Oh Kami-sama!
.
.
ooOOoo
.
.
Naruto menghela nafas—mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya menarik gagang pintu ruangan. Apapun yang terjadi ke depannya, ini adalah pilihannya. Dia tahu apa resiko yang akan dihadapinya. Lagipula dia mau membayar 'itu' dengan apa? Dengan daun? Oh ya ampun, yang benar saja! Naruto menghela nafas pasrah. Seandainya daun bisa berubah menjadi uang, ia tidak perlu melakukan pekerjaan hina ini... well, 'seandainya' tidak akan merubah apapun.
Naruto menggelengkan kepalanya cepat. Apa yang sedang ia pikirkan?! Bodoh! Ia mendorong pintu tersebut dan masuk ke dalamnya. Naruto segera disambut dengan dentuman musik yang keras. Ruangannya temaran, hanya lampu kelap-kelip berwarna-warni yang berada di lantai dansa sebagai satu-satunya penerangan.
Orang-orang berkerumun di lantai dansa tersebut. Mereka menari mengikuti alunan musik. Para wanita yang berdansa di sana tidak peduli tubuh mereka dipegangi dan digerayami oleh tangan-tangan nakal pada lelaki hidung belang. Naruto menatap kerumunan tersebut dengan tatapan sendu. Mungkin tidak akan lama juga aku akan menjadi salah satu dari mereka...
Naruto mengedarkan pandangannya untuk mencari mangsa. Ia tidak suka berada di tempat ini, gendang telinganya bisa rusak jika berlama-lama di sini. Sebaiknya ia harus segera mencari 'pelanggan' dan pergi dari sini. Ia sungguh-sungguh sudah tidak tahan! Seorang lelaki yang tengah minum sendirian di Bar mencuri perhatiannya. Tanpa membuang waktu, Naruto segera menghampiri pria tersebut.
Dua orang wanita berpakaian minim yang tengah minum bersama melihat kepergian Naruto saat melewati keduanya. Mereka memperhatikan Naruto dalam diam, "Siapa wanita itu?" tanya wanita berambut pirang kepada kawannya.
Teman berambut coklatnya mengangat bahu. "Entahlah, mungkin orang baru."
Wanita berambut pirang itu hampir saja tersedak minumannya saat melihat siapa yang akan dihampiri oleh Naruto, "Lihat, apa yang dilakukan wanita itu!"
"Gadis bodoh, dia pemilih yang buruk!" timbal wanita berambut coklat, "Apa kita harus menghentikannya?"
Wanita berambut pirang menggelangkan kepalanya tanda tidak setuju, "Jangan," ia melirik temannya dan tersenyum penuh arti, "Biarkan dia merasakan apa yang kita rasakan dulu."
"Kau benar," mereka kemudian tertawa bersama seperti orang bodoh.
Naruto mendudukan dirinya di sebelah targetnya dan memesan segelas wine. Pria sasarannya mulai menyadari keberadaannya dan menoleh, "Kau baru di sini? Aku tidak pernah melihatmu." Itachi mulai membuka suara. Ahh... Kami-sama, aku mencintaimu! Terima kasih atas mukjizat yang telah kau beri. Bagai pucuk dicinta ulampun tiba. Begitulah kira-kira hati sang Uchiha sulung saat ini. Senyum di bibirnya tidak luntur barang sedetikpun.
Naruto menggerakkan kepalanya ke sumber suara, "Benarkah?" Ia menegak pesanan wine yang baru saja datang ke hadapannya dan tertawa kecil saat gelas wine itu menjauh dari bibirnya, "Mungkin karena aku terlalu banyak 'pelanggan', sehingga tuan tidak melihatku." Naruto tersenyum tipis sambil mengoyang-goyangkan gelas berisi minuman cairan beralkohol.
Itachi mendengus geli. Ia menunduk dan memandangi gelas berisi beer yang memantulkan gambaran dirinya. Itachi tahu gadis di sampingnya ini tengah berbohong padanya. Tentu ia tahu, dia sudah berbulan-bulan di sini mencari 'mangsa' untuk adiknya. Itachi mengangkat wajahnya, "Jadi kau banyak pelangan, ya?" ia menatap Naruto dengan lekat—meminta jawaban.
Naruto tertegun ditatap oleh putra sulung Uchiha. Ia segera membuang muka dan meminum wine sebagai pelarian, "Apa itu artinya kau 'ahli' dalam bercinta?"
Bulu halus di tubuh Naruto mendadak berdiri seketika. Ia bahkan melihat pria di sebelahnya menyeringai lebar dari ekor matanya. Entahlah, tapi Naruto tidak suka dengan seringai dan tatapan tersebut.
Naruto menurunkan gelas wine dan menyimpannya di meja. Setelah mendapatkan kontrol dirinya kembali, Naruto menggerakan kepala untuk membalas tatapan 'calon pelanggannya' dengan senyum sumbringah palsunya.
"Tentu saja." Ujarnya bangga, "Jika aku tidak pandai dan ahli dalam bercinta, mana mungkin aku bisa mendapatkan banyak pelanggan. Hahaha..." Naruto tertawa renyah. Ia segera membuang wajahnya ke samping. Ha. Ha. Ha. Memiliki kekasih saja aku belum pernah. Naruto mencemooh dirinya sendiri. Itu memang kenyataan. Mau bagaimana lagi? Tapi beruntung, sepertinya pria di sampingnya ini mempercayainya.
'Gadis bodoh.' Seringai di bibir Sang Uchiha sulung nampak semakin melebar. Itachi memiringkan wajahnya dan tersenyum, "Kalau begitu kau tidak ada masalah dalam mengajari 'seseorang' tentang bercinta?"
Naruto membalas senyum Itachi dengan senyuman dan tatapan seduktifnya, "Tentu saja."
Itachi bangkit dari duduknya, "Kalau begitu, mari kita habiskan malam bersama," Ia mengulurkan tangannya dan disambut dengan senang hati oleh Naruto. Mereka berjalan beriringan keluar dari klub malam dan menuju ke area parkiran.
Sedikit lucu memang ternyata orang yang ingin membodohi kini malah terbodohi.
Itachi membukakan pintu mobilnya untuk Naruto, "Silakan."
"Terima kasih." Naruto masuk ke dalam mobil dan diikuti oleh Itachi setelahnya. Putra sulung Uchiha tersebut memasukan kunci dan segera menstater mobilnya meninggalkan kawasan klub malam dan membelah jalan pinggiran kota Tokyo.
Sunyi. Tidak ada seorangpun yang memulai percakapan untuk memecah keheningan. Naruto bahkan mencengkram rok yang tengah dikenakannya karena sedikit canggung. Ini hal yang baru untuknya.
"Jadi..." Naruto mencoba membuka suara pada kesunyian dengan sedikit takut-takut namun masih dapat terdengar.
Itachi melirik Naruto melalui ekor matanya, "Itachi." dan kembali berfokus pada jalan di depannya.
Naruto menoleh pada pria di sampingnya yang tengah mengemudi, "Huh?"
"Itachi. Namaku Itachi." Ia masih berfokus pada acara mengemudinya.
"Oh." Naruto menganggukan kepala berkali-kali, "Namaku Naruto."
Itachi tersenyum singkat, "Senang berkenalan denganmu, Naruto."
Mobil yang tiba-tiba berbelok membuat Naruto menoleh ke arah jendela di sampingnya. Alisnya sedikitnya berkerut ketika menyadari bahwa mobil yang ditumpanginya kini memasuki kawasan sebuah café. Bukankah harusnya mereka pergi hotel? Atau Naruto yang berharap mereka pergi ke sana?
"Maaf—"
"Turunlah, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu." Bersama dengan itu Itachi keluar dari mobil dan masuk ke dalam café yang diikuti oleh Naruto di belakangnya.
"Selamat datang!" seorang pelayan wanita menyambut kedatangan Itachi dan Naruto.
Itachi mengedarkan pandangannya menyapu seluruh café untuk mencari meja yang mempunyai ruang privasi. Sebuah meja di pojok ruangan yang tidak terlalu banyak tamu di sana sedikit mencuri perhatian Sang Uchiha. Di rasa telah mendapatkan tempat yang menurutnya pas, Ia segera berjalan menuju meja sasarannya.
Pemuda keturunan Uchiha itu mendudukan dirinya di sofa café. Kepala mendongak saat melihat Naruto yang malah berdiri, "Duduklah." perintahnya yang segera dituruti oleh wanita berambut pirang di hadapannya.
"Permisi," Seorang pelayan datang dan memberikan buku menu.
"Satu cangkir cappuchino." Itachi memesan langsung tanpa membuka buku menu. Naruto sedikit kaget saat mendengar Itachi memesan dengan cepat.
"Baiklah." Pelayan itu segera mencatat pesanan Itachi dan segera menoleh pada Naruto yang baru saja membuka buku menu.
"Err..." Naruto mengurungkan niatnya untuk membuka buku menu dan menyimpannya kembali di meja, "Satu es jeruk." Entahlah, hanya buah berbentuk bulat dan berwarna orange yang dapat terlintas di kepalanya.
Pelayan tersebut mencatat pesanan Naruto dan mengambil kembali buku menu, "Pesanan kalian akan siap dalam lima belas menit." dengan itu pelayan tersebut berlalu.
Itachi merogo kantong dalam jasnya. Ia mengeluarkan sebuah lembaran berbentuk persegi. Menyimpan benda tersebut di meja dan menyodorkan—yang ternyata sebuah foto kepada wanita yang kini tengah duduk di seberangnya.
Naruto mengambil selembar foto yang di sodorkan Itachi. Naruto menaikan sebelah alisnya. Manik sebiru lautannya mengamati potret tersebut dengan saksama. Hanya satu kata yang dapat terlintas di kepala Naruto saat melihat orang yang ada di dalam potret tersebut : tampan.
Laki-laki di dalam foto itu memiliki rambut raven dengan matanya yang menyaingi gelapnya langit malam. Hidungnya mancung dan rahangnya yang tegas. Kulitnya putih bak sebuah porselin. Senyumya yang menawan nampaknya membuat setiap setiap wanita yang melihatnya pasti meleleh.
Jangankan melihat lelaki ini secara langsung, hanya dengan melihat pria ini tersenyum melalui foto ini sudah mampu membuat jantung Naruto bertabuh kencang!
Alis Naruto mengkerut seketika. Siapa sebenarnya lelaki dalam foto ini? Apakah memang ada lelaki setampan ini? Tunggu! Tunggu! Jangan-jangan foto ini hasil edit dari photoshop! Ya, ya, bisa saja pria di dalam potret ini sebenarnya berwajah jelek dengan mata yang terlewat belo, hidungnya pesek, giginya tonggos dan kulitnya hitam! Hmmm... ini patut dipertanyakan!
"Dia adiku."
"Huh?" Naruto mengangkat wajahnya dan bungkam setelah melihat Itachi dengan penerangan yang 'sangat cukup' untuk membuktikan bahwa ia ternyata seorang lelaki yang tampan. Ia melihat kembali melihat foto yang ada di tangannya dan kembali memperhatikan Itachi. Errr... mirip. Naruto sweat-drop. Sepertinya foto ini bukan hasil editan.
Itachi menatap manik sebiru lautan di hadapannya yang juga tengah menatap dirinya, "Dia gay."
Naruto hampir saja terkena serangan jantung, "Apa?!" Naruto menundukan kepalanya untuk kembali melihat potret adik Itachi. Dia benar-benar tidak habis pikir, bagaimana laki-laki setampan ini bisa menjadi seorang gay, sungguh sangat disayangkan sekali.
"Permisi." Pelayan tadi datang kembali dengan membawa nampan yang terdapat secangkir cappuchino dan segelas es jeruk.
"Maaf membuat Anda menunggu lama." Ia meletakkan cappuchino di meja di hadapan Itachi dan es jeruk di meja di hadapan Naruto.
"Selamat menikmati." Ia tersenyum simpul dan berlalu pergi untuk melayani pelanggan yang lain.
"Lalu, apa maksudmu dengan menunjukan fotonya kepadaku?"
Itachi tersenyum tipis. Ia merogo kembali saku dalam jasnya dan mengeluarkan sebuah amplop yang kemudian di sodorkan pada Naruto. Wanita berkulit karamel itu meraih amplop tersebut dan mengintip isi di balik amplop yang diberikan oleh si Uchiha sulung.
Manik sebiru langit musim panas milik Naruto kini sedikit membulat saat mengetahui apa yang berada di dalam amplop tersebut.
Uang sejumlah lima ribu yen bersemayam di dalam gua kertas yang membalutnya. Naruto segera menjernihkan kepalanya dan menyimpannya di meja. Ia kini menatap sang Uchiha dengan tajam, "Apa sebenarnya maksud dan tujuanmu, Tuan Itachi?"
"Aku dengar kau pandai dalam bercinta, Nona." Senyum di bibit Itachi belum sirna.
"Jadi kau ingin aku menggoda adikmu dan bercinta dengannya?" terka wanita berambut pirang emas.
Itachi menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku hanya ingin kau mengajarinya agar adikku dapat kembali menyukai lawan jenisnya."
Naruto menyandarkan punggungnya pada sofa dan nampa berpikir keras. Mengajari seseorang yang gay bukanlah hal mudah, bisa berbulan-bulan bahkan bisa sampai bertahun-tahun. Menurutku harga lima ribu yen terlalu murah. Jika aku bisa bekerja di club itu dan mendapatkan lima ratus yen dalam sehari, bayangkan jika dikali selama seminggu. Hmm...
Seolah mengerti apa yang dipikirkan oleh Naruto, Itachi kembali angkat bicara, "Kau tidak perlu khawatir Nona, itu hanya down payment saja. Setelah kau bekerja aku akan membayarmu setiap tiga puluh hari sekali." Naruto kini menegakkan badannya dan mulai mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir Itachi.
Melihat reaksi Naruto yang nampaknya tertarik, Uchiha Itachi nampak menyeringai, "Tentu dengan bayaran yang menggiurkan untukmu."
Naruto mencondongkan sedikit badannya ke depan, "Berapa harganya?"
Seringai di bibir Itachi semakin lebar, "Bagaimana dengan dua ratus lima puluh ribu yen?"
"Aku setuju." Potong Naruto cepat. Ia wajahnya yang serius kini nampak berseri-seri yang lalu menyedot es jeruknya dengan senang hati. Itachi ternyum puas, setidaknya masih ada kesempatan untuk adiknya menjadi normal. Ia cukup puas dengan 'bisnis' ini.
Uchiha sulung mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. Sembari menunggu ia meyeruput cappuchino miliknya. Itachi banyak berharap kepada Naruto, semoga ia tidak bernasib seperti wanita-wanita yang disewanya dulu.
Seorang pelayan datang menghampiri Itachi, "Ada yang bisa ku bantu?"
"Aku ingin meminta bill-nya."
"Baiklah." Pelayan pergi menuju counter untuk memenuhi permintaan Itachi. Tidak lama kemudian sang pelayan kembali datang dan menyimpan bill di meja Itachi dan menghampiri pelanggan lain yang memanggilnya.
Itachi menengok jam yang melingkar di tangannya yang menunjukan hampir pukul dua pagi, "Apa kau sudah selesai?" ia bertanya kepada Naruto yang nampak memainkan es batu yang ada di dalam gelas minumannya.
"Eh? Iya."
Itachi berdiri, ia merogoh dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyimpannya di meja, "Mari ku antar kau pulang." Naruto mengganggukan kepalanya dan mengekor pada Uchiha sulung.
.
.
.
.
.
.
Jalanan nampak sepi. Hanya lampu-lampu di pinggir jalan yang menjadi sumber penerangan di jalanan pinggiran wilayah Konoha. Naruto hanya dapat menikmati pemandangan malam kota kecil kelahirannya—Konoha melalui jendela mobil.
"Jadi, kau tinggal di mana, Naruto?" Itachi bertanya tanpa mengalihkan pandangannya pada jalanan sunyi Konoha yang kini terlihat seperti tak berpenghuni.
Naruto menggerakkan kepalanya untuk melihat lawan bicaranya. Ia mengalihkan pandangannya pada jalanan di hadapannya, "Di depan ada sebuah perempatan, belok ke sebelah kanan. Melewati dua blok perumahan dan di sanalah rumahku."
Itachi mengganggukan kepalanya tanda mengerti.
"Ummm... apa adikmu pernah memiliki seorang kekasih wanita sebelumnya?" Naruto bertanya dengan nada berharap. Setidaknya dia butuh 'senjata' untuk mengembalikkan pemuda gay itu ke jalan yang lurus.
Itachi melirik Naruto dari ekor matanya, "Setahuku, dia belum pernah memilikinya. Dia hanya memiliki seorang mantan dan itu seorang laki-laki."
Kedua alis Naruto silih bertautan. Sedikit ironi memang, salah satu faktor yang mengubah seorang laki-laki atau perempuan menjadi menyuka sesama jenis ialah karena pernah mengalami sakit hati yang teramat mendalam yang diakibatkan lawa jenis.
Naruto mendesah kecewa, akan menjadi sulit jika dia gay karena genetik, "Sepertinya ini tidak akan mudah." Naruto bergunam kecil.
"Maaf?" Itachi bertanya kembali—ia tidak mampu mendengar apa yang dikatakan wanita yang tengah duduk di sampingnya.
Naruto tertawa canggung, "Ah, tidak... bukan apa-apa."
Itachi nampak tidak mempermasalahkannya, "Apa... rumahmu yang ini?" Itachi memberhentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang begitu sederhana.
Naruto menggerakkan kepalanya untuk melihat melalui jendela, "Ya, itu rumahku." Ia melepas seat-belt-nya dan keluar dari mobil. Ia membungkukan badannya, "Terima kasih banyak atas tumpangannya."
Itachi tersenyum tipis, "Tidak masalah. Besok pagi aku akan menjemputmu dan jangan lupa untuk membawa serta barang berharga dan bajumu." Naruto mengangguk. Bersama dengan itu Itachi memutar balik mobilnya dan melambaikan tangannya sebelum akhirnya kegelapan menelan mobil yang dikendarai Itachi.
Naruto tidak tahu apakah ini pilihan yang tepat atau bukan. Tapi setidaknya ini salah satu jalan yang mampu membuat Naruto terlepas dari jerat 'lelaki itu'. Ia kembali menghela nafas dan berjalan menuju ke istana berharga miliknya.
Jam telah menunjukan pukul sepuluh pagi. Naruto masih berkemas untuk ke pindahannya yang entah ke mana—hanya Itachi yang tahu. Naruto mengambil sebuah bingkai yang terdapat di atas meja—sebuah potret keluarga.
Naruto mengusap wajah seorang pria berambut pirang dan wanita bermbut merah, "Ayah... Ibu... Aku harap ini adalah pilihan yang tepat. Do'akan aku." Ia memeluk pigura tersebut yang tanpa ia sadari, air matanya turun dari sela-sela matanya.
Bunyi sebuah kelakson membuat ia menghentikan kegiatannya. Naruto berjalan menuju jendela dan membuka tirainya. Dilihatnya sebuah mobil Ferrari hitam terparkir di depan rumahnya. Ia dapat melihat Itachi saat Itachi menurunkan kaca mobilnya.
Naruto segera bergegas. Ia memasukan foto tersebut ke dalam sebuah koper dan berlari menuju ke halaman depan rumahnya, tidak lupa mengunci pintu rumahnya. Ia berjalan sambil menggerek kopernya.
Ia dapat melihat Itachi yang menyenderkan punggung pada mobilnya kini berjalan menuju ke belakang mobil untuk membuka bagasi. Ia membantu Naruto untuk memasukan koper yang dibawa Naruto ke dalam bagasi mobilnya.
Setelah selesai dengan koper, tanpa membuang waktu Itachi dan Naruto segera masuk ke dalam mobil untuk menuju tempat tujuan sang keturunan Uchiha.
Naruto tidak tahu ke mana Itachi membawanya. Yang jelas mereka telah melewati perbatasan kota kecil Konoha dan kini mengarah ke Tokyo. Naruto hanya dapat memandangi tugu bertuliskan 'Selamat Datang di Konoha' yang berlalu menjauh. Maniknya menyendu.
.
.
.
Semoga ini adalah pilihan terbaik, Kami-sama.
.
.
.
Selamat tinggal, Konoha...
.
.
.
Hingga detik ini Naruto masih belum tahu ke mana ia akan di bawa. Mereka berkendara hampir selama berjam-jam. Itachi juga nampaknya masih enggan berbicara ke mana mereka akan pergi. Dan salahnya adalah : Naruto juga nampaknya tidak ingin bertanya. Mungkin ini yang peribahasa katakan tentang 'Malu bertanya sesat di jalan'.
Naruto memutar bola matanya bosan, "Sebenarnya kita akan pergi ke mana?"
Itachi membelokan mobilnya ke area sebuah perumahan yang cukup elit menurut wanita di sampingnya. "Kita akan pergi ke rumah adikku."
Ia memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah yang cukup menarik perhatian Naruto. Uchiha sulung keluar dari mobilnya dan mengambilkan koper milik Naruto dan memasuki halaman rumah tersebut.
Ia merogoh sakunya untuk membuka kunci rumah lalu masuk ke dalamnya. Naruto berjalan mengikuti Itachi. Naruto menggerakkan maniknya untuk menyapu seluruh ruangan, "Duduklah." Perintah Itachi sambil mendudukan dirinya di sofa. Tanpa diperintah dua kali Naruto segera mendudukan dirinya di seberang lelaki bermarga Uchiha.
Itachi menatap Naruto dengan tatapan serius, "Selama kau 'mengajar' adikku, kau akan tinggal di rumah ini. Kau boleh menggunakan kamar mana pun yang kau suka keculi kamar pertama di lantai dua, itu kamar Sasuke. Tugasmu adalah membersihkan rumah ini dan memasak."
"Untuk bahan masakan kau harus belanja sendiri. Aku akan menambahkan uang belanja ke rekeningmu, terpisah dari gajimu. Bagaimana, apa kau mengerti sejauh ini Nona?"
Naruto menganggukkan kepala. Ia tidak terlalu peduli, yang ia butuhkan hanya uang. Yeah... "Namaku Naruto, bukan 'Nona'."
Itachi tersenyum, "Baiklah, terserah. Bisakah kau menanda tangani ini?" Ia menyodorkan sebuah map berwarna hijau dan pulpen yang segera diraih oleh wanita berkulit karamel di seberangnya.
Naruto membuka map tersebut. Matanya membaca setiap baris tulisan yang tercetak di dalam kertas putih itu. Ia menggedikkan bahunya. Ha! Persetan dengan perjanjian ini. Aku tidak peduli. Tanpa berpikir panjang Naruto segera membubuhkan tanda tangan dan nama serta nomor rekeningnya di lembar perjanjian tersebut. setelah selesai Naruto memberikan mapnya kembali kepada Itachi.
Lelaki yang memiliki sedikit keriput itu menyimpan berkas yang diberikan Naruto di tas meja. Ia merogoh sakunya dan memberikan secarik kertas pada Naruto, "Ini adalah nomor telepon pribadiku. Kau bisa menelepon atau mengirimkan pesan kepadaku jika kau mmbutuhkan apapun—selama itu bersangkutan dengan Sasuke dan ini adalah alamat e-mailku. Aku ingin kau mengirimkan laporan setiap hari setelah kau memberikan pelajaran pada Sasuke."
Naruto menganggukan kepalanya kembali. Ya, ya, ya, terserah.
Itachi memandang Naruto lekat-lekat. Ia tidak bodoh untuk tidak membaca setiap gerak dan ekspresi wajah gadis di hadapannya ini. Ia tahu Naruto tidak begitu peduli atas ocehannya. Itachi tersenyum tipis. Semoga kau bisa ngacuhkan kata-kata pedas Sasuke seperti kau mengacuhkan ucapanku.
Pria di seberang Naruto tiba-tiba saja berdiri, "Eh?" Naruto sempat kaget.
"Jika kau sudah mengerti aku akan kembali ke kantor." Ia mengambil berkas di meja dan berjalan ke arah pintu masuk, "Semoga beruntung, Naruto." Wanita berambut pirang itu memandangi kepergian Itachi hingga punggungnya tidak terlihat terhalangi pintu yang menutup.
Naruto merebahkan tubuhnya di sofa untuk sekedar meluruskan punggungnya. Ia meregangkan tangan dan kakiknya lalu menghela nafas lelah. Rasanya tulang punggungnya nyaris patah karena terlalu lama duduk.
Hmm... sepertinya ia akan mencari kamar dan menata barang-barangnya terlebih dahulu kemudian memulai pekerjaan? Ia menyambar kopernya dan melangkah kan kakinya ke lantai dua. Naruto sempat melirik ke pintu kamar yang diyakininya adalah kamar sang adik dari Itachi.
Kini mata Naruto tertuju pada sebuah pintu yang tidak jauh tepat sebelah kamar Sasuke. Naruto sedikit berlari dan membuka pintu tersebut. Sebuah kamar bernuansa biru muda menyapa penglihatannya. Sudut bibir Naruto terangkat; Ia menyukai kamar ini. Kamarnya lumayan besar, bisa dibilang dua kali lipat dari kamar miliknnya di rumah.
Naruto membuka kopernya dan hal yang pertama yang ia dapati adalah sebuah figura berisikan foto keluarganya. Ia mengambil dan memandanginya. Ia tersenyum lemah dan membelai foto tersebut, "Ayah... Ibu... aku tidak menyesali atas apa yang terjadi kepadaku." Wanita berambut pirang itu tersenyum kembali dan menyimpan potret tersebut di atas meja.
Naruto segera membereskan pakaiannya ke dalam lemari. Naruto tidak membuang banyak waktu, ia segera mencari alat-alat pembersih ruangan dan segera menyelesaikan salah satu pekerjaannya.
.
.
.
.
.
.
Wanita bermanik cerulean itu menyeka peluh yang ada di pelipisnya. Ia menjatuhkan badannya pada sofa, "Haaahhhhh!" ia meregangkan tangan dan kakinya. Bibirnya mengkerucut, Ia lelah, Ia baru saja membersihkan seruluh isi rumah—kecuali kamar Sasuke karena kamarnya terkunci.
Ia tidak pernah membersihkan rumah sebesar ini! Huuu... rasanya tanganku mau lepas. Naruto menatap jam yang menempel pada dinding yang menunjukan pukul tiga sore. Ia kembali menghela nafas, ia harus segera terbiasa dengan semua ini. Ia harus segera memasak untuk makan malam, tapi ia masih lemas... bagaimana jika tangannya benar-benar lepas?
Naruto menjadi horror sendiri. Itu tidak mungkin terjadikan, ya? Hahaha. Naruto bermonolog dalam hati sambil tertawa garing. Naruto menyamankan posisi tidurnya di sofa. Ia hanya perlu beristirahat sebentar dan setelah itu memasak makan malam. Naruto memejamkan matanya. Ya... hanya sebentar saja.
Naruto mengkerjapkan kelopak matanya. Ia mendudukan dirinya untuk mengumpulkan kesadarannya. Merasa cukup Naruto mengangkat wajahnya dan sedikit bingung dengan kondisi ruangan yang gelap gulita. Naruto berdiri dan berlari ke arah tangga saat mengetahui jam telah menunjukan pukul tujuh malam.
Naruto mengetuk pintu kamar Sasuke tanpa berkepripintuan, "Sasuke! Sasuke!" ia belum menyerah dan mengetuk pintu kamar Sasuke lebih keras, "Sasuke! Sasuke!" Naruto yang tidak mendapatkan jawaban segera menempelkan telinga ke pintu kamar adik Itachi dan mempertajam pendengarannya.
Hening... Naruto tidak dapat mendengar suara apapun dari dalam sana. Apa mungkin dia belum pulang? Naruto menjauhkan diri dari pintu. Jika memang seperti itu ia tidak boleh menyia-nyiakan waktunya. Naruto bergegas turun menuju ke dapur untuk memasak.
Menyalakan lampu dapur. Naruto membuka kulkas dan mengobservasi seluruh isi kulkas. Telur, daging, sayur, udang... Naruto mengeluarkan bahan-bahan yang ia butuhkan. Tangannya dengan gesit mencuci dan meotong bahan masakan. Bersyukulah bumbu masakannya telah tersedia dalam bentuk instant sehingga Naruto tidak perlu repot-repot mengolah dan membuat bumbu sendiri.
Naruto kembali menatap jam yang menempel di dinding dapur yang kini menunjukan pukul sembilan malam. Ia merapihkan mangkok dan piring yang telah berisi makanan buatannya di meja makan. Ia membuat tamagoyaki, nasi kari, tempura dan teriyaki.
Ia mendaratkan pantatnya di meja makan dan membiarkan pipinya menempel pada meja makan. Naruto sangat bersyukur ia dapat mempersiapkan makan makam sebelum Sasuke pulang ke rumah.
Ia lelah, seharusnya ia menanyakan kapan Sasuke akan pulang kepada Itachi. Jika tahu adiknya itu akan pulang selarut malam ini, dirinya bisa bersantai-santai terlebih dahulu. Dirinya pasti tidak akan berkerja seperti orang yang sedang dikejar seekor harimau!
Naruto menghela nafas lelah. Ia bangun dari duduknya dan berjalan menuju ke arah ruang tamu. Ia sampai lupa menyalakan listrik seluruh rumah kecuali dapur. Wanita bermbut pirang ke emasan itu mematung saat lampu yang tiba-tiba menyala.
Di dekat pintu masuk rumah ini nampak seorang laki-laki dewasa berperawakan tinggi. Kulitnya seputih porselin. Hidungnya mancung dan rahangnya tegas. Mata sekelam malamnya menatap Naruto dengan ketidaksukaan secara terang-terangan. "Siapa kau?"
~ TBC ~
A/N again :
Huuuaahhhh! Akhirnya ini fict selesai juga, udah gatel banget ini tangan pengen nyelesein fict ini -_-... bayangkan saja, ini fict mulai di ketik tanggal 19 Juli 2014 =(BACA : DUA RIBU EMPAT BELAS!)
Sekarang tahun 2016 -_- astaga, bagaimana Ryn nggak gatel coba, ini fict dibuat tahun 2014 baru selesai 2016 dan itu baru 1 chapter :v awkawakwawkawk... I am hebat xD
Ngomong2, Ryn minta maaf ya kalo begitu banyak part yang di skip / dipercepat, soalnya Ryn emg pengen chap 1 ini cepet beres :'( maaf kalo bikin readers kecewa #cry
Padahal rencana awal chapter 1 ini cman 2k, tapi kok... bisa nyampe 4k ya? xD LoL, tapi fict yg lainnya juga bakalan dilanjut kok, hhe hhe... sabar ya ...
Silakan review, kritik dan saran yang membangun Ryn tunggu, (:
...~" Thank You For Reading "~...
Review?
