Hai hai, salam kenal dari Author pemula yang baru memulai karirnya di fanfiction ini. Reason merupakan fanfiction bahasa indonesia saya yang pertama, jadi ya gitu deh, ancur-ancuran. Saya mau kasih tahu aja, cerita ini sebenarnya mau dibikin dark and serious, tapi sepanjang saya nulis kayaknya ada unsur koplaknya juga.

Cerita ini mengadopsi unsur dari game Dynasty Warriors 7 & 8 (Visualisasi karakter lebih ke DW 8). Rate-nya T karena ada beberapa kata-kata yang tidak saya sarankan untuk digunakan sehari-hari.

So, silahkan menikmati!

DISCLAIMER : I do not own Dynasty Warriors


ALTERNATIVE SUMMARY : Ketika aku diberikan kesempatan kedua oleh seseorang yang tidak kukenal, aku tidak menyia-nyiakannya. Akan lebih baik jika aku berada di suatu tempat yang lebih terbuka, daripada terbelenggu di dalam masyarakat yang sangat munafik ini. Namun ketika harapanku dikabulkan dengan mudahnya, di situlah aku mulai curiga. Sebenarnya, apa tujuannya mengabulkan permintaanku?

Tidak, tunggu, sebenarnya... Kenapa aku ingin sekali berada di zaman peperangan ini?


Reason

Prologue


Yang kuingat pada terakhir kali menutup mata adalah perasaan tenang, diselimuti oleh kegelapan yang anehnya membuatku nyaman. Namun saat kedua kelopak mataku dibuka, hal menyeramkan telah datang untuk menyambutku.

Aku tidak bisa melihat, karena cahaya matahari yang sangat terik menghalangi pandangan. Semua hal di sekelilingku hanyalah samar-samar, layaknya sebuah kamera yang lensa-nya diblur. Aku kembali menutup mataku, berharap bahwa penglihatanku bisa pulih secepatnya.

Yang kurasakan ketika aku menutup mata saat ini hanyalah hawa panas yang menyengat. Lalu banyak suara bising yang memekakkan telinga, dan sebagian besarnya bukanlah suara yang layak didengar. Hiruk pikuk ini, bukanlah suasana yang biasa bagiku. Aku membuka mataku sedikit demi sedikit, dan sebuah pemandangan perlahan-lahan menyambutku. Sebuah langit biru yang jarang terdapat awan, disinari oleh cahaya matahari yang menusuk kulit. Aku menurunkan pandanganku, mencoba melihat seksama apa yang ada di depanku.

Mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah, beberapa dari mereka memiliki panah yang tertancap di tubuhnya. Pandanganku langsung terarah ke mayat yang terbaring di kakiku; anak panah tertancap di lehernya dan menembus sampai bagian belakang leher, darah mengalir dari mulutnya, serta kedua bola matanya yang putih.

Gemetaran, aku langsung menjauhi mayat itu – menendang-tendang tanah dari dudukku namun punggungku sudah bertemu dengan batang pohon yang menjulang tinggi. Aku melihat ke belakang, mengamati sebuah pohon yang menjadi tempat awal keberadaanku di sini.

Sebenarnya, di sini itu di mana?

Aku melihat sekitar, menyadari bahwa terdapat pertarungan hidup-mati yang sedang berlangsung. Mereka saling menyerang dengan menggunakan senjata, menyayat ataupun menusuk lawannya tanpa pikir panjang. Di saat itulah aku tersadar, bahwa aku berada di tengah-tengah sebuah perang.

Jantungku berdegup sangat kencang, tidak pernah kulihat aksi saling membunuh sedekat ini. Cipratan darah di mana-mana juga tidak membuat suasana lebih baik.

Aku bangkit dari tempat dudukku, dan tergopoh-gopoh menjauhi pertarungan yang ada. Saat berjalan, suka atau tidak, aku harus melewati korban-korban yang sudah tergeletak tak bernyawa ini. Aku berhati-hati agar tidak menginjak mayat yang ada di sekitarku. Hal ini benar-benar membuat bulu kudukku berdiri.

Namun semua hal itu kusingkirkan dari pikiranku, karena yang terpenting sekarang adalah bagaimana caraku keluar dari sini. Aku butuh suatu tempat untuk berpikir, maka kudaki sebuah bukit yang kulihat. "Astaga, ini di mana?", aku duduk di dekat semak-semak yang ada di bukit, berniat untuk menyembunyikan diriku sembari berpikir. "Negara apa yang sedang berperang zaman sekarang? Kurasa tidak ada", gumamku. Aku menganalisis kembali pemandangan sekitar, "Geografi tempat ini juga terlalu tandus, berarti perang sudah sering terjadi di sini".

Aku keluar dari tempat persembunyian dan melihat ke bawah bukit, orang-orang masih banyak yang bertarung. Satu hal yang kusadari adalah betapa tradisionalnya senjata dan baju zirah yang para prajurit ini kenakan. "Kenapa tidak ada yang menggunakan pistol? Kenapa tidak ada mobil? Atau tank? Atau granat? Lalu baju perang macam apa itu? Memangnya ini zaman kuno?", gumamku. Perkataanku sendiri mengagetkan diriku, dan aku segera menyadarinya.

"Astaga, aku ada di masa lalu", bisikku.

Napasku terengah-engah, dan rasanya kepalaku tiba-tiba sakit. Semua hal ini benar-benar membuatku tercengang. Aku terkirim ke suatu tempat yang tidak kukenal, berpuluh-puluh atau mungkin beratus-ratus tahun jauhnya. Bagaimana hal ini bisa terjadi?, pikirku.

Aku memejamkan mataku, mengatur napasku, dan menyelaraskan pikiranku. Namun hasilnya nihil, aku tidak bisa mengingat kejadian yang terakhir kali kualami sebelum aku berada di sini. Rasanya seakan-akan aku sengaja dikirim ke sini, dan beberapa ingatanku telah dihapuskan olehnya. Namun tentu saja, aku masih ingat siapa diriku, dari mana asalku, dan semua kepribadianku termasuk hal-hal yang kusukai atau kubenci.

Pikiranku terpecah ketika ada pasukan yang ingin menaiki bukit, dan saat itu aku baru menyadari bahwa selama ini di atas bukit sudah terdapat sebuah pasukan. Dilihat dari pakaiannya, kedua pasukan itu berasal dari fraksi yang berbeda, dan instingku menyuruh untuk lari dari situ. Sepertinya, lokasi ini akan dijadikan sebagai lahan berperang selanjutnya.

Aku berpikir cepat, karena posisiku sudah dikepung dari dua arah. Aku mencoba berpikir, jalur mana yang harus kulewati agar bisa selamat. Kembali menanjak sepertinya bukan pilihan yang bijak, jadi aku memutuskan untuk turun bukit melewati jalan yang berbeda. Saat aku bersiap-siap keluar dari tempat persembunyian, aku melihat ke pakaian yang kukenakan; celana jeans hitam, kemeja lengan panjang berwarna abu-abu, serta hoodie hitam berlengan pendek. Bagus sekali, pakaian ini akan sangat mencolok, pikirku. Aku membuka tas serut yang sedari tadi kubawa untuk melihat apakah ada kain yang bisa kupakai untuk menutupi baju ini, namun hasilnya nihil – yang ada di dalam tas itu hanya barang-barang tak berguna seperti sebuah buku tulis.

Aku menutup kepalaku dengan hoodie dan menyembunyikan wajahku jikalau keadaan darurat terjadi. Aku berlari ke arah sebaliknya dari tempatku awal datang, dan mulai berlari menuruni gunung. Saat ini aku bersyukur bahwa seni bela diri yang sudah susah-susah kupelajari sepertinya berguna. Dengan stamina yang juga kumiliki, rasanya aku bisa berlari sampai beberapa kilometer. Saat kulihat ke depan, atau tepatnya ke bawah, aku baru menyadari bahwa itu adalah sebuah pos markas dari suatu fraksi yang sedang berperang.

"Dammit, bad things just keep coming! (Sialan, hal-hal buruk kerap datang!)", gumamku. Aku mengerem lariku, dan segera mencari jalan lain. Sembari berlari, aku terus mengamati pos markas itu, berjaga-jaga jika ada orang yang melihatku.

"Oof-", rintihku saat menabrak salah satu prajurit. Terlalu fokus terhadap sisi samping, aku membiarkan diriku menabrak seorang prajurit berbaju ungu yang ada di depanku.

Kerasnya hantaman yang ada membuatku terjatuh, sementara laki-laki yang kutabrak tadi tetap di tempatnya dan tidak bergeming. Dari dudukku, aku cepat-cepat melihat ke atas, dan sebuah ujung tombak sudah diarahkan kepadaku.

"Siapa kau?", nada pria itu seperti sedang bertanya, namun aku tidak mengerti bahasa yang diucapkan. Refleks aku langsung mengangkat kedua tanganku, terlalu takut untuk berbuat sesuatu. Aku sangat ingin merespon kata-katanya, namun suaraku tersangkut di tenggorokan karena perasaan takut.

"Kutanya sekali lagi, siapa kau!?", pria itu berbicara lagi. Tombak tajamnya itu mengarah makin dekat ke leherku. Entah rasa takut, atau memang karena aku sudah gila, yang kulakukan adalah tersenyum kepada laki-laki itu. "Mimpi, ini pasti mimpi", ucapku sambil tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Apa yang kau bicarakan, dan kenapa kau tertawa!?", laki-laki itu makin menjadi-jadi. Sekarang, jarak antara ujung tombak dengan leherku ini hanya tiga jari saja sampai aku harus mendongak karenanya. Pikiranku yang sudah kacau membuatku makin tertawa, karena aku yakin ini semua hanyalah mimpi buruk dan suatu saat nanti aku akan bangun.

Laki-laki itu frustasi melihatku, dan dia mengayunkan tombaknya untuk menyerangku. Pelajaran seni beladiri yang sudah kupelajari pun mulai mengambil alih refleks tubuhku – aku melompat mundur dan melindungi badanku dengan kedua tangan. Saat mata tombaknya sudah diayunkan, aku bisa merasakan perih di kedua telapak tangan. Aku langsung melihat tanganku, luka sayatan yang terlihat jelas itu kini bersimbah darah. Lalu, rasa sakit yang kurasakan ini menjadi penanda bahwa semua yang kurasakan ini bukanlah mimpi.

Aku menatap tanganku yang kini tergetar, lalu nafasku mulai tidak teratur. Rasa takut dan rasa sakit itu mulai bercampur dan menghancurkan ketegaranku. Aku bergetar ketakutan, hanya bisa duduk terdiam melihat prajurit itu kembali menodongkan tombaknya kepadaku. Aku mendongak, dan sekali lagi mengangkat kedua tanganku menandakan bahwa aku menyerah. "Aku bukan musuhmu", lirihku pelan. Walaupun aku yakin ia tidak mengerti apa yang kuucapkan, namun kuharap ia bisa mengerti maksudku.

Bajuku memang mencurigakan – karena jauh berbeda dari pakaian yang mereka kenakan – namun jelas sekali bahwa baju ini bukanlah baju musuh mereka. Aku juga tidak membawa senjata apapun, dan struktur tubuhku yang tidak proporsional untuk menjadi seorang prajurit. Aku benar-benar berharap agar prajurit ini berpikir aku hanyalah orang biasa.

"Kau terlihat mencurigakan, aku akan membawamu ke markas untuk berjaga-jaga jika kau adalah seorang mata-mata", pria itu mulai menurunkan tombaknya dan berjalan ke belakangku. Aku baru saja bernapas lega, sebelum ia menarik kedua tanganku ke belakang dan mengikatnya. Ia mendorongku dan kembali menodongkan tombaknya ke leher belakangku. Aku tidak mengerti perkataannya, namun perlakuan ini jelas sekali menunjukkan bahwa aku adalah tawanannya sekarang. Aku hanya bisa terdiam dan mengikuti semua instruksi yang diberikan, meskipun aku tidak mengerti bahasa yang diucapkan.

Pandanganku fokus ke depan, dan aku bisa melihat seorang pria yang tinggi sedang berjalan ke arahku. Pria itu mengenakan jubah hitam yang menutupi ujung rambut sampai ujung kaki – bahkan aku tidak bisa melihat mukanya. Menurutku, pria itu mencurigakan karena jubah itu juga tidak cocok dengan zaman ini. Saat aku mengedipkan mata, ia menghilang. Aku tertegun, dan celingukan melihat ke kanan dan ke kiri – memastikan bahwa aku tidak berhalusinasi.

Saat aku yakin bahwa tidak ada pria berbaju hitam di sekitarku, aku kembali memfokuskan pandanganku ke depan. Namun saat aku mengedipkan mata, pria itu muncul lagi dengan jarak yang lebih dekat ke arahku. Oke, ini menyeramkan, ucapku dalam hati. Aku berhenti sejenak dan merilekskan seluruh tubuhku, meskipun prajurit di belakangku ini terus mengucapkan banyak kata-kata yang jelas tak kumengerti. Aku terus melihat ke depan, dan semakin sering aku mengedipkan mata, semakin dekat pria berbaju hitam itu kepadaku.

Sampai pada suatu saat, ia muncul tiba-tiba, persis di depanku. Jarak muka kami hanya sekitar beberapa jari, dan aku kaget karenanya – layaknya sedang memainkan game horror di mana setan nongol langsung di layar monitor.

Kaget dengan apa yang terjadi, aku langsung terjatuh dan leherku merasa seperti tercekik sesaat. Aku melihat-lihat sekitar, dan pria berbaju serba hitam itu sudah tidak terlihat sejauh mata memandang. Kejadian itu berlangsung sangat cepat, hanya sepersekian detik, dan sebenarnya aku juga tidak mengerti apa yang benar-benar terjadi. Aku tertegun.

Melihat diriku yang duduk di atas tanah, prajurit itu menegurku, "Hei, cepat berdiri!", ia memukul-mukul tombaknya ke punggungku.

Aku terdiam, melongo melihat ke prajurit itu.

"Kenapa kau melihatku seperti itu? Cepat berdiri!", ucap prajurit serba ungu itu. Kali ini aku tidak salah mendengarnya. Aku bisa mengerti apa yang diucapkan prajurit ini. Aku langsung melakukan apa yang disuruh, dan melanjutkan perjalanan. Saat menuruni gunung, aku baru tersadar bahwa pria ini ingin membawaku ke markasnya.

Ungu, ungu, ungu, semua hal di dalam markas ini berwarna ungu.

Kenapa harus ungu? Lagipula di mana aku ini?, meskipun di luar aku terlihat kalem, namun pikiranku sangat berantakan di dalam. Melihat dari bawah tudungku, aku melewati banyak prajurit; ada yang sedang berlatih perang, ada yang sedang mengobrol, ada yang sedang minum teh. Namun semua kegiatan itu seakan-akan berhenti karena kedatanganku – seorang bocah misterius dengan sebuah hoodie (tudung) dan pakaian serba hitam.

Aku tetap bersikap tenang, mencoba mencari kesempatan untuk melarikan diri walaupun aku tahu itu sangat berbahaya jika dilakukan di sarang prajurit seperti ini. Aku tetap melihat ke depan, dan menarik napas panjang.

Prajurit di belakangku menarik tanganku, menandakan bahwa aku harus berhenti. Ia lalu menusukkan tombaknya ke tanah bersama tali yang ada di tanganku, memaksaku untuk berlutut. Prajurit itu kemudian berdiri di depanku dan langsung membungkuk kepada orang di depannya. Aku sedikit mendongak untuk bisa melihat orang tersebut, namun tetap saja tidak bisa melihat sosoknya karena tudungku sangat menutupi.

"Tuan! Maaf saya mengganggu kegiatan tuan. Saya menemukan orang mencurigakan yang ada di bukit sebelah, dan saya pikir ia adalah seorang mata-mata musuh", prajurit itu melapor kepada tuannya.

"Bukti apa yang kau punya kalau orang ini adalah mata-mata?", orang yang disebut tuan ini pun bertanya. "Pakaiannya yang menutupi seluruh tubuh itu sangat cocok digunakan untuk bersembunyi. Selain itu, orang ini tidak berkata segelintir kata pun saat saya menemukannya", jawab prajurit itu dengan penuh hormat.

Aku menyimak setiap kata yang diucapkan. Gawat, aku harus segera menjelaskan semua situasi ini supaya tidak ada salah paham, pikirku. Sebelum aku bisa berucap, tuan itu langsung memotongku duluan.

"Kalau begitu, langsung kau eksekusi dia. Kita tidak bisa mengambil resiko dengan membiarkan orang mencurigakan seperti dia bebas", perintah tuan itu. "Baiklah, Tuan Cao Cao", jawab prajurit itu.

Badanku tidak bergeming, namun aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Tuan yang ada di depanku ini adalah Cao Cao, yang jika kuingat-ingat, ia adalah seorang ambisius dari zaman samkok, dan ia baru saja menyuruh orang untuk segera membunuhku.

Aku merasa tidak berdaya.

Rasanya seperti akhir hidupku sudah berada di depan mata.

Dan tidak lama lagi, akhir hidupku memang sepertinya sudah di depan mata.

Prajurit itu kemudian menarik tombaknya dari tanah, dan menarik tali yang mengikat tanganku secara paksa. Saat aku berdiri, barulah aku bisa memandang sosok tuan yang ada di depanku secara jelas. Jadi beginilah rupa seorang Hero of Chaos?, pikirku. Aku melihat ke sebelah kanannya, ada seorang yang sedikit lebih tinggi dari Cao Cao dan membawa pedang dua tangan. Lalu di sebelah kirinya, seorang prajurit yang terlihat bulky dengan senjata panahnya. Itu pasti mereka, sepupu Cao Cao sekaligus orang kepercayaannya, Xiahou Dun dan Xiahou Yuan.

Tidak salah lagi, aku benar-benar berada di zaman samkok. Mampus lah.

Saat aku melihat sosok mereka bertiga, tiba-tiba badanku ditarik mundur oleh prajurit tadi. Aku tidak mengelak, dan mengikuti ke arah yang dituju. Walaupun aku tidak bisa melihatnya, aku bisa merasakan bahwa semua orang ingin menyaksikan orang mencurigakan ini – aku – mati.

Aku berdiri di sebuah altar, dan aku bisa tahu bahwa ini adalah tempat eksekusi karena banyaknya jumlah darah yang mengering di sini. Aku pun berlutut. Di depanku sudah ada prajurit yang sedari tadi menanganiku, dan seorang prajurit lainnya yang sepertinya akan mengeksekusiku. Ia meraih sebuah pedang dan mengarahkannya ke belakang leherku. Aku bisa merasakan ketajaman pedangnya, walaupun tudungku sudah menutupi kulit. "Apa ada kata-kata terakhir?", prajurit itu bertanya kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum pasrah, kematianku memang sudah di depan mata.

"Kalau memang boleh, saya ingin tetap mengenakan tudung ini saat Anda memacung kepala saya", ucapku. Keputusasaan mempengaruhi suaraku. Suaraku awalnya sudah seperti laki-laki, dan sekarang mungkin menjadi lebih berat. I sound like a batman, bahkan dalam keadaan seperti ini aku masih bisa bercanda.

"Baiklah, saya akan menghormati kemauan Anda", ucap prajurit itu. Aku menarik napas panjang. Sebaiknya aku merilekskan diri sebisa mungkin, pikirku.

Kematianku sudah tinggal satu jari di depan mata.

Aku tidak melakukan apa-apa.

Aku hanya tersenyum menerimanya.

Aku pun memejamkan mata.


To be continued...


A/N : Cliffhanger. Yes, i am evil for leaving a cliffhanger here *evil laughs*

Kalau suka mohon di Rate dan Review. Saya akan berusaha agar cerita ini update setiap minggunya. Anyway, sampai jumpa di chapter selanjutnya! :D


Axoire