Luhan kira hidupnya akan hancur setelah warisan dari sang kakek direbut oleh Pamannya, diusir dari rumah, dan harus bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Namun sebelum hidupnya hancur total, ia lebih dulu 'diselamatkan' oleh seorang lelaki bernama Oh Sehun. Bagaimana itu bisa terjadi?

-Fated to Love You (F.L.Y)-

...

HunHan. Romance

Genderswitch (!)

Chaptered

T/M

...

#1 : Brilliant Legacy

...

"PERGI DARI RUMAH INI SEKARANG JUGA!"

"Kenapa paman mengusirku? Aku bahkan punya hak untuk tinggal disini, di rumah kakek!"

Bayangan tentang mandi air panas, menyantap puding cokelat sebelum pergi tidur nyatanya sudah musnah. Tubuhnya yang cukup lelah pasca kuliah sepanjang hari harus ia kesampingkan demi berdebat dengan sang Paman.

Ah, sesungguhnya ia tidak ingin mendebat orang yang lebih tua, namun pria paruh baya itu yang menyulut kemarahan dengan segala kelakuan yang tidak ia mengerti.

"Ya, itu sebelum tua bangka itu meninggal. Tapi sekarang kau tidak berhak menginjakkan kaki disini!"

"Apa maksud paman?!" Air mata mulai menggenang dan bibir pink itu bergetar. Diantara amarah yang mulai menguasai, rasa terkejut dan tak percaya jauh lebih mendominasi. "Bagaimana bisa paman memanggil kakek dengan sebutan pak tua sedangkan kakek adalah ayah paman sendiri?"

"Itu tidak penting." Pria itu menendang ujung koper berwarna biru laut dengan kakinya. "Yang jelas segera pergi dari rumah ini!"

"Bagaimana kalau aku tidak mau?!" Si gadis mungil memberanikan diri. Kepalan tangannya menguat dan ia menatap mata pamannya tanpa rasa takut sembari melirik kopernya yang terjatuh mengenaskan.

"Maka kau akan berakhir mengenaskan, mati tergantung di atas loteng. Orang-orang akan mengiramu bunuh diri karena depresi mendengar kematian si tua bangka kesayanganmu." Si pria mengangkat alisnya separuh, tersenyum begitu memuakkan. "Bagaimana? Bersyukurlah aku masih memberimu kesempatan untuk hidup di luar sana."

"Aku tidak menyangka paman sekejam ini." Gadis itu mengusap kasar cairan bening yang berani turun di mata kirinya. Oh, ia tidak ingin terlihat lemah saat ini di depan pamannya. "Bagaimana bisa paman mengusir keponakan paman yang tidak bersalah-"

"Tentu saja kau bersalah." Ia melangkah lebih dekat. Bibirnya mendekati telinga si gadis dan berbisik, "-sebab kau harus terlahir di keluarga Kim, bersikap sok berkuasa, dan mendapatkan perhatian ayah melebihi apa yang Seokjin dapatkan. Jadi sekarang giliran putraku mendapatkan kekuasaannya tanpa terganggu olehmu."

"Aku tidak berharap mengganggu Jin Oppa. Aku tahu dia-lah yang akan menjadi pewaris SH group, bukan aku."

"Tapi kau benar-benar menghancurkan semuanya!"

"Aku tidak mengerti." Dan ia sungguh tidak mengerti kenapa ia harus menghancurkan semuanya.

"Cukup! Aku tidak akan mengulur waktu lagi. Sekarang saatnya kau pergi dan jangan berani-beraninya kembali ke rumah ini!"

"Setidaknya beri aku alasan untuk pergi-"

BRAK! Pintu tertutup dengan keras sebelum ia benar-benar menyelesaikan ucapannya.

"PAMAN BUKA PINTUNYA!"

Kepalan tangan mungilnya terasa kebas dan sakit, namun pintu jati berkualitas itu tak juga terbuka. Suaranya mulai serak, dan kepalanya pening oleh kejutan ini.

"PAMAN! KAU TIDAK BISA MELAKUKAN INI KEPADAKU! BUKA PINTUNYA!"

Kemudian hening. Tidak ada sepasang matapun yang berada disana, tidak untuk menahan Luhan pergi dan mencegah si pria mengusir Luhan tanpa hati nurani, ataupun membuka pintu itu agar Luhan bisa masuk dan memprotes sikap Paman-nya.

Semuanya takut oleh pria yang paling berkuasa di rumah megah itu setelah pemilik rumah meninggal dunia.

Semuanya terjadi terlalu tiba-tiba. Bolehkah ia menangis sekarang?

Xi Luhan. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu nyaris tidak pernah merasakan pahitnya kehidupan. Lidahnya selalu mengecap rasa manis, semanis senyumannya ketika ia mendapatkan sebuah mobil limited edition di ulang tahunnya ke dua puluh satu. Hidupnya dipenuhi kemewahan; hidangan sarapan telah siap begitu ia membuka mata, tubuhnya diselimuti barang-barang bermerk dari puncak kepala hingga ujung kaki, belum lagi perawatan tubuh seminggu sekali yang nyaris menghabiskan gaji bulanan pegawai sipil.

Bukan salah Xi Luhan jika ia terlahir dari seorang putri raja bisnis ternama di Korea Selatan. Kim Seo-hoon, pemilik perusahaan raksasa yang mencakup perusahaan berbagai bidang dan berhasil mempekerjakan ribuan pegawai -SH Group. Seo hoon memiliki dua orang anak, Kim Seok-jae, seorang pria berambisi tinggi dan adiknya Kim Seo-ra, wanita anggun yang menikah dengan pria kebangsaan Tiongkok, Xi Yaoshan. Dan Luhan hadir sebagai hasil pernikahan putri bungsu Seo-hoon sebagai angin musim semi di tengah keluarga Kim yang menginginkan cucu putri nan cantik.

Mungkin ia belum tentu menjadi pewaris perusahaan raksasa milik kakeknya, sebab sang Paman memiliki putra yang dipastikan akan menjadi pewaris utama. Dan Luhan-pun tidak memiliki ketertarikan sedikitpun untuk menjadi pewaris, terlebih karena dirinya terlanjur jatuh cinta dengan dunia kesehatan yang membuatnya menjadi mahasiswi fakultas kedokteran Seoul National University sebagai mahasiswi tahun ketiga. Luhan cukup senang karena semua orang mendukung cita-citanya itu.

Dan... badai mulai menghantam perahu kehidupannya.

Dimulai dari kecelakaan mobil yang menewaskan Baba dan Mamanya satu tahun lalu di tengah jalanan licin bersalju, kemudian sang kakek yang meninggal akibat penyakit jantung.

Dan kini... mungkin puncak dari kehancuran hidup Luhan.

Ia dibuang. Ditelantarkan oleh sang paman yang terlanjur gelap mata oleh warisan menyilaukan yang ditinggalkan oleh mendiang sang kakek. Kakak kandung dari ibunya sendiri, yang tidak Luhan sangka sedikitpun akan setega itu hanya karena takut Luhan akan mendapatkan warisan paling banyak karena gadis itu menjalin hubungan paling dekat dengan pemilik SH Group.

Padahal, demi Tuhan! Luhan sama sekali tidak berfikir untuk merebut apapun bernama kekuasaan dan aset perusahaan.

Satu-satunya hal yang menjadi ambisi Luhan adalah mendapat title 'dokter' di depan namanya, bekerja di Rumah Sakit, dan hidup layak tanpa terbayang-bayang oleh SH Group sebagai pendorong kesuksesannya.

"Hiks... kakek..."

Katakan Luhan manja, namun itu hanya kepada kakeknya. Luhan terbiasa hidup dengan sedikit kasih sayang sang ayah dan ibu yang sibuk mengumpulkan pundi-pundi uang di Tiongkok, menjalankan bisnis hingga Luhan tidak merasa sedih teramat hanya karena orangtuanya tidak datang ke acara kelulusan SMA-nya. Namun jika berhubungan dengan sang kakek, maka semuanya berbanding terbalik. Luhan akan merengek dan menangis di telepon hanya karena kakeknya menunda kepulangan dari perjalanan bisnis di luar kota.

Bukan berarti Luhan memiliki hubungan yang buruk dengan orangtuanya, ia hanya beberapa tingkat lebih dekat dengan sang kakek dibanding orangtua kandungnya. Ia-pun tetap menangis dan meraung di pelukan sang kakek saat abu orangtuanya disimpan dalam keramik dan dipajang dengan hiasan bunga baby breathe favorit sang Mama.

Hal itulah yang menjadi alasan mengapa Luhan langsung meledak karena Kim Seokjae menyebut sang kakek sebagai 'si tua bangka'.

Dan hal yang membuat Luhan tidak kuasa menahan isakan mengetahui nasibnya kali ini. Ia harus kehilangan kasih sayang dan materi dalam waktu yang singkat.

Xi Luhan, kini menjadi tunawisma dalam waktu satu malam. Padahal tadi pagi ia masih sempat menggoda bibi pelayan utama yang telah melayaninya sejak bayi, menikmati sarapan, dan berkuliah menggunakan mobil kesayangannya. Dan entah mimpi apa Luhan semalam, hingga Ia hanya mengantongi uang cash sebanyak lima puluh ribu won di saku celananya dan pergi tanpa barang berharga lainnya. Ia meninggalkan kemewahannya di dalam dompet kulit yang kini terbaring manis di ranjang kesayangannya. Lima puluh ribu tidak akan cukup untuk menyewakan sebuah mimpi indah sepanjang malam, dan cacing-cacing diperutnya tidak bisa diajak bekerja sama.

"Ugh..." Luhan mengusap kasar pipinya, mengeringkan sisa air mata yang ia jatuhkan dalam setiap langkah menjauhi rumah tempatnya tinggal selama dua puluh dua tahun itu.

Entah sudah berapa lama Luhan berjalan, menaiki bus dan berhenti di pemberhentian pertama, dan berjalan lagi. Luhan tahu dirinya tidak boleh menangis lebih banyak. Mencari tempat tinggal sementara lebih penting agar ia bisa mendapatkan pikiran yang bersih untuk memikirkan nasib hidupnya setelah malam ini berakhir.

Langkahnya terhenti di depan sebuah minimarket. Ia menarik kopernya dengan sedikit tenaga agar bisa masuk ke minimarket itu. Meletakannya di samping sebuah kursi kecil dan ia-pun menyambar sebuah kimbap segitiga dan cola. Membayarnya di kasir dan tanpa suara menikmati makanan yang setidaknya bisa mengisi perut untuk malam ini.

Malam yang mungkin tidak bisa ia nikmati dengan tidur nyenyak atau bahkan tidak tidur sama sekali.

Luhan hanya tidak menyadari, jika sepasang mata telah mengawasinya dari jendela besar yang memperlihatkan Luhan tengah melamun meratapi nasib.

Mata elang nan tajam dibalik kaca mobil yang gelap.

...

Kemasan kimbap segitiga dan colanya telah hilang di tempat sampah. Luhan membungkuk singkat pada pegawai minimarket yang melayaninya tadi. Ia kemudian menarik kopernya keluar, susah payah membawa koper itu melewati tangga. Ia berencana untuk menaiki bus dan mencari tempat tinggal di sekitar kampusnya, sebelum matanya menemukan sesuatu yang menarik.

"Kerja part-time?"

Ternyata info lowongan pekerjaan-lah yang menarik perhatian Luhan. Ia memfokuskan pandangannya pada sederet tulisan itu, tersenyum tipis saat ia menemukan sedikit pencerahan untuk hari esoknya.

"Fighting, Lu!"

Luhan menyemangati dirinya sendiri sebelum melangkah masuk ke minimarket kembali. Ia meninggalkan kopernya di depan pintu.

Ini pertama kali untuknya, namun bukan berarti ia tidak pernah belajar untuk hidup sulit.

Sang kakek pernah melakukan sedikit eksperimen untuk cucu perempuannya beberapa bulan lalu. Pria baya itu tidak ingin cucu kesayangannya menjadi gadis manja, jadi beliau merencakan suatu cara agar Luhan mampu merasakan sulitnya mencari uang. Ia sengaja memblokir fasilitas Luhan untuk sementara, berpura-pura menculik Luhan dan menelantarkannya di suatu tempat. Sendirian, tanpa uang dan fasilitas apapun.

Rencana yang cukup membahayakan, namun Seo-hoon masih mengawasi Luhan dengan membawa mata-mata di jarak yang tidak diketahui Luhan. Dari suruhannya itu, sang kakek tahu jika cucu perempuannya berusaha berbagai cara untuk mendapatkan uang, termasuk bergabung dengan pengamen jalanan untuk menyumbangkan suaranya yang sangat merdu. Dari usahanya itu, Luhan berhasil menyukseskan eksperimen konyol sang kakek.

Setidaknya dengan rencana konyol kakeknya itu, Luhan berhasil menempatkan diri.

Ia fikir ia akan terbiasa suatu saat nanti.

"Kau bisa mulai bekerja mulai besok pagi."

"Terima kasih, Sajangnim.", balas Luhan ceria. Ia sedikit melupakan kesedihannya hari ini berkat sebuah pekerjaan yang beruntung sekali bisa ia dapatkan.

"Tunggu sebentar." Pria paruh baya pemilik minimarket itu menunjuk sesuatu di depan pintu. "Apa itu milikmu?"

Luhan tiba-tiba sadar jika ia meninggalkan kopernya di depan pintu. "Ah, iya. Jwosonghamnida, saya akan membawanya pergi sebentar lagi."

"Apa kau membutuhkan tempat tinggal? Disini ada satu ruangan untuk meletakkan barang pegawai. Jika kau mau menggantikan salah satu pegawaiku untuk shift malam ini, kau bisa menggunakannya untuk meletakkan barangmu. Kebetulan malam ini aku butuh satu pegawai lagi untuk mengganti pegawai yang ijin."

"Jeongmal-yo? Maksud anda, saya bisa bekerja mulai malam ini?"

"Ya, jika kau mau."

"T-tentu saya mau!"

Si pemilik minimarket itu terkekeh melihat semangat Luhan. Ia kemudian mengangguk dan melirik jam tangannya. "Sepertinya aku harus pulang. Jika kau butuh bantuan atau bertanya sesuatu, kau bisa bertanya pada Jongdae. Dia rekanmu malam ini. Tenang saja, dia pegawai teladan disini."

"Saya mengerti, sajangnim."

...

Celaka! Luhan tidak mampu membuka matanya lebih dari lima detik. Matanya benar-benar perih dan memerah. Ia tidak tidur semalaman. Menjaga minimarket yang beroperasi 24 jam rupanya sangat menguras tenaga, terlebih bagi Luhan yang merupakan pengalaman perdananya, meskipun ia sempat gantian tidur beberapa menit dengan seorang rekan kerjanya.

Beruntung, Luhan tidak melakukan kesalahan yang berarti, kecuali sedikit tidak teliti dalam merekap barang yang terjual dan lupa menyapu lantai. Tapi ia mendapat keringanan karena memang tugas yang ia lakukan sudah cukup banyak.

"Hoaamm..." Entah sudah ke berapa kalinya Luhan menguap terhitung sejak matahari terbit hingga sekarang pukul delapan pagi. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaan, dan harus kembali nanti sore, lalu kini keluar dari minimarket dengan membawa koper yang entah mengapa terasa jauh lebih berat daripada tadi malam. Pundaknya ditepuk pelan, merasakan rasa pegal yang luar biasa di bagian tubuhnya itu.

Sudah ia duga, pekerjaan part-time memang sangat berat. Rasanya Luhan ingin menangis, meraung di depan kakeknya yang tentu tidak membiarkan Luhan mengerjakan tugas berat itu. Tapi hal itu sangat mustahil terjadi. Walaupun kakek melihat di surga-pun, beliau tidak akan mampu menolong Luhan dan mengembalikan hak cucu kesayangannya yang direbut paksa.

"Nah, sekarang aku harus kemana?", gumam Luhan sembari menggigit bibir. Tidak terduga, mata merahnya kembali mengeluarkan liquid bening yang sengaja ia lupakan sejak tadi malam.

Xi Luhan bukan perempuan yang kuat. Ia rapuh, namun dulu sang kakek menyediakan dada untuk melindungi cucu kesayangannya. Mengelus punggung sempit Luhan dengan lembut dan membuat Luhan kembali kuat.

Lalu sekarang? Luhan tidak bisa menemukan alasan untuk kembali kuat. Ia layaknya si buta yang terjatuh dan tidak menemukan tongkat untuk berjalan. Siapa yang menjadi pegangannya saat ini, Luhan tidak tahu.

Sedangkan satu-satunya orang yang bisa menjadi pegangannya adalah Paman Kim Seo-jae. Tetapi apa yang pria itu lakukan?

Membuangnya seolah Luhan hanyalah sampah yang harus dimusnahkan. Layaknya bunga yang pernah mekar namun sekarang layu dan tidak diinginkan.

Haruskah ia berlutut di hadapan pamannya itu? Membuang jauh-jauh harga dirinya, mengais pertolongan seperti pengemis di pinggir jalan, lalu bersumpah jika dirinya tidak akan merebut kekuasaan SH group?

"Hei..."

Luhan ingin sendiri. Ia tidak membutuhkan siapapun untuk berbicara. Kecuali itu kakek, maka Luhan akan senang hati mendongak dan menghapus air matanya secepat kilat.

Tapi, lagi-lagi itu mustahil.

"Chogiyo..."

Ucapan dengan suara yang sama. Suara berat seorang lelaki.

Luhan tidak memiliki pilihan lain selain mendongak. Ia membiarkan air matanya tetap merembes, tidak perduli jika nantinya orang yang mengajak bicara itu akan kasihan melihat wajah berantakannya.

"Ne?"

"Aku tahu kau butuh tempat tinggal. Jadi, ikut denganku dan tinggal di apartment-ku."

Luhan sempat terpaku beberapa detik. Matanya yang perih berusaha fokus, mencoba mengingat wajah berpahat sempurna itu. Namun ia tidak menemukan satu-pun petunjuk dimana ia melihat wajah lelaki itu. Apa itu berarti Luhan memang belum pernah melihatnya? Tetapi kenapa lelaki itu berbicara padanya bahkan menawari sesuatu yang tidak mungkin dilakukan orang asing?

"Ahjussi... siapa?"

.

.

.

TBC~

.

.

.

Psst, konflik gak seberat A CHANCE kok. Heheet~