Anemone

Kim Mingyu x Jeon Wonwoo

T+

1/2

Disclaimer:

Sesungguhnya Seventeen adalah milik kita bersama.

Warning:

AU. Typo(s). Boys Love/sho-ai. OOC.

.

.

Suasana kelas terasa asing untuk Jeon Wonwoo—tentu saja, mereka semua adalah orang-orang baru dalam kehidupannya, teman sekelasnya yang baru di jenjang perkuliahan. Wonwoo menghela napas, ia malas untuk berkenalan lagi, biar saja, lama-lama juga akan saling kenal seiring berjalannya waktu.

Jeon Wonwoo itu tipe pendiam, saat ospek pun ia sangat pendiam, tidak mencolok. Selalu menuruti peraturan yang ada, tidak pernah melanggar—oh mungkin pernah, satu kali, saat ada senior kurang ajar yang menggodanya. Jadi tidak heran jika ia tidak begitu terkenal.

Mungkin orang yang dikenalnya kini hanya ada dua, Lee Jihoon dan Kwon Soonyoung yang duduk disampingnya—itu pun mereka dulu yang berinisiatif untuk berkenalan.

Jangan harap Wonwoo akan bergerak seinchi dari tempat duduknya yang ada dibelakang—ia terlalu malas. Apalagi jika hanya untuk berkenalan.

"Soonyoung hyung, Jihoon hyung!"

Wonwoo mendengus, merutuk dalam hati akan suara orang yang seenaknya berteriak, mengganggu konsentrasinya dalam membaca. Bahkan pemuda itu kini sudah berisik dengan dua orang teman barunya itu.

"Aku tidak menyangka kita satu universitas! Bahkan satu jurusan—tidak, bahkan kita satu kelas! Ini keren sekali!" heboh pemuda asing itu.

Wonwoo kembali menghela napas, ia tidak tertarik dengan obrolan manusia-manusia disampingnya. Earphone yang sedari tadi menganggur menjadi alternatif, dipasangkan dua benda itu pada telinganya, menyalakan musik dan memilih untuk membaringkan kepalanya di meja. Novel yang sedari tadi menjadi dunia sudah ditutup sempurna dan dijadikan bantalan tidur.

Entah sudah berapa lama Wonwoo tertidur, ia tidak tau. Yang ia tau hanyalah Jihoon yang membangunkannya dan mengatakan bahwa kelas sudah berakhir.

Wonwoo mendengus, ia protes kepada Jihoon kenapa dirinya tidak dibangunkan saja saat ada dosen tadi.

"Aku sudah membangunkanmu. Kau saja yang tidurnya seperti mayat," sinis Jihoon.

Pemuda kurus itu menghela napas, mengucapkan terima kasih pada Jihoon karena sudah susah payah membangunkannya walaupun tanpa hasil.

"Jeon, mau ikut bersama kami?" tanya Soonyoung.

Wonwoo yang tengah membereskan baranya terdiam sejenak, lalu menggeleng. Ia merasa belum sedekat itu untuk sekedar hang out dengan mereka.

Pemuda kurus itu bisa melihat Jihoon yang kecewa karena mendapatkan penolakan darinya. Ia menghela napas, "Mungkin lain kali."

Kali ini Soonyoung yang tersenyum, ia menepuk pundak Wonwoo, "Lain kali. Aku pegang janjimu, Woo."

Wonwoo mengangguk, dua orang itu pun akhirnya pergi dengan saling berangkulan. Wonwoo pun berniat untuk pulang, ia sudah rindu dengan kasurnya. Saat beranjak, matanya menatap meja sebelahnya yang masih berantakan—tanpa pemiliknya.

Ia penasaran, siapa yang duduk disebelahnya—tapi itu hanya bertahan beberapa detik, setelahnya Wonwoo mengedikkan bahunya tidak peduli.

Siapapun yang duduk disebelahnya, Wonwoo tidak peduli.

.-.-.

Wonwoo baru tau jika pemuda yang duduk disampingnya itu bernama Kim Mingyu setelah sebulan lamanya mereka duduk bersebelahan—itu pun karena dipasangkan dalam sebuah tugas, dan juga bertanya pada Soonyoung yang mana yang namanya Kim Mingyu.

Pemuda bernama Kim Mingyu itu melongo ketika mendapati tingkat apatis orang yang duduk disebelahnya sudah masuk level tinggi, akut, apatis parah.

"Kau sungguh tidak nama yang selama hampir sebulan ini duduk disebelahmu, Wonwoo hyung?" tanya Mingyu memelas.

Wonwoo mendelik, tidak terima jika namanya terucap secara akrab dari bibir pemuda disampingnya itu, "Apakah penting? Apakah namamu akan keluar dalam ujian nanti, Kim Mingyu-ssi?"

"Woah, kau orang terapatis yang ku kenal, hyung," sarkas Mingyu. Matanya menatap tak percaya pada sosok Wonwoo yang tengah sibuk mengerjakan tugasnya.

"Kuanggap itu sebagai pujian. Jangan banyak bicara, kerjakan tugasmu, Mingyu-ssi," ucap Wonwoo datar.

Mingyu merengut, ia enggan menyentuh kertas berisi tugas bagiannya, ia justru menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kantin—ngomong-ngomong mereka memilih mengerjakan tugas di kantin kampus atas desakan Mingyu—matanya masih menatap tak percaya kearah Wonwoo.

"Aku masih tidak percaya. Benar-benar tidak percaya. Kau tidak mengenalku? Benar-benar tidak mengenalku?" tanya Mingyu lagi.

Wonwoo menghela napas, "Apa kau sepenting itu untuk ku kenal? Apa ada hukum yang mengatakan aku harus mengenalmu?"

"Tentu itu penting, aku duduk disebelahmu. Tepat disamping kananmu. Dan kau tidak mengenalku? Maksudku, kau anggap aku ini patung tak bernama?"

Wonwoo merotasikan matanya bosan, "Aku pernah berbicara padamu, dan tidak mungkin aku segila itu untuk mengajak bicara patung bukan?"

Mingyu menggebrak meja, yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Wonwoo, "Nah, disitu masalahnya, kau berkali-kali mengajakku berbicara dan kau tidak tau namaku? Sumpah hyung, tingkat keapatisanmu itu sudah mengkhawatirkan."

Wonwoo mendengus, "Terima kasih atas kepedulianmu pada tingkah apatisku. Tapi bisakah kau segera mengerjakan semua bagianmu? Mereka tidak akan selesai dengan sendirinya."

"Tidak mau. Kau tidak mengenalku."

Wonwoo tau, jika pemuda didepannya ini merajuk, dan dia sama sekali tidak punya waktu untuk melayaninya—tidak peduli lebih tepatnya. Ia pun membereskan kertas-kertas yang berserakan diatas meja, lalu menjejalkannya pada tas selempangnya.

Pemuda itu bangkit dari duduknya, "Kalau begitu biar aku yang mengerjakannya sendiri."

Dan Wonwoo memilih untuk pergi dari kantin, meninggalkan Mingyu yang mungkin masih menatapnya bodoh. Wonwoo tidak peduli, ia hanya ingin tugas yang banyaknya ini segera selesai, mengingat deadlinenya itu sebentar lagi. Tapi, pemuda bernama Kim Mingyu itu sepertinya tidak sepemikiran dengannya.

Wonwoo tidak menyukainya.

.-.-.

Singkatnya, setelah kejadian dimana tugas yang harus diselesaikan secara berkelompok itu berakhir dengan dikerjakan individu oleh Wonwoo—hingga pemuda manis itu mendapatkan mata panda yang cukup kentara pada paras putih pucatnya—Mingyu memutuskan untuk mengenal pemuda itu lebih jauh.

Mingyu selalu menempel kemanapun Wonwoo pergi—walaupun tempat Wonwoo pergi itu kalau tidak perpustakaan ya kantin. Wonwoo terganggu, sangat. Ia bahkan sudah meminta Jihoon untuk mengenyahkan Kim Mingyu.

Jihoon tentu tidak enak dengan kelakuan Mingyu pada Wonwoo. Ia sudah berupaya untuk membuat Mingyu memberikan lebih banyak privasi untuk Wonwoo. Namun memang dasar keras kepala, pemuda yang setahun lebih muda dari mereka itu enggan menurut.

Saat ditanya Jihoon, apa alasannya mengekori Wonwoo, Mingyu menjawabnya, "Wonwoo hyung itu misterius. Aku seperti ingin sekali berteman dengannya. Coba Jihoon hyung pikirkan, kapan lagi aku ngotot ingin berteman dengan orang begini?"

Wonwoo menggeram—menahan amarah, "Berteman ya berteman, tapi tidak sampai menguntit juga."

Jihoon yang mendengar nada kesal dari Wonwoo hanya tertawa, "Kalau kau sedikit menanggapinya mungkin dia akan berhenti, Woo."

Wonwoo terdiam, terlihat berpikir. Menanggapi? Menanggapi bagaimana? Wonwoo malas menanggapi Mingyu, bocah itu berisik. Tidak tempat dan situasi, selalu sukses membuatnya naik darah.

Wonwoo tidak suka.

"Dia populer, menyebalkan," ucap Wonwoo.

Jihoon yang saat itu tengah menyantap makan siangnya tersedak, ia menatap bingung kearah Wonwoo, "Dia menyebalkan karena dia populer? Apa kau semacam—iri?"

Wonwoo mendengus, "Tidak—sama sekali tidak. Dia populer, dia selalu menempel padaku. Kau tau apa yang terjadi? Perhatian semua orang jadi tertuju padaku—maksudku pada Mingyu. Dan itu menganggu. Aku tidak suka."

Jihoon geleng-geleng kepala, menyerah akan sahabat barunya itu. Wonwoo itu unik—Jihoon dan Soonyoung sudah mengakuinya—saat orang-orang berlomba-lomba untuk populer, Wonwoo bahkan membencinya. Ia itu apatis, pendiam, tidak suka keramaian, ia tidak suka memiliki banyak teman—ia lebih memilih memiliki satu orang teman tapi tulus kepadanya.

"Baiklah, aku akan mengatakan pada Mingyu kalau kau tidak nyaman. Semoga dia mendengarku kali ini," ucap Jihoon pada akhirnya.

Wonwoo tersenyum tulus—senyum yang baru kali ini ia tunjukan pada Jihoon, "Terima kasih Ji, kau yang terbaik."

Jihoon tertegun, parasnya memerah, ia bahkan mengusap wajahnya untuk menghilangkan rona itu, "Kau tau, kau itu manis sekali saat tersenyum. Tersenyumlah lebih sering."

"Tidak mau."

"Wae?"

"Kalau aku sering tersenyum, Soonyoung terpikat senyumku dan meninggalkanmu bagaimana? Aku tidak mau dicap sebagai sahabat yang tidak tau diri," gurau Wonwoo—yang berakhir dengan mendapatkan cubitan keras dari Jihoon pada lengan kurusnya.

.-.-.

Tanpa terasa, satu semester telah berlalu semenjak Wonwoo meminta Jihoon untuk menjauhkan Mingyu darinya—dan itu gagal total. Mingyu tidak pernah menyerah untuk berteman dengan Wonwoo—yangmana itu membuat Wonwoo luluh.

Pemuda kurus itu memutuskan untuk tak mendorong Mingyu menjauh, ia memutuskan untuk membiarkan bocah itu berkeliaran disekitarnya, menganggunya secara langsung ataupun via ponsel—dimana Mingyu tidak pernah absen dalam membuat ponselnya yang biasanya sepi itu menjadi ramai karena notifikasi dari Mingyu.

Disemester baru ini, mungkin Wonwoo merasa sedikit lega karena ia tak sekelas dengan Mingyu. Hanya Jihoon yang sepertinya masih berjodoh untuk sekelas dengannya.

Saat Mingyu tau mengenai hal itu, ia tiada henti merengek, membanjirinya ponselnya dengan segala rengekannya, menculiknya yang tengah bermalas-malasan dirumah sewanya hanya untuk hang out—yang katanya sebagai perpisahan.

Wonwoo tersenyum senang, meskipun ia sudah bisa menerima keberadaan Mingyu, ia masih belum terbiasa dengan tingkah hebohnya. Berbanding terbalik dengan ekspresi terluka Mingyu ketika mengetahui bahwa Wonwoo begitu bahagia tak sekelas dengannya.

"Kenapa kau terlihat bahagia sekali tak sekelas denganku?" rengek Mingyu.

Wonwoo tersenyum manis hingga hidungnya mengerut lucu, membuat Mingyu tertegun—baru kali ini Mingyu melihat Wonwoo tersenyum lebar untuknya.

"Karena itu artinya aku akan hidup tenang. Tidak ada lagi bayi besar yang akan merengek kepadaku setiap hari," ucapnya diselingi kekehan.

Mingyu merengut, "Enak saja, walaupun kita berbeda kelas, akan kupastikan kita setidaknya menghabiskan waktu 3—tidak, 5 jam bersama setiap harinya."

Senyum yang tadi menghiasi paras Wonwoo langsung luntur, "Terserah kau sajalah."

Mingyu tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa dan mengacak surai lembut Wonwoo, yang langsung dihadiahi tatapan tajam dari empunya.

Kim Mingyu itu setahun lebih muda darinya—tapi Wonwoo akui, pemuda itu lebih pintar darinya. Berisiknya tidak tanggung-tanggung, meski tidak seberisik Soonyoung. Keras kepala. Paling senang mengganggu waktu tenangnya. Selalu bertingkah bodoh hanya untuk mendapatkan atensinya—meski lebih sering berakhir dengan dirinya yang menendang tulang kering Mingyu karena malu.

Wonwoo tidak suka Mingyu.

Tapi ia tidak tau, sejak kapan Wonwoo sedikit menyukai keberadaan Mingyu.

.-.-.

Waktu berjalan sangat cepat, bahkan ujian akhir semester sudah berakhir dua hari yang lalu—yang berakhir dengan Wonwoo tergeletak tak berdaya di rumah sakit. Pemuda kurus itu pingsan pada hari terakhir ujian, tepat saat ia mengerjakan ujiannya—sukses membuat seruangan panik.

Dan juga membuat seorang pemuda kalang kabut. Bahkan pemuda itu langsung meninggalkan ujiannya yang baru setengah selesai ketika tanpa sengaja ia mendengar salah seorang mahasiswa masuk keruangannya untuk meminjam kunci mobil untuk mengantarkan Wonwoo yang pingsan ke rumah sakit.

"Kau tau hyung, sepertinya aku akan mendapatkan nilai D—atau E kalau sedang sial," ucap Mingyu. Saat ini tengah mengupaskan apel untuk Wonwoo yang tengah duduk tenang dikasur rawatnya dengan sebuah novel dipangkuan.

Wonwoo menutup novelnya, lebih tertarik pada sesi curhat Mingyu, "Dan C- jika beruntung. "

"Hyung, kau tau 'kan seperti apa Prof. Jung itu?" tanya Mingyu—jangan lupa wajahnya yang merajuk itu.

Wonwoo terkekeh, "Kau akan mengulang. Tenang, aku juga sudah pasti mengulang."

"Sungguh?"

"Aku bahkan belum selesai mengerjakan nomor satu—kalau tidak salah ingat sih," ucap Wonwoo.

Ia bisa melihat Mingyu menghela napas panjang, piring berisi potongan buah apel itu diletakkan di meja nakas disamping tempat tidurnya. Wonwoo meringis ketika Mingyu memukul ringan kepalanya.

"Aku 'kan sudah mengatakannya, belajar boleh saja, tidak ada yang melarang, tapi jangan lupa untuk makan juga. Aku bahkan selalu mengingatkanmu untuk makan—dan kau mengatakan sudah. Kau bohong ya, hyung?" omel Mingyu.

Wonwoo meringis, "Tidak, aku makan kok."

Mata Mingyu memicing tajam, "Makan apa?"

"Cracker sayur—atau cookies?"

Sekali lagi, dahi Wonwoo menjadi korban sentilan Mingyu. Wonwoo mengusap dahinya yang panas, matanya menatap tajam kearah Mingyu. Mulutnya hendak mengucapkan sumpah serapah, namun tak jadi ketika mendapati ekspresi sendu kawannya—lebih tepatnya ekspresi menahan tangis.

"Gyu, aku tidak apa. Sungguh," ujar Wonwoo lembut. Ia mengusap lengan berotot Mingyu—berharap itu bisa menenangkan bayi besarnya.

Wonwoo terlonjak, tangannya yang terbebas dari selang infus mendorong pelan tubuh Mingyu yang memeluknya erat, "Gyu—"

"Tidak bisakah kau berhenti untuk egois? Tidak bisakah kau berhenti untuk tidak membuat orang disekitarmu khawatir? Kau membuatku hampir mati, hyung. Kau tidak tau betapa khawatirnya aku ketika mendengar kau pingsan dan dibawa ke rumah sakit?" potong Mingyu. Pemuda itu mengeratkan pelukannya dan menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Wonwoo.

Wonwoo terdiam, sedetik kemudian ia mengulas senyum tipis. Ia menyamankan kepalanya pada bahu lebar Mingyu, tangannya mengelus surai Mingyu, berusaha membuat kawannya itu tenang.

Wonwoo tidak pernah menyangka jika Mingyu akan menepati perkataannya mengenai menghabiskan waktu 3 sampai 5 jam bersama dalam sehari. Bahkan ketika pemuda itu banyak tugas, ia lebih memilih untuk mengerjakannya di rumah sewa Wonwoo—dikamarnya lebih tepatnya. Ia bahkan tidak peduli jika Wonwoo mengabaikannya.

Harus Wonwoo akui, Mingyu itu tahan banting—bahkan lebih tahan banting ketimbang Jihoon dalam meladeninya yang keras kepala.

Bohong jika Wonwoo bilang ia tidak terharu Mingyu begitu mengkhawatirkannya begini. Ia tidak pernah mendapatkan perhatian seperti ini dari orang lain. Keluarganya memang khawatir—dan panik, tapi tidak sampai menangis meraung-raung seperti yang dilakukan Mingyu saat ini.

"Maafkan aku sudah membuatmu hampir mati. Aku baik-baik saja, hanya gastritis. Sudah, jangan menangis lagi. Dasar bayi besar."

Mingyu menghentikkan tangisnya, sebagai gantinya ia justru merajuk—dan menolak untuk melepaskan pelukannya pada tubuh kurus Wonwoo. Tidak peduli jika orang dipelukannya sudah protes karena sesak dan gerah.

"Biarkan begini dulu, sebentar saja," bisik Mingyu.

Wonwoo hanya diam, ia tidak lagi berontak. Ia memejamkan matanya, menyamankan diri dalam pelukan hangat Mingyu.

Wonwoo tidak suka Mingyu.

Mingyu itu berisik, seenaknya, egois.

Tapi Wonwoo begitu menyukai pelukan Mingyu yang baru didapatnya hari ini.

Pelukan Mingyu hangat, membuatnya terasa aman.

Wonwoo menyukainya.

.-.-.

"Kau dan Mingyu pacaran ya?"

Itu Soonyoung yang bertanya, disuatu siang yang panas dan ditemani suara berdengung dari laptop butut Soonyoung serta tumpukan buku Intermediate Accounting. Mata sipitnya menatap curiga kearah Wonwoo.

"Maksudmu?" tanya Wonwoo tak mengerti.

Soonyoung menghela napas, ia mendorong turun buku tebal berbahasa Inggris yang tengah dibaca oleh Wonwoo. Mencondongkan kepalanya saat ia melihat Jihoon dan Mingyu tengah sibuk berdebat tentang buku referensi tugas di seberang sana.

"Tidak usah malu mengakuinya, kau berpacaran dengan Mingyu 'kan?" tanya Soonyoung—masih sama.

Wonwoo merotasikan matanya, "Dapat kesimpulan seperti itu darimana?"

Senyum percaya diri terulas apik pada paras Soonyoung, "Dari sikap kalian. Dikelas kalian tidak terpisahkan, bahkan diluar juga begitu, kemana-mana selalu bersama. Saling mengabari ketika salah satu tidak hadir. Skinship tanpa canggung. Apalagi kalau bukan pacaran? Aku dan Jihoonie yang pacaran saja tidak seromantis itu."

"Apa terlihat seperti itu?"

Soonyoung mengangguk mantap, "Sangat terlihat. Kalian seperti menunjukkan pada dunia kalau kalian memiliki satu sama lain. Menjijikkan sih, tapi manis juga."

Wonwoo menghela napas, "Sayangnya kami tidak berpacaran, hanya bersahabat. Tidak lebih."

BRAK!

"YANG BENAR SAJA?!"

Secepat kilat Wonwoo memukul kepala Soonyoung dengan buku yang ada ditangannya dan membungkuk pada penjaga perpustakaan yang menatap mereka tajam. Jihoon dan Mingyu yang sedang ribut juga terdiam dan menatap aneh kearah mereka.

Wonwoo meringis, ia kembali menendang tulang kering Soonyoung di bawah meja dan menampar mulutnya yang akan berteriak dengan buku setebal kamus Bahasa Inggris, "Jangan berisik bodoh."

"Sialan Jeon Wonwoo, ini sakit sekali. Ouch—sialan," rutuk Soonyoung. Ia mengusap bibirnya yang baru saja menjadi korban.

"Salah siapa berisik," ketus Wonwoo. Ia kembali akan berkutat dengan tugasnya. Tapi Soonyoung sepertinya tidak membiarkannya seperti itu.

"Aku terkejut bodoh. Kau benar-benar tidak berpacaran dengan Mingyu?"

Gelengan dari Wonwoo Soonyoung dapatkan sebagai jawaban. Pemuda sipit itu menopang dagu, menatap Mingyu dan Jihoon yang sudah berjalan mendekati mereka, "Sikap kalian seperti sepasang kekasih, bahkan aku belum melihat Mingyu selembut itu pada orang lain—bahkan pada mantan kekasihnya dulu tidak."

Wonwoo menghela napas, "Hanya perasaanmu saja."

Soonyoung mengedikkan bahunya, mengakhiri pembicaraan mereka karena objek yang mereka bicarakan sudah datang.

Lihat, Mingyu bahkan langsung duduk disamping Wonwoo, menempelinya dan mulai mengoceh mengenai tugas.

Wonwoo diam—bukan untuk mendengarkan ucapan Mingyu, tapi untuk memikirkan percakapannya dengan Soonyoung.

Memang, setelah ia sembuh dulu, Mingyu langsung memaksa mengambil kelas yang sama dengan Wonwoo. Pemuda jangkung itu tidak membiarkan Wonwoo sendirian, ia selalu menempeli kemanapun Wonwoo pergi, lebih intens daripada sebelumnya.

Tapi Wonwoo tidak tau jika kedekatannya dengan Mingyu membuat anak-anak lain berpikiran bahwa mereka pacaran.

Mereka tidak berpacaran. Mereka hanya bersahabat.

Sudah hal yang biasa jika sepasang sahabat saling melakukan skinship bukan?

"UHUK!"

Itu Jihoon yang terbatuk, ia menatap ngeri kearah Mingyu yang menempelkan dahinya pada dahi tertutup poni Wonwoo. Sementara Wonwoo yang diperlakukan seperti itu hanya bisa membulatkan mata rubahnya.

"A-apa yang—"

"Sebentar," Mingyu memotong ucapan Wonwoo. Sebagai gantinya, ia menyibakkan poni pemuda kurus itu keatas dan kembali menempelkan dahi mereka.

Kejadian itu hanya berlangsung beberapa detik—namun efeknya nyata, membuat paras putih pucat Wonwoo langsung dinodai semburat merah yang begitu kentara.

"Sudah kuduga akan berakhir seperti ini. Kapan sih kau akan menurut padaku, hyung? Aku sudah bilang 'kan kemarin tunggu aku selesai latihan dulu baru pulang. Jangan hujan-hujanan. Sekarang lihat akibatnya, kau demam dan masih memaksa untuk berangkat," omel Mingyu.

Mata Wonwoo mengerjap lucu, "Tapi, Gyu, ini hanya—"

Satu sentilan menyakitkan mendarat di dahi mulus Wonwoo, membuat pemuda kurus itu meringis kesakitan karena kepalanya mendadak pusing.

"Apa? Hanya demam? Begitu? Astaga Jeon Wonwoo manisku, demam juga kalau dibiarkan terus bisa jadi parah. Kau belum kapok membuatku hampir mati karena kau masuk rumah sakit? Tunggu disini, aku akan beli obat untukmu."

Wonwoo berusaha menahan Mingyu untuk tidak bersikap berlebihan. Demi Tuhan, Wonwoo memang agak demam mengingat semalam ia hujan-hujanan karena tidak sabar menunggu Mingyu selesai dengan latihan basketnya. Tapi, pada akhirnya Wonwoo menyerah.

Wonwoo memang keras kepala, tapi Mingyu dua kali lipat lebih keras kepala darinya jika sudah dalam hal paksa-memaksa.

Soonyoung menatap tajam Wonwoo yang mengusap rambutnya frustasi, ia menopang dagunya—mengabaikan kekasihnya yang masih belum bisa menutup mulutnya, terlalu kaget akan interaksi dua sahabatnya tadi.

"Yang seperti tadi kau bilang tidak pacaran? Yang benar saja, Jeon Wonwoo. Dia bahkan memanggilmu 'manisku'. Masih mengelak?" cibir Soonyoung.

Wonwoo melempar tatapan tajam, "Demi Tuhan, aku tidak pacaran dengannya, Soon."

Pemuda sipit itu mengibaskan tangannya, "Ya. Bukannya tidak, tapi belum."

"Ti—"

"Sebelum mengelak, berkacalah. Wajahmu itu sudah memerah seperti tomat busuk," potong Soonyoung.

Wonwoo menghela napas, percuma mendepat Soonyoung. Ia memilih untuk menidurkan kepalanya beralaskan tangannya. Ia memutuskan untuk tidur sebentar, lagipula ia sudah menyelesaikan tugasnya dan Soonyoung tinggal mengetiknya.

Paras Wonwoo memerah ketika mengingat perlakuan Mingyu kepadanya. Sebenarnya bisa dikatakan perlakuan pemuda tan itu cukup berlebihan untuknya—mengingat status mereka berdua hanyalah bersahabat.

Dan semakin memerah ketika ia merasakan kepalanya dipijit pelan, ia hendak mendongak, namun tangan yang memijitnya itu tidak mengizinkannya.

"Tidurlah, aku akan memijit kepalamu agar pusingnya berkurang."

Itu suara Mingyu.

"Sudah dapat obatnya?" Itu suara Jihoon.

"Sudah, didepan ada apotik ternyata."

Selanjutnya mereka mengobrol—entah apa yang mereka obrolkan, Wonwoo tidak peduli.

Yang ia pedulikan hanyalah hatinya yang menghangat karena Mingyu.

Dulu Wonwoo tidak menyukai Mingyu.

Tapi sekarang berbeda.

Wonwoo menyukai Mingyu.

Sangat suka.

.

.

To Be Continued.

.

(sesekali aku bawa yang beginian. Humorku lagi kacau balau huhu TT butuh pelukan Mingyu—eh ngga ding, Wonu aja. Butuh pelukan Wonu TT)

(Ya suda, itu aja, gamau panjang-panjang ah, nanti kalian lebih suka liat author notenya daripada ffnya :'D)

(Terima kasih sudah membaca! :'D)