A Whole New Light

.

.

Original Story by :

Sandra Brown

Edited by :

Sweatpanda

.

.

Cast :

Main :

Kang Daniel x Hwang Minhyun (GS)

Support :

Tiffany Hwang

Kim (Bae) Jinyoung

Yoon Jisung

Ong Seongwoo

OC

Genre :

Romance, Drama.

Lenght :

12 Chapter

Rated :

M

Summary :

Semuanya berawal dari liburan akhir pekan di Acapulco, ketika mereka sama-sama tak bisa menyangkal lagi ketertarikan itu.

Warning :

GS, AU, OOC, Typo(s)

.

.

Chapter 1

.

.

Kismis. Hwang Minhyun menyadari, sebenarnya makanan yang tampangnya buruk sekali.

"Jinyoung, please."

"Aku suka begini, Mom, menyisakan yang paling enak di akhir."

Minhyun menggeleng-geleng dan mendesah, mengalah. Ibunya mendengar desahan itu saat masuk ke dapur yang disinari cahaya matahari.

"Ada apa? Kenapa keningmu berkerut begitu, Minhyun?" Tiffany langsung berjalan ke poci kopi dan menuangkan segelas untuk diri sendiri.

"Cucumu memilah kismis dari sereal gandumnya dan menjajarkan mereka di tepian mangkok."

"Kreatif sekali!"

Minhyun mengerling tajam ke arah ibunya, kemudian menatap genangan susu di meja yang diteteskan kismis-kismis salah tempat itu.

"Aku mencoba memperbaiki tingkah lakunya, Ibu, bukan memuji kreativitasnya."

"Kau bangun di sisi tempat tidur yang salah ya? Lagi?" Jeda di antara dua pertanyaan ini bukan tak disengaja. Itu merupakan cara halus Tiffany Hwang untuk mengatakan bahwa suasana hati masam anak perempuannya terjadi berulang kali dalam frekuensi yang tidak menyenangkan.

Minhyun pura-pura tidak menyadari sindiran itu selagi mengelap tumpahan susu dengan lap piring.

"Makan roti panggangmu, Jinyoung."

"Bolehkah aku membawa rotinya ke ruang santai dan memakannya sambil menonton Sesame Street?"

"Boleh."

"Tidak."

Jawaban yang berbeda itu diucapkan bersamaan.

"Ibu, kau kan tahu aku sudah bilang kepadanya—"

"Aku ingin bicara padamu, Minhyun. Berdua saja."

Tiffany membantu Jinyoung yang berusia empat tahun turun dari kursinya dan membungkus irisan roti panggang kayu manis dengan serbet.

"Makannya jangan berantakan, ya." Dia menepuk bagian bokong piama anak itu selagi menggiringnya melewati pintu, kemudian berbalik untuk menghadapi anak perempuannya.

Akan tetapi, Minhyun langsung memberondong ibunya. "Ibu, kau harus menghentikan segala campur tanganmu selagi aku berusaha mendisiplinkan Jinyoung."

"Masalahnya bukan itu."

Tiffany, ramping, menarik, dan segar setelah mandi pagi, berusaha menasihati anak perempuannya di meja sarapan. Minhyun tidak ingin mendengar kuliah tentang pengasuhan yang akan disampaikan itu, tapi dia bisa mencium gelagatnya sama seperti dia bisa mencium aroma kopi yang sudah mendidih.

Dia melirik arloji sambil lalu. "Aku harus pergi sekarang kalau tidak mau terlambat."

"Duduk."

"Aku tak ingin memulai hari dengan berdebat."

"Duduk," ulang Tiffany tenang. Minhyun menghempaskan diri ke kursi.

"Mau kopi lagi?"

"Tidak, terima kasih."

"Kau berubah, Minhyun," Tiffany langsung membuka percakapan begitu dia duduk di seberang putrinya dengan segelas kopi baru. "Kau tegang, cepat naik darah, sedikit-sedikit kesal, tidak sabar menghadapi Jinyoung. Kalau aku tidak tahu, mungkin ku pikir kau sedang hamil."

Minhyun memutar bola matanya, "Tak usah repot-repot berpikir begitu."

"Ke mana selera humormu? Kau ada masalah apa akhir-akhir ini?"

"Tak ada masalah."

"Baiklah, ku beri tahu kau, ya."

"Aku sudah tahu Ibu bakal bilang begitu."

"Jangan sok pintar denganku," tegur Tiffany, menggoyang-goyangkan satu jari di depan Minhyun.

"Ibu, jangan ulang pembicaraan itu pagi ini. Aku sudah tahu apa yang akan kau katakan."

"Memangnya apa yang akan ku katakan?"

"Aku tidak menjalani kehidupan seimbang. Jonghyun sudah dua tahun meninggal, tapi aku masih hidup, masih muda, dengan bertahun-tahun kehidupan yang masih terbentang. Bahwa aku memiliki pekerjaan yang menyenangkan dan hebat melakukannya, tapi pekerjaan bukanlah segalanya. Bahwa aku harus berusaha tertarik pada hal-hal lain di luar itu dan menjalin pertemanan baru. Bahwa aku harus pergi bersenang-senang, bergaul dengan orang-orang seusiaku, bergabung dengan klub orangtua tunggal." Dia tersenyum sedih ke arah ibunya. "Benar, 'kan? Aku hafal diluar kepala."

"Kalau begitu kenapa kau tidak melakukan beberapa hal yang kau sebutkan tadi?"

"Karena itu keinginanmu. Bukan aku."

Tiffany melipat lengannya di meja dan mencondongkan tubuh ke depan. "Apa yang kau inginkan?"

"Aku tak tahu. Aku ingin…"

Apa? Minhyun mencari-cari penjelasan atas kemuraman hatinya. Elemen yang hilang dalam hidupnya tidak mudah untuk dijabarkan. Jika tahu apa yang hilang, mungkin sudah dia isi kekosongan itu sejak lama. Selama berbulan-bulan dia merasa seakan bergerak dalam ruang hampa.

Jinyoung bukan lagi bayi yang membutuhkan perawatan terus-menerus. Dia merasa tak berguna di kantor. Sejak pindah ke rumah mereka setelah kematian ayah Minhyun, Tiffany menangani sebagian besar pekerjaan rumah tangga. Kepala rumah tangga resmi adalah Minhyun, tapi jabatan itu tidak berpengaruh besar.

Tak ada satupun hal dalam kehidupannya yang menimbulkan rasa puas atau keberhasilan. Kemudaan dan vitalitasnya diperas kemonotonan hidup.

"Aku ingin sesuatu terjadi," akhirnya dia berkata. "Sesuatu yang akan mengguncang segala hal, menjungkirbalikkan hidupku."

"Hati-hati dengan harapanmu," dengan lembut Tiffany menasehati Minhyun.

"Apa maksudnya?"

"Kematian Jonghyun yang tiba-tiba jelas mengguncang kehidupanmu."

Minhyun seketika itu juga bangkit dari kursi. "Itu kejam sekali."

Dia menyambar tas tangan, tas kantor, dan kunci-kunci, lalu menyentak pintu belakang sampai terbuka.

"Ucapanku mungkin memang kejam, Minhyun-ah. Aku tak bermaksud tidak simpatik. Tapi jika ingin berubah menjadi lebih baik, kau tak bisa duduk-duduk saja dan berharap roda nasib berputar dengan sendirinya. Kau juga harus berusaha mengubah dirimu sendiri."

Minhyun tidak membalas ucapan ibunya. "North Central pasti macet sekali karena aku berangkat begitu terlambat. Tolong beritahu Jinyoung, aku akan meneleponnya saat istirahat makan siang." Dipersenjatai kedongkolan yang dia anggap berhak dia rasakan, Minhyun pergi ke rumah sakit.

.

.

"Aku tahu aku bilang begitu, Jack, tapi itu kan kemarin. Siapa sangka mereka akan mengumumkannya kepada publik sebelum—"

Kang Daniel memberi tanda kepada asistennya untuk menuangkan secangkir kopi lagi. Tugas wanita asisten itu bukan untuk sekadar mengerjakan urusan administrasi. Yoon Jisung merupakan sekretaris, asisten, ibu dan sahabat—tergantung situasinya. Dan dia bisa menjalankan semua peran itu dengan luar biasa.

"Aku tahu itu tugasku, Jack, tapi kau belum kehilangan—" Selagi kliennya terus marah-marah, Daniel meletakkan gagang telepon ke dada. "Ada telepon lain yang masuk?" Dia bertanya kepada Jisung, yang sekarang sedang menyiram tanaman yang menghiasi kantor eksekutif lantai dua belas milik Kang Daniel.

"Hanya dari dokter gigimu."

"Dia mau apa? Aku baru saja ketemu dia, minggu lalu."

"He-eh. Dia melihat hasil rontgen gigimu dan katanya ada dua gigi yang harus ditambal."

"Bagus, bagus." Daniel menghela napas panjang. "Punya berita lainnya? Kau yakin Micell belum menelepon?"

"Yakin." Jisung memasukkan kembali gembor tembaga itu ke lemari di bawah bar kecil.

"Well, jika dia menelepon, sela saja aku," pesan Daniel, mengedip penuh makna. "Apa pun yang terjadi."

Wanita itu berdecak tak setuju sembari meninggalkan kantor.

Daniel kembali meletakkan gagang telepon ke telinga. Kliennya masih memaki-maki bursa saham yang tak bisa diprediksi.

"Jack, tenang dulu. Itu bukan saham yang berjodoh denganmu, itu saja. Biarkan aku memikirkan sesuatu yang kreatif dulu, nanti kuhubungi kau lagi sebelum bursa tutup hari ini. Aku punya banyak kelinci dalam topi sulapku. Aku yakin bisa menarik satu keluar untukmu."

Setelah menutup telepon, Daniel beranjak dari kursi kulit merahnya, memperhatikan layar TV, yang terus-terus menayangkan saluran bursa saham, dan memungut bola basket kecil. Dia melemparkannya ke-ring yang dipasang di balik pintu kantornya. Luput.

Tak heran; dia jarang berlatih. Minggu ini seperti neraka, tak sekalipun dia sempat pergi ke gym, padahal biasanya rutin dia lakukan setiap hari. Sore ini, janjinya kepada diri sendiri, sebelum bertemu Micell, dia akan menggenjot tubuhnya, berlatih keras. Tubuhnya harus prima untuk akhir minggu ini.

Informasi yang bergerak melintas di sepertiga bagian bawah layar semakin lama semakin membuatnya tertekan. Dia masih mencoba memutuskan apa bentuk kelinci yang dia janjikan kepada Jackson untuk ditarik keluar tadi, dan dengan malas-malasan melemparkan panah dart ke target di seberang ruangan, ketika Jisung menghubungi interkomnya.

"Micell?" tanya Daniel penuh harap.

"Bukan, kencan makan siangmu baru saja batal."

"Sial. Perempuan tua itu punya banyak sekali uang," gumamnya.

"Aku jadwal ulang ke Rabu depan. Tidak apa-apa?"

"Ya, tapi aku bergantung pada portofolionya yang tebal untuk mendapatkan keuntungan minggu ini."

"Kau ingin kedai sandwich di bawah mengirimkan sesuatu untuk makan siang?"

"Sapi panggang setengah matang, rotinya whole wheat. Monster Jerman-nya yang banyak."

Daniel menelepon beberapa kali, tapi tidak bisa melimpahkan modal Jackson ke saham lain. Dia menelepon Jackson, berjanji kepada kliennya yang tidak bahagia, dia akan mengurus masalah ini pagi-pagi sekali pada hari Senin.

Saat telepon berbunyi lagi, dia langsung menyambarnya. "Ya?"

"Sapi panggangnya sudah habis," ujar Jisung.

"Ah, sial! Aku tidak akan makan siang saja kalau begitu."

Selagi membanting telepon ke tempatnya, Daniel bertanya pada empat dinding yang dipernis hitam, "Apakah hari ini akan berakhir?"

.

.

"Hai. Ke mana saja kau, jarang kelihatan?"

Semangat Minhyun yang sedang merosot, terbenam semakin dalam saat sang dokter bergabung bersamanya di lift. Selama dua minggu ini dia menghindari dokter itu. Kebanyakan wanita, apa pun status pernikahan mereka, pasti akan menganggap Minhyun gila karena menghindari Dr. Ong Seongwoo. Dokter itu tampan, menarik, dan memiliki salah satu tempat praktik spesialis kandungan paling menguntungkan di Dallas.

Tahun lalu dia membantu lebih banyak persalinan bayi dibandingkan dokter kandungan mana pun di kota itu. Kenyataan paling menarik dibandingkan seluruh kelebihan-kelebihannya adalah, dia lajang dan kaya.

"Hai Ong." Minhyun tersenyum kepada pria itu, tapi mengambil satu langkah mundur hati-hati. Pria itu berdiri begitu dekat, orang akan beranggapan lift itu penuh, padahal sebenarnya hanya mereka berdua di dalamnya.

"Menghindariku dengan sengaja?" tanya Seongwoo, menusuk langsung ke inti permasalahan.

"Aku sibuk sekali."

"Terlalu sibuk untuk membalas teleponku?"

"Seperti kataku barusan," dia mengulangi dengan agak kesal, "akhir-akhir ini aku sibuk." Dia takkan pernah menyakiti orang lain dengan menghancurkan hati mereka.

Tapi dengan Dr. Masters, bukan itu permasalahannya. Paling hanya ego pria itu yang memar-memar. Akan tetapi, egonya itu memiliki kemampuan pulih dengan cepat.

Tak terintimidasi, sang dokter bertanya, "Mau makan malam?"

Bermanuver mengitari ajakan itu, Minhyun mengganti topik pembicaraan. "Eh, Seongwoo, kau sudah lihat laporan referensi yang ku kirim? Catherine?"

"Aku menemuinya kemarin."

"Terima kasih sudah menerimanya sebagai pasien walaupun dia tak bisa membayar. Aku bisa saja memintanya ke klinik gratis, tapi aku khawatir ada komplikasi dalam kehamilannya."

"Menurut catatan medis, dia sudah dua kali aborsi."

"Ya, betul."

Dengan sedih, Minhyun menggeleng memikirkan ketidakberuntungan gadis tujuh belas tahun belum menikah yang berkonsultasi kepadanya itu.

"Dia menginginkan bayi ini dan akan memberikannya untuk diadopsi."

"Dan kau ingin dia mendapatkan perawatan terbaik."

Seongwoo mencondongkan tubuh ke depan, memerangkap Minhyun di pojokan lift. "Tapi membantu persalinan bayi sehat bukan satu-satunya hal yang bisa ku lakukan dengan baik, Min."

Dr. Ong Seongwoo memang sangat percaya diri. "Well, kita sudah sampai."

Saat pintu bergeser terbuka, Minhyun berjalan menyamping melewati pria itu dan melangkah keluar lift.

"Tunggu sebentar." Dr. Ong menahannya, menyambar lengan Minhyun dan menariknya ke samping, ke luar jalur sibuk lantai dasar rumah sakit ibu-anak itu.

Departemen Minhyun berurusan dengan wanita-wanita yang ingin berkonsultasi mengenai kehamilan yang tak di inginkan.

Dia memang baru menggunakan ijazah master bidang psikologinya setelah menjadi janda. Dia menikah segera setelah lulus kuliah, mengandung Jinyoung tak lama setelahnya. Beberapa bulan setelah Jonghyun meninggal, semua orang mendorongnya untuk menerima pekerjaan di klinik, tapi karena merasa tidak layak, dia melakukannya dengan agak terpaksa.

Staf rumah sakit dan para pekerja sosial yang mereferensikan klien kepadanya sangat senang dengan hasil kerjanya. Dia sendiri merasa tidak kompeten. Kebanyakan kasus yang dia tangani membuatnya merasa tertekan dan tidak mampu.

"Kau tidak menjawab pertanyaanku," Seongwoo mengingatkan Minhyun.

"Pertanyaan apa?"

"Tentang makan malam?" Pria itu menyunggingkan senyum yang disempurnakan dokter gigi kosmetik.

"Malam ini? Oh, malam ini aku tidak bisa, Seongwoo. Aku meninggalkan rumah buru-buru pagi ini tanpa sempat menghabiskan waktu bersama Jinyoung. Aku berjanji akan melakukan sesuatu bersamanya nanti malam."

"Besok malam?"

"Besok hari apa? Jumat ya? Well, aku belum tahu, Seongwoo. Kupikir-pikir dulu ya. Aku—"

"Ada masalah apa sebenarnya denganmu?" Pria itu berkacak pinggang dan menatap Minhyun dengan kesal.

"Apa maksudmu?"

"Kita sudah dua kali berkencan. Semua berjalan dengan baik, kemudian kau mulai mengulur-ulurku."

Minhyun berusaha membela diri, mengibaskan rambut sebahunya dari wajah. "Aku tak melakukan itu."

"Kalau begitu, kencanlah lagi bersamaku."

"Aku kan sudah bilang aku pikir-pikir dulu."

"Sudah berminggu-minggu kau punya kesempatan memikirkannya."

"Dan aku masih belum bisa memutuskan!" Minhyun balas menyentak.

Melingkari lengan Minhyun dengan belaian tangan yang lembut, Seongwoo mengubah taktik. "Minhyun, dengar, kita sudah dewasa, 'kan? Seharusnya kita bersikap seperti orang dewasa. Semestinya kita pergi kencan bersama, menikmati kedekatan satu sama lain—"

"Tidur bersama?"

Kelopak mata pria itu turun malas-malasan. "Kedengarannya menarik."

Dia mengatakannya dengan nada menggoda yang membuat staf perawat rumah sakit, dan banyak pasiennya, berdebar.

Minhyun menarik lengannya dari pegangan Seongwoo. "Selamat malam, Seongwoo."

"Itu masalahnya, ya?" tanya Seongwoo, mengimbangi langkah Minhyun. "Seks."

"Seks apa?"

"Dalam kasus kita, ketiadaannya. Kau takut menghadapinya."

"Tidak juga."

"Kau bahkan tidak mau membicarakannya."

"Aku membicarakan seks sepanjang hari."

Menjaga suaranya tetap rendah, Seongwoo terus menempel Minhyun bahkan sampai wanita itu keluar gedung dan mengarah ke tempat parkir.

"Kau bisa membicarakannya, tapi jika urusannya pribadi, kau tak bisa menanganinya."

"Aku sudah bilang, selamat malam."

"Ayolah, Min." Seongwoo meraih lengan Minhyun lagi, tapi wanita itu mengibaskannya sampai lepas.

"Lihat, kan? Baru disentuh saja kau sudah gugup!" Seongwoo meneriakinya selagi Minhyun bergegas ke mobil. "Jika kau tak bisa bermaksud menjual, jangan pasang iklan!"

Begitu keluar dari tempat parkir, tangan Minhyun sudah tak gemetaran, tapi dia masih kewalahan. Ego dokter itu luar biasa besar dan tak tertahankan. Berani-beraninya dia membiarkan beberapa kencan makan malam mereka berkembang sampai ke tempat tidur?

Saat berhenti di lampu merah yang menyala lama di salah satu persimpangan kota yang terkenal padat, Minhyun merebahkan kepala di kedua punggung tangannya yang mencengkeram kemudi. Mungkin Seongwoo benar. Mungkin dia memang tegang mengenai hubungan seks. Hormon-hormonnya yang sehat tidak ikut mati bersama Jonghyun, tapi dia juga tak merasa nyaman memuaskan kebutuhannya dengan pria mana pun yang tersedia.

Apa yang seorang janda baik-baik —yang memiliki satu anak dan hidup di zaman ketika orang-orang melakukan seks yang aman—harus lakukan dengan dorongan hasratnya ketika objek gairahnya tak lagi ada? Pertanyaan sulit. Terlalu sulit untuk dipikirkan petang ini.

Hari ini dimulai dengan tidak begitu baik saat sarapan, dan dari sana kondisinya menurun dengan tajam. Yang benar-benar dia butuhkan adalah melepaskan beban kepada seseorang yang mau mendengarkan dengan telinga yang sepenuhnya objektif.

Tanpa memedulikan kegusaran pengendara lain, ketika akhirnya lampu merah berganti hijau, Minhyun berpindah jalur dan alih-alih lurus, dia berbelok ke kiri.

.

.

"Selamat tinggal, selamat bersenang- senang di akhir minggu yang panjang ini," kata Jisung kepada Daniel saat pria itu keluar kantor.

"Rencananya begitu. Besok pesawatnya berangkat pagi. Jangan pulang tepat jam lima. Mulai akhir minggumu lebih awal."

"Terima kasih. Akan kulakukan."

Lift yang membawa Daniel dalam hening ke tempat parkir basement merupakan lift berteknologi canggih seperti semua bagian gedung yang menjadi kantor perusahaan pialang sahamnya. Dia bertukar sapa dengan para profesional muda lain yang akan mengakhiri hari.

Di antara mereka ada wanita pengacara dengan kaki sejenjang rusa dan mata seperti rubah. Mereka sudah saling pandang selama berbulan-bulan. Dia pikir minggu depan merupakan waktu yang tepat untuk bertindak. Dia bisa melatih rubah untuk jadi licik. Yakin akan sukses dengan pengacara berkaki jenjang itu.

Daniel bersiul saat meninggalkan lift dan mendekati mobil sport-nya. Senyumnya berangsur pudar saat melihat ada amplop diselipkan di wiper kaca depan. Bahkan sebelum membuka dan membaca surat singkat di dalamnya, dia sudah punya firasat takkan menyukai isinya. Dia benar. Dinding-dinding beton tempat parkir menggemakan teriakan kekesalannya.

"Bagus," gumam Daniel sembari menyelinap ke balik kemudi dan menyalakan mobil. "Bagus sekali."

Matahari nyaris terbenam begitu dia tiba di gedung apartemennya yang menjulang di Turtle Creek. Sesuai janji, dia mampir ke gym dan melampiaskan kefrustasiannya sepanjang hari ke peralatan-peralatan kebutuhan Nautilus dan lapangan basket.

Menepi ke pintu masuk gedung parkir, tempat seorang petugas valet berseragam melangkah maju untuk mengambil alih mobilnya dan memarkirkannya untuk worth, dia memperhatikan seorang wanita menarik yang berdiri di trotoar, bersandar di mobil.

Saat melihatnya, wanita itu tersenyum dan melambai. Daniel balas melambai, mengambil tas gym dari jok penumpang dan memberi tip kepada petugas valet, kemudian berlari kecil melintasi rerumputan ke tempat wanita itu memarkir mobil.

"Ya ampun, senang sekali melihatmu." Dia menarik wanita itu dan memberinya pelukan erat. Hwang Minhyun merebahkan kepala ke bahu Daniel dan balas memeluk. "Aku juga."

.

.

TBC

.

.

Author Note :

Ini adalah hasil remake atau edited dari novelnya Sandra Brown dengan judul yang sama. Aku cuma ganti nama aja, dan nambahin beberapa hal ke dalam ff ini. Dan kalau kalian nanya, kenapa nama tempatnya nggak diubah? Karena ya begitu, aku terlalu malas buat cari tempat-tempat di KorSel yang vibenya sama kaya di novel ini. Dan juga, pengen aja buat ff dengan tema western. (Meskipun sekarang masih ngeremake, tapi doain biar authornya bisa bikin sendiri nanti.)

Dan maaf, aku belum bisa ngelanjutin ff yg lain, lagi mentok ide soalnya. Tapi nanti dilanjut kok.

Ini awalnya emang mau dibuat jadi OngHwang. Tapi setelah dipikir-pikir, lebih cocok buat NielHwang (Dan aku emang udah jadi shipper mereka).

Btw, ada yg udah pernah baca novel ini 'kan? Ku suka banget ceritanya hehe xD. Makanya ku remake.

Mohon saran dan kritiknya ya~

Mau bash atau flame juga boleh kok.

See you next chap!

9 September 2017

Panda