Hinata tahu hidupnya tidak akan pernah berubah, ia membenci semua orang yang menatapnya sama. Namun ia tahu, menyesali hidup hanya akan membuatnya tidak jauh lebih baik. Ia hanya ingin sendiri, dalam sebuah ruangan tenang dengan pena dan kertas. Ruangan di mana mereka yang tidak benar-benar mencintainya tidak dapat masuk, ruangan di mana ia tidak akan lagi merasa muak terhadap sesuatu. Ruangan di mana ia akhirnya dapat bahagia...
"Aku mencintaimu..."
Andai kata umpatan mampu membungkam segala omong-kosong yang terucap dari seseorang pria yang ia cintai itu, ia akan dengan suka rela membayarnya meski harus dengan mengorbankan nyawanya sekaligus. Namun ia tahu, sebanyak apapun ia mengutarakan kebencian pada mereka yang menyiksanya, itu tidak akan memberikan kepuasan dalam hidupnya selain penyesalan karena ia menjadi sama seperti mereka.
Bukan salah Sai yang memilih wanita lain.
Bukan salah wanita itu yang ingin memperjuangkan kebahagiaannya ...
Bukan salah Tuhan yang ingin membuatnya semakin lebih kuat lagi ...
Ini salahnya, yang tidak mampu mempertahankan kebahagiaannya sendiri ...
Dan bila waktu yang Tuhan janjikan kepadanya untuk berbahagia tiba ...
Ia akan berkata dengan lantang, bahwa ia mampu menunggu janji itu dengan kelapa terangkat bangga.
Bahwa hal luarbiasa yang terjadi dalam hidupnya adalah berkah dan bukti cinta kasih-Nya kepadanya ...
"Selamat atas rencana pernikahanmu."
Ah ... Hinata tidak pernah tersenyum setulus itu, hanya kali ini di tempat di mana ia membuang segala rasa cintanya yang tersisa hadapan pria itu.
"Terima kasih..."
Ah, rasanya sakit sekali...
Tetapi ... tidak apa ...
Karena ia akan selalu baik-baik saja.
oOo
Aku hanya ingin tersenyum dengan senyum yang sesungguhnya...Tanpa berpura-pura dengan bersembunyi pada kata: aku selalu baik-baik saja.
OoO
