Title: THE BLACK SHADOW
Declimer: Gakuen Alice belong to Tachibana Higuchi
Rated: T
Warning: AU, OOC, Gaje, typo(s), dan begitu banyak kekurangan lainnya
Genre: romance & crime (gomen kalau salah genre, author juga bingung masalahnya)
.
Happy reading ^0^
.
Matahari masih bersembunyi malu-malu dibalik awan, enggan memperlihatkan cahayanya yang gagah perkasa. Hujan memang sudah berhenti sejak 1 jam yang lalu. Meninggalkan bau khas tanah yang masih basah. Para manusia mulai mencoba merangkak memulai aktivitas. Sedikit demi sedikit setiap orang keluar dari tempat persembunyiannya. Rutinitas yang selalu terjadi sehari-hari kembali tergerak membentuk roda kehidupan yang terus berputar.
Setiap orang sibuk terhanyut dengan pikiran dan pekerjaan masing-masing. Anak-anak kecil berlari-larian disetiap lorong jalan yang cukup sempit itu. Sesekali mereka tertawa girang tanpa mengetahui ada sosok yang terus memperhatikan mereka. Melalui sebuah jendela gelap di salah satu sudut perumahan. Seorang gadis kecil tersenyum membayangkan dirinya bermain-main bersama teman-temannya yang bahkan tidak pernah menyadari keberadaannya. Gadis kecil malang yang hanya selalu memandang, dan sesekali merengek pada bundanya agar bisa keluar dan menghirup udara segar di luar rumah.
Tapi mimpi hanyalah akan menjadi mimpi bagi gadis kecil malang itu. walau dia harus mengeluarkan berliter-liter air mata pun, sang bunda takkan pernah mengijinkan gadisnya berjalan keluar. Entah apa yang dipikirkan sang bunda, bahkan ketika gadis itu meminta alasannya, bundanya hanya dapat menjawab dengan sebuah senyum yang penuh kasedihan. Sang ayah hanya memandang mereka dengan sebuah pandangan yang takkan pernah bisa diartikan oleh gadis sekecil dia. Dan tentu saja itu takkan pernah menjadi sebuah jawaban yang memuaskan untukknya.
Sang gadis menyadari ada banyak hal yang berbeda terjadi dikeluarganya. Tapi otak kecilnya bahkan belum mampu mencerna keseluruhannya. Yang dia tau hanyalah setiap apa yang dikerjakan dia dan orang tuanya sangat berbeda. Ayahnya selalu pulang subuh setelah pergi semalaman dalam keadaan yang aneh. Setidaknya memang aneh bukan jika ayahnya yang selalu tegas dan tak banyak bicara itu pulang dengan jalan sempoyongan dan selalu meracau dengan kalimat-kalimat yang bahkan tak dia mengerti. Sepanjang harinya ayahnya hanya tidur, padahal setiap orang pergi beraktivitas justru disiang hari, seperti yang sering dia lihat di jendela ketika para orang tua pergi dengan pakaian yang cukup rapi setiap paginya. Serta ibu-ibu yang sibuk berbelanja di warung pojok jalan yang masih dapat dia lihat melalui jendelanya.
Begitu juga dengan bundanya. Bunda tercintanya itu memang tidak berjalan sempoyongan setiap pulang, dan juga tidak tidur sepanjang hari. Dia masih berusaha membersihkan rumah dan memasak untuk gadis kecilnya. Tapi tetap saja sang bunda selalu pergi malam dan baru pulang ketika subuh menjelang bersama ayah. Sang gadis mengetahui ini karena tiap malam ketika mereka pulang, mereka selalu tertawa dengan begitu nyaring dan membuat sang gadis terbangun dari tidur lelapnya. Entah apa yang mereka tertawakan, gadis itu sama sekali tidak pernah tau. Dan dia juga tidak pernah memiliki keberanian untuk bertanya.
Dan keanehan yang paling mengganggunya adalah kenapa dia tak pernah diperbolehkan keluar rumah. Dulu dia memang sesekali berani untuk kabur dan bermain diluar. Walau bermain yang dia maksud hanya sekedar berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Tapi itu dulu ketika Subaru dan Mikan masih bersamanya. Kakak laki-lakinya itu sudah pergi beberapa tahun yang lalu untuk mengerjakan tugas yang bahkan tidak dimengertinya. Sejak saat itu Subaru berubah menjadi lebih dingin dan sama sekali tidak menyenangkan. Lagi pula dia hanya pulang jika ayah menyuruhnya mengerjakan suatu tugas.
Mikan adiknya yang cukup berani dan selalu menentang kedua orang tuanya itu telah mati beberapa bulan yang lalu. Gadis itu sama sekali tidak tau kapan dan kenapa adiknya mati. Yang dia tau dia hanya menemukan kepala adik tercintanya itu di dalam bak mandi rumahnya. Saat itu sang gadis kecil baru saja bangun dari tidurnya, dan memutuskan untuk pergi mandi. Dan disanalah dia melihat Mikan atau yang lebih tepatnya kepala Mikan. Sebagai gadis kecil yang tidak mengerti apapun dia hanya menangis dan meronta. Tapi tak ada 1 orang pun yang mendengarnya. Hingga dia memutuskan untuk mengubur kepala adiknya di sebelah pohon mangga di depan rumahnya dengan tangannya sendiri.
Dia sama sekali tidak tau apa yang terjadi saat itu. Dia sudah mencoba mencari-cari tubuh Mikan, dan nihil. Dia juga telah menceritakan semuanya pada ayah dan bundanya, tapi mereka bahkan hanya mengatakan sesuatu yang tak dapat dia mengerti. "Itu adalah bagian dari tugas, dan kau harus terbiasa". Entah apa yang dimaksud oleh ayah dan bundanya, dia sama sekali tak dapat memahaminya. Tapi dia tau satu hal bahwa itu berarti kedua orang tuanya tidak ingin dia menanyai lebih lanjut apa yang terjadi. Sehingga sang gadis hanya terdiam dan melakukan rutinitas yang biasa dia lakukan, memandangi jendela.
.
.
"KYAAAAAAAAA…." Sebuah jeritan panjang penuh kesakitan memberi sebuah lagu baru bagi malam yang sunyi senyap. Hanya sesekali terdengar auman serigala di puncak bukit bersalju yang dihiasi pohon cemara yang menjulang tinggi. Rembulan bersinar menyinari tanah bercampur salju yang dihujani lautan darah di beberapa bagiannya. Jejak langkah kaki manusia yang tertawa ditengah jeritan mencekam tadi perlahan lenyap ditindih lapisan-lapisan salju yang terus meninggi mengubur sisa-sisa perbuatan tercela yang dilakukannya.
Malam 25 bulan Desember dimana setiap penduduk sedang khidmat menyanyikan sebuah nyanyian kudus di tiap-tiap gereja. Sesosok gadis berambut hitam hanya berjalan menunduk berusaha menjauhkan diri dari siapa pun, berjaga-jaga agar tidak terlihat mencurigakan ditengah-tengah warga yang sedang berbondong-bondong menjalani misa malam itu sedikit mengencangkan jaketnya, selain karena udara yang semakin menusuk tulang, juga untuk mengurangi bau anyir darah yang belum bisa hilang meski dia telah mencuci bekas darah di danau yang sempat dia lalui tadi.
"Saya sudah menyelesaikannya, sesuai permintaan anda." Sang gadis mengeluarkan suara dinginnya diponsel yang sedang digenggamnya.
"Hn, Kau memang selalu bisa ku andalkan Hotaru. Temui aku di kantorku besok, dan aku akan memberikan bagianmu." Terdengar sebuah suara pria diseberang telepon.
"Baiklah." Perlahan tangan kecil Hotaru mematikan ponsel berwarna hitam itu. Dia menghembuskan nafasnya perlahan dan melanjutkan perjalanannya menuju sebuah stasiun yang jelas-jelas sepi menunggu kereta selanjutnya.
.
.
"Bolehkah saya masuk?" Sebuah suara dingin yang sangat Natsume kenal terdengar didepan pintu ruang kerjanya.
"Hn, aku memang sudah menunggumu Hotaru." Natsume yang memang sedang sibuk dengan dokumen-dokumennya hanya sedikit menoleh pada Hotaru yang perlahan masuk.
Natsume menarik nafasnya sedikit dan perlahan menjauhkan dokumen-dokumen yang tadi dipegangnya.
"Kau menangkap kelinci itu dengan sangat baik Hotaru." Sebuah senyum tipis yang sangat sekilas terlihat diwajah tampan Natsume. "Ini bagianmu." Natsume melemparkan setumpuk uang pada Hotaru yang sekarang duduk di seberang meja dihadapannya.
"Terima kasih." Hotaru mengambil uang itu dan menyimpannya didalam tas tangan yang memang dibawanya. "Apa ada lagi yang dapat saya lakukan?"
"Bisakah kau tidak selalu menggunakan bahasa yang terlalu baku heh? Bukankah kita berteman?" Hotaru yang mendengar permintaan Natsume hanya terdiam.
"Baiklah, aku punya sebuah tugas untukmu." Natsume menarik nafas perlahan untuk memberi sedikit jeda. "Luca Nogi, Seorang kepala kepolisian intel yang bertugas membongkar seluruh kedok the black shadow." Natsume menunjukkan sebuah foto ukuran 3x4 kepada gadis di hadapannya.
"Apakah saya harus membunuhnya?" tanya Hotaru setelah dia melihat wajah yang terpampang difoto yang tadi diberikan oleh Natsume.
"Bukan, Tapi kau harus menikahinya." Terdengar sebuah suara yang sangat tenang keluar dari bibir Natsume.
"Apa? Tapi…" Hotaru yang jelas bingung dengan tugasnya kali ini sama sekali tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya.
"Hn, hanya kau yang dapat melakukan tugas ini Hotaru. Aku hanya dapat percaya padamu. Aku ingin kau menikahi Luca, dan mencoba mengorek informasi dari kepolisian agar kita bisa bergerak bebas. Kau tidak mau The black shadow diketahui oleh kepolisian bukan? Hanya ini yang dapat kita lakukan. Kau mau kan?"
"..."
"Jika kau mau, Luca selalu ada di restoran cepat saji 'Alice' setiap jam 2 siang. Jika kau tertarik dekatilah dia. Dan usahakan agar kalian bisa cepat menikah. Jangan pikirkan biayanya, aku pasti akan membayarmu mahal." Sebuah senyum licik tergambar di wajah Natsume, senyum yang biasa dia tujukan setiap dia meyakini sesuatu.
Hotaru hanya mengangguk dan menyimpan foto Luca yang akan menjadi kelinci selanjutnya. "Akan saya pikirkan."
Hotaru bangun dari duduknya dan perlahan pergi meninggalkan ruangan yang hanya diisi oleh Natsume itu.
.
.
Hotaru sedang berada di restoran Alice tepat seperti yang dikatakan Natsume, Luca selalu ada disana setiap jam 2 siang. Sudah 3 hari ini Hotaru memperhatikannya. Biasanya Luca selalu makan bersama beberapa anggota kepolisian lainnya, tapi kali ini dia hanya sendiri. Ini merupakan sebuah kesempatan bagus untuk Hotaru. Perlahan dia berjalan menuju meja tempat Luca berada, sambil memilah-milah kata apa yang tepat untuk diucapkan didepan pria itu.
"Ternyata selama ini kau bersembunyi disini heh?" Dengan sangat tiba-tiba Hotaru berteriak pada Luca yang sedang menikmati kopinya.
"Ap..? Kamu siapa?" Raut kaget dan bingung jelas tergambar diwajah tampan Luca yang memang tidak tau apa-apa.
"APA? Ga usah pura-pura ga kenal deh. Hiks…" Hotaru memulai aktingnya dengan berpura-pura menangis "Kau, Hiks, kau bilang, hiks, kau janji padaku, Kau akan menikahiku 3 bulan yang lalu. Hiks, aku sudah menunggumu, hiks dan kau malah asik-asik disini. Mana janjimu? Hiks…"
"Janji? A..aku ga pernah berjanji seperti itu padamu. Bahkan aku belum pernah mengenalmu."
"Kau memang laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Kau bahkan tak mau mengakuiku. Dasar laki-laki bajingan." Hotaru menampar wajah Luca yang semakin kebingungan dengan sangat keras dan berlari menuju pintu keluar restoran tersebut masih dengan isakan palsunya.
"Tunggu, Baiklah aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu." Luca memegang tangan Hotaru untuk menghentikan langkah gadis itu. Dia memang tidak mengenal Hotaru, tapi dia benar-benar tidak tega membiarkan seorang gadis menangis karenanya.
"Benarkah?" Sebuah senyum yang tentu saja palsu ditampilkan oleh Hotaru.
"Hm." Luca mengangguk dan tersenyum. Hotaru langsung memeluk Luca. Semua yang sedang berada di restoran itu langsung bertepuk tangan dengan meriah melihat kejadian itu.
Luca yang merasa bingung itu berfikir mungkin saja gadis dipelukannya ini kehilangan kekasih yang mungkin mirip dengannya, sehingga salah mengenalinya. Lagi pula menurutnya tak rugi bisa menikah dengan gadis secantik ini. Sedangkan Hotaru merasa sangat gembira karena tidak begitu sulit membohongi Luca. Jika awalnya saja mudah, dia sangat yakin tidak akan sulit mengorek informasi yang dibutuhkannya. Tugasnya akan berjalan dengan lancar, dan uangnya tetap mengalir. Tanpa ada yang menyadari Hotaru menyinggungkan sebuah senyum licik sekilas diwajahnya.
.
~~TBC~~
.
A/N: Yosh! Thiex author yang paling ga becus ini membuat satu fict lagi. Padahal fict yang lain ga ada yang selesai ==". Sebenarnya ini fict rencananya cuma jadi one-shot tapi kayaknya kok jadi multichap ya? . oh ya gomen Mikannya thiex bikin mati, habis thiex bingung siapa yang harus memerankan *?* nya. Ini fict terinspirasi dari sebuah film perang yang thiex tonton. sadis banget lho, kepalanya yang kalah perang tuh dipenggal terus ditumpuk jadi satu. Tanah saljunya jadi kayak lautan darah, banyak banget yang mati. Tapi thiex paling kasian sama kudanya sih. ga tau apa-apa eh malah kena tembak juga. oke lupakanlah A/N paling ga peting sedunia ini.
.
MIND TO REVIEW?
