Disclaimer: Ragnarok Online bukan punya saya.

A/N: Bab 'Birth' sudah diedit dan direupload ulang. Ada satu-dua chapter yang digabungkan supaya lebih efisien sehingga sisanya tinggal 12 bagian. Nggak usah baca lagi, akhirnya juga editannya ga gede2 amat, cuma merapikan satu-dua momen yang nggak penting dan inkonsisten. Eniwei.

Nikmatilah ceritanya.

A/N2: Karena Formatting di lebih membuat stres daripada menjadi penanggung jawab untuk kebocoran minyak BP, aku memutuskan untuk menghapus SEMUANYA dan mengupload ulang ceritanya supaya kali ini formatting bisa dilakukan dengan lebih rinci.

Seriously, I hate this story editing system D:


Chapter 1-1

Birth

Gadis itu terbaring di hamparan rumput di atas tebing di pinggir laut, dalam posisi fetal, tertidur pulas. Ia berambut pirang pendek, bertubuh kecil kurus, pendek, dan mengenakan seragam Novice.

Angin meniup rumput yang menggelitik wajahnya, dan ia membuka mata.

Hal yang pertama kali dilihatnya adalah sepatu bot coklat. Yang pertama kali diciumnya, bau rumput tercampur bau laut. Yang pertama kali dirasanya, rumput dan tanah yang empuk di bawahnya. Yang pertama kali didengarnya, suara lembut seorang pria yang berkata, "Halo."

Ia berguling, sehingga ia terlentang, menatap langit. Panas dan terang menerpa wajahnya. Matanya menyipit. Ia bisa melihat seorang pria berdiri di dekatnya, tapi wajahnya tidak kelihatan karena sengatan sinar matahari. Pria itu mengulurkan tangan, dan gadis itu mengambilnya.

Ia berdiri, tetapi lututnya melemas dan ia jatuh langsung ke dekapan pria itu. Sang pria memegang bahu gadis itu, dan meluruskan badannya. Gadis itu melihat sekeliling—segalanya buram. Ia mengusap matanya dengan kasar, mencoba sadar dari kantuknya. Ia terhuyung-huyung, seperti orang yang teler karena kebanyakan minum.

"Halo?" Pria itu berkata sekali lagi. Judith bisa melihatnya dengan jelas sekarang; ia bermata coklat, berwajah mulus. Kulitnya, rambutnya yang panjang dan berponi, bajunya, dan sarung tangannya semuanya putih.

"Halo? Judith? Kamu tahu nggak namamu Judith?" Pria itu mengguncang-guncang gadis itu, seolah berharap membetulkan otaknya.

Judith berkedip. Lalu, seolah guncangan pria itu telah membetulkan otaknya, matanya melebar dan dunia sekelilingnya mulai masuk akal. Sekarang ia sadar bahwa benda biru yang besar itu adalah laut, garis di ujungnya adalah cakrawala, dan pria yang memegangnya adalah orang asing.

Judith membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar. Tampaknya ini sudah cukup bagi pria berambut putih itu. Ia tersenyum.

"Aku akan menganggap kamu barusan akan bertanya, 'di mana ini'," ia berkata, melepas pegangannya. "Di sini Rune-Midgard. Kamu adalah Judith. Aku Shigel," pria berambut putih itu menghitung dengan jarinya, satu-persatu. "Terus...Oh ya. Kamu sudah mati."

"Oh," Judith bersuara. "Ini di mana?"

"Rune-Midgard," Shigel mengulang.

"Itu di mana?"

"Dunia maya," Shigel menjawab enteng.

Sunyi. Lalu:

"Ini surga?" tanya Judith.

"Menurut kamu?"

Kalau pikiran Judith sedang jernih, dia akan berpikir, 'tempat ini tidak mirip surga'. Lalu, memulai debat filsafat dengan dirinya sendiri, ia akan berpikir lagi, 'tapi siapa yang tahu surga seperti apa?'. Tapi sekarang kepalanya pening dan ia tidak bisa berpikir apapun.

Judith membenamkan muka di telapak tangannya. Ia mencoba mengingat sesuatu, apapun.

Dan pada saat itulah ia sadar ia tidak ingat apa-apa.

"Aku kenapa?" tanyanya.

"Kamu mati," Shigel menjawab. "Kena peluru nyasar. Gedung Lyto dekat sama tempat kejadiannya. Sayangnya, kamu nggak ketolong lagi. Makanya, bos nempatin kamu di sini."

Judith membuka mulut sedikit. Aku sudah mati, batinnya. Bagus sekali.

"Terus?" kata Judith.

"Terus apa?"

"Sekarang bagaimana?"

Shigel terdiam. Lalu: "Kamu kok percaya banget sih kalau kamu udah mati?"

"Kamu bohong?" Judith bertanya balik.

"Nggak. Kamu tahu Ragnarok Online?" Shigel bertanya.

Judith mengangguk secara otomatis. Lalu ia sadar kalau ia ingat sesuatu.

Ragnarok Online.

Itu kan—

Lalu dia tidak bisa mengingat apa-apa.

"Bagus. Jalanlah ke istana itu. Di sana kita bisa ngomong. Sampai ketemu lagi."

Sebuah tiang cahaya tiba-tiba menyelubungi Shigel. Setelah tiang langit itu meredup, Shigel sudah hilang.

Tanpa buang waktu, Judith berjalan ke atas jembatan menuju istana yang dituju Shigel. Entah bagaimana, ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Dan, jauh dalam pikirannya, dia sama sekali tidak terkejut kalau dia sudah mati.