Assassination Classroom by Yuusei Matsui
.
Warning : OOC, Typo(s), genre dipertanyakan.
.
Selamat membaca!
.
Permen karet; makanan manis yang sulit dikunyah dan bisa dibuat menjadi gelembung. Bubble gum.
Bukan kata yang wow. Juga bukan benda yang istimewa. Kehadirannya lah yang spesial. Penelitian mengatakan itu bisa mengurangi rasa stress.
Setidaknya itu yang Asano dengar. Dan ia menyangkal penelitian yang dilakukan oleh para orang bergelar prof itu. Menurutnya hasil mereka adalah kebohongan besar. Dusta.
Bunyi ctak ctok yang dihasilkan dari setelah meletusnya balon permen karet serta kumpulan alphabet berbunyi nyam nyam itu sama sekali tidak meredakan stres. Sebaliknya, malah menimbulkan stres.
Asano melirik kesal Sakakibara Ren yang berbaring membaca dokumen sambil mengunyah permen berwarna merah muda kenyal itu. Pemuda itu begitu santai dengan apa yang dilakukannya.
Tidakkah dia sadar bunyi dari kunyahan dan letusan permen karet itu mengganggu konsentrasi Asano? Hei, dia bukan orang yang suka bekerja saat tidak bisa berkonsentrasi.
"Ehem."
Asano berdehem. Tujuan utama untuk menegur tidak langsung sekretaris OSIS-nya, tujuan lainnya untuk melegakan tenggorokannya yang kering. Demi apa ia sangat ingin mengutuk ayahnya yang bahkan tidak menyediakan segalon air di ruangan itu. Sepelit itukah Asano Gakuho?
Bicara soal haus. Apakah Ren tidak merasa kekeringan tenggorokan karena kunyahan yang intens itu? Apa ia menelan ludahnya yang melimpah berkat permen karet itu?
Asano mengernyit jijik membayangkannya.
Oh, shit! Kenapa aku berhenti bekerja hanya karena permen karet?
Ctak! Ctok!
Nyam! Nyam!
Asano menggenggam keras pensil di tangannya. Ia melirik Ren tajam. Terlihat mengintimidasi.
Ia sudah susah payah mendapatkan konsentrasinya setelah berdebat mengenai apa enaknya mengunyah hal yang sudah tidak berasa lagi dan tiba-tiba suara dari benda yang ia pertanyakan kualitas gizinya itu kembali mengusik fokusnya.
Krak.
Asano mematahkan pensilnya. Ia melemparnya ke bak sampah dengan keras—disengaja. Agar Ren sedikit peka dengan apa yang dilakukannya pada Asano.
Sayangnya tidak. Pemuda yang kelewat narsis itu hanya melirik bak sampah sekilas. Berhenti mengunyah permen. Mengalihkan pandangan pada Asano.
Pemuda jenius itu melambungkan harapannya. Arti dari gestur tadi, apakah Ren juga akan berhenti memproduksi ludahnya lewat permen karet?
Nyam. Nyam.
Kau salah Asano. Salah besar.
Cukup. Asano sudah tidak bisa bertahan lagi. Ia tidak bisa tetap diam dan mengumpulkan konsentrasinya. Ia harus mencari sesuatu yang lain yang bisa melegakan otaknya yang penat karena sebab permen karet.
"Aku akan pergi membeli minuman. Kau titip sesuatu?"
Sekesal apapun Asano pada pemuda yang terlalu memanfaatkan keahliannya di bidang sastra tersebut ia tidak bisa mengabaikannya, karena notabenenya Ren juga bekerja di sana karena perintahnya. Ia bukan orang sejahat itu sampai menutup mata dengan sekitarnya.
"Kalau begitu permen karet."
.
.
.
"Thanks Asano-kun, permen karetnya. Akhirnya aku bisa membuang yang ini."
Oh, what the hell!
Asano menyesali keputusannya memberikan tawaran pada sesosok pemuja poni laknat yang masih santai berbaring di depannya sambil membuka bungkus permen karet barunya. Ia memandangnya sengit.
Bukh!
"Akh! Asano-kun kenapa kau melempar minuman kaleng padaku?"
"Untukmu. Tanganku tergelincir, maaf kalau sakit."
Tentu saja ia sengaja melemparnya ke perut Ren. Ingin rasanya Asano melihatnya tersedak permen karet yang baru saja di kunyahnya.
Satu. Dua. Tiga.
Nyam. Nyam.
Ctak. Ctok.
Suara-suara itu lagi. Asano mengusap poninya ke belakang. Demi apapun yang bisa dijadikan sumpah serapah, apakah Ren tidak merasa lelah dengan pipinya? Terus menerus mengunyah benda manis itu.
Gluk. Gluk.
Ah...!
Sekaleng jus jeruk terasa sangat menyegarkan. Manis alami—itu yang tertera dalam kemasan—lebih baik daripada permen yang tidak bisa habis itu.
"Yosh."
Niatnya mau melanjutkan pekerjaannya menulis laporan, tapi Ren tiba-tiba bangkit dan duduk di depannya dengan berkas-berkas yang dibacanya tadi ada di tangannya.
"Asano-kun, seperti yang kau bilang. Kita harus mengubah beberapa peraturan yang tertulis di sini."
"Hm?"
Satu gumaman itu dapat diartikan sebagai sebuah kalimat tanya dengan baik oleh Ren. Dengan mengandalkan kejeniusannya serta kedekatannya dengan Asano ia bisa tahu gumaman itu berarti bagaimana menurutmu?
"Menurutku beberapa siswa sudah mulai membangkang akhir-akhir ini. Kita harus memperketat peraturan. Aku akan membuatnya."
Asano tidak perlu bertanya atau bicara lagi, ia tahu Ren bisa menemukan solusinya. Sekarang ia harus fokus menyelesaikan bagiannya. Baiklah, sampai mana dia tadi—
Nyam. Nyam.
Ctak. Ctok.
Asano mendongakkan kepalanya. Ia menatap Ren yang masih saja serius membolak-balik kertas, sama sekali tidak bisa membaca aura kesal darinya.
Asano lapang dada. Mungkin ini cobaan untuknya. Ia berusaha menenangkan dirinya agar tidak mengucapkan sumpah serapah yang berada di dalam dasar daftar perbendaharaan katanya.
Manis.
Asano menegakkan punggung. Berusaha menjauh dan menjaga jarak dari Ren. Mulut pemuda itu menguarkan rasa manis dari permen karet yang dikunyahnya. Asano bukan kategori pembenci manis, tapi pemanis buatan permen karet itu sangat mengganggu hidungnya.
Berkali-kali pemuda keturunan duda muda nan tampan Asano Gakuho itu mengulang kata sabar yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Sugesti yang ia buat bahwa suara ctak ctok mengganggu itu adalah alunan musik klasik sama sekali tidak berpengaruh. Suaranya bahkan lebih menyebalkan dari suara tawa ayahnya yang ia warisi juga.
Langkah terakhir yang harus dilakukannya adalah secepat mungkin menyelesaikan tugasnya dan mengakhiri mendengarkan suara yang bersumber dari mulut Sakakibara Ren.
"Ren, aku selesai. Kita pulang."
"Oh, sudah ya? Aku sudah merevisinya, akan kulanjutkan besok."
Tidak ada kata bantahan dari Asano seperti biasanya, komentar tugas harus selesai sebelum pulang tidak ingin ia lontarkan—meskipun mulutnya gatal ingin mengatakannya. Tapi gangguan permen karet lebih mendesaknya untuk mengambil pilihan pulang sesegera mungkin.
Asano melangkahkan kakinya cepat, secepat dia bisa menjaga jarak dengan Ren agar tidak mendengar suara letusan kembang gula karet itu ataupun mencium baunya. Ia sudah muak.
Yah, tapi rencana hanya tinggal rencana. Ada sesuatu yang menahannya. Sesuatu di bawah sepatunya yang membuatnya kesulitan berjalan. Sesuatu yang menahannya. Seperti sesuatu yang lengket.
Permen karet.
Asano geram. Ia mengangkat kakinya dan menunjukkan sepatunya pada Ren. Tidak lupa dengan tambahan tatapan siap membunuh.
"Ups, sepertinya aku lupa kalau lemparanku tidak masuk tepat sasaran," ujar Ren (sok) polos. Ia menyeringai tanpa bersalah. "Lupakan saja Asano-kun, lagi pula itu hanya permen karet."
Hanya permen karet.
Asano mengulang satu kalimat sederhana itu beberapa kali.
Hanya permen karet.
Yap, hanya karena permen karet itu membuatku seperti orang yang depresi. Kau pikir aku akan memaafkan hanya permen karet itu?
Sayang sekali, Asano bukalah orang yang kelewat baik hati—bahkan terhadap benda mati sekalipun. Selain itu, kelapangan dadanya sudah habis digunakan untuk mentolerir suara ctak ctok permen karet tadi.
Asano berbalik langkah secepat mungkin. Ia kembali ke mejanya dan menduduki kursi yang masih hangat. Remaja itu langsung membuka laptopnya dan mengetik dengan cepat.
"Asano-kun, bukannya kau bilang sudah selesai dan mau pulang? Apa yang kau lakukan?" tanya Ren hati-hati. Bagaimanapun ia tidak ingin menyulut api amarah Asano.
"Menulis proposal permohonan penolakan penjualan dan peredaran permen karet di SMP Kunugigaoka."
"E-eh?"
"Dan yang diam-diam membawanya dikenakan skors selama seminggu."
"Alasa—"
"Karena suara kunyahan dan bunyi letusannya mengganggu."
"Tap—"
"Dan itu menyebabkan stress."
"Tunggu dulu Asano—"
Pemuda itu sudah kelewat kesal. Tanpa mendengarkan Ren ia pergi dari ruangan OSIS dengan sepatu yang dicopot.
Ren mendesah panjang. "Tahu begini aku tidak akan menggodanya agar mau memakan permen karet. Padahal rasanya enak."
.
.
.
Gakushuu bersungut-sungut kesal. Lembar tugas di hadapannya ia abaikan demi mengamati sang ayah tercinta yang menggelembungkan permen karet di mulutnya. Gakushuu mengetuk-ngetukkan pensilnya di meja.
Lagi. Bunyi yang sama mengganggunya bahkan di rumahnya.
Kami-sama, lenyapkan saja permen karet dari dunia ini.
"Ada apa Gakushuu? Kau mau?"
Asano senior menyodorkan sebungkus permen karet yang isinya baru berkurang satu. Tentu saja Gakushuu menggeleng dengan senang hati. Ia tidak akan menghianati nuraninya dengan memakan hal yang sudah disumpah serapahinya.
Gakuho menelengkan kepalanya. "Kenapa? Padahal rasanya enak."
"Itu membuatku stress."
"Penelitian membuktikan sebaliknya."
"Penelitiannya salah besar. Permen karet menyebabkan stress."
Gakushuu pergi dari ruangan itu. Ia berdecak kesal sambil menggerutu betapa menyebalkannya sebuah permen karet.
"Kau tahu, ada ramalan di dalam bungkusnya."
Asano Gakushuu tidak bereaksi.
"Tebak-tebakan."
"Tidak tertarik."
"Pengetahuan umum."
"Tidak lebih bagus dari pengetahuanku."
Asano Gakushuu, kau sombong, kelewat itu kau terlalu percaya diri. Penelitian tentang permen karet bisa meredakan stress itu tidaklah salah, bagi yang memakannya (mengunyahnya).
Tapi mungkin para ilmuwan itu juga harus meneliti akibat yang ditimbulkan dari mengunyah permen karet bagi orang lain.
