Our Story

Author: Evilosh_hd

Cast :

Main:

Oh Sehun

Luhan


Standard disclaimer applied

I own nothing except this story


oOo

Berdiam diri di bangku taman pada malam hari merupakan rutinitas wajib bagi Luhan. Apalagi jika pada siang harinya dia disuguhi dengan setumpuk tugas kantor dan celoteh bosnya yang selalu membuat kepalanya pening. Dia butuh menenangkan pikiran. Dia butuh kesendirian.

Luhan selalu menyukai kesendirian.

Kesendirian membuatnya terhindar dari kebisingan suara manusia yang menurutnya hanyalah segumpal kebohongan yang mengalir. Kesendirian mampu membuatnya menjadi dirinya sendiri, dia tidak perlu repot-repot bertingkah sesuai apa yang kehidupan sosial tuntutkan padanya. Bagi Luhan, kesendirian sama pentingnya dengan bernafas.

Luhan tidak ingat kapan terakhir kali dia memiliki teman. Selama ini pemuda mungil itu hanya beranggapan bahwa tidak ada gunanya untuk mengenal orang lebih jauh. Hanya mengetahui nama saja sudah cukup baginya. Jangan tanyakan soal kencan, jatuh cinta atau hal apapun yang berhubungan dengan itu, karena semua hal diatas adalah hal terakhir yang akan terlintas dipikirannya.

Luhan tidak butuh siapapun disampingnya.

.

.

.

.

Luhan tetap bertahan di tempat yang sama selama beberapa menit, sebelum dia melihat jam yang melingkar di tangan kirinya dan mendesah halus. Sudah pukul sebelas malam, itu artinya dia harus mengistirahatkan diri dan membiarkan energinya terkumpul seperti sedia kala. Melangkahkan kakinya perlahan, Luhan melewati jalan yang berbeda dari jalur yang biasa dia tempuh. Dia tidak tahu mengapa, dia hanya menuruti kata hatinya untuk melewati jalur tersebut. Kalau dipikir-pikir jalur tersebut memang lebih dekat, hanya saja penerangan yang ada disana lumayan minim.

Langkah Luhan terhenti ketika dia berada di depan sebuah gang. Kepalanya menoleh dan matanya yang sebening rusa fajar itu memicing melihat ke dalam. Telinganya barusan mendengar sesuatu yang asing yang berasal dari dalam gang tersebut. Luhan menelan ludahnya kasar, otaknya mulai dipenuhi dengan asumsi-asumsi aneh tak masuk akal yang menurutnya bisa saja terjadi.

Luhan menggelengkan kepalanya; menepis hal-hal absurd yang memenuhi otaknya dan mulai berfikir rasional. Berbekal keberanian yang ia paksakan, kakinya melangkah maju ke dalam gang gelap tersebut dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Makin ke dalam, suara asing tersebut makin terdengar jelas ditelinga Luhan.

Luhan mengerutkan dahi. Suara asing tersebut terdengar seperti suara besi berkarat yang saling bergesekan. Luhan sempat berjengit dan berpikir untuk kembali saja. Namun rasa penasaran yang bergumul dihatinya sama sekali tidak bisa berkompromi. Menghela nafasnya kuat, Luhan kembali berjalan dan berhenti ketika melihat sesosok manusia yang sedang menyandar dengan kepala yang menunduk dalam.

Luhan mendekat dengan hati-hati, dia berjongkok disebelah sosok tersebut dan menyentuh pundaknya perlahan.

"Jogiyo…"

Luhan menggerakkan pundak sosok tersebut beberapa kali namun tidak ada respon. Lelaki itu kemudian menyentuh dagu sosok tersebut untuk melihat bagaimana rupanya. Dia sedikit berjengit ketika merasakan kulit yang kelewat dingin dari sosok tersebut namun tetap mengangkat dagunya.

Nafas Luhan berhenti untuk sejenak, dia terlalu terpesona dengan pahatan sempurna pada wajah pemuda yang ditemukannya itu. Garis wajahnya tegas, hidungnya lancip dengan alis yang tebal membuatnya terlihat sangat mempesona. Menggelengkan kepalanya, Luhan memutuskan untuk membawa pemuda itu ke apartemennya dengan alasan yang ia sendiri juga tidak tau.

.

.

.

.

Luhan menatap sosok yang terbaring diranjangnya dengan tatapan bingung. Dia bukan dokter, dia juga tidak tahu bagaimana menangani orang sakit karena dia memang tidak pernah melakukannya. Luhan berjalan mondar-mandir di depan ranjangnya sebelum matanya melebar dengan seulas senyum yang terukir.

Luhan keluar dari apartemennya untuk menemui Suho –tetangganya yang berprofesi sebagai dokter. Luhan tau profesi Suho karena dia tidak sengaja bertemu Suho ketika pemuda itu pulang dari tempat kerjanya masih dengan jas dan stetoskop yang menggantung dileher. Setelah memencet bel apartemen Suho beberapa kali, pemuda itu keluar dan tersenyum manis kepada Luhan.

"Ada yang bisa saya bantu, Luhan-ssi?"

Luhan mengangguk. "Teman saya sakit, kulitnya sangat dingin dan pucat seperti mayat." Jelasnya.

Suho mengangguk paham. "Sebentar, saya ambilkan peralatan saya dulu." Ujarnya sebelum kembali masuk ke apartemennya.

Luhan menunggu Suho yang beberapa saat kemudian keluar dengan tas yang berisi peralatan kerjanya. Keduanya sampai ke apartemen Luhan dan Luhan menunjukkan Suho kamarnya. Suho mengamati sosok yang ada didepannya. Dokter muda tersebut meletakkan tangannya ke kening pemuda tersebut dan sedikit berjengit karena dingin yang tidak normal dari pemuda itu. Suho kemudian mengarahkan jemarinya ke depan hidung pemuda itu dan kembali mengerenyit bingung karena tidak ada hembusan nafas yang di keluarkan.

Suho mendudukkan dirinya di tepi ranjang, tangannya meraih lengan kiri pemuda pucat tersebut untuk memeriksa denyut nadinya. Kedua mata Suho melebar, dia segera meraih ponselnya dan menelpon seseorang. Raut wajahnya terlihat begitu serius dengan kedua alis yang bertaut angkuh.

Luhan yang sedari tadi hanya memperhatikan kini mulai dilanda panik. Bagaimana kalau pemuda yang ditemukannya tadi meninggal? Bisa-bisa Luhan dituduh menjadi tersangka pembunuhan atas pemuda yang tidak dikenalnya.

Tidak lama kemudian pintu apartemen Luhan terbuka, menampilkan sosok jangkung yang terlihat tergesa dan menerobos masuk ke dalam kamarnya. Luhan tau pemuda itu, dia adalah Chanyeol dan dia juga tau kalau tetangganya itu agak sedikit aneh.

"Suho hyung!"

Suho memberi isyarat Chanyeol untuk mendekat. Chanyeol menurut dan menunjuk sosok yang terbaring di ranjang. "Lihat lengan kirinya." Suho berujar singkat.

Chanyeol kembali menurut. Dia menggapai lengan pemuda itu dan memeriksanya. Reaksinya sama seperti Suho, matanya membulat lebar dan menatap sosok pemuda itu tidak percaya. Chanyeol kemudian mengalihkan tatapannya kepada Luhan dan menatapnya menyelidik.

"Luhan-ssi, dimana kau menemukan benda ini?"

Kedua mata Luhan membulat. "Be-benda?" Luhan malah balik bertanya.

"Ya, benda. Dia adalah robot, Luhan-ssi. Kau tidak tau itu?"

Luhan menggeleng, dia sama sekali tidak tau sosok yang tadi digotongnya dengan susah payah adalah sebuah robot.

"Kau menemukannya dimana Luhan-ssi?" Kali ini Suho yang bertanya, suaranya terdengar lebih bersahabat.

"A-aku menemukannya di gang dekat taman." Luhan menjawab jujur.

Helaan nafas panjang keluar dari bibir Chanyeol. "Agak sedikit mengherankan robot keluaran terbaru bisa lepas dari pengawasan." Ujarnya kemudian menatap Luhan. "Ini robot keluaran terbaru di tempat kakakku berkerja Luhan-ssi, robot ini dirancang untuk peka terhadap perasaan orang. Dan sekarang dia sedang kehabisan daya, aku akan menelpon kakakku untuk membawakan charger nya."

Luhan masih memasang tampang bingung saat Chanyeol meraih ponsel miliknya dan menghubungi kakaknya. Suho menepuk bahu Luhan beberapa kali dan memberikan senyum kepadanya.

"Apa yang harus aku lakukan?" Gumannya.

Suho mengendikkan bahu. "Aku tidak tahu, tapi untuk sementara aku rasa kau harus menjaganya."

Tidak lama, pria jangkung lain dengan tampang yang dingin masuk ke dalam apartemen Luhan dan membawa alat yang Luhan tebak itu sebagai charger dari robot tersebut. Pemuda yang Luhan ketahui bernama Kris tersebut mencolokkan alat tersebut ke stop kontak terdekat dan memasang alat tersebut ke lubang yang berada di tengkuk robot tadi.

Robot tersebut bereaksi dengan menggerakkan lengan kanannya. Lengan kanan atasnya kemudian menunjukkan sebuah bar daya yang masih terlihat merah. Luhan kembali dibuat melongo, dia baru sadar ketika Kris menepuk pundaknya dan berbisik.

"Aku titip dia dulu padamu."

Dan setelahnya, Suho, Kris maupun Chanyeol berpamitan dan meninggalkannya berdua dengan robot tersebut.

.

.

.

.

Luhan membuka matanya malas, dia melirik ke meja dan melihat jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Baru dia akan menutup kembali matanya saat tanpa sengaja dia melihat ada sosok yang berdiri di samping ranjangnya dengan senyum lebar.

"Halo!"

Luhan langsung terduduk, dia membulatkan matanya dan menguceknya beberapa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya tidak salah.

"Kau-"

"Halo Luhan, aku Sehun" Robot itu memperkenalkan diri dengan senyum yang lebar. Namun selanjutnya senyumnya hilang dan tergantikan oleh raut yang bingung. "Luhan kaget, Sehun boleh tahu kenapa?"

Mengerjapkan matanya berkali-kali, dia berdeham kecil sebelum akhirnya berbicara. "Kau bisa bicara?"

Robot yang memperkenalkan dirinya sebagai Sehun mengangguk. "Sehun seperti manusia, daya Sehun penuh. Sehun bisa mati, daya Sehun habis."

Luhan memijat kepalanya yang pening dan memejamkan mata. Dia sama sekali tidak tau bagaimana kedepannya nanti. Jika Sehun ada disini, bukankah dia tidak bisa lagi menyendiri? Dia tidak bisa lagi merasakan kesendirian yang selalu disukainya.

Luhan sedikit berjengit ketika merasakan dua tangan besar yang menangkup pipinya. Dia membuka mata dan menemukan wajah Sehun yang begitu dekat dengan wajahnya sendiri.

"Luhan sedih, Sehun tidak mau Luhan sedih." Ujarnya dengan nada rendah. Robot itu kemudian mengecup kening Luhan sekilas dan memberikannya senyuman manis.

"Ciuman bisa menghilangkan kesedihan. Sehun akan menghilangkan kesedihan Luhan. Sehun ingin Luhan tersenyum!"

-TBC-

A/N:

Saya terinspirasi bikin cerita ini setelah baca berita di BBC kalau Jepang akan menjual robot yang peka terhadap perasaan manusia namun sayangnya tidak memiliki perasaan. Maaf kalau ceritanya absurd :D

Mind to Review?