Naruto © Mashashi Kishimoto

Belyuva Sasuko Presents

Space Between Lies & Truth

Phrase 1

It Wasn't The Problem So Is The Class Greating

"Ne, Saku-chan, jangan khawatir." Rambut pirang pucatnya begitu menawan ditimpa pencahayaan terang di ruangan itu. Dan senyum lembutnya mampu menenangkan seorang gadis di depannya, "Yang penting untukmu, angkat kepalamu! Jangan menunduk dan singkirkan wajah masammu, beri penonton senyum menawan!" Tangan si pirang terangkat dan saat sejajar dengan dagu gadis yang dinasihatinya, jemarinya menyentuh dan meraih dagu itu untuk di angkat.

Kepalanya mendangak, tadi yang semula menunduk menyembunyikan iris emerald teduh. Senyum puas pun tercipta, namun kembali hilang saat si pemilik merasa ada yang kurang. Gadis pirang yang tadinya tersenyum melirikkan mata ungunya ke bibir gadis iris emerald tadi. Mengerti sinyal yang diberi, ia yang diberi sinyal tersenyum simpul dimana mata emeraldnya tidak menyipit, setelah menghela napas tentunya karna terpaksa.

"Ne?" Gadis musim semi tadi meminta pendapat dengan masih tersenyum.

"Woah, kau hebat, Shion. Kau berhasil membuat Sakura tersenyum!" Ia yang dipanggil Shion sedikit terkejut saat mendapati temannya yang lain di dekatnya.

"Kiba, jangan muncul mendadak begitu!" Bagi yang tidak mendengar Shion berbicara tadi, munkin mereka akan berpikir jika ia membentak teman laki-lakinya, Kiba. Namun, sebenarnya suara yang keluar hanya suara lembut khas Shion.

"Hehe, gomen, Shion. Aku hanya tidak percaya jika Sakura bisa tersenyum feminim seperti itu." Laki-laki itu tersenyum tipis. Walau ia berbicara pada Shion, namun matanya melihat Sakura. Sakura sendiri kembali memasang raut tajam dan membuang muka, tetapi matanya melirik sinis Kiba.

"Ara, sudahlah. Tapi, Sakura, kau dengar Kiba tadi kan? Kau punya senyum yang manis, jadi jangan disembunyikan begitu, sering-seringlah tersenyum." Shion menatap Sakura yang sedikit merah wajahnya, lalu terkikik geli dengan volume kecil.

"Kiba, jika kau tidak keberatan aku dan Sakura akan ke belakang panggung. Setelah ini adalah penampilan dance kami."

"Ya, silahkan saja, jaa ne." Lelaki bertato segitiga merah itu melambaikan tangannya pelan menatap kepergian dua teman sekelasnya. Iie, maksudnya dua mantan teman sekelasnya.

'Aku sudah berusaha dengan maksimal selama ini!'

.

.

Hiburan sudah lewat beberapa saat yang lalu dan sekarang adalah acara makan-makannya. Sekelompok gadis yang dulu mendiami kelas VI-C tampak berkumpul di meja pojok ruangan. Satu diantaranya, tentu saja Sakura. Gadis itu terlihat jelas jika ia tidak menikmati suasana yang ada, tidak mengikuti pembicaraan teman-temannya, dan sibuk dengan dunianya sendiri.

Shion yang melihat Sakura langsung menghampirinya dan menepuk bahunya, "Jadi, sekarang ada apa lagi?"

"Nandemonai." Sakura bergumam tanpa menatap Shion, hanya melirik tangan gadis pirang itu yang berada di bahunya lalu kembali melanjutkan makan. Shion menaikkan satu alis tanda bingung dan kemudian menduduki satu bangku kosong di sebelah teman pinknya. Mata ungunya menatap ke arah Sakura dengan tanya, tetapi ia tidak akan menuntut jawabannya, ia hanya akan menunggu.

"Hhh, kau tahu? Aku sudah berusaha keras selama tiga tahun ini. Aku.." Karena tanpa disuruh pun, Sakura akan memberitahunya.

"Y-ya, kita baru benar-benar dekat saat tahun terakhir. Kelas empat dan lima orang yang bisa ku anggap teman hanya satu, yaitu Matsuri. Aku selalu memerhatikanmu walau kita berbeda kelas. Kau pintar dan cantik, temanmu juga banyak karena kau ramah. Matsuri juga seperti itu,"

'Tidak seperti aku..' Rambut merah mudanya menutupi wajahnya, Shion ingin, tapi tidak bisa memastikan ekspresi Sakura saat ini.

"Jadi, aku berusaha untuk dekat dengan yang lainnya dan mencoba untuk tidak sibuk dengan duniaku. Aku juga meningkatkan nilaiku supaya tidak kalah, aku mencoba aktif dalam pelajaran." Shion yang mendengar hanya diam, dia tidak akan memotong Sakura. Lagipula ia juga tidak tahu harus berkata apa.

"Di kelas enam ini, aku senang bisa satu kelas denganmu dan Amaru. Dan ternyata kita juga bisa dekat, sampai-sampai kau mengajakku dan Amaru masuk kelompok dancemu untuk acara perpisahan." Sakura masih menunduk dan ia tersenyum tipis mengingat memori yang ia bangun dulu.

"Aku tidak mengerti arah pembicaraanmu." Shion akhirnya angkat bicara. Dan itu berhasil membuat Sakura untuk mendangakkan kepalanya, setelah itu ia tersenyum masam.

"Aku sudah berusaha keras untuk ujian akhir. Lalu hasilnya, nilaiku memang di atas Matsuri, cukup jauh perbedaannya sebenarnya. Namun, aku belum bisa mengalahkanmu." Mendengar itu Shion pun bereaksi, ia sedikit tersentak kaget tetapi kembali menunggu Sakura melanjutkan.

"Kau peringkat tiga, kau masuk tiga besar dalam paralel. Aku? Bahkan dengan nilaiku itu aku masih tidak bisa masuk sepuluh besar! Kau dengar pengumuman kelulusan tadi?! Aku diurutan empat belas. Padahal perbedaan poinku dengan poin lainnya yang di atasku hanya sedikit." Sakura kembali menunduk. Ia melampiaskan emosinya dengan menggenggam erat sendok dan garpu pada tangannya.

"Kau benar melakukan semua itu? Tapi itu prestasi yang bagus, kau tahu?" Shion berbicara setelah selama beberapa saat mereka terdiam, walau Sakura terlihat tidak perduli, tetapi ia tahu jika gadis merah muda di sampingnya itu mendengarkan.

"Aku tidak tahu. Ini menyebalkan, terserahlah!" Sakura memang membicarakan hal yang mengganggu ini karena mungkin bebannya bisa sedikit terangkat. Shion selalu menenangkan orang yang berkeluh kesah pada dirinya, jadi gadis Haruno ini berpikir mungkin ia bisa mendapatkan kembali moodnya walau hanya sedikit dengan kata-kata lembut Shion.

"Ne, aku tahu ini tidak ada hubungannya dengan apa yang kita bicarakan saat ini, tetapi aku sangat senang punya sahabat sepertimu, Saku-chan! Perkataanku memang tidak menyelesaikan masalahmu, setidaknya mungkin kau bisa tenang. Berusahalah lebih keras, aku yakin suatu saat nanti kau bisa mengalahkanku, ne? Kita 'kan sahabat." Tangannya meraih Sakura sambil terkikik kecil dan dengan tangan itu Shion memeluknya. Sakura tertegun dan semakin menunduk dalam, tanpa berniat membalas pelukan gadis bermata ungu yang mengaku sebagai sahabatnya.

Ya, Sakura salah. Dengan mencurahkan isi hatinya pada Shion dan mendengar kata-kata menenangkan gadis itu, Haruno Sakura hanya bertambah kesal tanpa beban yang meringan.

'Kau begitu baik, pantas saja aku iri padamu. Walau aku merasa ada yang… aneh.'

.

.

Waktu memang terasa cepat. Tiga tahun yang lalu gadis musim semi itu baru saja memulai kehidupannya di kelas empat sekolah dasar. Ia baru saja akan menjalani kehidupan baru dengan satu anak baru di kelasnya. Tetapi lihat sekarang, tiga tahun tersebut sudah berlalu, dan sekarang akan memasuki kehidupan lainnya. Kehidupan sekolah menengah pertama. Dimana saat ini mereka yang baru lulus sedang mendaftarkan diri di sekolah keinginan mereka.

Di dapur rumahnya, gadis itu hanya sibuk ke sana-sini. Membuka-tutup kulkas dan lemari-lemari makanan di sana. Ia pun menghela napas dengan wajah frustasi bercampur sebal. Baru ingin melangkah keluar dapur, laki-laki yang lebih muda darinya berjalan masuk.

"Kau baru pulang?" Sakura berbicara seraya memerhatikan laki-laki berambut bata tadi yang mengangguk membalasnya. Laki-laki tadi menaruh bungkusan yang dibawanya di atas meja makan, kemudian meraih gelas untuk diisi air minum.

"Eh? Apa itu?" Sakura yang tadi hanya bersandar di meja lalu berbalik dan mengambil bungkusan tadi. Tanpa mengeluarkan isinya secara menyeluruh, si pembuka sudah tahu apa yang ada di dalamnya.

"Wah, benarkah? Arigatou. Ne, ne, kau memang otouto yang perhatian, ya? Betapa kau memahami keadaanku yang butuh makanan saat ini." Haruno sulung itu mengeluarkan satu donat dari dalamnya dan langsung mencomotnya.

"Huuhh, nee-san. Bagaimana kau bisa diet jika setiap saat makan cemilan? Pantas saja tidak ada lelaki yang mau denganmu." Bocah delapan tahun yang adalah adik lelaki Sakura menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kakaknya yang begitu senang ia belikan makanan ringan.

"Ada, kok, yang mau denganku. Hanya mereka saja yang tidak cocok denganku." Sakura membuang muka dari adiknya supaya adiknya itu, Gaara, tidak melihat semburat merah tipis di pipinya.

"Ya, terserah saja." Gaara mengangkat bahu tanda tidak mau tahu dan berjalan keluar dapur meninggalkan anekinya untuk menuju kamarnya. Setelah kepergian Konohamaru, Sakura menolehkan kepalanya kembali dan menunduk. Seperti kecewa dengan kenyataan tentang dirinya.

'Hmm, walaupun itu benar.'

.

.

Hari libur tahun ajaran baru dimana mereka yang lelah dengan tumpukan buku beristirahat sejenak dengan refreshing yang pas dengan mereka. Tetapi tentu saja itu tidak berlaku dengan mereka yang lulus dan mencari sekolah baru, sama seperti gadis Haruno ini. Walau nilainya cukup tinggi, namun ia harus memantau sendiri peringkatnya.

Orang-orang yang berkumpul di satu bangunan sekolah itu benar-benar bising. Tampak topik hangat yang dibicirakan adalah calon murid baru di sekolah tempat mereka sekarang ini. Remaja-remaja tanggung yang mendaftar bisa langsung dikenali dengan pakaian mereka, yaitu seragam sekolah dasar. Yang dimana semua itu tidak berlaku bagi Sakura.

Haruno sulung ini duduk sendiri di salah satu kursi agak di ujung ruangan. Lepas dari atribut seragam sekolahnya dulu, ia mengenakan jeans hitam tepat di atas lutut dan atasan kaos putih dengan tulisan "Nothing Can Bring Me Down" berwarna abu-abu. Sebagai tambahan, ia lapisi kaos tersebut dengan rompi jeans warna hijau tua yang kancingnya ia biarkan terbuka. Dan sepatunya adalah sneakers berbahan jeans abu-abu. Satu lagi, tersampir di bahunya sebuah tas selempang sedang berwarna putih gading.

Yang gadis pink itu lakukan hanyalah menatap layar handphonenya dan jam tangan yang ia genggam, tidak dipakainya. Dengan kesendiriannya dan tampilannya, ia tak tampak terganggu dengan sekelilingnya yang bisa dibilang sedang membicarakan dirinya. Entah karena ia tak memakai seragam atau mungkin karena ia tampak paling berbeda dan mencolok di sana. 'Siapa perduli?' Sakura mendengus pelan. Dengan ia yang mengangkat dagu angkuh juga tatapan mencelanya, kelihatan sekali jika ia merendahkan tempatnya sekarang dan orang-orang yang membicarakannya.

'Ini menyebalkan. Kalau saja kaa-san memasukkanku ke SMP swasta, ini tidak akan terjadi.' Remaja bermata emerald itu menatap sekitarnya sejenak dan beralih melihat layar yang menampilkan nama-nama calon siswa yang bertahan untuk menjadi siswa baru SMP ini. Ia membuka tas selempangnya dan memastikan jika isinya tidak ada yang kurang. Lalu ia menyampirkannya lagi dan beranjak dari tempatnya duduk.

Baginya ia sudah cukup lama duduk di sana. Gadis itu juga muak mendengarkan ocehan orang-orang di sana. Suasana yang jauh berbeda dari kehidupan biasanya di swasta, melelahkan untuknya. Sakura memang terlampau tidak perduli dengan lingkungan, tetapi ia juga punya batas kesabaran. Satu-satunya solusi yang berhasil ia temukan hanyalah pergi dari sana dan pulang ke rumah.

'Cih, aku akan satu sekolah dengan serangga-serangga ini?'

.

.

Pagi dengan cuaca bagus sangatlah mendukung kelangsungan hari. Dimana pada jam ini gelombang manusia sudah meninggalkan tempat istirahat mereka dan melakukan kegiatan seperti biasa. Matahari memang sudah mulai naik dengan cahaya yang masih aman bagi kesehatan. Makin siang waktu, semakin sering pula deru kendaraan terdengar. Salah satunya yang ikut mendukung adalah mobil milik keluarga Haruno yang mengantar anak sulung mereka untuk ikut MOS hari terakhirnya.

Mata emeraldnya bergerak mencari objek bagus untuk diperhatikan di sepanjang jalan. Dagunya bertopang di tangannya dan bibirnya hanya berupa garis datar saat ini. Memang terlihat sibuk mencari hal bagus dikarenakan kebosanan yang datang. Menggunakan ekor matanya ia melirik ke pangkuannya dimana sebuket bunga mawar plastik berwarna putih berada di sana. Tangkainya yang diikat dijadikan satu digenggam tak terlalu erat oleh tangan kanannya.

'Huh, ini menyebalkan. Apalagi itu festival bertema bunga? Kalau mau buat, ya, buat saja. Tapi jangan menyuruh murid-murid sekolah untuk menyumbang bunga plastik seperti ini!' Baginya ini benar-benar mengesalkan untuk membawa sepuluh tangkai bunga plastik begini.

Selama sepuluh menit perjalanan menuju sekolah, yang Sakura lakukan hanya menggerutu. Menenteng sebuket bunga di tangan termasuk faktor yang mengganggunya. Awalnya ia berniat memasukkannya dalam tas, namun dilarang ibunya. Katanya nanti bunganya akan rusak.

'Cih, alasan macam apa itu?' Gadis itu mengingat perkataan ibunya lagi. Selagi menggerutu, gadis dua belas tahun itu membenarkan letak tas ranselnya dan membuka pintu mobil saat diberhentikan oleh ayahnya yang menyupir. Berpamitan sebentar tanpa kata-kata, Sakura menapakkan kakinya di jalanan beraspal dan mengikuti murid sebayanya memasuki gerbang sekolah.

Bisa ia lihat dengan mata jernihnya jika siswa-siswi lainnya juga membawa bunga plastik seperti dirinya. Dan itu sedikit menenangkan hatinya. 'Heh, jadi aku bukan satu-satunya orang aneh yang membawa bunga, ya?' Senyum kecil tercipta di wajahnya, senyum miring lebih tepatnya. Mengesampingkan semua hal, dengan kakinya ia melangkah menuju kelas MOSnya.

Di sekolah negeri ini Haruno Sakura memang belum memiliki teman, padahal sudah memasuki MOS hari ketiga dan terakhir. Ia sama sekali belum berkenalan, karena pada dasarnya gadis ini tidak pandai bersosialisasi. Sampai sekarang ini juga ia belum melihat seseorang yang berasal dari sekolah dasar yang sama dengannya. Jikalau pun sudah, hanya beberapa anak lelaki yang ia kenali.

Perempuan ini memasuki kelasnya dan melangkah dengan tenang tanpa memerhatikan sekelilingnya. Ia menuju bangkunya di depan meja guru, kursi di pojok depan kanan ruangan. Sudah nyaman duduk di sana, ia tak berniat menyapa teman-temannya seperti yang lain. Hanya duduk, mengeluarkan novel, dan membaca untuk menunggu bel.

Gadis dari sekolah swasta ini juga menghiraukan gadis lainnya yang menjadi teman sebangkunya. Bukannya sombong tidak mau menyapa duluan, hanya saja teman satu mejanya itu terlihat sudah bisa membiasakan diri di sini. Bukan hanya di kelas, tetapi juga dengan kelas lain. Dalam sehari, Sakura juga perhatikan jika teman gadis itu langsung bertambah jumlahnya. Rasanya aneh saja jika gadis musim semi ini menyapa duluan, sehingga ia biarkan saja perempuan di sebelahnya. Lagipula ia juga tak mengingat nama gadis itu.

'Aku tak butuh banyak teman, pasti akan menyebalkan jika punya.'

.

.

Istirahat pertama hari MOS terakhir seperti biasa ia lakukan sendiri dengan membaca. Tangannya dengan pelan membalik selembar kertas buku yang telah selesai ia baca. Suasana kelas tiba-tiba saja bertambah berisik dengan suara pekikan gadis-gadis di kelasnya. Benar-benar mengganggu, pojok depan kelas sebelah kiri sana. Sebenarnya Sakura ini tidak mau ambil pusing, tapi suara-suara cempreng para gadis itu memaksa masuk ke gendang telinganya.

''Ne, kau masuk di kelas mana?" Satu perempuan dengan wajah berseri bertanya pada teman di sebelahnya yang terlihat sedang memastikan suatu daftar di kertas yang ditempelkan pada papan tulis.

"Um, kelas 1-5 sepertinya."

"Kyaa! Kita satu kelas, leganya ada seseorang yang ku kenal di kelasku nanti." Gadis yang bertanya tadi kembali mencerahkan wajahnya dan memegang tangan perempuan yang akan menjadi teman sekelasnya nanti.

"Tadi kalian bilang kelas 1-5, ya? Wah, sayang sekali, kami masuk kelas 1-4." Bisa Sakura tebak dua orang gadis datang menginterupsi pembicaraan. Tapi Sakura tak bisa tahu pasti apakah nada bicara perempuan yang menginterupsi tadi memang terlihat menyesal atau dibuat-buat sedih.

Tatapan kesal Sakura karena tertanggu langsung berganti menjadi tatapan mengintimidasi yang ia tujukan pada salah satu perempuan yang akan memasuki kelas 1-4 seperti yang dikatakannya barusan. Sedang orang yang ditatap tidak mengetahui karena membelakangi Sakura. Berpikir dan memerhatikan gadis tadi sejenak, kekesalan Sakura pada teman sekelas MOSnya itu berubah menjadi-jadi. Dikarenakan sikap orang yang diperhatikannya terlihat manja pada teman di sampingnya. Kesalahan besar gadis tadi, Haruno Sakura benci pada orang yang membual sifat dan manja.

'Karena sebagian besar dari mereka hanyalah pengkhianat di belakang.'

.

.

Bel sekolah menggema dari sudut ke sudut koridor gedung. Kebanyakan memang tidak terganggu dengan suara bisingnya, tetapi mereka yang kebetulan berdiri tepat di bawah bel langsung saja menggerutu. Seusai istirahat pertama di hari MOS terakhir, siswa-siswi kelas satu akan berpindah dari kelas MOS ke kelas tetap yang akan didiami selama dua semester.

Sakura. Perempuan bermata emerald dan kulit susunya sibuk mengemasi barang-barangnya untuk dimasukan ke dalam tas ransel maroonnya. Jaket abu-abu tuanya ia sampirkan di lengan kirinya dengan tangannya yang menenteng buku novel yang selalu ia baca sejak dua hari yang lalu. Merasa sudah beres, ia berdiri dari tempatnya dan merapikan tempat duduknya.

Aneki dari Konohamaru itu berjalan menuju pintu kelas. Sebelum keluar, ia berhenti sebentar untuk melihat daftar pembagian kelas yang ditempelkan di papan tulis. Iris hijaunya bergerak dari atas ke bawah mencari namanya dan saat sudah ditemukannya matanya bergilir ke samping menuju tabel kelas. 1-2, tertulis di sana. Setelah mendapat informasi tentang dirinya, kakinya pun membawa dirinya keluar kelas. Berbelok ke kanan dan lurus sedikit dari pintu kelas MOSnya, kelas 1-3, sampailah Sakura di kelas tetapnya.

Di luar pintu, Sakura berhenti dan berdiri di sana. Dari tempatnya bisa ia dapati suasana riuh dalam kelas 1-2. Mereka yang di dalam sepertinya sudah langsung akrab dan bercanda-ria. Sebenarnya ia enggan untuk masuk, namun menyadari tidak ada seorang murid lagi yang berkeliaran di lorong, Sakura pun melangkah masuk.

Kentara sekali jika ia ragu-ragu dalam mengambil langkah menuju satu kursi kosong di barisan ke dua pojok dekat pintu masuk. Kursi di sebelah sudah terisi oleh seorang perempuan berambut pony tail. Tanpa ucapan permisi Haruno itu langsung menduduki tempat duduk itu dan memasukkan jaket juga novelnya ke dalam laci. Merasa ada yang memerhatikan dirinya, Sakura memberi tatapan bertanya pada gadis kuncir kuda di sebelahnya.

"Ano, kau Sakura kan? Ingat denganku?" Jari telunjuk gadis tadi diarahkan pada dirinya sendiri sambil meminta jawaban pada Sakura. Sakura yang ditanyai begitu memutar otaknya dan mencerna wajah teman sebangkunya.

"Aa, Yamanaka Ino dari SD yang sama denganku bekas murid kelas VI-A." Pantas Sakura merasa familiar, ternyata seseorang dari sekolahnya dulu. Sebelum gadis yang bernama Ino itu menjawab, mata emerald Sakura memindai kelas tetapnya. Satu persatu ia teliti, ternyata beberapa dapat ia kenali merupakan teman sekolah dasarnya dulu. Laki-laki dan perempuan, mereka yang Sakura pikir tidak akan masuk ke sekolah negeri seperti dirinya.

"Wah, aku kira kau tidak mengenaliku." Kalimat Yamanaka Ino membuyarkan lamunannya dan membuat si Haruno sulung memfokuskan diri pada Ino lagi. Sebagai balasan kata-kata tadi, Sakura hanya mengangkat kedua bahu sebagai jawaban tak pasti.

"Panggil aku Ino saja, ya, dan aku akan memanggilmu Sakura." Bagi sebagian orang memang aneh berkenalan dengan teman SD sendiri, padahal mereka sudah bersama selama enam tahun. Tetapi keduanya tidak pernah bertegur sapa karena hanya dengan mengetahui nama masing-masing itu sudah cukup bagi mereka dulu. Setidaknya untuk kali pertama mereka berbicara mereka tidak terjebak dalam jalan yang dikenal dengan kecanggungan.

Selama hari itu hingga bel pulang sekolah berbunyi, Ino selalu bersama dengan Sakura. Membuat novel si pink menjadi tak tersentuh. Mereka lebih tepatnya Ino membicarakan banyak hal dengan topik utama masa-masa SD mereka. Sakura hanya menambahkan sedikit, lagipula di masa sekolah dasarnya tidak ada banyak hal yang pantas dikenang terjadi pada dirinya.

Selama seharian itu juga Sakura memerhatikan Ino hingga hal terkecilnya. Dari cara gadis blonde itu berbicara, tersenyum, mencari topik pembicaraan, gaya tubuhnya, dan caranya memarahi seseorang yang satu kelas dengan mereka tadi. Bersamaan dengan kepingan-kepingan kecil itu menyatu, Sakura sadari jika Ino sangat mirip dengan Matsuri.

Mereka mirip dengan cara yang berbeda. Dan Sakura sebenarnya cukup nyaman dengan hal itu. Tetapi itu membuatnya terlihat seperti ingin berteman dengan Ino karena kemiripannya dengan sahabatnya sewaktu SD. 'Tidak, aku tidak bisa berpikir seperti itu.' Dengan kata lain Haruno Sakura tidak tulus berteman dengan Yamanaka Ino. Segera saja ia tepis semua itu. Gadis musim semi itu bertekad tidak akan melihat Matsuri dalam diri Ino. Ia akan mencoba mendekatkan diri mencari ikatan baru dengan berbeda.

'Maka itu, semoga saja beberapa ini hanya memiliki satu wajah.'

.

.

Ia bisa mendengar kegaduhan kelasnya dari ujung koridor tempatnya berdiri. Kegaduhan yang membuat suasana pagi segar terasa seperti siang yang gerah. Haruno Sakura baru saja berpikir bahwa mungkin saja ia akan menyesali masuknya ia ke kelas 1-2. Rambut merah mudanya yang sedikit melebihi bahu tidak serapi biasanya. Dengan jari ia menyisir surainya selagi ia berjalan menuju pintu kelas. Pandangannya yang lurus ke depan dan raut wajahnya yang dingin mengundang tatapan tak bersahabat gadis-gadis kelas lain yang dilewatinya.

Haruno bungsu tadi memasuki kelasnya dan duduk di bangkunya. Sepertinya tidak ada anak di kelasnya yang menyadari kehadirannya. Mengabaikan hal itu, Sakura membaca novelnya yang berbeda dari novel yang kemarin ia baca. Kelas akan dimulai lima belas menit lagi, waktu yang dibutuhkannya untuk menyelesaikan bab sekarang ini.

Dari pandangannya ia bisa melihat bayangan dua orang gadis berjalan di sebelah tempat duduknya, terlihat seperti ingin menyapanya. Perempuan dari hari kemarin, Yamanaka Ino, dan seorang lainnya yang tidak Sakura kenal., berambut gelap dari yang bisa ia lihat. Sakura yang walau sedang serius membaca, bisa mengetahui dua gadis tadi memiliki urusan dengannya. Namun, karena keduanya tak kunjung berbicara gadis bermata emerald itu yang mengeluarkan suara duluan.

"Apa?" Sakura melirik sedikit dua sosok di sebelahnya. Yang pirang tersenyum lebar dan terlihat bingung dengan apa yang ingin dikatakannya, sedangkan yang biru tua rambutnya memankan jari-jarinya yang disimpulkan Sakura jika mungkin ia gadis pemalu.

"Etto, Sakura, kami tidak mengganggu, 'kan?" Ino menampilkan senyum kikuknya dan takut-takut menatap Sakura langsung.

"Tidak." Sakura sendiri menaikkan satu alisnya tanda bingung dengan sikap dua gadis di samping mejanya.

"Tapi kau tampak keberatan, haruskah kami pergi?" Sakura melihat si gadis lavender meremas tangannya. Ia tahu arti gaya tubuh itu. Gaya tubuh yang menyiratkan ketidaknyamanan dan keresahan.

"Mungkin kau yang keberatan."

"E-eh?" Gadis biru tadi terkejut mendengar Sakura yang dengan mudah membalikkan kalimatnya. Dan sekarang ia bertambah gugup dengan Sakura yang menatapnya intens. Ia mencoba mencari objek menarik untuk dipandangi di kelasnya sekarang selain gadis musim semi yang sedang menatapnya. Setidaknya untuk mengalihkan perhatiannya.

"Ano, ada apa dengan suasana ini? Hahaha, bagaimana jika mulai dari awal saja?" Ino menggaruk belakang kepalanya dengan gugup dan tertawa terbata-bata. Ia memerhatikan Sakura juga gadis yang dibawanya untuk dikenalkannya pada Sakura, Hinata.

"Etto, Sakura, ini Hinata. Aku yakin kau belum mengenalnya, ia duduk sendirian di depan meja kita." Gadis blonde itu langsung saja mengenalkan Hinata tanpa basa-basi yang menyenangkan. Ia berpikir mungkin ini bisa menggantikan suasana lalu menjadi baru.

"Hai, namaku Hyūga Hinata. Tempat dudukku berada tepat di depanmu. Yoroshiku onegaishimasu." Perempuan yang dibawa Ino tadi sontak mengenalkan dirinya tepat setelah Ino menyelesaikan kalimatnya. Ia juga menambahkan perkenalan dirinya dengan sedikit membungkuk sopan di hadapan Sakura.

"Sou. Haruno Sakura desu, yoroshiku mo." Sakura menganggukkan kepalanya sekali dan mengalihkan tatapannya ke kanan pada Ino yang tampak puas.

"Nani? Aku hanya ingin mengenalkannya padamu. Dia terlihat menyendiri di pojokan dan tidak terlihat, selalu bersandar di dinding sebelahnya seolah ingin ditelan. Jadi aku sapa saja." Ino melipat tangan di depan dadanya dan memasang ekspresi prihatin di wajahnya dengan nada yang dibuat-buat disetiap kata pada kalimat yang diucapnya.

"Lebih baik kita bersama saja, berhubung kita bertiga tidak dekat dengan siapa-siapa di kelas ini." Yamanaka pirang itu berkacak pinggang dan berkata seenaknya. Ia terus saja mengoceh tanpa memperdulikan sekitarnya. Walau anak-anak lain di sana sebenarnya tidak begitu perduli dengan mereka bertiga. Hinata juga sepertinya mulai bisa memahami posisinya, ia terlihat mudah berbaur dengan dua teman barunya. Sakura pun kembali melupakan bukunya hanya untuk membalas setiap obrolan mereka bertiga.

Dan beberapa waktu kemudian, ketika jam pelajaran pertama hari itu baru saja dimulai. Haruno Sakura menyadari, jika sedikit demi sedikit, gadis yang duduk di sebelahnya saat ini. gadis supel berambut pirang bernama kecil Ino. Mulai menarik dirinya dan perempuan Hyūga di depannya untuk memasuki lingkaran hubungan pertemanan dengan cara ala Yamanaka Inonya.

'Hari lainnya, hari dimana aku membiarkan diriku sendiri tenggelam secara rela dalam hubungan persahabatan.'

.

.

"Jadi, tentu saja aku menghiraukannya. Walau sebenarnya dia lumayan tampan." Gadis pirang itu mengatakannya dengan lancar. Bahkan, ia tak sadar jika teman pinknya sudah memasang wajah mual tanpa segan-segan.

"Oh, jangan bercanda. Sebegitu buruknya, 'kah, seleramu, Ino?" Si pink tadi berkata sambil memutar matanya, kemudian melirik Ino sebagai isyarat merendahkan. Gadis lainnya, si Hyūga, hanya tersenyum geli memerhatikan kedua teman barunya. Sepertinya ia akan menarik kata-katanya jika ia akan menyesal masuk ke kelas 1-2 karena ia mulai bisa menikmati harinya di sini. Teman-teman sekelasnya juga terlihat tidak buruk, sama dengan dua teman baru yang belakangan ini dekat dengannya.

Dentangnya bel masuk sekolah menghentikan lamunan Hinata. Ia melirik Ino dan Sakura yang duduk di belakangnya dan tersenyum, setelah ia melirik singkat kursi sebelahnya yang kosong. Gadis berambut biru ini memang duduk sendirian, katanya seseorang yang harusnya sebangku dengannya telah pindah ke Tokyo.

Pintu kelas langsung tertutup saat guru yang mengajar telah memasuki kelas. Bisa dilihat jika beliau tidaklah sendiri. Seorang perempuan yang tidak terlalu tinggi dengan ekspresi wajah aneh bersamanya. Rambut oranyenya sebahu dan matanya kecoklatan. Tadi guru itu mengenalkannya sebagai Fūma Sasame.

Sakura memandang cuek gadis tadi dan Ino kelihatannya tertarik, sedangkan Hinata terlihat sedikit menggeser kursinya menjauhi Sasame yang sekarang menjadi teman satu mejanya. Dari sudut pandang Sakura, bisa ia lihat jika Fūma tadi sempat melemparkan senyum kecil pada Hinata.

Tak lama, guru tadi berjalan keluar kelas. Katanya ingin mengambil laptopnya di ruang guru. Langsung saja kelas 1-2 menjadi ramai. Ino juga tidak membuang kesempatan dan memanggil gadis baru tadi. Walau sebenarnya dia tidak pantas juga dibilang baru karena angkatan kelas satu sekarang ini bahkan baru benar-benar sekolah hari ini. Tiga hari lalu 'kan mereka baru menjalani masa orientasi.

"Nah, kita pasti akan menjadi teman baik, berhubung kau duduk di sini. Aku Ino." Yamanaka menampilkan senyum manisnya setelah Sasame menghadap dirinya. Ino mengulurkan tangon untuk dijabat Sasame. Begitu juga dengan Hinata, walau sedikit ragu ia akhirnya berjabat tangan dengan gadis di sebelahnya.

"Dan ini di sebelahmu, Hyūga Hinata. Sedangkan yang disebelahku, Haruno Sakura." Ino mengerling Sakura setelah memperkenalkan Hinata. Sasame yang pembawaannya ringan langsung mengangkat tangan kanannya ke arah Sakura. Sakura sendiri masih memandangi objek di depannya, ia perhatikan secara terperinci perempuan oranye yang sekarang menjadi bagian kelasnya.

Sasame yang merasa tangannya tidak disambut merubah suasana sekitar menjadi canggung. Ino pun menyikut lengan bawah Sakura sambil melirik sekilas tangan Sasame yang sepertinya akan ditarik kembali oleh pemiliknya. Haruno sulung itu yang awalnya memang tidak berniat membalas salaman Sasame akhirnya menyambutnya mau tidak mau, walau tanpa senyum. 'Daripada mendengar omelan Ino,' batinnya dalam hati.

Ketiganya-Ino, Hinata, dan Sasame- terlibat perbincangan seru yang dimana Sakura tidak tertarik untuk ikut ambil bagian. 'Well, apa aku juga akan dengan dia, ya?' Haruno itu sedikit memberi pandangan mencelanya setelah beberapa saat ia menilai gadis Fūma tadi. Ia intens memerhatikan cara si oranye berbicara dan berlagak.

Menerka-nerka seperti apa kepribadiannyan, seperti apa sifatnya, seperti apa caranya mengontrol diri, dan lain sebagainya. Sedikit bosan dengan obrolan tiga perempuan di dekatnya, Sakura mengedarkan pandangan hijaunya ke ujung kelas. Duduk di sana dua laki-laki yang begitu berbeda. Yang satu pucat sedang yang lain sedikit tan. Yang satu raven, lainnya hitam. Namun, kedua mata mereka sama-onix.

"Hey, yang rambutnya hitam diikat satu itu namanya Idate, 'kan?" Tanpa sadar Sakura bertanya pada tiga temannya. Yang menyebabkan percakapan mereka terhenti.

"Oh, itu. Ya, benar, kau tahu dari mana?" Ino mengernyit bingung. Setahunya, Sakura tidak mengenal murid-murid di sini selain yang berasal satu sekolah dasar dengan mereka. Lalu, tahu dari mana gadis itu?

"Hmm, dulu lumayan dekat." Sakura tidak melirik Ino dan tetap memerhatikan dua laki-laki tadi, lebih tepatnya yang berkulit pucat.

"Kalau sebelahnya?"

"Kalau tidak salah namanya Uchiha Sasuke." Gadis yang baru hari ini masuk, Sasame menimpali. Ia memerhatikan Sakura dan Ino yang terlihat begitu penasaran dengan Uchiha.

"Bukannya namanya itu Shimura Sai, ya?"

"Mungkin." Sakura terlihat ingin mengiyakan jawaban Ino walau sedikit ragu. Pasalnya Sasame berkata jika namanya itu Sasuke, sedangkan Ino dan dirinya sendiri beranggapan jika itu Sai.

"Tapi Sai tidak setampan itu dan sepertinya Sai jauh lebih pucat."

"Eh? Sai? Shimura Sai yang itu, ya? Yang sepertinya tidak punya perasaan itu?" Hinata yang sejak tadi diam akhirnya bersuara.

"Iya, memangnya ada berapa Shimura, sih, di sini?" Ino terdengar lebih sarkastik. Ino dan Sakura, mereka punya teman seangkatan waktu sekolah dasar, yaitu Shimura. Pucat, rambut dan mata hitam, dan seolah tak berperasaan. Seorang anak bermasalah yang saat kenaikan kelas enam pindah sekolah karena dikeluarkan. Dan sekarang mereka melihat seorang laki-laki bernama Uchiha Sasuke yang sekilas mirip dengan Sai.

"Tidak, aku hanya pernah dengar jika ia anak yang nakal." Hinata berkata dengan berhati-hati, ia sambil mengingat-ingat kabar yang pernah ia dengar dulu. Supaya ia tidak salah memberitahu tiga temannya.

Keempatnya sekarang memerhatikan Uchiha tadi yang terlihat berdebat sesuatu dengan laki-laki yang duduk di depannya. Bahkan, mungkin melibatkan emosi. Wajah Uchiha itu terlihat marah dan sudah mengepalkan tangan. Sepertinya kedua laki-laki itu akan saling adu tonjok. Orang bodoh sekalipun pasti tahu jika Uchiha Sasuke memiliki pengendalian emosi yang buruk dan gemar berkelahi hanya dengan melihatnya sekarang ini.

"Ya, ia anak yang bermasalah yang dulu pernah satu sekolah dasar denganku dan Ino, lalu Uchiha tadi itu sekilas terlihat seperti Shimura."

'Aku rasa sesuatu yang merepotkan akan terjadi antara aku dengannya nanti.'

TBC

Republish!

Segala macam bentuk review diterima dan author mengharapkan sebuah pembetulan dari reader.

Jaa matta na!