Mohon maaf sebesar2nya karena opening fic sebelumnya dihapus. Soalnya ngelanggar guidelines karena isinya 80% chat script semua TwT *bow*


FRAGMENT

Chapter 1


eitsss...! Bentar-bentar! saya mau pengakuan dosa! .
Latar belakang lahirnya fic ini ga cuma karena hetalia color police...

tapi juga karena benda ini

www. youtube. com (garis miring) watch? v=A5ivh59TXBc&feature=related (hapus spasi ganti garis miring dengan / )

Anda tidak akan kecewa. (0w0)

Hahaha. #digaploksandal


Chapter1

Broken Messerschmitt

"Beginning"

Summary : Beberapa tahun yang lalu, suatu tim spesial dikirim untuk melakukan beberapa misi rahasia. Hampir semua misi berhasil dilakukan dengan baik. Tapi suatu kecelakaan terjadi, membuat satu misi terakhir, yaitu misi penyelamatan gagal! Karena korban yang jatuh, tim ini akhirnya dibubarkan. Semua anggota tim tercerai-berai, membangun kembali hidup mereka, memulai semuanya dari awal.

Warnings :Violence, OOC, OC's, AU, typo(s), abal. HAHAHA. /dor

Dissclamer :Hetalia punya Bang Hidekaz binti Himaruya. Baju dan penampilan Malay-archipelago chara punya dinosaurusgede. OC! Java Island & Bali Island punya Author. Ke OOC-an karakter disini punya saya#dilemparkelubangbuaya.

Wahai negeriku tercintrong, aku akan memanggilmu 'Pertiwi'. Java island jadi 'R. Ajeng Maharani Shima'. Terus Bali island jadi 'Ida Ayu Swastika'. Saya ngasih namanya agak ngasal hahahaha #digaplok. Soal alesannya saya kasih nama itu... next chapter ntar saya jelasin deh keasalan saya :D


"The true soldier fights not because he hates what is in front of him, but because he loves what is behind him."
― G.K Chesterton


Prolog

Kilat halilintar yang menyambar menerangi jendela kaca sesaat. Angin badai mengantarkan air hujan dan menumpahkannya secara bersamaan dengan keras ke atap berlapis seng. Hembusan angin yang menderu-deru membuat ranting pohon mencakar-cakar jendela dan dinding seperti hendak mengatakan bagi siapapun yang menangkap pesannya untuk segera pergi menuju tempat yang lebih aman. Lampu sorot yang tergantung tak terlalu memberikan penerangan yang jelas. Bau besi menyeruak di seluruh sudut gudang tua. Tak dapat dibedakan apakah itu bau yang berasal dari onggokan bangkai mobil tua atau berasal dari cairan merah yang mengalir dari tumpukan tanpa nyawa yang tergeletak, tak berguna. Peluru bewarna emas, coklat dan mungil. Bertebaran di lantai hitam. Sepasang mata beriris ungu berkilat setiap kali cahaya petir menyambar. Jemarinya memutar-mutar revolver di tangannya, semakin lama, ia memutarnya semakin cepat. Si pemilik tangan yang berbalut sarung tangan warna cream itu, mendengus perlahan. Lalu iamenaikan jari telunjuknya memberi kode pada orang di belakangnya. Yang dipanggil segera muncul dari kegelapan, memberikan beberapa peluru dan sehelai kain hitam dengan tangan bergetar. Pemuda berambut seputih salju mengambilnya. Sambil membuka revolver magasin, ia mengisi amunisi. Dan ia berkata,

"Ini membosankan. Ah, bagaimana dengan Russian Roulette?" Suaranya yang berat memecah keheningan. Tapi suara lain menyambar,

"Verdammt! Dasar Pengkhiana- AARRGGH! " Terlihat pemuda berambut perak berteriak menahan nyeri. Ujung kepala cambuk yang hitam mendarat dengan cepat ke tubuhnya. Tangan mengepal mengenggam keras rantai dingin yang melingkar di pergelangan tangannya. Refleks meregang dari otot-otot perutnya hanya membuat guratan-guratan kemerahan yang sebelumnya telah terbentuk menjadi terasa lebih menyakitkan. Ia mengambil nafas dengan cepat. Setelah nyeri mulai mereda, matanya yang merah mulai membuka kembali, menatap tajam orang yang telah memukulnya tadi. Ia menjulurkan lidah dan membasahi bibirnya. Asin. Biarpun bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Ada hal lain yang dipikirkan pemuda itu saat ini.

"Diam kau. Aku tak bicara padamu." Ujarnya sambil menjatuhkan tangkai cambuk hitam ke lantai. Dia berjalan perlahan-lahan kearah tubuh lainnya. Sepatu salju bot coklatnya menapak tanah satu-satu mendekat keseseorang. Ia menendang BT APR 308 sniper yang menghalangi jalannya, berlutut dan mengambil segenggam helai rambut pirang. Matanya yang ungu mendapatkan sepasang bola mata hijau menatapnya dengan tatapan penuh amarah dan dendam.

"Kuberi kau satu kesempatan lagi." Ujar pemuda bermata ungu itu singkat. Tangannya membenturkan kepala yang ada di genggamannya keras ke dataran tanah yang dingin. Ia mengambil revolver bermoncong putih sepanjang 18 cm yang dia isi peluru tadi. Dan melemparkannya ke arah pemuda berambut pirang. Si pemuda dengan susah payah memaksa kepalanya untuk mengadah. Setetes merah mengalir dari pelipis kirinya melewati alis pirangnya dan kelopak matanya. Bola mata hijaunya terpantul bayangan. Bayangan seorang yang tergolek lemas, terikat di kursi besi. Gaun ungu hadiah ulang tahun darinya telah berubah warna menjadi kusam. Ikatan pita ungu kebiruan yang memeluk erat sisi helai rambut sosok itu sudah dihiasi oleh warna lain yang lebih terang. Merah. Ya warna merah. Tangan pemuda itu mengais ke tanah, mengumpulkan sisa-sisa tenaganya untuk bangkit dan meraih revolver dengan tangan kanannya.

"Bagus. Peraturannya mudah, da. Revolver itu terdiri dari enam lubang peluru. Aku mengisi tiga peluru secara acak. Bedanya disini kau punya enam kesempatan menembak. Kau boleh tembakan ke siapa saja. Satu orang satu tembakan. Termasuk kepalamu dan kepala adikmu. Aku mati kau yang menang. Begitu pula sebaliknya."

"Dumpkaff, Vash! Kau akan dijebak!" Mata merahnya membelalak. Ia tahu siapa dia. Ia tahu, dia tidak akan menepati janjinya. Russian…Terasa menjijikan untuk diakui. Tapi hampir sama seperti dirinya, tidak akan puas kalau cuma bisa menang separuh bagian. Hasrat untuk menguasai sepenuhnya memang selalu bergejolak. Dan Gilbert tidak bisa sepenuhnya menampik kenyataan itu.

"Orang sekarat seperti kau masih berani memerintahku? Serahkan saja padaku, Oberleutnant." Jawab Vash sambil membidik. Mencoba untuk mengembalikan fokusnya jadi satu kesatuan kokoh yang sempat terpecah karena staminanya yang menurun.

"Apa kau bilang? Aku yang awesome ini sekarat, katamu? Hei, Vash kuberitahu kau. Sekali hilang, kau tidak akan bisa mengembalikannya lagi!"

"…"

"Pikirkan baik-baik, Vash. Shit."

"Oh? Kau masih hidup, da? Boleh juga staminamu. Mungkin kau akan lebih menikmati 'permainan' kalau kita menaikan tantangannya, da? Kau mungkin akan suka." Dengan cepat Ivan memukul potongan pipa besi ke pinggang Gilbert. Usaha Gilbert untuk menghindar sia-sia, kepala keran tetap mengenai daerah perut kanan bawahnya dengan keras. Meninggalkan bekas lebam karena trauma benda tumpul.

"Lakukan saja, da! Aku jamin tak ada ruginya!" Ujar Ivan dengan suara tinggi sambil terus mengayunkan tangkai pipa. Gerigi kecil besi tua pada kepala keran mengiris kulit yang pucat. Dengan sisa tenaganya, Gilbert berusaha menggerakan otot pinggangnya untuk memperkecil kemungkinan pukulan itu akan merusak organ vitalnya lebih jauh lagi.

"Tunggu! Akan kulakukan! Aku ikut bermain." Teriakan Vash, membangunkan Ivan dari kelam mimpinya. Ia menyeringai, melepaskan pipa putih berlapis cairan merah ke tanah. Berjalan ke tengah ruangan yang paling terang perlahan sambil membentangkan tangannya. Meninggalkan Gilbert yang mulutnya berlumuran darah. Biarpun begitu, mata merah Gilbert tetap liar, waspada, membaca situasi. Ujung rambut perak yang jatuh diatas kelopak matanya tidak cukup untuk menutupinya. Ia tahu, Vash berada di posisi yang tidak menguntungkan. Ia menarik rahang bawahnya dengan keras. Menggesekan deretan gigi bawah dan atasnya. Amarah mengisi dada dan kepalanya. Tepat setelah ia lepas dari sini. Secepatnya Ia akan menghajar (kalau bisa membunuh) mahluk biadab yang punya nyali untuk mengerjainya. Yang telah mencerai-beraikan einheit team kebanggaannya. Mengacaukan misinya. Dan yang paling penting, karena telah berani menginjak-injak harga dirinya.

"Kolkolkolkolkol…Bagus. Ingat bidik yang tepat. Kalau kau berani macam-macam…" Pemuda tinggi besar itu tiba-tiba muncul dibelakang gadis yang terikat di kursi. Ia muncul dengan kain hitam ditangannya dan menutup mata gadis itu. Lily yang terkejut, segera membuka matanya. Hitam. Tak terlihat apapun. Ia mulai panik. Lalu Lily merasakan sesuatu yang besar melingkar di lehernya dan menahan posisi kepalanya kearah depan. Disusul dengan suatu benda yang tipis….dan dingin diletakan searah dengan alur melintang di permukaan kulit lehernya. Gadis ini menahan nafasnya di tenggorokan. Tetes keringat membasahi poni rambutnya. Lalu suara bariton mendadak terdengar dari telinga kirinya.

"…Dengan senang hati aku akan menggorok leher mungil ini di hadapanmu, da." Vash hanya menutup matanya dalam. Lalu membuka dan mengumpulkan konsentrasinya. Memilih pemuda yang berdiri di balik kegelapan sebagai target pertamanya. Ini sulit. Karena ia akan membidik dengan cahaya yang minim. Kornea mata Vash melebar berusaha menangkap cahaya dari lampu gantung yang mengayun karena angin badai, sebanyak yang ia bisa. Dia bersumpah, dia tidak akan berhenti. Dia akan keluar dari sini bersamanya. Dalam keadaan hidup. Bersama.

Gilbert yang melihat dari kejauhan merasa kesal karena tidak dapat berbuat banyak. Rantai yang menggantung tangan dan tubuhnya mulai terasa sakit. Perlahan-lahan kilau mata merahnya memudar. Ivan tersenyum kecil. Lalu ia merasakan denyut nadi di leher gadis itu di tangannya semakin cepat menyesuaikan kecepatan nafas yang meningkat. Ia menyeringai, menyapu rambut pirang Lily dan membisikan perlahan ke telinganya.

"Jangan takut, da. Kakakmu akan segera menyelamatkanmu… segera…"

Dan itu adalah kalimat terakhir yang sempat terdengar oleh pemuda berambut perak itu, sebelum pandangan matanya berganti menjadi kilat lintasan hitam yang pekat.


Oo~~~~~~~~~~oO

Dua pasang mata bening berwarna coklat tua memandang, menembus langit gelap. Rintik hujan yang jatuh dari langit satu demi satu membuat suatu melodi terbentuk di telinganya. Terlihat gadis berumur 13 tahun, berambut hitam lurus pendek sebahu, menghembuskan nafas panjang. Tirai bergradasi putih kekuningan yang melambai di sisi jendela tak membuat matanya lepas dari pemandangan dihadapannya, bak lukisan langit kelam berbingkai jendela putih. Hujan saat dini hari memang menyenangkan biarpun membuat hawa jadi lebih dingin. Tapi badai dan hujan seperti ini jika diperhatikan terus-menerus memang membuat pikiran jadi parno, takut kalau itu adalah pertanda dari suatu kejadian buruk yang akan atau sedang terjadi. Baginya, setiap kali ia melihat hujan turun maka saat itulah Bumi sedang menangisi sesuatu. Tapi Kakaknya bilang hujan itu rejeki dari Tuhan yang patut disyukuri. Anugerah dari Yang Maha Kuasa untuk mahluk di bumi.

"Ajeng? Sudah bangun...?" Terdengar suara lembut dari balik pintu kayu yang dibuka sedikit. Yang dipanggil segera menoleh ke sumber suara. Terlihat dari balik pintu seorang gadis berkulit sawo matang, dirambutnya terselip Anggrek Bulan bewarna ungu.

"Eh Mbak! Bikin kaget aja. Iya, habis beres-beres pakaian kok." Jawab Ajeng. Pertiwi tersenyum perlahan masuk ke kamar, duduk di lantai disebelah adiknya. Memposisikan diri menghadap jendela kamar.

"Kamu ngapain bengong ngliatin jendela subuh-subuh gini? Kaya orang susah mikirin utang aja." Pertiwi tersenyum kocak. Ajeng tersenyum lebar.

"Eh, siapa yang mikirin utang? Mbak tuh, cicilan panci susun ke koperasi udah dilunasin belom? Entar diteror ibu-ibu PKK baru tau rasa lo. Hahaha." Jawab Ajeng tak mau kalah.

"Oi, jangan buka aib disini. Haha. Lagian jangan bengong. Ntar kalo kamu kesambet, Mbak ga mau nolongin."

"Duhai Kakakku sayang. Kalopun aku kesambet, di jam subuh kaya gini. Yang ada aku bakal kesambet malaikat!~ Ya gimana ya, maklum orang beriman. Hakakakak." Tawa remaja tiga belas tahun itu gace.

"Sudahlah. Oh ya nanti jam enam kita mau berangkat. Ah ngomong-ngomong, tadi mbak dapet ini di dekat meja makan." Pertiwi mengibaskan sesuatu di depan wajah Ajeng.

"Celana dalemku!" Ajeng menyambar benda segitiga polkadot dari tangan kakaknya.

"WTF AJENG. INI UDAH YANG KELIMA KALINYA DALAM SEBULAN KAMU NINGGALIN BENDA NISTA INI DI ATAS MEJA MAKAN."

"Ampun, Mbak." Ajeng pasrah tak mau kena marah. Si kecil Ida cekikikan dari balik boneka melihat kakak keduanya dalam kemalangan.

Pertiwi melihat jam yang tergantung di dinding. Jam 5.10 ia masih punya beberapa menit sampai waktu keberangkatan. Pekerjaannya memaksa Pertiwi dan saudari perempuannya untuk pindah dari kota kelahirannya. Ada rumah sakit yang membutuhkan tenaganya dan dengan berat hati Ia harus meninggalkan rumah yang sudah ia tempati bertahun-tahun lamanya.

Koper pakaian, peralatan kerja, kunci rumah, oke. Koleksi CD Drama mulai dari telenovela, sinetron, lagu Bollywood, film Hollywood, sampai The Best Of Korean Song Collection edisi terbaru sudah siap untuk dipindahkan. Perabotan telah masuk ke truk pengangkutan untuk pindah rumah. Pertiwi mematut dirinya di kaca untuk terakhir kalinya merapikan posisi jepit rambut , merapikan ikatan rambut kuncir kudanya, kemeja putih dengan hiasan batik pesisir di kerah rapi menutup tubuhnya. Pertiwi melangkahkan kakinya keluar, sinar mentari telah menyapa wajahnya, menyinari mata hitamnya. Cahaya di ufuk barat jatuh menerangi embun yang menetes dari ujung daun. Masih tercium bau tanah basah bekas hujan deras semalam. Terlihat jalan kelabu dihiasi tetes-tetes air yang bersatu membentuk cermin bening di permukaan aspal.

"Ayo. Dah pada siap semua kan! Ayo berangkat sekarang! Ntar ketinggalan kereta!" Teriak Pertiwi memanggil ke dalam rumah. Tiba-tiba suara tepung yang dicelupkan ke minyak panas sampai di telinganya. Dan terdengar dari dalam rumah,

"Bentar Mbak! Aku lagi nggoreng Iwak Peyek-ku yang terahir nih! Buat bekel di jalan!" Teriak Ajeng dari dalam dapur. Pertiwi mengernyitkan dahinya. Bekal? Pertiwi segera menyusul Ajeng ke dalam rumah. Meninggalkan Ida si Bungsu. Yang sudah wangi dan cantik duduk di depan beranda rumah.

"Ajeng! Kakak udah bikin bekal! Kenapa kamu harus bikin lagi? Mana nambah rantang. Repot ntar bawanya! Ya ampun kamu bawa sampe 5 rantang… Emang kamu mau jualan Iwak peyek di Kereta! Kaya pedagang asongan! Ayo cepet!"

"Ya Mbak...! Di luar negri ga ada iwak peyek! Kalo aku kelaparan gimana?" Jawab Ajeng mewek dengan wajah jika digambarkan dengan emot D: .

"Emang kamu cuma bisa makan itu? Ayo keluar, cepetan!" Ujar Pertiwi gusar, sambil mematikan kompor dan menarik kerah adiknya. Mereka bertiga ramai-ramai menaiki ojek (karena taksi mahal) menuju ke stasiun kereta. Bawaan Pertiwi penuh seperti orang mudik. Pertiwi tidak lupa menarik si bungsu Ida Ayu, yang sempat terhenti karena terpesona oleh balon putih bermotif Sh*un The Sheep.

"Peron 3A. Peron 3A. Peron 3A. Ah itu dia!" Pikir Pertiwi dalam hati. Dengan semangat empat lima Pertiwi berlari kencang, menarik Ajeng yang mendekap erat dua rantang iwak peyek (karena sisanya diberikan gratis ke supir ojek plus rantangnya oleh Pertiwi) serta koper segi empat besar ditanganya dengan cepat menaiki tangga dan memasuki kompartemen kereta. Pertiwi segera menghela nafas panjang dan duduk di kursi gerbong. Ia membuka jam tangan karetnya. Jam lima lebih lima puluh lima menit. Pertiwi tersenyum lebar atas 'rekor'nya kali ini. Kebiasaan ngaret mulai berkurang, dibuktikan dengan ia tidak datang terlambat. Gadis itu membetulkan posisi duduknya, melihat lurus ke depannya, memperhatikan Ajeng yang meletakan tangannya di jendela, serta koper besar yang tersandar disebelahnya. Pertiwi mengernyitkan dahinya (lagi). Tunggu dulu. Pertiwi mulai mengabsen satu-satu kelengkapan 'barang bawaan'. Koper dan Ajeng. Koper, rantang dan Ajeng. Koper, rantang, iwak peyek dan Ajeng. Mata Pertiwi bergerak urut dari ujung ke pangkal. Koper, rantang, iwak peyek dan… Ajeng? Memang, iwak peyek dan Ajeng tidak bisa dipisahkan. Tapi kenapa Pertiwi merasa setelah Ajeng itu seharusnya... ada sesuatu? Atau seseorang? Jam maya di bayangan pikiran Pertiwi mulai bekerja...

Tik... Tik... Tik... Ting!

"Astaga. IDA KETINGGALAN." Pertiwi segera bangkit dari tempat duduknya. Tubuhnya dengan gesit 'menyelip' diantara penumpang kereta yang mulai penuh, beberapa melepar pandangan kesal karena Pertiwi yang menyenggol mereka tanpa minta maaf. Pertiwi keluar dari kereta dan menggunakan instingnya dan memperkirakan tempat apa yang paling menarik perhatian adik bungsunya. Matanya mulai menyisir toko-toko yang berjejeran di stasiun. Mata Pertiwi menangkap sosok gadis kecil berusia sekitar tujuh tahunan dengan tiga bunga Kamboja yang berjejer terlihat berdiri, terpana melihat atraksi topeng monyet di depan salah satu swalayan mini.

Dengan sigap, Pertiwi menggendong adik kecilnya beserta tas kecil miliknya yang tergeletak di tanah. Pertiwi menghitung enam puluh detik secara mundur di dalam pikiranya.

Lima tujuh. Lima enam.

Pertiwi berlari cepat menuju pintu masuk gerbong paling belakang.

Empat puluh. Tiga Sembilan. Tiga delapan.

Mata bulat Ida tidak bisa lepas dari gerakan lucu monyet kecil berbulu kelabu kusam, yang perlahan lenyap ditelan keramaian. Tiga satu detik... tiga puluh detik… dua sembilan detik. Akhirnya gadis kecil ini bosan dan mengalungkan tangannya erat di leher Pertiwi.

Dua lima. Dua empat.

Pertiwi melesat masuk melewati pintu gerbong yang akan tertutup.

Sembilan belas. Delapan belas. Tujuh belas.

Pertiwi berhasil mendarat ke tempat duduknya semula. Ia menurunkan Ida dari gendonganya dan membiarkan Ida duduk di sebelah Ajeng. Pertiwi mulai mengatur nafasnya, mengistirahatkan lehernya di busa kursi yang empuk. Dengan nafas tersegal, Ia menggulung kemejanya dan melihat jam tanganya.

Empat belas detik lagi. Beberapa detik kemudian, penjaga garis kereta keluar dari posnya dan memberi kode. Roda kereta mulai bergerak meluncur di rel, meninggalkan stasiun.

"Bye-Bye, Iwak Peyek… Aku rak bakal lali…tresna selaluuu... karo kowe…" Ujar Ajeng meletakan telapak tangannya di jendela putih kereta dengan wajah yang dibuat sendu. Lalu Ida yang duduk di depan Ajeng mulai melagukan lagu ratapan anak tiri, dengan mengganti 'Ibu tiri' dengan 'kakak tua' untuk mendukung backsound adegan sedih kakak keduanya. Pertiwi cuma menggelengkan kepala.


08888888888880

"Nyonya. Tenang, tolong ceritakan semua kejadian dengan runtut." Pemuda itu mencoba bersabar, mencatat kembali runtutan kejadian di kertas notes putihnya. Menuliskan informasi selanjutnya, lengkap dengan waktu kejadian. Ia masih punya beberapa saksi yang ia harus tanyai baru ia bisa kembali ke markas. Terlihat seorang Ibu tua berumur lima puluhan bercerita dengan polisi didepanya. Ibu itu menunjuk ke arah tempat dimana korban ditemukan. Polisi di depannya menggangguk, menutup notes hitam kecil dengan jemarinya. Memiringkan topinya sambil mengucapkan salam. Memasang kembali pita pengaman berwarna kuning bertuliskan 'Don't Cross Police Line' dan masuk ke mobil menyusul rekanya.

"Bagaimana, Officer Ludwig? Tidak sulit, kan?"

"Ja, Tinggal menanyai beberapa saksi baru kita bisa langsung menyerbu."

"Hmph. I see."

Officer Ludwig, polisi muda yang baru ditugaskan beberapa hari itu melihat kilat dari mata biru rekannya lewat kaca spion. Polisi berambut pirang kecoklatan yang disebut hanya tersenyum kecil sambil memutar setir mobil ke arah jalan raya. Dia dan rekannya tahu, mereka tidak akan membiarkan 'orang itu' lolos, dari tangan satuan unit mereka. Bekerja di kota dengan angka kriminalitas yang tinggi, merupakan suatu tantangan tersendiri. Dengan keadaan kota yang dikepung oleh banyaknya praktik-praktik 'ilegal' yang secara kasat mata di back-up oleh oknum pemerintah, telah cukup untuk membuat magnet bagi penjahat dari kelas teri sampai kakap untuk bergabung dan memperkuat diri. Waktu pertama kalinya ditugaskan disini, Ludwig sempat pesimis, kalau karirnya bisa sukses disini. Biarpun terlihat seperti medan perang yang tiada 'akhir' lama kelamaan, Ludwig akhirnya berusaha menerima dan memahami hal-hal apa yang membuat, Seargent Jones rekan satu kerjanya betah bekerja di kota seperti ini. Tiba-tiba radio patroli berkedip hijau, ada saluran yang masuk.

"Unit alfa, Roger. "

"Kami butuh bantuan di sektor 13, pelaku menolak menyerah dan memberi perlawanan. Tujuh orang bersenjata."

"Baik. Kami segera kesana."

"Let's kick some ass."


-Messerschmitt(judul chapter-nya): Itu namanya diambil dari pesawat perang pas WW2 kalo ga salah, buatan Jerman. Ntar bakal saya ceritain kenapa dinamain gitu

-Oberleutnant: (Deutschland) First leutnant/letnan pertama ato yang paling tinggi. Sebenernya orang Swiss itu ngomong bahasa Jerman, tapi pake dialek Swiss (Ya mirip orang Indonesia ngomong pake logat Batak). Nah saya ga begitu ngerti sampe mana miripnya sama bahasa Jerman asli dan seberapa beda dengan 'khas'nya orang Swiss…Katanya baca-baca di internet, bahasa yang dipake sama orang Swiss dan Lichestein itu sama. (Oh, setianya kalian m(=7=)m ~)

Author's Note: Kalian harus googling soal Police!Country. Terutama Police!Germany sama Police!England. Kostum polisinya gila meeeennn. Bikin ngilerrrr. #dihajar. Mereka punya warna sendiri-sendiri :3

( *-*) Btw fetish saya akan hetalia colour police sdah terpuaskan di fic saya yg lain. Di deskripsi saya tulis jelas kok klo itu hetalia color police!AU =w= #promosi
Fic ini sudah disepakatin bakal jadi fic ramah anak(?) dan sebisa mungkin menjauhkan dari unsur esek-esek 0w0 #staph

BT APR 308 yang ditendang Bang Rusia tadi itu singkatan dari 'Brügger & Thomet APR 308' Senjata Sniper Rifle buatan Swiss. Biasa dipake buat nembak musuh dari jarak jauh. Beratnya 7 kiloan(bayangin aja nggendong bayi sehat umur 1 tahun#plak). Panjangnya 1.139 mm (44,8 inchi). Lebarnya 50 mm. Pelurunya 7.62x51mm NATO(bukan mie natto pake telor atau NATO yang markasnya di Italy itu) atau setara 0,308 winchester(bukan Sam Winchester apa lagi, Liechestein). Mekanismenya umumlah kaya senjata rifle, Manual. Efektif digunakan di jarak 1,000 m/1,094 yard(lumayan mantep buat nembak kucing liar yang suka nyolong ikan hias kesayangan anda di kolam).

Revolver itu senjata klasik kaya pistol tapi yang dipake buat permainan Rusian rolade-nya ini yang moncongnya agak panjang. Warna cat pelapisnya putih bersih.

Sebenernya variasi permainan Rusian Roulette ini ada macem-macem. Tapi kaya Abang Wiki bilang yang paling banyak di mainin ada 3 variasi permainan. Intinya ada yg di re-spinning( revolvernya diputar ulang) atau ga di re-spin. Klihatannya kita ga tahu berapa peluru yang diisi, tapi buat amannya asumsi aja kalo 4-5 lubang peluru di senjata itu keisi semua. Kalau ada 1 peluru yang tertembak, peluang tertembak semakin kecil buat giliran berikutnya. Tapi sayang banget, karena nyawa kita cuma satu. Jadi pilihanya hidup mati disini sama-sama 50%. Live or Dead. Disini Mas Ivan membiarkan swiss sendiri yang nembak dan kasih tahu ke Swiss kalo dia ngisi 3 peluru. Sisanya? Oh bisa aja terisi, bisa aja ega. Kol-kol-kol-kol. Udah ketahuan kan belakangnya gimana? Wkwkwkwkwk. Buat info rusian rolade selengkapnya silahkan di googling sendiri :D #pemalastingkatdewa.


Ntar klo anda bisa nebak siapa yg akhirnya jadi 'korban' tembakan Swiss 0_0 saya ga tega T_T

Russia: Russian Roulette, da. Bukan rolade. ^J^

Author: Kalo di Indonesia bilangnya rolade, bang Ivan. (^w^)

Indonesia: Kata siapa? (-.-)a

Author: Kata perutku~ :3

Indonesia: ...

Author: Tapi aku serius lo soal rolade ini. Kamu aja yang kurang pengetahuan, Nes :D

Indonesia: hedeh, Kok bisa? Emang kamu tau rolade tu apa?

Author: Bisa dong. Ya lah aku tau, sejak kamu menggulung hatiku & merubahku jadi rolade cinta, Nes. :3

Indonesia: Jiaaah, cepeeeeek deh…. (-_-)

Russia: Epic Fail, da. ^J^

Yang bingung tunjuk tangan! *readers tunjuk tangan semua* honhonhonhon~ ikuti terus perkembangannya kalo anda pingin tahu lebih banyak ;D

Mohon maaf kalau hasilnya tidak sesuai keinginan. m(_ _)m *bow* serta berbagai ketidak-nyamanan yang anda rasakan saat membaca fic ini, mohon dimaafkan. Tolong bantu NEWBIE author ini dengan memberikan barang satu sampai beberapa kalimat untuk review. T_T (terutama buat genre! apa ya yang setara dengan genre 'action'?)

Semoga kedepannya ane bisa bikin yang lebih bagus(dan lebih gila) lagi :)


Thanks For Reading! ^ ^